![]() |
Prosesi pemakaman Sultan Hamengku Buwono VIII. 1939 |
Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Ternyata orang yang baik itu adalah orang yang ingat akan
mati, karena akan mengisi hidup ini lebih berarti dan berharga. Kita semua
berhutang kematian. Tanpa terkecuali. Kematian boleh dikata akhir tujuan
bersama, namun setiap orang memiliki jalan yang berbeda hingga sampai ke tujuan
tersebut.
Kematian di dalam
kebudayaan apa pun hampir selalu disikapi dengan ritualisasi. Entah apa pun
wujud ritualisasi itu. Ada berbagai alasan mengapa kematian disikapi dengan
ritualisasi. Dalam berbagai kebudayaan kematian juga dianggap bukan sebagai
bentuk akhir atau titik lenyap dari kehidupan.
Pada kesempatan
kali ini saya akan bagikan ritus jalannya Upacara Kematian Raja dan bangsawan tradisi Mataram.
Dari literasi yang
saya dapatkan, setidaknya khusus upacara kematian dalam tradisi keraton yang
ada di Jawa secara umum ada 5 jenis gatra ritual, yakni :
- Tata cara Majapahit atau Pra-Islam
- Tata cara Demak dan Pajang
- Tata cara perwalian atau wali Allah di Jawa
- Tata cara Kalang Sepuh
- Tata cara Mataram selingkar keturunannya
Tata cara Majapahit
menyangkut sesaji yang ditujukan pada orang yang sakit sampai merawat jenazah
sebelum dikubur. Hanya pada tata cara perawatan jenazah diberi balsem dan
ditunggu samapi 100 atau 1000 hari. Jika utuh dan awet, mayat itu dibusanani
dengan busana kebesaran kerajaan. Namun jika rusak, maka jenazah itu dikafani.
Uborampe atau sesaji orang yang sakit sampai perawatan jenazah menganut upacara
kuno dengan memanggil dukun , pini sepuh dan ulam sebelum dibacakan
matra-mantra pelepasan jenazah.
Tata cara Demak
dan Pajang menurut tata cara di sini dalam melakukan perwatan jenazah dengan
tata cara keislaman mulai dari mensholatkan sampai penguburan jenazah di
lingkungan kerajaan Islam di Jawa.
Tata cara
perwalian atau Wali Allah berbeda dengan tata cara di saat Sunan Giri, Sunan
Bonang, Sunan kudus, dan Sunan Kalijaga. Di masa ini mengguanakan tata cara
rakit dalam model tarekat Syeh Abdul Qadir Jailani, Nasabariyah, Naqsabandiyah
dan Safi’iyah. Sunan Kalijaga tidak mengenal tahlilan akan tetapi disebut
ageman yaitu dikuburan jenazah atau pesan-pesan almarhum digubah.
Tata cara Mataram
adalah membentuk peubahan baru dan tradisi kuno Pra-Islam dalam tatanan kultur
Jawa. Pembusanaan jenazah raja dan putra dengan busana kebesaran.
Dalam tata cara Mataram
upacara perawatan jenazah dipimpin oleh raja atau pangeran tertua atas nama
raja. Juga uborampenya menyesuaikan bentuk yang ada. Di dalam pranata jiwa
kalau si sakit cukup lama atau tidak ada harapan untuk sembuh si sakit dibawa
ke Imogiri diruang Pajimatan yang kemungkinan akan meninggal. Orang yang
merawat adalah ulama atas nama raja. Selama raja berkuasa tidak boleh
mengunjungi ke Imogiri.
Pelaksanaan
upacara kematian ini terdapat berbagai perlengkapan kegiatan yang dalam garis
besarnya :
- Perawatan jenazah (uborampe panguptining layon)
- Pemakaman jenazah (uborampe panguburing layon)
Perawatan jenazah
dimulai semenjak seseorang benar-benar meninggal dunia. Kerabat dan orang lain
yang kebetulan menyaksikan saat meninggalnya segera mengatur posisi tubuh
mayat, (menyilangkan tangan jenazah ke dada, tangan kanan diletakkan diatas
tangan kiri, kelopak mata dirapatkan, dagu ditekan agar mulut terkatup, kedua kaki
diluruskan sejajar serta dihadapkan ke arah kiblat.
Dibujurkan ke
utara (mujur ngalor) menyerong ke
barat sedikit (ngulon sithik) ditutup
rapat diluruskan dengan kaki memakai jarik, serta dipasang sebuah pelita dan
tempat pembakaran kemenyan dekat pembaringan hal ini dilakukan agar tidak
terlanjur kaku. Saatnya untuk dimandikan, anak saudara menunggu agar tidak ada
ganguan sementara itu kegiatan lainnya mulai dilaksanakan, misalnya menyebar
berita duka, penggalian kubur, perlengkapan memandikan jenazah dan
lain-lainnya.
Mengenai lokasi penggalian tergantung pada saat meninggalnya
sedang mengenai lokasi penggalian liang lahat biasanya tidak disebelah atas
(utara / makam yang lebih tua atau leluhur. Bila pantangan in dilanggar akan
menimbulkan hal-hal yang kurang baik terutama si roh mati.
Uborampe yang
berhubungan dengan upacara misalnya Bangsal Sri Manganti digunakan untuk
membaringkan jenazah dan didekatnya dihidupkan pedupaan, blencong, air kembang
seramah, hidang-hidangan yang merupakan kombinasi dari sumber-sumber khasanah
flora dan fauna Jawa yang berbentuk bahan pajangan dan bahan pangan.
Selama
disemayamkan dibunyikan gending mutur
yaitu gending-gending yang mengambarakan tangisan hati dan menggunakan gamelan menggang.
Upacara Memadikan Jenazah
Bagi golongan
bangsawan, tradisi mengenai perawatan jenazah mulai dari meninggal, memandikan,
membungkus, menyembahyangkan hingga pemakamannya mempunyai kekhususan
tersendiri. Antara jenazah seoarang raja dalam menyemayamkan dengan jenazah
putra mahkota, permaisuri, permasuri putera raja, selir-selir dan
pelara-pelara. Untuk raja disemanyamkan di bangsal Prabasuyata sebelum
dimandikan.
Perbedaan Perawatan Dengan Selain Raja adalah :
Apabila yang
meninggal seorang Permaisuri atau Putra Mahkota, maka upacara memandikan dari
menghias jenazah dilakukan di Tratan (serambi) Prabasuyata, sesudah selesai
jenazah disemayamkan di bangsal seperti halnya seorang raja. Sedangkan untuk
para selir ( pelara-pelara) dan putera yang belum kawin, upacara siraman dan
membusanani dilakukan di bangsal pengapit, selanjutnya jenazah disemayamkan
dibangsal Manis hingga pada saat pemberangkatan pemakamannya. Bagi seseorang
yang meninggal sebelum kawin ada syarat tamabahan yang harus dilengkapi yaitu
batang pohon pisang dan gagar mayang yang dibuang di peremapatan jalan.
Bila seseorang
raja mangkat (surut dalem) karena
usia lanjut bukan karena penyakit, jenazah dipangku oleh anak dan cucu
laki-laki, bila yang mangkat permaisuri, maka anak dan cucu puterilah yang
memangku.
Tempat untuk menyirami
bisanya ditutupi dengan kain putih sekelilingnya atau kain biasa yang baik,
sedang penutup bagian atas digunakan kampuh atau kain panjang. Bila yang
meninggal seorang raja maka upacara nitaman dipimpin putera tertua yang hendak
menggantikan kedudukannya. Perlengkapan Sirangan
ini meliputi :
- Air tawar (air sumur bersih) ditempatkan dalam tempayan
- Air landha merang untuk keramas (cuci rambut)
- Air asam (air tawar dicampur asam lumat) juga untuk keramas.
- Air asin (air tawar campur garam)
- Air wangi (air tawar dicampur wewangian atau minyak cendana)
- Merang (tangkai padi kering yang telah diptong-potng) untuk membersihakn kuku.
- Kain putih untuk penutup.
Agar benar-benar
bersih tubuh jenazah boleh dimiringkan kekanan atau kekiri. Menjelang selesai
siraman, jenazah didudukan untuk disiram tiga kali dari arah kepala.
Upacara Membungkus
Jenazah
Setelah jenazah
dimandikan dengan sempurna kemudian diangkat ketempat yang telah ditentukan dan
disitulah jenazah pada hakekatnya sama dengan rakyat biasa, hanya saja bahan-bahan
yang digunakan biasanya lebih terpilih. Mengenai jumlah kain kafan harus
ganjil, rangkap tiga, lima, atau tujuh. Kemudian kapas-kapas yang diberi minyak
cendana untuk menutup bagian badan yang lemah dan lekas membusuk.
Sementara itu peti
jenazah telah disiapkan yang antara lain diberi alas tikar, bantal dengan kain
yang sama atau putih berisikan daun kemuning dan daun pandan (memliki khasiat
atau menghilangkan bau busuk). Setelah itu jenazah yang telah selesai
pembukusannya, dimasukan dalam peti dengan posisi agak miring kekanan atau arah
kiblat ditopang dengan tujuh bulatan tanah atau gelu, sebelum ditutup pelayat diberi kesempatan untuk melihat dan
mendoakan, tetapi berurutan. Setelah peti ditutup, lalu diletekakan diatas
balai-balai membujur ke arah utara. Rangkaian perhiasan berupa bunga-bunga ini
dibenahi, dimaksudkan selain menghormati si mayat juga untuk menghilangkan bau
busuk.
Menshalatkan
Jenazah
Menshalatkan
jenazah di tiga tempat yaitu :
- Masjid di Panepen untuk menyembahyangkan jenazah raja yang dilakukan oleh para putera-puteri dan cucu raja dipimpin oleh ulama.
- Pembacaan doa-doa di masjid yang dipimpin oleh Kyai Penghulu.
- Upacara di makam yang dilakukan oleh pengageng juru kunci.
Demikan halnya
dalam menshlatkan jenazah di kalangan bangsawan sama sebagaimana menshalati
jenazah pada umumnya. Khusus untuk bangsawan, upacara ini dilaksanakan oleh
abdi dalem kraton Suronoto, dipimpin oleh Kyai Penghulu Kraton atau Pengulan. Sementara
itu ada petugas yang memasang perdupaan didekat kaki jenazah dan secara
bergantian istri, anak-anak serta kerabat dekat memasukan kemenyan atau
ratus-ratus ke dalam perdupaan tersebut agar terus mengeluarakan asap harum.
Upacara
Pemakaman
Uborampe yang
berhubungan dengan upacara pemberangkatan jenazah diantaranya yaitu kentongan
masjid, kendi yang yang terbuat dari tanah, sapu lidi, beras kuning, dan uang
recehan serta kembang setaman. Sedangkan upacara bubak dalan yaitu pemukulan
kentongan, penyebaran beras kuning, air kendi dijalankan oleh para Kyai atau
perempuan uzur atau perempuan yang sudah melewati masa menstruasi. Semua ini
untuk mengawali pemberangkatan ke Imogiri (perlengkapan yang bersifat cucuking
lampah).
Komposisi
dan Konfigurasi Peserta Upacara
Apaila seorang Raja
yang meninggal dunia maka pimpinan upacara berada di tangan Pepatia Dalem Danurejo
sebagai Perdana Mentri Kesultanan atau Wasir yang mengepalai seluruh unit
pemakam sampai seratus harinya. Sesepuh atau pimpinan upacara tidak mengikuti
ke makam.
Apabila yang
meninggal adalah seorang Permaisuri, Putra Mahkota atau Adipati Anom maka
sultan menunjuk tim khusus untuk menyelenggarakan upacara pelepasan jemazah.
Dalam upacara
pelepasan jenazah raja tidak ada master seremoni atau protocol cuma yang biasa
dilakukan pengaturan secara lisan. Kemudian dalam upacara pemberangkatan dan
tuguran (berjaga semalam suntuk) dipimpin oleh Penghulu Agung kerajaan yang
didampingi oleh Suranata, putihan dan abdi dalem pemetaan serta sepenuhnya
dibantu oleh abdi dalem petilasan atau pengulon.
Sementara perabot dan
penghulu dibagi menjadi beberapa bagian yaitu :
- Penasehat ritual keagamaan menjadi tugas Penghulu Agung
- Penghulu masjid kraton yang berada di Mlangi (masjid keratin atau patok negoro)
- Penghulu kraton yang berada di Ploso.
- Penghulu masjid kraton yang berada di Wonokromo
Seluruh koordinasi
masjid baik dalam maupun luar lingkup keraton mendapat pembiyaan dari keraton.
Sedangkan penghulu bertanggungjawab pada masing-masing masjid dan juga
bertanggungjawab kepada sultan. Perlekapan pemakaman jenazah biasanya
menggunakan kereta kerajaan atau kereta jenazah yang biasa digunakan oleh para
raja di kawasan setempat.
Kalangan bangsawan
kraton Yogyakarta mempunyai tiga tempat pemakaman yaitu :
- Makam Imogiri Bantul
- Makam Hastorenggo
- Girigondo di Kotagede
Khusus untuk
pemakaman raja atau sultan ditempatkan di Imogiri. Upacara pemakaman bagi
kalangan bangsawan memang berbeda dengan upacara pemakaman rakyat biasa tetapi
inti upacaranya sama, misalnya dalam hal upacara Mbrobosan, cara menurunkan
peti jenazah posisi dalam liang lahat dan pembacaan doa bagi jenazah. Apabila
yang mengangkat raja atau sultan, menjelang pemakaman para anggota keluarga dan
segenap punggawa abdi dalem berkumpul di tempat-tempat yang tidak sama.
Para putra putri
berkumpul di dalam (istilah ruang dalam). Prajurit pesisiran yaitu pegawai
kraton, pegawai kesultanan berkumpul di pintu gerbang pintu mlati. Sedang para
abdi dalem ponakawan dan perintah luhur berada di halaman kraton. Selanjutnya
abdi dalem lainnya yaitu abdi dalem penghulu siap di bangsal Sri Manganti. Abdi
dalem jawi berada di Bangsal Ponconiti. Setelah tiba saatnya diberangkatkan,
biasanya antara pukul 10.00 wib, jenazah segera diangkat keluar istana lewat
gerbang istana. Peti diangkat oleh putra putri, cucu, dan para sentana (sanak
keluarga) dengan bantuan para prajurit. Sebelum keluar dari pintu gerbang
selatan sejenak dihalaman kraton, diadakan sumurup (Brobosan).
Peti dibujurkan ke
arah timur, selanjutnya putra putri dan cucu-cucu mengusung dibawah peti tiga
kali. Upacara in memberi pengertian kepada putra-putri, cucu-cucu yang ditinggal
pada akhirnya akan dipanggil Tuhan juga. Sesudah selesai, jenazah dipikul dan
dipanyungi menuju kereta. Payung dihiasi dengan bunga melati atau hiasan
lainnya. Demikian juga kereta, dihiasi dengan untaian melati atau ronce. Kereta
jenazah yang biasanya ditarik dengan delapan ekor kuda dan melewati kawasan
pedesaan, sedangakan jika melewati perbukitan maka yang pernah dulu
dilaksanakan kereta itu ditarik dengan lembu atau kerbau. Misalnya sewaktu
meninggal Sri Paku Alam V di Girigondo sedang pengiring pakai kuda tunggang.
Ratanan laku atau
petunjuk-petunjuk umumnya telah ada dalam buku yang ingin memberikan
penghormatan permaisuri atau keturunannya. Hal - hal lain yang berhubungan
dengan upacara adalah jika raja atau putra masih bersatus jejaka atau perawan
berada di depan iring-iringan jenazah dibawa dua geligir gagar mayang sebagai
penghormatan terhadap bangsawan yang berstatus perjaka atau perawan tersebut.
Sanak keluarga si
mati kebanyakan mengenakan pakaian warna hitam namun ada juga yang mengenakan
pakaian warna ungu seringkali pelayat diberi selawat atau uang yang dibungkus
dengan kain putih sebaliknya uang tadi dipergunakan untuk membeli korek api
atau minyak tanah.
Demikan menurut
kepercayaannya selama dalam perjalanan disebarkan sawur (berisi beras kuning
yaitu beras dicampur kunir dan kembang telon, mawar melati dan kenanga,
kemudian uang dan lintingan sirih). Sawur ini disebar terutama dipertigaan atau
perempatan jalan yang dilalui masayarakat yang kebetulan bertemu dengan
iring-iringan jenazah. Iringan-iringan ini biasanya berhenti atau turun dari
kendaraannya sampai iring-irngan berlalu, topi, payung dan penutup kepala
lainya akan mereka tanggalkan sebagai penghormatan. Namun ada pula pedagang
yang melemparkan uang mereka dengan harapan usaha mereka berhasil dan
sebagainya.
Sesampainya di
pemakaman, pengurusan selanjutnya ditangani abdi dalem juru kunci. Upacara ini
diawali dengan pemberian penghormatan kepada jenazah oleh para sanak keluarga
maupun abdi dalem dengan cara berbaris di kanan-kiri jalan yang akan dilalui
jenazah. Sebelum memasuki makam Imogiri diistirahkan untuk sementara di
paseban.
Biasanya penghulu
membacakan doa. Petugas formal untuk mengkebumikan jenazah raja adalah pepatih
dalem yang pelaksanaan teknisnya sampai 8 orang bertugas mengerek peti, yang
biasanya dibantu 2 orang dimulut liang lahat, kedalam liang lahat seyogyanya
sededeg-pengawe atau setinggi orang yang berdiri sambil mengacungkan tangannya.
Setelah ada peletakkan peti, petugas adzan dilanjutkan dengan Iqomah dan
membacakan takqin.
Selanjutnya cepuri
atau karas (bagian dari liang kubur) ditutup dengan papan atau batu, untuk
kemudian mulai ditimbun dengan tanah. Para pengiring jenazah terutama kerabat
dekat yaitu dengan melemparkan masing-masing dengan 3 gengam tanah ke liang
kubur. Orang yang pertama kali melempar tanah mengucapkan “siro kabeh pada ingsun dedeake saka ing lemah” (kamu semua kami
jadikan dari tanah). Pelempar kedua mengucapkan “lan siro kabeh ingsun balake dadi lemah (dan kamu semua kembali
menjadi tanah)”. Pelempar ketiga mengatakan “siro
kabeh bakal insun wetoke soko ing lemah (kamu semua akan dikeluarkan dari
tanah).
Selamatan Sesudah
Pemakaman
Dalam upacara
kematian yang masih dilaksankan di kalangan bangsawan khususnya upacara-upacara
sesudah pemakaman biasanya disebut selametan atau wilujengan yang maksudnya
untuk keselamatan baik untuk roh si mati supaya diterima di akhirat nanti,
maupun untuk keluarga yang ditinggalkannya.
Ada beberapa
perbedaan antara selametan antara kaum bangsawan dengan rakyat biasa yang
sesungguhnya tidak prinsip. Seperti dalam masyarakat biasa, wadah atau tempat
makanan yang digunakan adalah berasal dari daun pisang atau takir pisang,
sementara pada kaum bangsawan menggunakan kertas atau kain putih, sehingga
tampak lagi bahwa lebih mewah dalam menghidangkan makanan dan sesajian. Ada dua
macam disini yaitu sesajen wilujengan untuk dihidangkan hadirin dan sajen untuk
si roh mati.
Rangkain
upacara-upacara ini umumnya meliputi :
- Sur tanah (pada hari yang sama dengan pemakaman)
- Nelung dino (tiga hari dari meninggalnya)
- Pitung dino (tujuh hari dari meninggalnya)
- Matang puluh dino (empat puluh hari dari meninggalnya)
- Nyatusdino (seratus hari dari meninggalnya)
- Mendak pisan ( 1 tahun dari meninggalnya)
- Mendak pindho (2 tahun dari meninggalnya)
- Nyewu dino ( seribu hari dari meninggalnya)
Ketetapan waktu
penyelenggaraan upacara selametan selalu diperhitungkan dengan amat teliti,
terutama didasarkan pada hari, pasaran, bulan, dan tahun menurut perhitungan Jawa.
Dari sur tanah sampai mitung dino masih mudah menghitungnya tetapi mulai matang
puluh dino atau empat puluh harinya hingga selanjutnya memerlukan perhitungan
khusus, menurut kepercayaan mereka apabila tidak tepat, maka tujuan yang ingin
dapat dicapai dengan penyelenggaraan upacara selametan tersebut tidak tidak
memnuhi harapan.
Adapun perincian upacara selametan tersebut adalah sebagai
berikut :
Sur Tanah
Maksudnya menggusur tanah yaitu tanah yang dipakai untuk memakamkan jenazah. Maknanya
dengan selametan ini agar arwah atau roh si mati mendapat jalan yang terang dan
tempat yang lapang.
Materi yang disajikan
:
Tumpeng yaitu nasi
dibentuk kerucut asahan diatas rempah lengkap dengan lauk pauk jangan adem atau
sayur adem. Pecel dengan
sayatan daging ayam goreng atau panggang, sambel dongseng dengan kedelai yang
terkelupas. Jangan menir
kerupuk dan rempeyek. Satu hal yang
penting dalam hal ini adalah tumpeng yang harus dibelah dua dan ditaruh dalam
posisi bertolak belakang terkenal dengan saburan tumpeng pengkur atau
ungkur-ungkuran.
Hal ini sebagai lambang antara si mati dengan keluarga yang
ditinggalkan. Juga agar kedua belah pihak mendapat keselamatan. Pelaksanaan sur
tanah ini adalah setelah pemakaman. Boleh siang atau malam hari. Pimpinan
upacara dalam hal ini adalah mudin selaku pimpinan dan pemabawa doa, selain
menerima bagian berkat juga menerima uang wajib sekadarnya. Sedang sesajian
untuk si roh mati berupa nasi sepiring utuh atau sayo sak kenong, dua bulatan
nasi golong, kembang setaman, dupa atau kemenyan, bubur merah putih dan lampu
seatir ditemaptkan di dalam rumah tertentu.
Nelung Dino
Pelaksanaan di
siang hari yang dihadiri tetangga dan ahli waris.
Materi yang
dihidangkan yaitu : takir pontang yang berisi nasi kuning atau sego punar dan
nasi putihdengan lauk pauk daging srundeng gambingan, kecambah, kacang
pangjang, yang telah di potong-potong, irisan brambah dan irisan apem. semuanya
di taruh di sudi (dari daun pisang) selain itu juga nasi asahan dengan lauk
pauk daging goreng, jangan menir, dan sambal santan.
Pitung Dino
Pitung dino
menujukkan dilaksanakan berselang tujuh hari setelah pemakaman cuma waktu siang
hari dan dihadiri oleh kerabat dan tetangga.
materi yang
dihidangakan berupa apem, ketan dan kolak dalam takir serta nasi asahan dengan
lauk pauk daging goreng, pindang, jerohan dan krupuk. Sedang maksud dan tujuan
masih sama dengan telung dino. Begitu pula sesaji untuk roh si mati.
Matang Puluh Dino
Matang puluh dino
dilaksanakan 40 hari sesudah pemakaman, boleh siang, sore namun biasannya pada
malam hari dan diundang para santri, materi yang disajikan sama dengan pitung
dino.
Nyatus Dino
Rangkain upacara
selametan hampir sama dengan rangkain upacara selametan matang puluh dino.
Mendak Pisan
Yaitu setiap satu
tahun upacara. Materi hidangan maupun ujub sama dengan matang puluh dino.
Mendak Pindho
Setiap 2 tahun
semua rangkain upacara selametan juga sama dengan matang puluh dino.
Nyewu Dino
Pada umumnya
upacara ini merupakan upacara terakhir yang wajib dilaksanakan dalam rangkain
upacara selametan yang keseribu setelah kematian. Penyelenggaran lebih besar
dari upacara selametan sebelumnya. Sedang mengenai materi hidangan tetap sama
seperti rangkain upacara selametan sebelumnya dengan tambah daging kambing yang
disembelih sendiri.
Sebelum disembelih
kambing dimandikan dengan air kembang setaman dan rambutnya dikeramas dengan
air lada, dan tubuhnya diselimuti dengan kain putih di kalungi dengan untaian
bunga dan diberi makam daun sirih makanannya. Makna yang sudah ditangkap mereka
adalah sebagi pikiran kendaraan orang yang meninggal. Perlengkapan yang harus
disediakan pada upacara selametan ini yaitu : tikar pandan, kaca kecil, kapas,
kemenyan, dua sisir pisang raja, gula kelapa, sebutir kelapa satu takir beras,
buanga dan boreh. Perlengkapan ini semua ditaruh dalam wadah dan disajikan di
tempat kenduri yang nantinya menjadi bagian para santri kecuali para santri itu
menerima berkat. Nuwun.
Sebenarnya ada missing link bagaimana jenazah perempuan dikafani pada masa Islam di tanah Jawa. Dugaan saya justru malah jenazah wanita ini dipakaikan rukuh yang biasanya ia gunakan sehari hari untuk shalat; karena tetap mengakar cerita rukuh yang dibawa oleh wali, namun rukuh ini tidak ada peninggalannya sama sekali (bahkan di kraton pun tidak ada ampilan "Nyai Rukuh", dan diduga ikut dimakamkan sebagai kain kafan jenazah wanita, cmiiw
BalasHapus