Akarasa –
Selamat datang kerabat akarasa. Sekitar dua abad silam. Setelah Perjanjian
Giyanti, Pangeran Mangkubumi mendapatkan sebagian wilayah Kerajaan Mataram.
Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I itu pun mulai
membangun Kasultanan Ngayogyakarta dengan wilayah sebagian besar adalah bekas
hutan Mentaok yang dulunya dibuka oleh Panembahan Senapati, pendiri Mataram
Islam. Berbagai tempat didirikan. Bangunan utama Kraton didirikan di atas tanah
yang disebut Pacetokan. Masjid Agung dibangun di samping alun-alun, Pasar
Beringharjo, Kepatihan dan sebagainya.
Keraton
Yogyakarta dikelilingi oleh Cepuri (benteng dalam yang langsung melingkupi
keraton), dan Baluwarti (benteng luar yang melingkupi keraton dan beberapa
pemukiman di sekitarnya serta beberapa bangunan komponen kota). Benteng-benteng
tersebut mempunyai makna simbolik, yaitu berkaitan dengan kesakralan wilayah
yang dihuni oleh penguasa beserta kerabatnya. Selain itu, benteng juga memiliki
makna praktis, yaitu berkaitan dengan usaha pertahanan dari serangan musuh.
Berkaitan dengan makna yang terakhir itu, maka Benteng Baluwarti Keraton
Yogyakarta dilengkapi pula dengan jagang, yaitu parit pertahanan. Tembok Benteng
Baluwarti tersebut secara keseluruhan tebalnya sekitar 4 m dan di setiap
sudutnya terdapat bastion yang dalam bahasa Jawa disebut tulaktala.
Benteng
Baluwerti dibangun atas prakarsa Pangeran Adipati Anom, putra mahkota Sultan
Hamengku Buwono I, sebagai reaksi atas berdirinya benteng Kompeni di sebelah
utara Keraton. Benteng Kompeni yang dibangun antara tahun 1765 hingga 1787 itu,
kini dikenal dengan nama Benteng Vredeburg. Pembangunan Benteng Baluwerti
sendiri ditandai dengan ornamen simbolik berupa suryasengkala yang berbunyi Paningaling Kawicakranan Salingga Bathara
yang bermakna tahun 1785 M. Untuk mempersiapkan diri menghadapi serangan Daendels,
Pada bulan November 1809, Pangeran Adipati Anom yang telah naik tahta menjadi
Sri Sultan Hamengku Buwono II, semakin menyempurnakan bangunan ini.
Sri Sultan
Hamengku Buwono II mempuyai 80 anak. Hamengkubuwono II (7 Maret 1750 – 2
Januari 1828) atau terkenal pula dengan nama lainnya Sultan Sepuh. Dikenal
sebagai penentang kekuasaan Belanda, antara lain menentang gubernur jendral
Daendels dan Raffles. Sultan menentang aturan protokoler baru ciptaan Daendels
mengenai alat kebesaran Residen Belanda. Pada saat menghadap sultan misalnya
hanya menggunakan payung dan tak perlu membuka topi.
Perselisihan antara
Hamengkubuwana II dengan Susuhunan Surakarta tentang batas daerah kekuasaan
juga mengakibatkan Daendels memaksa Hamengkubuwono II turun tahta pada tahun
1810 dan untuk selanjutnya bertahta secara terputus-putus hingga tahun 1828
yaitu akhir 1811 ketika Inggris menginjakkan kaki di jawa (Indonesia) sampai
pertengahan 1812 ketika tentara Inggris menyerbu keraton Yogyakarta dan 1826
untuk meredam perlawanan Diponegoro sampai 1828. Hamengkubuwono III,
Hamengkubuwono IV dan Hamengkubuwono V sempat bertahta saat masa hidupnya Sri Sultan
Hamengku Buwono II.
Dan benar
adanya, pada suatu pagi yang mencekam, Juni 1812, sekitar 1200 bala tentara
Inggris dan Sepoy (orang-orang India) merangsek masuk ke Kraton Yogyakarta.
Gubernur Raffles memerintahkan pasukannya yang dikomandani Kolonel Gillespie
menyerang Kraton. Saat itu Kraton Yogyakarta pada masa pemerintahan Sultan HB
II.
Geger Sepoy begitulah banyak orang menyebutkan tragedi ini. Peristiwa yang
jauh lebih parah dibanding kejadian-kejadian penting sejarah Kraton seperti
jatuhnya Kraton di Pleret (1677), Kartasura (1742), pemberontakan Trunojoyo
(1675-1680) dan perang Cina (1740-1743). Tak ayal, bombardemen artileri pasukan
Inggris selama 4 hari 3 malam di bawah komando Kolonel Robert R. Gillespie
telah menghancur-leburkan Benteng Baluwerti terutama di sisi utara hingga timur
serta meremuk dan membakar bagian luas dari kraton dan kota yang indah ini. Seperti
apa ceritanya, penasaran? Baik saya akan rangkumkan buat kerabat akarasa
sekalian.
Cerita
bermula setelah Belanda takluk dan meninggalkan wilayah Hindia Belanda di bawah
kekuasaan Inggris (1811), Sultan Hamengkubuwana II kembali menduduki tahta
Kesultanan Yogyakarta. Sementara itu, Hamengkubuwana III kembali menjadi putera
mahkota serta membuat perdamaian dengan ayahnya pada tanggal 5 November 1811.
Namun, kedatangan Inggris ditentang oleh keraton-keraton di Jawa (Yogyakarta
dan Kasunanan Surakarta) yang mengadakan perjanjian rahasia untuk melawan
Inggris.
Ketegangan
yang memuncak membuat John Crawfurd (residen Inggris di Yogyakarta) mengontak
putera mahkota melalui perantaraan Pangeran Diponegoro. Pihak Inggris bermaksud
untuk mengangkat putera mahkota kembali menjadi sultan karena memiliki sikap
lebih ramah dan penurut dibandingkan ayahnya yang kaku. Di lain pihak, Sultan
Hamengkubuwana II bermaksud membujuk Inggris untuk mengganti kedudukan putera
mahkota kepada Mangkudinigrat. Putera mahkota sendiri dikisahkan dalam Babad Bedhahing Ngayogyakarta karya
Pangeran Panular dan tinjauan Residen Valck tidak berniat merebut kekuasaan
meskipun keselamatan dirinya terancam oleh ayahnya. Itulah sebabnya dirinya
masih berada di keraton pada saat Inggris menyerang.
Petistiwa
Geger Sepoy sejatinya adalah awal runtuhnya Tanah Jawa. Pengingkaran Sultan HB
II atas wasiat ayahandanya, Sultan HB I, menjadikan Kasultanan Yogyakarta
mengalami malapetaka. Keraton Yogyakarta diserang dan dijarah habis oleh
pasukan Inggris-Sepoy pada 20 Juni 1812, sebagai tanda hadirnya tatanan baru
imperialisme Eropa yang lebih perkasa. Bahkan dikemudian hri upaya melawan
“kutukan” itu sempat dilawan oleh Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825 –
1830) dan Sultan HB IX di masa Republik Indonesia.
Bahkan
dalam sebuah riwayat menyebutkan, ramalan tentang “awal runtuhnya Tanah Jawa”
diterima oleh Pangeran Diponegoro di Parangkusumo pada sekitar tahun 1805 dalam
suatu perjalanan ziarah. Kekuasaan kraton-kraton Jawa tengah terlucuti sejak
perjanjian yang dipaksakan oleh Daendels pada tahun 1811. Kedatangan dan
penguasaan Inggris merupakan bentuk tukar guling tirani kolonial satu ke tirani
kolonial yang lain. Perang Jawa yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro pada
1825 – 1830 merupakan upaya besar terakhir kekuasaan bangsawan Jawa untuk
melawan imperialisme dan kolonialisme.
Semangat
perlawanan Diponegoro, sebagai Ratu Adil dalam balutan Islam-Jawa dan
“Nasionalisme” Jawa, bahkan lebih besar daripada yang dilakukan oleh Pangeran
Mangkubumi, Raden Mas Said, dan Raden Ronggo I hampir seabad sebelumnya.
Perlawanan ini antara lain dilandasi pula oleh kekecewaan Diponegoro terhadap
perubahan kebijakan politik Kasultanan yang tunduk kepada pemerintah kolonial.
Perlawanannya juga diilhami oleh kekaguman Diponegoro terhadap prinsip Raden
Ronggo III sebagai “pahlawan terakhir” Kasultanan Yogyakarta yang tak takut
mati daripada tunduk pada kekuasaan penguasa Eropa. Namun, perlawanan
Diponegoro mengalami kekalahan. Hal ini sesuai dengan ramalan Raja Mataram
Sultan Agung (1613 – 1646) bahwa bangsa kolonial akan menguasai Jawa selama 300
tahun setelah kematiannya dan meskipun seorang keturunan penguasa Mataram akan
bangkit melawan, ia tetap akan kalah.
Adipati
Maospati Madiun ke III Raden Ronggo Prawirodirjo III yang baru berusia 31 tahun
tewas di tangan pasukan gabungan Yogyakarta – Belanda pada sebuah pertempuran
di tepi Bengawan Solo di daerah Kertosono pada 17 Desember 1810. Cucu Raden
Ronggo Prawirodirjo I, sekutu utama Sri Sultan Hamengku Buwono I dalam melawan
VOC, ini memilih memberontak daripada menyerah pada Gubernur Jenderal Hindia
Belanda Herman Willem Daendels. Belanda sebenarnya mencurigai adanya dukungan
Sultan HB II terhadap aksi pemberontakan Raden Ronggo III. Namun, terdesak oleh
situasi politik, Sultan HB II pun terpaksa “memerintahkan” penangkapan Raden
Ronggo III. Keputusan ini berarti mengingkari janji Sultan HB I, yang tidak
akan pernah menyakiti atau menumpahkan darah keturunan Raden Ronggo I.
Baca juga : Gunung Bancak di Giripurno, Persinggahan Terakhir Pahlawan Terlupakan
Baca juga : Gunung Bancak di Giripurno, Persinggahan Terakhir Pahlawan Terlupakan
Akibat
pengingkaran janji tersebut, hanya dalam waktu 18 bulan setelah terbunuhnya
Raden Ronggo III, Sultan HB II mendapatkan malapetaka. Keraton Yogyakarta
diserang dan dijarah habis oleh pasukan Inggris-Sepoy pada 20 Juni 1812.
Seluruh uang Kraton Yogyakarta (senilai 120 juta USD saat ini), 500-an naskah,
gamelan, keris, dan banyak perhiasan dibawa Inggris ke Bengal. Sultan sendiri
kemudian diasingkan ke Pulau Penang (1812-1815) dan Ambon (1817-1824), sebelum
sempat memerintah kembali pada 17 Agustus 1826 dengan sebutan Sultan Sepuh.
Pada
tanggal 13 Juni 1812, 1000 orang pasukan Inggris (setengahnya Sepoy) memasuki
Benteng Vrederburg secara diam-diam di malam hari. Raffles tiba di Yogyakarta
pada tanggal 17 Juni 1812. Keesokan harinya pada pukul lima pagi, keluarga
Pangeran Natakusuma mengungsi ke benteng, sementara pengikutnya memakai kain
putih di lengan kiri sebagai tanda pengenal bagi Inggris. Pada hari itu,
pasukan penyergap yang dipimpin Raden Harya Sindureja berhasil menyergap
pasukan kavaleri Inggris dan menjadi satu-satunya kesuksesan pasukan keraton
dalam menghadapi Inggris.
Babad
Bedhah ing Ngayogyakarta yang dikaji oleh Peter Carey menyebutkan Sultan
merelakan segala senjata dilucuti oleh
serdadu Inggris dan Sepoy. Sultan menyerahkan keris, pedang, dan
belatinya. Seluruh senjata pusaka keraton yang disita, yaitu Kiai Paningset,
Kiai Sangkelat, Kiai Urub, Kiai Jinggo, Kiai Gupito, Kiai Joko Piturun, dan
Kiai Mesem, bahkan sampai kancing baju Sultan HB II yang terbuat dari berlian
tak luput dipreteli. Meski kemudian, ketika penobatan Sultan HB III senjata
pusaka itu dikembalikan lagi ke keraton, kecuali pedang dan belati karena
Raffles kelak mengirimkan kepada Lord Minto di India sebagai tanda penaklukkan
Keraton Yogyakarta kepada Kerajaan Inggris. Peristiwa ini hanya terjadi sekali
dalam sejarah Jawa, ketika istana sebagai lambang kedaulatan penguasa lokal
diserang, dijarah, dan ditundukkan oleh pasukan Eropa.
Pada
tanggal 13 Juni 1812, 1000 orang pasukan Inggris (setengahnya Sepoy) memasuki
Benteng Vrederburg secara diam-diam di malam hari. Raffles tiba di Yogyakarta
pada tanggal 17 Juni 1812. Keesokan harinya pada pukul lima pagi, keluarga
Pangeran Natakusuma mengungsi ke benteng, sementara pengikutnya memakai kain
putih di lengan kiri sebagai tanda pengenal bagi Inggris. Pada hari itu,
pasukan penyergap yang dipimpin Raden Harya Sindureja berhasil menyergap
pasukan kavaleri Inggris dan menjadi satu-satunya kesuksesan pasukan keraton
dalam menghadapi Inggris.
Pada hari
yang sama, Raffles mengultimatum Sultan untuk menyerahkan kedudukan kepada
putera mahkota yang selanjutnya ditolak oleh sultan. Pada tanggal 19 Juni 1812,
pasukan Inggris mulai membombardir keraton sebagai peringatan, tetapi sultan
mengabaikannya. Terjadi insiden pada ''bastion'' timur laut, di mana meriam
Kyai Nagarunting meledak ketika ditembakkan, mengakibatkan beberapa pengawaknya
(anggota brigade ''Setabel'', artileri keraton) mengalami luka bakar. Sebuah
gudang munisi yang dijaga anggota brigade Bugis juga dilaporkan meledak terkena
peluru meriam Inggris.
Pertempuran
utama terjadi pada tanggal 20 Juni 1812 yang dimenangkan oleh Inggris. Pada
saat fajar keesokan harinya, pasukan Inggris menggunakan tangga-tangga bambu
yang disiapkan Kapitan Tionghoa Tan Jin Sing untuk masuk ke dalam keraton.
Selain itu, terjadi pula penembakan terhadap ''plengkung'' Tarunasura dan pintu
Pancasura yang memperparah penyerbuan. Penyerangan tersebut mengakibatkan
banyak keluarga Keraton Yogyakarta yang tewas, antara lain salah satu dari
ketiga menantu sultan (KRT Sumadiningrat, panglima pasukan keraton) dan Ratu
Kedaton. Saat pasukan Inggris berhasil mengepung ''kedhaton'' (pusat keraton),
Sultan Hamengkubuwana II menyerah dengan berpakaian serba putih.
Sengitnya
pertempuran antara Kerajaan Inggris dan Kasultanan Yogyakarta pada Jumat-Sabtu,
19 dan 20 Juni 1812, dicatat oleh seorang serdadu Inggris, Kapten William
Thorn. Dia menulis perjalanan penaklukan Inggris ke Jawa dalam Memoir of The Conquest of Java yang
terbit pada 1815 di London. Kelak orang Jawa menjuluki pertempuran ini dengan
“Geger Spehi”—Perang Spoy.
Thorn
melukiskan keadaan pertahanan Keraton Yogyakarta. “Kraton atau kediaman Sultan
Mataram,” demikian tulisnya, “dikelilingi oleh parit basah nan lebar dengan
jembatan jungkit; dinding benteng yang tebal dan kokoh dengan bastion [pojok
benteng yang menjorok] dan diperkuat dengan seratus meriam.
Seperti yang
sudah saya narasikan di atas, dalam pertempuran dua hari itu Inggris
berkekuatan sekitar 1.000 serdadu berseragam merah, yang terdiri atas serdadu
asal sepoy India dan serdadu Eropa. Jumlah itu masih ditambah 500 prajurit
Legiun Pangeran Prangwedono asal Mangkunagaran, Surakarta. Sementara, menurut
Thorn, terdapat sekitar 17.000 prajurit Keraton yang bersiaga di dalam
baluwarti (tembok keraton).
Tembak-menembak
antara Benteng Vredeburg—sebagai kubu pertahanan Inggris—dan Keraton sebenarnya
sudah dimulai sejak 18 Juni sore. Menurut Thorn, benteng ini, “hanya sedikit
meninggalkan bubuk mesiu dari pabrik mesiu lawas tinggalan Belanda, sangat
buruk,” ungkapnya, “sehingga tembakan kami ibarat hanya menghibur musuh.”
Sejatinya,
Inggris masih menanti pasukan Letnan Kolonel Alexander MacLeod yang tengah
berangkat dari Salatiga menuju Yogyakarta. Pasukan susulan itu baru tiba pada
esoknya, dan langsung menggempur Keraton. Pertahanan Sultan yang paling kuat
dengan meriam-meriam bermulut ganda berada di kawasan Alun-alun utara. Namun,
tampaknya Inggris tidak menempatkan kawasan ini sebagai serangan utama,
melainkan serangan pengecoh.
Serangan
utama Inggris tertuju pada sisi timur Baluwarti—kini sepanjang Jalan Brigjen
Katamso. Gempuran tersebut dilakukan oleh Kolonel James Watson yang membawahi
Resimen Infanteri ke-14, Buckinghamshires. Mereka mendekati bastion timur laut
dengan dilindung penembak-penembak Inggris.
Bastion
timur laut tempat gudang mesiu prajurit Sultan berhasil diledakkan oleh serdadu
sepoy di bawah komando Watson. Tampaknya ledakan penyimpanan bubuk mesiu itu
sangat dahsyat. Setelah ledakan, pertahanan baluwarti mulai mengendur sehingga
mereka berhasil menurunkan jembatan jungkit di gerbang utama Kadipaten. Mungkin
akibat ledakan itulah bastion timur laut itu rusak berat dan hingga hari ini
pertahanan baluwarti hanya menyisakan tiga bastion—warga menjulukinya dengan
Pojok Beteng Wetan, Pojok Beteng Kulon, dan Pojok Beteng Lor.
Plengkung
Tarunasura/Pancasura, kini lebih dikenal dengan Wijilan, sebagai gerbang utama
Kadipaten diserang oleh pasukan Letnan Kolonel Alexander MacLeod. Gerbang masih
dijaga pertahanan kuat laskar Sultan. Para serdadu sepoy India itu merayapi
dinding baluwarti dengan cara saling memanjat pundak temannya hingga mencapai
celah baluwarti. Akhirnya, artileri tempur Inggris berhasil meledakkan gerbang
itu.
Musuh
menyapu tembok Baluwarti dengan tembakan senapan dari bastion tenggara,” catat
Thorn. Namun, “akhirnya [bastion itu] takluk diujung bayonet.” Kemudian,
setelah beberapa pertempuran di sisi selatan Baluwarti, serdadu Inggris
berhasil membuka gerbang selatan, Plengkung Nirbaya. Berikutnya, serdadu sepoy
dan Inggris berhasil membobol pintu gerbang barat, Plengkung Jagabaya.
Pertahanan Baluwarti terakhir yang mampu dipertahankan laskar Sultan adalah
bastion barat laut, kemudian mereka menyelamatkan diri ke sebuah masjid di luar
baluwarti, demikian papar Thorn. Tampaknya yang dimaksud Thorn adalah Masjid
Besar Kauman.
Mengapa
pertahanan keraton lemah? Merujuk dari sumber Babad Bedhah ing Ngayogyakarta
telah mengungkapkan rendahnya daya juang para pembela keraton. Babad jatuhnya
Yogyakarta itu ditulis dalam buku harian Pangeran Panular, seorang putera
Sultan yang turut bertempur pada Juni 1812. Banyak di antara pangeran yang
mestinya memberi teladan di medan tempur dengan memimpin perlawanan, hanya
mencawat ekor dalam perlindungan pintu-pintu gerbang atau berpura-pura sakit.
Bahkan,
sebagian dari mereka mencari selamat dengan cara keluar keraton menuju
desa-desa di pinggiran dan makam Imogiri. Babad Bedhahing Ngayogyokarto juga
mengisahkan kerisauan hati Sultan Hamengkubuwana II. Para laskar perempuan yang
mengawal Sultan pun turut berdzikir dan berdoa. Perang ini diakhiri dengan
menyerahnya Sultan Sepuh dan dimulainya penjarahan besar-besaran atas harta,
pusaka, dan pustaka Keraton Yogyakarta. Awal Juli 1812, Sultan dibuang ke Pulau
Penang.
Berbagai
senjata, gamelan, wayang, ratusan kitab sejarah Jawa, dan naskah-naskah daftar
tanah kerajaan turut dijarah. Bahkan, dikisahkan juga dalam Babad Bedhah ing
Ngayogyakarta bahwa selama empat hari lebih, harta rampasan perang diangkut
dengan pedati ke Wisma Residen. Kuli pengangkutnya berasal dari pengawal dan
kerabat dekat Sultan sendiri.
Sementara
itu, sebagai seorang letnan gubernur dan panglima perang, Thomas Stamford
Raffles pun tak ketinggalan. Dia turut menjarah dan mengangkut harta keraton
yang nilainya sekitar 200.000 hingga 1.200.000 dollar Spanyol. Kolonel Rollo
Gillespie, seorang panglima tentara Inggris di Jawa, menjarah 800.000 dollar
Spanyol. Sebesar 74.000 dollar Spanyol (sekitar Rp 27 miliar untuk kurs kini)
untuk dirinya sendiri, sisanya dibagi-bagikan ke perwira lain di bawahnya.
Sebagian lagi, sebesar 7.000 dollar Spanyol (sekitar Rp 2,5 miliar untuk kurs
kini) dibagikan kepada legiun Pangeran Prangwedana dari Mangkunagaran.
Pustaka
naskah itu tidak kembali ke Jawa, setidaknya hingga hari ini. Sekitar 55 naskah
Jawa milik Raffles, sebagian besar diserahkan kepada Royal Asiatic Society pada
1830. Koleksi naskah jarahan Raffles
bukanlah yang terbanyak. Kolonel Colin Mackenzie memiliki 66 naskah Jawa milik
Keraton Yogyakarta. Sementara itu, sekitar 45 naskah Jawa koleksi John
Crawfurd, seorang residen Yogyakarta, sebagian besar dijual kepada British
Museum pada 1842.
Babad
Bedhahing Ngayogyokarto juga berkisah
tentang penjarahan yang tampaknya membabi buta terhadap barang-barang perhiasan
milik perempuan keraton. Serdadu-serdadu itu memasuki wilayah keputren. Seorang
istri resmi Putra Mahkota dilucuti perhiasan dan pakaian kebesarannya. Salah
seorang perwira Inggris tewas ditikam seorang perempuan keraton lantaran sang
perwira akan membawanya sebagai rampasan perang.
Dalam
pertempuran dua hari itu, dari seribu serdadu Inggris, sekitar seratus orang
tewas. Sedangkan di pihak Sultan “tidak dapat dihitung secara tepat. Namun
pastinya sangat besar jika kita melihat mereka yang terbunuh dan terluka di
sepanjang baluwarti dan bastion. Jumlah tewas yang luar biasa di setiap
gerbang, tertutama di kawasan tengah.” Demikianlah, kesaksian serdadu Inggris
dan prajurit Jawa tentang pertempuran yang mengantarkan Tanah Jawa ke tatanan
kolonial.
Invasi
Inggris ke Jawa 1811 merupakan ekspedisi laut terbesar dalam sejarah,
setidaknya hingga jelang Perang Dunia Kedua. Di bawah Letnan Jenderal Sir
Samuel Auchmuty, hampir 12.000 serdadu yang berlayar dalam 100 kapal melintasi
Samudra Hindia dan mendarat di Cilincing. Atas titah Lord Minto, mereka
berupaya merebut kekuasaan Prancis di Jawa.
Dalam buku
Tahta untuk Rakyat, Sri Sultan Hamengku Buwono IX terbaca sangat meneladani
semangat anti-imperialisme yang dicontohkan leluhur pendiri kasultanan dua abad
sebelumnya. Jelang bertahta sebagai Sultan, negosiasi alot dengan Gubernur
Yogyakarta Lucien Adam yang memaksakan adanya kontrak politik antara Pemerintah
Hindia Belanda dengan Kasultanan Yogyakarta dilakukan.
Kontrak
politik yang sangat merugikan sistem pemerintahan lokal dan mengutamakan
kepentingan pemerintahan kolonial itu mau tak mau disanggupi sebagai syarat
penobatan Sultan HB IX pada 18 Maret 1940. Kesetiaan Sultan HB IX terhadap
prinsip humanisme dan nasionalisme ditunjukkan tak lama setelah bertahta. Pada
masa pendudukan Jepang, Sultan HB IX memprakarsai proyek pembangunan Selokan
Mataram yang merupakan upaya tersembunyi untuk menyelamatkan rakyat Yogyakarta
dari menjadi Romusha.
Segera
setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia (RI), Kasultanan Yogyakarta
dan Kadipaten Paku Alaman menyatakan bergabung dengan RI. Pada 1949, Sultan HB
IX menyerahkan 6 juta Gulden kepada Soekarno dan Hatta sebagai modal awal bagi
RI untuk menjalankan pemerintahan. Pada dekade 1950-an, beberapa pabrik gula
dihidupkan kembali, termasuk Pabrik Gula Madukismo di Bantul yang masih
beroperasi hingga kini. Tanah Sultan (Sultan Ground) pun terbuka digunakan
untuk berbagai kepentingan, seperti untuk pertanian, kantor pemerintah, dan
tempat pendidikan, termasuk Istana Kepresidenan Gedung Agung dan Universitas
Gadjah Mada.
Dalam masa
yang baru itu, Sultan HB IX tidak setengah-setengah meneladani perjuangan para
pendahulu di masa awal Kasultanan Yogyakarta. Sultan HB IX menganugerahi
mendiang Raden Ronggo III, yang sebelumnya dianggap sebagai pemberontak oleh
Kasultanan Yogyakarta, sebagai pejuang perintis melawan Belanda. Sultan HB IX
memerintahkan memindahkan makam Raden Ronggo III dari Bayusumurup di Imogiri ke
asalnya di Maospati pada tahun 1957. Pemindahan makan Raden Ronggo III agar
bersebelahan dengan makan istrinya, Gusti Bendara Raden Ayu Maduretno, adalah
upaya Sultan HB IX untuk menghormati sejarah. Sultan HB IX secara bijak mampu
membaca janji leluhurnya dan mengadakan rekonsiliasi.
Bahkan,
selain “ngumpulke balung pisah” antara Yogyakarta dan Madiun, Sultan HB IX juga
membuka pintu Kraton Yogyakarta kepada keluarga trah Pangeran Diponegoro yang
sempat dihukum dilarang masuk kraton sebagai dampak Perang Jawa. Pangeran
Diponegoro sendiri, yang juga dicap sebagai pemberontak akibat perlawanan
menuntut kemerdekaan, adalah menantu Raden Ronggo III dan Raden Ayu Maduretno. Nuwun.
“ik ben een blijf in de
allereerste plaats javaav”
“setinggi-tingginya aku
belajar ilmu barat, aku adalah dan bagaimanapun jua tetap Jawa”.
(Sultan HB IX)

Referensi :
Asal Usul Perang Jawa :
Pemberontakan Sepoy & Lukisan Raden Saleh, Peter Carey
Tahta Untuk Rakyat : Celah –
Celah Kehidupan Sultan Hamengkubuwono IX
Sejarah Penaklukan Jawa:
Memoir of The Conquest of Java, Major William Thorn
Wikipedia, dan
Disarikan dari berbagai
situs dengan editing dan penyelarasan kalimat seperlunya
0 on: "Tuah Kutukan Hamengkubuwono I Atas Ambruknya Yogyakarta Dalam Geger Sepoy"