Akarasa
– Selamat datang kerabat akarasa. Bagi masyarakat Ciamis dan sekitarnya
tidaklah asing dengan situs yang ada di Desa Karang Kamulyan, Kecamatan Cijeungjing,
disana dapat kita temukan suatu cagar budaya yang disebut Cagar Budaya Karang
Kamulyan. Di situ dahulu pernah berpusat sebuah kerajaan kuno yang menurut
sejarah bernama Kerajaan Galuh.
Di
situs yang dahulunya merupakan pusat kerajaan Galuh tersebut ditemukan beberapa
peninggalan yang antara lain berupa :
- Batu Pangcalikan, yang diberitakan merupakan bekas singgasana dan tempat bermusyawarah Raja.
- Penyambungan Ayam, yang diyakini sebagai tempat Ciung Wanara menyabung ayam dengan Bondan Sarati.
- Sanghyang Bedil
- Lambang Peribadatan
- Sumber air Citeguh dan Cirahayu
- Makam Adipati Panaekan
- Pamangkonan
- Batu Panyandaan
- Patimuan
- Leuwi Sipatahunan yang disebut-sebut sebagai tempat bayi Ciung Wanara dibuang di Sungai Citanduy.
Pusat
kerajaan tersebut, kalau diperhatikan, berada di pertemuan Sungai Citanduy
dengan Sungai Cimuntur. Adalah suatu hal yang logis pada zaman itu untuk
menjadikan pertemuan sungai sebagai ibukota yang biasanya mempunyai benteng
dari alam untuk menghadapi serbuan musuh.
Raja
pertama Galuh adalah Wretikandayun (591 M -702 M). Dianggap sebagai raja
pertama karena dialah yang menjadikan kerajaan yang disebut Galuh tersebut
terlepas dari statusnya sebagai bawahan Kerajaan Sunda di masa Kerajaan Sunda
dirajai oleh Tarusbawa.
Dari
isterinya Candraresmi, Wretikandayun yang dinobatkan tahun 612 M, mempunyai 3
orang anak, yakni Sempakwaja (620 M-729 M), Jantaka (lahir 622) M dan
Amara/mandiminyak (624 M-709 M).
Sempakwaja
sesungguhnya adalah nama panggilan karena nama kecilnya tidak diketahui.
Disebut Sempakwaja karena ia ompong alias tidak bergigi (empak = ompong, waja =
gigi). Sedangkan Jantaka menderita hernia yang waktu itu termasuk sejenis
penyakit yang belum bisa disembuhkan.
Karena
keduanya cacat badan maka baik Sempakwaja maupun Jantaka tidak mungkin menjadi
pengganti Wretikandayun. Sempakwaja lalu menjadi rajaresi di Galunggung dengan
gelar Batara Danghyang Guru. Sedangkan Jantaka menjadi resiguru di Telaga Denuh
(Galuh Selatan) dengan gelar Resiguru Wanayasa atau Rahiyang Kidul. Yang
diangkat menjadi putera mahkota adalah Amara / Mandiminyak.
Saat
menjadi resiguru di Galunggung, Sempakwaja menikah dengan Pohaci Rababu,
seorang wanita yang dikenal berparas cantik. Konon ia berasal dari Gunung Kendan
(dekat Rancaekek sekarang).
Suatu
saat Mandiminyak atau Amara (624 M-709 M), adik Sempakwaja yang menjadi putera
mahkota Galuh, mengadakan pesta perjamuan (utsawakarma) di istana. Yang
mengundang adalah ayahnya, Raja Galuh Wretikandayun. Sempakwaja tidak hadir
karena sakit namun karena menganggap undangan ayahnya tersebut penting, maka ia
diwakili oleh isterinya Pohaci Rababu. Sementara Pohaci Rababu pergi ke Galuh,
anak-anak Sempakwaja tinggal di Galunggung merawat ayahnya.
Kehadiran
Pohaci Rababu yang cantik di Istana Galuh ternyata menerbitkan masalah. Entah
bagaimana kejadiannya namun dikabarkan selama 4 hari terjadilah smarakarya
(skandal asmara) antara Pohaci Rababu, yang cantik itu, dengan adik iparnya,
Mandiminyak / Amara. Orang yang disebut terakhir ini dalam sejarah dikatakan
sebagai laki-laki yang pandai merayu.
Hasil
skandal kedua manusia berlainan jenis itu adalah seorang anak laki-laki bernama
Sena yang lahir pada tahun 661 M. Kerajaan menjadi kisruh karena peristiwa
tersebut namun akhirnya dapat diredam karena Sempakwaja turun tangan. Pohaci
Rababu dimaafkan dan boleh kembali ke Galunggung. Sementara si kecil Sena harus
dirawat oleh Mandiminyak / Amara sebagai pertanggung jawabannya.
Menurut
sejarah, Mandiminyak selanjutnya disingkirkan secara halus dari keraton oleh
ayahnya, Wretikandayun. Ia dikawinkan dengan Parwati anak Ratu Sima dengan
Kartikeyasinga, raja Kalingga yang berkedudukan di Jawa Tengah. Karena itulah
Mandiminyak tinggal di Kalingga.
Dari
perkawinan Mandiminyak dengan Parwati ini kelak lahirlah Sanaha. Kelak setelah
Sanaha (anak Mandiminyak dengan Parwati) cukup dewasa, Ratu Sima menjodohkannya
dengan Sena (anak Mandiminyak dengan Pohaci Rababu). Perkawinan sedarah ini
kelak pada tahun 683 melahirkan anak yang bernama Sanjaya (683 M-754 M).
Pada
tahun 695 M, Mandiminyak bersama isterinya, Parwati, menjadi penguasa Kalingga
Utara. Hal ini terjadi karena setelah Ratu Sima wafat, kerajaan dibagi dua.
Sebelah utara (yang disebut Bumi Mataram) diperintah oleh Parwati dan
Mandiminyak, yang memerintah sampai tahun 716 M. Sedangkan sebelah selatan dan
timur (yang disebut Bumi Sambhara) diperintah oleh Narayana (adik Parwati) yang
memerintah sampai tahun 742 M.
Mandiminyak
kemudian menggantikan ayahnya, Wretikandayun, yang wafat tahun 702 M, sebagai
Raja Galuh. Dengan demikian posisi Mandiminyak semakin kuat. Ia berkuasa atas
Kalingga (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan Galuh (Jawa Barat). Dalam posisinya
yang kuat itu, tidak berapa lama sekitar tahun 703/704 M, Mandiminyak
menjodohkan cucunya, Sanjaya, dengan Sekar Kancana (Teja Kancana
Ayupurnawangi), cucu Raja Sunda Tarusbawa yang berkedudukan di Pakuan. Dari
perkawinan Sanjaya-Teja Kancana ini kelak lahir anak laki-laki yang dinamakan
Tamperan Barmawijaya (704-739 M).
Pada
tahun 709 M, Mandiminyak meninggal. Ia digantikan oleh Sena, anaknya dari
Pohaci Rababu. Tetapi pengangkatan Sena sebagai raja Galuh tersebut tidak
diterima oleh Purbasora, anak Sempakwaja dengan Pohaci Rababu. Purbasora
bersiap melakukan penyerangan namun rencana itu rupanya diketahui oleh Sena.
Sena
pun alu mengundang tentara Sunda untuk membantunya menghadapi Purbasora. Namun justru
Purbasoralah yang kini mengetahui rencana itu. Dengan dukungan pasukan pimpinan
Ki Balagantrang (sepupunya) beserta pasukan dari Kuningan, Purbasora dengan
cepat menduduki Galuh pada tahun 716 M. Dalam situasi yang kalut seperti itu,
Sena berhasil meloloskan diri ke Jawa Tengah, di mana ibunya Parwati menjadi
raja di Kalingga Utara (Bumi Mataram).
Tahun
723 Tarusbawa wafat dalam usia 91 tahun. Ia digantikan oleh Sanjaya dan Teja
Kancana. Sedangkan Anggada (adik sepupu Teja Kancana), cucu Tarusbawa dari
anaknya yang bernama Mayangsari, menjadi Patih Sunda menggantikan ayahnya
Wangsa Nagara.
Pada
tahun 723 M Sanjaya yang kini mempunyai kekuasaan besar itu bersiap menyerbu
Galuh yang dianggap telah merebut kekuasaan ayahnya, Sena. Persiapan itu
dilakukan Sanjaya di Gunung Sawal sekitar 17 km dari Galuh.
Setelah
semuanya siap, Sanjaya dan pasukannya menyerbu Galuh. Purbasora tewas sementara
Balagantrang dapat meloloskan diri dan kemudian bersembunyi di Geger Sunten
(Kampung Sodong Desa Tambaksari Kecamatan Rancah, Ciamis). Pada tahun itu pula
Sanjaya menghancurkan Indraprahasta (isteri Purbasora. berasal dari sini).
Karena menguasai Galuh itulah maka kini Sanjaya secara otomatis berhasil
menyatukan Kalingga, Sunda dan Galuh.
Berdasarkan
permufakatan dengan para sesepuh Galuh yang masih hidup untuk mencari solusi
damai, Sanjaya ditetapkan untuk tidak memerintah Galuh secara langsung. Sanjaya
menyetujui usul Sempakwaja yang mengangkat Premana Dikusuma, anak Wijayakusuma
dan cucu Purbasora, sebagai raja Galuh. Premana Dikusuma – yang suka bertapa
dengan gelar Ajar Sukaresi atau Bagawat Sajala-jala – lalu dikawinkan dengan
Dewi Pangrenyep (704 M-739 M), anak patih Anggada. Dewi Pangrenyep ini adalah
isteri kedua Premana Dikusuma. Sedangkan isteri pertamanya bernama Dewi
Naganingrum (cucu Balagantrang yang lahir 698 M) yang darinya pada tahun 718 M
dilahirkan Manarah.
Karena
tidak langsung memerintah di Galuh, Sanjaya menempatkan anaknya, Tamperan
Barmawijaya (704 M-739 M), sebagai duta di negeri itu. Pada tahun 723 M itu
pula Demunawan, adik Purbasora, dinobatkan menjadi Raja Saung Galah di
Kuningan.
Rasanya
persoalan, yang menimbulkan korban jiwa dalam tempo yang lama itu, telah
selesai sehingga kehidupan negara diharapkan menjadi damai. Namun ternyata tidak
demikian. Kedamaian hanya berlangsung dalam bilangan bulan saja. Pada tahun 723
M itu pula terjadi skandal cinta antara Dewi Pangrenyep (isteri kedua Premana
Dikusuma) dengan Tamperan (anak Sanjaya). Sebagai hasil gejolak asmara yang
gelap ini maka pada tahun 724 lahirlah Kamarasa atau Banga.
Karena
skandal itu, negeri Galuh geger kembali. Untuk meredam keributan, Sanjaya lalu
mengungsikan Tamperan Barmawijaya untuk sementara ke Pakuan, ibukota kerajaan
Sunda. Usaha tersebut ternyata berhasil karena untuk kurun waktu yang cukup
lama negeri Galuh menjadi aman.
Selanjutnya
pada tahun 731 Sanjaya kembali ke Mataram karena mendapat kabar bahwa ayahnya,
Sena, akan turun tahta. Tahun itu pula Sanjaya mendapat kepastian bahwa Premana
Dikusuma tetap ingin tinggal di pertapaan.
Tahun
732 M Sena baru benar-benar turun tahta. Kedudukan Sena di Kalingga diganti
oleh Sanjaya sedangkan Tamperan Barmawijaya menggantikan Sanjaya di Jawa Barat
dengan mengambil kedudukan di Galuh. Dengan demikian Tamperan pada usia 28
tahun telah menjadi penguasa Sunda-Galuh, yang wilayahnya meliputi seluruh Jawa
Barat ditambah sedikit bagian barat Jawa Tengah.
Saat
menjadi penguasa Sunda-Galuh, Tamperan Barmawijaya belum mempunyai permaisuri
walaupun sudah mempunyai anak berusia 9 tahun hasil selingkuhnya dengan
Pangrenyep. Sebenarnya ia ingin menjadikan Pangrenyep sebagai permaisuri namun
adat atau hukum yang berlaku tidak mengizinkannya. Itu terjadi karena
Pangrenyep masih berstatus sebagai isteri Premana Dikusuma.
Menghadapi
situasi yang dianggapnya rumit ini, rupanya nafsu lebih dominan daripada akal.
Dan itu terjadi pada Tamperan yang tidak mau berpikir njlimet. Ia menyelesaikan
persoalan ini dengan cara menyuruh orang untuk membunuh Premana Dikusuma.
Selanjutnya orang yang berhasil membunuh Premana Dikusuma tersebut dibunuh oleh
pengikut-pengikut Tamperan.
Setelah
Premana Dikusuma tewas, sekitar tahun 732 M, Tamperan lantas memperisteri
Pangrenyep dan Naganingrum sekaligus. Pangrenyep menjadi permaisuri sedangkan
Naganingrum menjadi selir. Manarah, anak Premana Dikusuma dengan Naganingrum
yang saat itu berusia 14 tahun, diperlakukan sebagai anak oleh Tamperan.
Sementara
itu Balagantrang yang pada tahun 723 M lolos dari serbuan Sanjaya telah
menyusun kekuatan untuk merebut kembali tahta Galuh. Persiapan itu dilakukannya
di Geger Sunten. Pelahan-pelahan ia mencari dukungan, termasuk membujuk Manarah
dan banyak sekutu lainnya.
Tujuh
tahun setelah kematian Premana Dikusuma, yaitu tahun 739 M, Balagantrang dan
Manarah beserta pasukannya menyerbu Galuh. Karena tidak mengira dan tidak siap
maka Tamperan dan Pangrenyep tertangkap dan dipenjarakan. Banga – anak Tamperan
dengan Pangrenyep - tidak ditangkap dan diperlakukan dengan baik oleh Manarah.
Bagaimana pun juga Banga adalah saudara satu ibunya.
Nampaknya
Banga tidak tega melihat ayah dan ibunya dipenjara. Maka pada suatu saat dengan
caranya sendiri, ia berhasil membebaskan kedua orang tuanya. Tamperan dan
Pangrenyep kemudian lari namun kemudian tewas saat dikejar pasukan Manarah dan
Balagantrang.
Sanjaya
yang mendengar bahwa anaknya mengalami kesusahan, mengirim pasukan ke Galuh.
Terjadilah perang namun Demunawan – sesepuh Sanjaya, Manarah dan Balagantrang
yang sangat dihormati- berhasil mendamaikan semua pihak yang bertikai. Musyawarah
segera dilakukan lagi dan hasilnya adalah kesepakatan berupa pembagian wilayah.
Manarah (739-783 M) memerintah Galuh, Banga memerintah Sunda dan Demunawan
menguasai kerajaan Saung Galah dan bekas kerajaan Galunggung (sampai dengan 774
M).
Pelajaran
yang patut disimak dalam cerita - yang diwarnai perpaduan antara ambisi
kekuasaan dan aroma skandal cinta atau seks - ini antara lain adalah:
Gara-gara
skandal Pohaci Rababu tahun 661 M yang berselingkuh dengan adik suaminya, maka
perseteruan antar sesama saudara mulai mencuat dan mencapai puncaknya tahun 716
M saat terjadi perebutan kekuasaan oleh Purbasora (anak Pohaci dengan
Sempakwaja) terhadap Sena (anak Pohaci dengan Mandiminyak). Pihak yang diserang
– dalam hal ini Sena - kemudian membalas yang mengakibatkan Purbasora tewas
pada tahun 723.
Keadaan
aman sebentar namun skandal terjadi lagi tahun 723. Dewi Pangrenyep – isteri
kedua Premana Dikusuma (cucu Purbasora) - berselingkuh dengan Tamperan
Barmawijaya (cicit Mandiminyak). Terjadilah serangkaian keributan yang
mengakibatkan pertumpahan darah yang baru berhasil didamaikan pada tahun 739 M.

Referensi
:
Referensi :
Tim Penulis Sejarah, 1984. Rintisan Penelusuran Masa
Silam Sejarah Jawa Barat. Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat, Pemda Propinsi
DT I Jawa Barat
Dinas Pariwisata Ciamis, 2003. Wisata Ciamis.
0 on: "Cinta Yang Menikam Dalam Lingkar Kekuasaan Dari Tatar Sunda"