Akarasa – Selamat datang kerabat
akarasa. Kita mungkin sudah tidak asing lagi dengan istilah “harta, tahta, dan
wanita”. Tiga hal ini adalah fitnah bagi “laki-laki” yang seringkali bukan
menjadi pemanis bibir semata, tetapi sebuah hal yang lumrah terjadi dalam
masyarakat. Istilah tersebut memang terbukti kebenarannya. Manusia yang naluri
mempertahankan dirinya sangat tinggi, maka harta dan tahta menjadi
kecenderungan bagi dirinya. Seringkali perempuan pun masuk dalam lingkaran
pemuasan naluri ini, yakni peraihan tahta (kekuasaan).
Barangkali makna idiom kehidupan dari
bahasa umum di atas adalah satu cerminan
bahwa uang selalu dekat dengan kekuasaan,
dan selalu dekat juga dengan wanita. Tiga hal melekat tidak terpisahkan
ini, ‘membahagiakan’ sekaligus bisa membutakan manusia: Madu dan Racun – Adalah uang, kekuasaan, dan wanita. Seperti halnya
yang akan saya coba telusur dalam tulisan ini merujuk dari buku Awal
Kebangkitan Mataram karya H.J. De Graaf tentang dua sosok wanita dari Brang
wetan Madiun. Nyai Adisara dan Reno Dumilah.
Tenyata, Madiun yang terletak di Jawa
Timur bagian barat menyimpan banyak riwayat sejarah dan legenda. Di antaranya
adalah kisah sejarah tentang dua wanita yang bernama Retno Dumilah atau Retno Jumilah
dan Nyi Adisara.
Sebelum membahas kisah tersebut, ada
baiknya kita menengok sejarah yang melatarbelakanginya. Diceritakan bahwa
Senopati atau Sutawijaya, penguasa pertama Kerajaan Mataram, relatif sangat
ekspansif selama masa pemerintahannya. Dia berkehendak untuk menguasai tanah
Jawa seperti yang pernah dilakukan oleh kerajaan-kerajaan pendahulunya (Demak
dan Pajang).
Senopati tahun 1587 berhasil
mengalahkan mertuanya, Sultan Hadiwijaya, Raja di Pajang. Latar belakang
penyebabnya ada beberapa kemungkinan. Di antara penyebabnya adalah kebiasaan
Sultan Pajang yang suka kawin dan kasus Tumenggung Mayang (anak Tumenggung
Mayang meniduri puteri Sultan Hdiwijaya). Selengkapnya baca di Romansa Jawa : Tragedi Cinta Raden Pabelan
Saat Raja Pajang wafat, tahun 1587,
beberapa saat setelah perang dengan Senopati, maka Sunan Kudus mengundang anak
dan menantu Sultan Pajang. Di depan khalayak ramai, Aria Pangiri, menantu Hadiwijaya
yang waktu itu menjadi Adipati Demak, diangkat oleh Sunan Kudus menjadi
pengganti Sultan Pajang. Sementara itu Jipang diserahkan kepada Pangeran Banawa
I, anak tertua Sultan Pajang.
Adipati Demak setelah pengumuman itu
lalu pindah ke Pajang dan membawa banyak orang Demak ke sana. Ketidakadilan
timbul sehingga menyebabkan banyak orang Pajang membelot. Di antaranya ada yang
ke Mataram.
Kegelisahan di Pajang ini juga dirasakan
oleh Pangeran Banawa I yang lantas mengirim utusan ke Mataram. Setelah dirayu
lebih dari sekali, apalagi Pangeran Banawa berjanji akan menyerahkan tahta
Pajang kepada Senopati daripada kepada Aria Pangiri, maka pada pertemuan keduanya
di Weru Gunung Kidul, terjadilah kesepakatan Banawa dengan Senopati untuk
menyerbu Pajang.
Pajang direbut setelah melalui
pertempuran singkat. Kekalahan Aria Pangiri terutama disebabkan karena adanya
pembelotan tentaranya. Aria Pangiri tidak dibunuh namun dikabarkan kembali ke
Demak. Kabar lain menyatakan bahwa ia mengungsi bersama keluarganya hingga
sampai ke Banten.
Banawa diangkat Senopati menjadi
Sultan Pajang walaupun sesungguhnya tidak mau. Setahun kemudian, sekitar tahun
1588 ia dikabarkan meninggal atau pergi bertapa. Gagakbaning, adik ipar
Senopati, diangkat menjadi adipati di Pajang. Dengan demikian Mataram relatif
telah berkuasa atas Pajang, Demak dan berbagai kadipaten bawahan Pajang
sebelumnya.
Senopati masih belum puas sebab para penguasa
Jawa Timur yang semasa jaka Tingkir tunduk patuh kepada Pajang, beramai-ramai
melepaskan diri dan membentuk aliansi di bawah pimpinan Pangeran dari Surabaya.
Untuk mendapatkan kembali legitimasi
atas kekuasaannya di Tanah Jawa, sekitar tahun 1589, Senopati mengirim surat
kepada Sunan di Giri (kalau tidak Sunan Giri Parapen mungkin anaknya Panembahan
Kawisguwa yang merupakan Sunan Giri yang pertama). Senopati meminta ramalan
yang berkaitan dengan rencana serangannya ke Jawa Timur.
Sunan di Giri mengundang Senopati.
Pada bulan Muharam Senopati bernagkat bersama Adipati Pati. Demak dan Grobogan
serta penasehat setianya, Ki Juru Martani/Adipati Mandaraka. Mereka yang
disertai sekitar 6000 prajurut sampai di Japan/Mojokerto. Di sana ternyata
telah berkumpul para adipati Jawa Timur dipimpin Pangeran Surabaya bersama
40.000 prajurit. Rupanya Mereka bersiap-siap menghalangi serbuan Senopati.
Sunan di Giri mengirim utusan untuk
melerai mereka. Dua kali Sunan dari Giri memberikan teka-teki melalui utusannya
sehingga perang dapat dicegah dan kembalilah prajurit Mataram ke Jawa Tengah.
Setelah Mataram gagal di Mojokerto
tahun 1589, Senopati melakukan konsolidasi. Di antaranya adalah mencari
dukungan dari para rohaniawan. Dari Sunan Giri ia mendapatkan gelar sebagai
panembahan. Sedang dari Sunan yang berada di Kadilangu ia mendapatkan bebrapa
pusaka perlambang kesaktian. Di antaranya adalah Kiai Gundil / Kiai Antakusuma
dari Sunan Kadilangu.
Senopati juga mencari dukungan dari
para penguasa di Jawa Tengah. Baik yang berada di selatan maupun yang berada di
utara. Dalam hal ini orang yang berjasa dan berwibawa untuk melakukan hal ini
adalah tokoh tua penasehat Sutawijaya yang bernama Ki Juru Martani/ Adipati
Mandaraka.
Sementara itu Madiun (yang dipimpin
oleh Panembahan / Pangeran Timur, putera bungsu Sultan Trenggana) yang
sebelumnya berpihak kepada Mataram, rupanya melakukan pembelotan.
Pembelotan tersebut kemungkinan besar
terjadi karena :
- Panembahan Emas merasa bahwa dirinya adalah keturunan Raja Demak sehingga derajatnya lebih tinggi daripada derajat Senopati.
- Kekuatan Bang Wetan / Jawa Timur yang lebih besar daripada Mataram.
- Ancaman Mataram merugikan posisi Madiun sehingga harus dilawan dengan bantuan sekutu-sekutu dari Bang Wetan,
- Intrik-intrik atau rayuan para penguasa Jawa Timur agar Madiun berpihak kepada Jawa Timur.
Pada tahun 1590 di bulan Muharam,
Senopati, Raja Mataram, dan sekitar 8000 prajuritnya, berangkat ke Madiun.
Sementara itu di Madiun sudah berkumpul pasukan gabungan dari Jawa Timur
(diberitakan sebanyak 70.000 orang). Dikabarkan pasukan Mataram mengambil
posisi di Kali Dadung, sebelah barat Madiun. Sementara pasukan Bang Wetan
mengambil posisi di sebelah timur sungai.
Melihat bahwa kekuatan pasukannya
lebih kecil dibandingkan lawannya, maka Senopati menjalankan taktik. Ia
mengirim selirnya, Nyai Adisara, yang diantar oleh 40 orang pengiringnya,
diutus menghadap Panembahan Mas / Panembahan Madiun.
Tanpa mendapat kesulitan, tandu yang
berisi wanita super cantik itu dapat menghadap Panembahan Mas. Ia tidak
menyangka dan terpesona oleh kecantikan Nyai Adisara. Tergoda oleh kecantikan
Nyai Adisara, Panembahan Mas percaya tawaran tertulis Senopati bahwa ia akan
takkluk. Apalagi Nyai Adisara minta air bekas cucian kaki Panembahan Mas untuk
dipakai sebagai air minum Senopati. Nyai Adisara pun kemudian kembali ke kemah
Senopati di sebelah barat sungai.
Keesokan harinya dikabarkan bahwa
sebagian pasukan Jawa Timur pulang kembali ke wilayahnya masing-masing.
Sementara yang tinggal kurang waspada.
Senopati lalu melakukan serangan di
waktu fajar dari 3 jurusan. Senopati dikisahkan memakai baju Kiai Gundil di
atas kuda Puspa Kencana turut serta dalam serbuan tersebut. Kudanya terbunuh
sekitar pukul 9 pagi tetapi masih dapat berlari sampai pukul 12. Rupanya
pasukan Jawa Timur tidak siap sehingga tidak mampu menjalankan siasat untuk
menghadapi serangan tersebut.
Merasa tidak mampu menahan serbuan
Senopati, Pangeran Mas dan anaknya (Ca) Lontang lari ke timur (ke Wirasaba / Mojoagung
atau ke Japan / Mojokerto), meninggalkan Ratna Dumilah (anak Panembahan Mas / cicit
Sunan Kalijaga) yang bertahan di Madiun. Dikabarkan bahwa Retno Dumilah ini
sempat bertempur melawan Senopati dengan menggunakan keris Kiai Gumarang
walaupun akhirnya kalah dan kemudian menjadi isteri Senopati. Sementara itu
adik Retna Dumilah yang bernama Mas (Ca) Lontang kemudian menjadi adipati di
Japan (Mojokerto).
Perkawinan Retna Dumilah dengan
Sutawijaya membuahkan tiga anak, yakni RM Julig, R Bagus / R Adipati Juminah / Panembahan
Madiun dan R Mas Kanitren / Pangeran Adipati Martalaya ing Madiun. Sementara
itu perkawinan Nyi Adisara dengan Senopati juga membuahkan anak yang bernama RM
Kentol Kajoran / Kajuran.
Pelajaran yang dapat ditarik dalam
kisah sejarah ini antara lain adalah :
- Wanita cantik seringkali dijadikan umpan untuk memperdayai musuh. Demikian pula Nyi Adisara, sadar atau tidak sadar, telah menjadi alat Senopati untuk mengelabui Penguasa Madiun.
- Ada wanita – di antaranya adalah adalah Retna Dumilah yang mempunyai keberanian luar biasa sehingga mau menyongsong musuhnya untuk berperang. Namun karena rayuan lelaki, sehebat-hebatnya wanita tersebut melawan akhirnya menyerah juga bahkan mau diperisteri dengan resiko bahwa ia akan dijauhi oleh keluarganya sendiri.

Referensi
Awal Kebangkitan Mataram, H.J. De
Graaf, 1987
0 on: "Wanita Sebagai Alat Politik Paha dalam Sejarah Ekspansi Mataram ke Brang Wetan"