Akarasa – Selamat datang kerabat
akarasa. Bangunan keraton dibuat seperti sebuah lingkaran yang sama dan
sebangun.
Dengan meletakkan Dalem Ageng
Prabasuyasa, rumah kediaman raja sebagai titik pusatnya. Lalu bangunan benteng
Baluwarti sebagai lingkaran pertama. Dan Kori Brojonolo menjadi lingkaran kedua
sekaligus gerbang terluarnya.
Jadi kalau kita mau masuk keraton dari
arah utara, akan melewati urutan yang sama dengan ketika masuk dari arah
selatan. Dari pintu masuk utara akan melalui gapura Gladhag, alun-alun utara,
Sitinggil utara, Kori Brojonolo utara, Kori Kamandungan, Sri Manganti, dan
barulah bisa masuk ke keraton.
Maka demikian pula kalau kita masuk
dari arah selatan, yang merupakan kebalikannya. Akan melewati gapura Gadhing,
kemudian alun-alun selatan, Sitinggil selatan, Kori Brojonolo selatan, Kori
Saleko, Magangan, dan sampailah di keraton.
Terjadi yang demikian, karena
sebenarnya sisi bangunan selatan adalah penyeimbang dari bangunan utara. Karena
itulah maka bentuk bangunannya pun sama. Misalnya bangunan gapura Gladhag yang
sama dan sebangun dengan gapura Gadhing.
Tentang sisi selatan dan utara yang
sama sebangun itu, sebenarnya merupakan simbolisasi dari sebuah keseimbangan
alam raya. Sebuah perlambang keberadaan seorang raja yang merupakan sumbunya
semesta. Sebab gelar raja Solo adalah Paku Buwono, yang berarti ‘Sumbunya
Semesta’. Sebuah penafsiran ala Jawa, terhadap hadirnya kekuasaan manusia
sebagai khalifah fil ardh atau pemimpin di muka bumi.
Hal ini pun sama, ketika kemudian
keraton Solo pecah jadi dua. Pecahan dari keraton Kasunanan Surakarta
Hadiningrat menjadi keraton Kesultanan Jogjakarta Hadiningrat, dengan gelar
rajanya menggunakan Hamengku Buwono. Kalimat yang sama maknanya dengan Paku
Buwono, sebab Hamengku Buwono berarti ‘Memangku Semesta’.
Dan itu pun terjadi lagi, ketika
Keraton Solo harus pecah lagi menjadi dua wilayah kekuasaan dengan keraton
Mangkunegara. Sang raja yang bergelar Mangku Negara pun sama maknanya, karena
dalam bahasa Jawa berarti ‘Memangku Negara’. Sedangkan pecahan dari keraton
Kesultanan Jogjakarta Hadiningrat yang menjadi Pakualaman, gelar rajanya pun
Paku Alam. Sebuah kata yang berarti ‘Sumbu Alam’.
Maka tak heran, kalau bangunan keraton
Jogja pun sama dengan susunan keraton Solo sebagai induk utamanya. Namun tidak
demikian dengan Mangkunegaran dan Pakualaman, yang kedudukannya sebenarnya
berada di bawah kedua kerajaan tersebut. Karena keduanya hanya berstatus
kadipaten. Maka bangunannya tidak berpola lingkaran dengan sebelah utara dan
selatan saling mengimbangi.
Namun meskipun bangunan di sebelah
selatan dalah penyeimbang, dan bangunannya pun sama, sepertinya tidak begitu
dengan pemeliharaannya. Paling tidak itu yang
saya lihat dari keberadaan bagian selatan bangunan keraton Solo. Salah
satunya yang saya lihat dengan penuh keprihatinan adalah ketika memasuki
alun-alun kidul.
Begitu memasuki pelatarannya, di sana
telah berdiri gagah pintu gerbang bernama Kori Brojonolo Kidul. Gerbang pintu
selatan ini sama fungsinya dengan Kori Brojonolo Lor yang berada di sebelah
utara, tepat di depan Kamandungan. Sebuah gerbang yang menjadi jalan keluar
masuk keraton, dan menjadi jalan melingkari Baluwarti.
Sebagai pertahanan belakang keraton,
di Kori Brojonolo Kidul juga terdapat bangsal untuk berjaga para prajurit. Dua
buah bangsal jaga yang juga bernama Bangsal Brojonolo Kidul yang dulu dijaga
rapat oleh prajurit tamtama. Yang di kanan kirinya menjadi tempat kediaman
mereka. Yang sekarang telah menjadi sebuah perkampungan dengan nama Tamtaman.
Namun sekarang tak ada lagi saya lihat
satu pun prajurit yang bersiaga di sana. Karena yang saya dapatkan kini
hanyalah jajaran penjual makanan kaki lima. Menjadi tempat yang asyik untuk
menikmati bermacam jualan mereka. Tersedia komplit dari mulai bakso, mie ayam,
sate ayam, ayam goreng, es buah, es kelapa muda, siomay, hingga ayam bakar.
Dan karena sejak berangkat tadi saya
belum istirahat, maka saya pun tertarik melepas lelah sejenak di sana.
Mengikuti arus pembeli yang paling banyak masuk ke sebuah warung, maka aku pun
memesan seporsi ayam goreng. Dan kukira itulah cara yang paling sederhana untuk
mengetahui makanan mana yang paling enak di antara semua jajaran penjual yang
ada. Yaitu dengan penuh dan tidaknya para pembeli yang ada.
Saya pun turut beristiratahat, dan
memesan seporsi ayam goreng dengan kepulan nasi panas yang mengundang selera.
Sambil membayangkan pada jaman dulu, hal semacam ini mungkin tak akan
diperbolehkan oleh para prajurit jaga.
Ayam goreng kremes tak lama saya habiskan.
Karena sejak dulu saya selalu mengidap penyakit sulit menikmati makanan. Selalu
ingin cepat menghabiskan, agar terbebas dari rasa lapar, hingga kemudian bisa
melanjutkan pekerjaan selanjutnya.
Maka demikian pula pada siang kemarin,
saat saya menghabiskan ayam goreng yang sangat garing dan gurih itu. Tak butuh
lama untuk menandaskannya. Karena jam di hapeku telah menunjukkan pukul
setengah lima. Dan senja sebentar lagi datang.
Setelah membayar makanan dan minuman
yang saya makan, saya melanjutkan perjalanan. Yang sebenarnya tinggal selangkah
lagi, sebab saya sudah berada tepat di ambang alun-alun selatan. Karena dalam
petaku, setelah melewati Kori Brojonolo Kidul, akan bertemu dengan Sitinggil
Kidul yang langsung berhadap-hadapan dengan alun-alun selatan.
Dan tak saya sangka sebelumnya, bahwa
tempat yang saat itu saya lewati adalah Sitinggil Kidul. Dalam pengetahuanku,
Sitinggil adalah tempat raja bertakhta. Karena sebutan Sitinggil bermula dari
candrasengkala Siti Inggil Palenggahaning Ratu, yang berarti ‘tanah yang ditinggikan
sebagai tempat bertaktanya Raja’.
Maka saya benar-benar tak menduga,
bangunan yang berada tepat di depanku waktu itu adalah Sitinggil. Karena begitu
saya datang, sebuah lenguhan kerbau langsung menyambutnya.
Yang ketika saya perhatikan dengan seksama,
ada lima ekor kerbau yang mendiami tempat yang kumuh dan kotor itu. Yang
sepertinya memang telah dijadikan menjadi kandang baginya. Lengkap dengan
keberadaan kolam lumpur sebagai tempat mandinya.
Tentu karena telah menjadi kandang
kerbau, Sitinggil pun menjadi tempat makan, tidur, dan buang kotoran baginya.
Dan bau kotoran kerbau yang memenuhi hampir seluruh bangunan sangat memualkan.
Sangat menyengat penciuman. Apalagi untuk saya, yang perutnya baru terisi ayam
goreng. Serasa mual mencium kotoran kerbau yang menjijikkan dan menebarkan bau
busuk menyengat.
Karena tak tahan dengan baunya, saya
pun segera meninggalkan bekas singgasana raja itu. Takut kalau lama-lama di
sana, justru mual yang saya tahan bisa berlanjut menjadi muntah betulan. Namun
sekadar untuk kenang-kenangan, sempat kupotret dua ekor kerbau yang tengah
mandi di kubangan. Dan seekor lagi yang ada di bangunan singgasana.
Sungguh luar biasa, seekor kerbau
duduk di atas takta, batinku penuh keheranan.
Sambil berjalan melingkar benakku
mendadak berputar. Dan tak bisa saya pahami, ketika sebuah peninggalan sejarah,
sebuah area yang bagi keraton sendiri merupakan tempat yang sakral, justru
dijadikan sebagai kandang kerbau. Entah ini sebuah kehormatan, atau suatu
penghinaan atas kekuasaan.
Dan setelah itu, sungguh saya tak
berani mengambil kesimpulan apa pun juga. Tentang keberadaan kerbau-kerbau di
Sitinggil itu, yang sesungguhnya mungkin bisa menjadi cerminan kondisi keraton
sekarang ini. Ketika raja dan kerabat tidak akur karena saling rebut kuasa.
Hingga seekor kerbau pun boleh buang
kotoran di singgasananya.Nuwun.
0 on: "Saking Keramatnya, Kerbau Ini Diperkenankan Buang Kotoran Disinggasana"