Akarasa –
Selamat datang kerabat akarasa. Dalam Serat Centini diceritakan, mata-mata
Susuhunan Amangkurat akhirnya mengetahui tempat persembunyian keturunan Sunan
Giri, musuh bebuyutan dinasti Mataram. Dikejarlah Syekh Among Rogo ini dan para
kerabat serta pengikutnya, hingga terpaksalah mereka menyebar ke seluruh
pelosok Pulau Jawa. Ternyata, mata-mata atau intelijen sudah ada di zaman
Mataram. Bahkan menurut beberapa kajian, tradisi intelijen sudah mendarah
daging di kerajaan-kerajaan sebelum Mataram. Pada kesempatan ini saya akan
narasikan sejumput kisah mata-mata terbesar Mataram untuk kerabat akarasa
sekalian.
Tidak
banyak yang tahu kisah ini. Orang mungkin sudah sering mendengar nama Matah Ari,
tokoh legiun wanita legendaris, yang berasal dari gadis kampung. Tapi tidak banyak yang mendengar nama Raden Ayu Utari Sandi Jayaningsih? Kisah tentangnya
lebih mirip mitos tentang intrik politik, sensualitas, sekaligus tragedi yang
melibatkan sejumlah nama besar dan pelaku sejarah. Sebagaimana mitos, kisahnya
tidak pernah benar-benar tercatat. Mengambang dan sulit dibuktikan.
Entah mana
yang lebih menarik dari Utari Sandi, operasi intelijen yang ia lakukan atau
latar belakang keluarganya. Yang jelas, keduanya sama-sama menarik. Sri Utari
Sandi Jayaningsih adalah cicit dari Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan
Mataram Islam yang saat ini dikenal sebagai Kesultanan Yogyakarta. Kisah cinta
kakek dan neneknya sangat terkenal di kalangan orang Jawa serta penikmat sastra
dan kebudayaan. Ia adalah cucu dari Rara Pembayun dan Ki Ageng Mangir yang
terlibat sebuah kisah cinta politis, semacam Romeo dan Juliet ala Jawa.
Selengkapanya
kisahnya baca di sini : Sejarah Ki Ageng Mangir : Antara Cinta dan Kehormatan
Ki Ageng
Mangir, dalam sejarah, dicatat sebagai seorang penguasa yang membangkang, tidak
mau tunduk di bawah Kesultanan Mataram dengan rajanya Panembahan Senopati. Ia
juga sangat kuat, sehingga setiap usaha Mataram untuk menundukkannya selalu
saja gagal. Panembahan Senopati dengan bantuan penasehatnya kemudian membuat
sebuah siasat, ia mengutus putri sulungnya Rara Pembayun untuk menjalankan
sebuah operasi intelijen. Rara Pembayun disuruh menyamar menjadi ‘ledhek’ atau
penari jalanan agar dapat mendekati dan memikat Ki Ageng Mangir dengan
kecantikannya, lalu menaklukkannya.
Singkat
kata, Mangir berhasil dibuat jatuh cinta. Namun di lain pihak, Rara Pembayun
ternyata juga benar-benar jatuh cinta. Tugas intelijen yang ia emban, tidak
dapat menghalanginya untuk jatuh cinta pada musuh yang seharusnya ia berangus.
Meskipun marah, namun Mangir tidak bisa berbuat apa-apa mendengar pengakuan
Rara Pembayun kalau ia adalah putri sulung dari Panembahan Senopati. Dalam
kondisi Rara Pembayun hamil besar, mereka kemudian datang menghadap Panembahan
Senopati.
Menghadap
mertua, berarti Mangir harus melepas segala senjata pusakanya (Ki Baruklinting
dan Ki Barukuping). Dalam kondisi tanpa pertahanan itulah, ia kemudian dibunuh
di depan mata Rara Pembayun. Sampai saat ini, kita masih dapat melihat sebuah
batu datar bernama Watu Gilang yang cekung di salah satu sisinya di kompleks
Pemakaman Kerajaan Mataram di Kotagede, Yogyakarta. Konon, cekungan tersebut
adalah bekas kepala Mangir yang dibunuh dengan cara dibenturkan ke batu saat ia
akan ‘sungkem’ pada mertuanya. Di luar versi Mataram tersebut, ada juga
beberapa versi lain mengenai bagaimana Mangir terbunuh.
Pro kontranya
baca di sini : Pro Kontra Sejarah Ki Ageng Mangir
Lepas dari
kejadian tersebut, Rara Pembayun dibuang dari istana. Demi keselamatan anaknya,
konon ia dilarikan ke daerah Banyumas, di barat Yogyakarta. Dari situ kisah
tentang keberadaan Rara Pembayun mulai simpang siur. Namun sebagian orang
percaya, bahwa anak Rara Pembayun tersebut adalah seorang laki-laki bernama Bagus
Wanabaya. Di kemudian hari, Bagus Wanabaya yang seharusnya dibunuh ketika lahir
(karena dianggap anak dari seorang pemberontak), bergabung dengan pasukan
tentara Mataram yang berperang melawan VOC, dalam perang Jepara-Batavia pada
1618. Pasca perang, anak dan ibu ini hijrah ke daerah Depok, Jawa Barat. Nah,
dari sini babak baru sedang dimulai kisah intelijen wanita yang sedang kita
bahas ini. Raden Ayu Utari Sandi Jayaningsih.
Di sana,
mereka bergabung lagi dengan komunitas pasukan Mataram yang mengemban tugas
dari Sultan Agung, Raja Mataram saat itu, untuk menghancurkan VOC di Batavia.
Perjuangan inilah yang diteruskan oleh putri dari Bagus Wanabaya yang bernama
Utari Sandi Jayaningsih. Cukup panjang memang latar belakang keluarga putri
cantik ini. Akan tetapi, sejarah tersebut menambah daya pikat kisah heroiknya
sebagai salah satu orang yang terlibat dalam pembunuhan JP Coen, sang Gubernur
Jenderal VOC yang tersohor.
Gubernur
Jenderal VOC di Batavia, Jan Pieterzoon Coen (JP Coen), yang meninggal tahun
1629 Masehi adalah penakluk kerajaan Jayakarta. Ia menghancurkan Jayakarta dan
mendirikan kota Batavia.
Dalam
catatan arsip Belanda, JP Coen meninggal akibat serangan penyakit kolera pada
20 September 1629, tepat saat tentara Mataram di bawah pimpinan jenderal Panembahan
Juminah dan Adipati Suro Agul Agul menyerbu jantung kota Batavia. Misteri
kematian JP Coen tetap menjadi tanda tanya sejarah. Pihak kerajaan Mataram
menyebut bahwa JP Coen meninggal akibat tebasan pedang pasukan khusus sandi
Mataram yang berada di garis belakang pertahanan Batavia.
Ada juga
versi lain kematian JP Coen, berawal dari skandal cinta Sara Spex yang
memalukan, membuat JP Coen marah besar.
Ia tanpa belas kasih menghukum pancung Sara Spex, putri koleganya di
Amsterdam yaitu Jaques Spex. Kejadian tersebut menumbuhkan dendam bagi Jaques
Spex yang kesal karena tidak bisa membela dan melindungi putrinya. Sebagai
pelampiasan dendam terhadap JP Coen, Jaques Spex segera menggunakan “orang
dalam” kantor wali kota Batavia, Staadhuis, untuk membunuh JP Coen.
Terlepas
dari versi itu, konon 4 hari sebelumnya
(16 September 1629) Eva Ment, istri JP Coen meninggal akibat keracunan.
Padahal, Eva Ment dalam keadaan hamil tua. Arsip Belanda menuliskan bahwa Eva
Ment meninggal bersama bayinya akibat melahirkan. Akibat meninggalnya sang
istri inilah JP Coen yang terkenal sangat disiplin dan tangguh menjadi lengah.
Bukankah JP
Coen tewas oleh kolera? Ya benar, itu menurut versi dari catatan VOC, tapi
kematian itu misterius dan tidak ada yang benar-benar bisa membuktikannya.
Kabarnya, makam JP Coen yang ada di Museum Wayang Indonesia adalah makam
kosong. Menurut versi Kerajaan Mataram, JP Coen tewas dalam penyerangan mereka,
dan kepalanya ditanam di bawah anak tangga menuju Pemakaman Imogiri Yogyakarta,
di mana Sultan Agung dimakamkan. Namun menyangkut ditanamnya kepala JP Coen di
undakan Pajimatan Imogiri masih simpang
siur, karena ada satu versi yang menyebutkan kepala yang ditanam di undakan
menuju makam Sultan Agung tersebut adalah kepala Tumenggung Endronoto, seorang
pengkhianat Mataram saat penyerangan ke Batavia. Meski demikian, banyak orang
percaya bahwa Utari Sandi adalah orang yang bertanggung jawab atas kematian JP
Coen.
Menyangkut kepala
yang di tanam di undakan Pajimatan Imogiri selengkapnya baca di sini : Menyusuri Jejak Pengkhianat Terbesar Mataram
Kisah
heroik Utari Sandi dimulai dari sebuah operasi intelijen rahasia yang
dijalankannya bersama pasukan Mataram. Sejarah seakan terulang kembali,
sebagaimana dulu neneknya, Rara Pembayun, menyamar sebagai ‘ledhek’, Utari
Sandi juga menyamar, tapi sebagai penyanyi. Ia menjadi seorang penyanyi di
kastil milik JP Coen, yang bertugas untuk menghibur para perwira VOC pada malam
hari. Sebagai penyanyi ia berhasil merebut hati JP Coen dan menjadi penyanyi
kesayangannya. Lebih daripada itu, ia pun berhasil menjalin persahabatan dengan
Eva Ment, istri JP Coen.
Di dalam
kastil tersebut ia tidak sendirian, ia diam-diam dibantu seorang pemuda yang
sehari-harinya bekerja sebagai juru tulis VOC. Pemuda itu bernama Mahmudin
alias Wong Agung Aceh, yang diselundupkan ke VOC melalui kapal dagang Aceh yang
disewa untuk mengangkut meriam dari Madagaskar. Karena makam mereka letaknya
berdampingan, banyak orang yang percaya jika Utari Sandi dan Mahmudin adalah
suami-istri.
Empat hari
sebelum kematian JP Coen, Eva Ment, istrinya, telah meninggal lebih dulu dalam
kondisi hamil tua. Berbeda dengan VOC yang memberitakan bahwa Eva meninggal
bersama bayinya saat melahirkan, dalam versi ini Eva dibunuh oleh Sandi Utari
dengan menggunakan racun arsenik. Kedekatan di antara keduanya memudahkan Sandi
untuk menjalankan misinya tersebut. Kematian Eva dan anaknya, membuat JP Coen
sedih dan tertekan, kondisi ini kemudian dimanfaatkan untuk membunuh orang
nomer satu VOC tersebut.
Pada hari
kematiannya, JP Coen dibuat mabuk oleh Utari Sandi dalam sebuah pesta minuman
keras di kastilnya. Kondisi psikologis yang sedang labil akibat kematian anak
dan istrinya, membuat sang jenderal lepas kendali dan gampang diperdaya. Di
tengah mabuknya, Utari Sandi berhasil membuat JP Coen yang lengah, tergoda
untuk memperkosanya. Saat Utari Sandi akan diperkosa di dalam kamar JP Coen
itulah, Mahmudin tiba-tiba masuk, membunuh dan memenggal kepalanya. Gubernur
Jenderal VOC yang tersohor itupun takluk.
Setelah
itu, kepala JP Coen segera dibawa keluar kastil, kepala ini kemudian dibawa ke
Mataram oleh divisi Tumenggung Surotani untuk diserahkan kepada Sultan Agung.
Sementara itu, kastil JP Coen telah berubah menjadi arena perang. Pasukan Mataram
yang menyusup telah melakukan sabotase, sementara di luar, pasukan lainnya
telah mengepung kastil. Pada saat itu, dalam penyerangan sabotasenya, pasukan Mataram
yang menyusup menggunakan bahan peledak untuk menimbulkan shock dan kepanikan
di dalam benteng. Peledak itulah yang membunuh Utari Sandi. Pasca peristiwa
tersebut, sejumlah jasad perempuan yang sudah hangus bergelimpangan di sekitar
kastil. Salah satunya jasad Utari Sandi, orang yang memegang posisi kunci dalam
penyerangan tersebut.
Kematian
Utari Sandi memang tragis, sama tragisnya dengan kisah cinta antara Rara
Pembayun dengan Ki Ageng Mangir, kakek dan neneknya. Entah mengapa, kematian JP
Coen versi cerita ini hampir tidak pernah terangkat ke publik. Bisa jadi VOC
menutupinya dengan alasan politis dan pencitraan agar kebesaran nama JP Coen
dan VOC saat itu tidak tercoreng. Sedang dari pihak Kerajaan Mataram, bisa jadi
kepahlawanan Utari Sandi tidak diungkap karena ia adalah keturunan Ki Ageng
Mangir.
Pada
kenyataannya, Utari terbunuh oleh senjata pasukan Mataram sendiri. Ia seakan
membayar takdirnya sebagai keturunan Mangir, si pembangkang, yang seharusnya
sudah musnah. Bagaimanapun juga, terlepas dari benar atau tidaknya, kisah ini
mengandung muatan sosio-kultural yang menarik untuk disimak, tentang perempuan,
sensualitas, cinta, dan kekuasaan. Nuwun.
Referensi :
Wikipedia
Babad Tanah
Jawa
Berbagai sumber
dan melalui editing penyelarasn bahasa
0 on: "Raden Ayu Utari Sandi : Martir Dari Wangsa Dinasti Mataram"