Akarasa – Selamat datang kerabat
akarasa. Tepat di tengah Samudra Atlantik, Plato mencatat, pernah hadir sebuah
peradaban super: Atlantis. Dari sini, konon, berhulu sekalian peradaban lain di
permukaan bumi. Bagi manusia, negeri atau lebih tepatnya benua itu
disebut-sebut sebagai batas antara kepurbaan dan keberadaban. Tapi kini
jejaknya hilang tanpa sisa. Apakah ia nyata?
Sejarah telah membuktikan ia
"ada", lewat Christopher Columbus yang menemukan Amerika, dan lewat
Nazi yang kiprahnya menakutkan dunia.
Bagi sebagian besar orang, Atlantis
adalah sebuah benua yang hilang, rumah pertama peradaban, tanah terang dan
keemasan yang diterbankan oleh serangkaian puncak kekuatan ledakan. Ia kemudian
terbaring lelap di dasar samudra, dengan pucuk-pucuk pegunungannya menjulang
dari alas laut. Bagi sebagian orang lagi, Atlantis lebih dipandang sebagai legenda
ketimbang fakta.
Legenda itu "dibangun" oleh
Plato, filsuf Yunani, sebagai latar belakang dua dialognya yang terkenal.
Bangunan itulah yang kemudian dikembangkan para romantikus besar melalui
perjalanan abad. Tapi, ada juga yang menganggap Atlantis sebagai tonggak yang
nyata dari awal peradaban. Ia didokumentasikan di lokasi yang berbeda-beda,
namun tetap di sekitar Samudra Atlantik.
Namun, di dalam hampir semua
ensiklopedia, Atlantis tak lebih dari sebuah dongeng. Ia tak pernah dirujukkan
ke dalam catatan sejarah mana pun. Tapi, para geolog dan oseanografer seolah
bersetuju bahwa 'sesuatu' yang menyerupai benua pernah hadir di sekitar
Atlantik.
Misalkan pun Atlantis hanya dongeng, ia
adalah dongeng yang hidup sampai masa kini. Lebih dari 5.000 buku telah ditulis
tentang benua yang raib ini. Nama Atlantis muncul dalam dua dialog yang ditulis
Plato pada abad ke-4 Sebelum Masehi (SM), Timaeus dan Critias. Dialog ini
bercerita tentang kunjungan Solon ke Mesir. Di negeri itu Solon menemukan, para
pendeta Mesir kuno di Sais pernah menulis catatan tentang keberadaan
"sebuah pulau benua di bawah Pilar-Pilar Hercules" nama purba untuk
Gibraltar.
Negeri itu dideskripsikan sebagai
jantung sebuah imperium yang besar dan menakjubkan. Penduduknya banyak,
kota-kotanya beratapkan emas. Ia mempunyai armada besar dan pasukan tentara
yang masif untuk melakukan invasi dan penaklukan. Lebih jauh Plato melukiskan,
negeri itu lebih besar dari Libya dan Asia digabungkan jadi satu. Dan namanya
adalah Atlantis.
Pulau Raksasa di Seberang Mediterania
Menurut Plato, Atlantis tenggelam 9.000
tahun sebelum masanya. Jadi, sekitar 11.600 tahun yang silam. Di dalam Critias
dinarasikan, gempa dan banjir yang kejam telah menenggelamkan benua itu hanya
dalam sehari semalam. Tetapi, sejak awal "tesis" Plato sudah
mengutubkan dua kelompok: yang percaya dan yang tidak percaya terhadap
"penemuan" itu.
Aristoteles, bekas murid Plato yang
hidup pada 384-322 SM, tercatat sebagai salah seorang pertama yang tidak
percaya pada sang guru. Anehnya, dia sendiri menulis tentang sebuah pulau besar
di Samudra Atlantik, yang oleh orang-orang Cathaginia disebut
"Antilia". Pada abad ke-4 SM, Krantor, murid Plato yang lain, malah mengaku
menyaksikan sisa tiang peninggalan Atlantis.
Herodotus, ahli sejarah berkebangsaan
Yunani yang hidup pada abad ke-5 SM, juga meninggalkan beberapa naskah rujukan
yang menyebut keberadaan kota misterius di Samudra Atlantik. Walau tidak secara
eksplisit menyebut Atlantis, Herodotus menyebut nama bangsa yang memiliki
kesamaan bunyi dengan Atlantis, semisal "Atarantes" dan
"Atalantes".
Sebagian penulis terkemuka masa silam,
yang yakin terhadap kebenaran legenda benua hilang ini, enggan menyebut nama
Atlantis. Alih-alih, mereka menyebut benua itu dengan nama Poseidonis. Nama ini
diambil dari nama Poseidon, Dewa Laut dan penguasa Atlantis. Plutarch, penulis
yang hidup pada 46-120 Masehi, juga menceritakan adanya benua semacam Atlantis.
Ia menyebutnya "Saturnia".
Tapi, dari ribuan karya tertulis
tentang Atlantis, ada satu yang tak bisa tidak harus disebut dalam setiap
perbincangan tentang Atlantis, yaitu buku Atlantis-Myths of the Antediluvian
World karya Ignatius Donnelly. Jika karya Plato, Timaeus dan Critias, memperkenalkan
keberadaan Atlantis, buku karya Donnelly yang terbit pada 1882 ini boleh dikata
memicu "gerakan" pencarian Atlantis.
Donnelly percaya, pada masa lalu di
Samudra Atlantik, berseberangan dengan mulut Laut Mediterania, benar-benar
pernah terdapat pulau raksasa. Menurut Donnelly, deskripsi Plato tentang pulau
ini sama sekali bukan dongeng, melainkan fakta yang bisa dilacak kebenarannya
lewat pendekatan keilmuan. Pendekatan inilah yang membedakan buku Donnelly
dengan karya tentang Atlantis yang ada sebelumnya.
Surga Dunia di Samudra Barat
Yang menarik, Donnelly berteori bahwa
Atlantis adalah peradaban pertama yang dimiliki umat manusia. Atlantis pula
yang merupakan kekuatan kolonial yang mengajarkan peradaban ke seluruh pesisir
dan daratan di seputar Atlantik. Tak hanya berhenti di situ, Donelly
mengungkapkan, Atlantis pula yang menularkan peradaban ke Mediterania,
Kaukasus, Amerika Selatan dan Utara, bahkan hingga Baltik dan Asia Tengah.
Maka, sangat wajar jika dalam argumen
Donnelly, seluruh mitologi yang dikenal di Mesir serta Peru adalah perwujudan
dari agama bangsa Atlantis, yaitu mengabdi matahari. Aksara Phoenicia, ibu dari
seluruh alfabet bangsa Eropa, juga dipandang Donnelly sebagai keturunan
langsung dari aksara yang digunakan penduduk Atlantis.
Donnelly juga merujuk pada sebab-sebab
alamiah untuk menjelaskan fenomena gempa bumi dan banjir besar yang
menenggelamkan Atlantis. Sebagai contoh bahwa tenggelamnya sebuah daratan yang
luas pernah terjadi dalam sejarah, Donnelly memadankan gempa bumi yang
menenggelamkan sebagian Sisilia dan 2.000 mil persegi daratan di Lembah Indus.
Sebagian argumen ilmiah yang
dikemukakan Donnelly dalam bukunya terbukti usang, sejalan dengan penemuan ilmu
pengetahuan modern. Tapi, preposisi dasar yang dikemukakannya tetap menjadi
asas kepercayaan para pencari dan fanatisi Atlantis -kaum yang percaya
keberadaan Atlantis. Salah satunya adalah kesamaan legenda tentang sebuah surga
di Samudra Atlantis, yang secara bersamaan hidup dalam mitos kuno berbagai
bangsa.
Mereka yang percaya pada Atlantis
memang yakin, jika benua hilang itu benar-benar ada, pastilah kenangan
tentangnya hidup di benak bangsa-bangsa di kedua sisi Samudra Atlantik.
Ternyata, catatan tertulis dan dongeng di berbagai bangsa seolah membenarkan
keyakinan ini. Kaum Welsh, nenek moyang bangsa Inggris, misalnya, selalu
menunjuk "samudra di sebelah barat" setiap membincangkan surga dunia.
Kaum Welsh menyebut surga itu
"Avalon". Bangsa Babylonia juga menempatkan surga dunia mereka di
"samudra barat", dan menamakannya "Aralu". Bangsa Mesir
kuno menunjuk "kediaman para jiwa" di sebuah tempat jauh di barat, di
tengah-tengah samudra. Bangsa Mesir menyebut tempat itu dengan berbagai nama:
"Aaru" atau "Aalu", atau "Amenti".
Banjir Kiriman Dewa Hurakan
Bangsa Celtic, nenek moyang bangsa
Spanyol, dan kaum Basque, juga punya tradisi yang menyebut bahwa kampung
halaman mereka ada di samudra sebelah barat. Bangsa Gauls di Prancis, terutama
suku bangsa di sebelah barat, punya legenda bahwa nenek moyang mereka datang mengungsi
dari tengah samudra barat, sebagai akibat bencana yang menghancurkan negeri
asalnya.
Suku-suku kuno di Afrika juga punya
cerita dalam tradisi mereka yang menyebut adanya "benua" di sebelah
barat Afrika. Suku-suku Afrika ini menyebut bangsa penghuni daratan itu sebagai
"Atarantes" dan "Atlantioi". Sementara pada seberang lain
Samudra Atlantik, di Kepulauan Canary, ada suku penghuni gua kuno yang menyebut
diri "Atalaya". Mereka pun punya dongeng tentang tenggelamnya Atlantis.
Sementara itu, bangsa-bangsa Arab
memiliki legenda tentang kaum "Ad" yang musnah dihancurkan banjir
yang dikirim Tuhan sebagai hukuman atas dosa-dosa mereka. Bahkan, menurut
Charles Berlitz, para fanatisi Atlantis percaya adanya kemungkinan bahwa Adam
(Ad-am) tidaklah merujuk pada manusia pertama, tapi ras pertama.
Di Amerika Selatan dan Amerika Utara,
mayoritas suku Indian punya legenda yang menceritakan bahwa nenek moyang mereka
adalah manusia super yang datang dari arah timur. Bangsa Aztec, misalnya,
melestarikan nama "Aztlan", negeri asal nenek moyang mereka, sebagai
nama suku. Quetzalcoatl, dewa kaum Aztec dan bangsa Meksiko, disebut sebagai
laki-laki kulit putih yang penuh cambang.
Dewa ini, menurut legenda, datang ke
Lembah Meksiko dari tengah samudra untuk mengajarkan peradaban baru. Dalam
kitab suci bangsa Quiche Maya, terdapat kisah tentang negeri di timur, tempat
nenek moyang kaum Quiche Maya sempat hidup dalam surga ideal "kala kaum
putih dan hitam hidup dalam perdamaian sejati", sebelum dewa Hurakan (Hurricane)
marah dan mengirimkan banjir ke bumi.
Kepercayaan, atau legenda, tentang
adanya banjir besar yang memusnahkan peradaban juga menjadi alasan lain yang
menyebabkan banyak orang meyakini keberadaan Atlantis. Hampir seluruh peradaban
memang memiliki legenda tersendiri tentang banjir besar yang menghancurkan,
yang menyisakan sebagian kecil orang yang selamat untuk melanjutkan kehidupan
di tempat lain.
Piramida Bertaburan di Amerika Tengah
Dalam bentuk yang sedikit berbeda,
legenda semacam ini hidup pada bangsa-bangsa Babylonia, Persia, Mesir, Yunani,
Italia, Cina, India, dan hampir seluruh bangsa Asia. Legenda tentang banjir ini
bahkan juga hidup di kalangan Indian Amerika. Pada banyak suku Indian, malah
hidup legenda bahwa nenek moyang mereka datang dari timur, dengan kapal yang
selamat dari banjir besar.
Tapi, tak hanya legenda yang membuat
argumen Atlantis sebagai asal peradaban laku dipercaya. Temuan-temuan
arkeologis besar sempat membuat teori "asal tunggal peradaban" ini
makin kuat. Beberapa peradaban kuno ternyata memiliki kemiripan, padahal letak
mereka begitu berjauhan. Lihat saja kemiripan antara piramida di Mesir dan
piramida-piramida di belahan lain Samudra Atlantik.
Temuan arkeologis menunjukkan, betapa
Amerika Tengah ternyata penuh dengan piramida. Bangsa Toltec, bangsa Aztec,
bangsa Teotihuacan, dan bangsa Maya, semua memiliki piramida. Lalu, siapa yang
membangun piramida-piramida itu? Apa hubungannya dengan piramida Mesir yang
bentuk serta teknologinya sangat mirip?
Bangsa-bangsa yang terpisah jarak
begitu jauh ini ternyata memiliki kesamaan begitu besar. "Di Mesir
terdapat piramida, di Meksiko juga ada. Tentu muncul dugaan bahwa kedua jenis
piramida itu berasal dari sumber yang sama.
Tak hanya itu, ilmu pengetahuan juga
harus bisa menjelaskan, mengapa beberapa peradaban yang terpisah jauh itu
sama-sama menulis dengan hieroglif. Juga menjelaskan, mengapa
kebudayaan-kebudayaan itu bisa memiliki pemahaman astronomi dan keagamaan yang
begitu mirip. Bagi Ignatius Donnelly dan pengikutnya, yang percaya pada
asal-usul tunggal peradaban, jawaban pertanyaan itu jelas belaka. Semua
membuktikan bahwa Atlantis memang pernah benar-benar ada. Teori Atlantis ini
memang sangat masuk akal. Dan bukan hanya kaum awam yang percaya.
Bukti-bukti Baru Terus Bermunculan
Namun, secara umum, para arkeolog
ternama kini tetap memandang teori Atlantis sebagai isapan jempol. Semua
keraguan itu bermula dari revolusi yang terjadi pada ilmu arkeologi pada
1950-an. Pada dekade itu, ditemukannya teknologi carbon dating boleh dikata
telah mengubah secara dramatis cara arkeolog memandang peninggalan masa lalu.
Dengan carbon dating, untuk pertama
kalinya para arkeolog dan saintis bisa menetapkan usia pasti peninggalan
arkeologis dengan menguji unsur kimiawi sampel situs itu. Hasil penelitian
carbon dating ternyata menunjukkan bahwa piramida-piramida yang dipisahkan
jarak di kedua sisi Samudra Atlantik itu dibangun pada masa yang tak
berdekatan.
Para arkeolog juga menemukan bahwa
piramida Mesir dan piramida Maya dibangun dengan cara dan teknik yang sama
sekali berbeda. Adapun soal bentuk? Jawabannya, menurut para arkeolog sederhana
saja: insinyur-insinyur pada dua peradaban itu belum mengenal teknologi kubah
untuk membangun konstruksi ekstra tinggi. Bentuk piramida adalah konstruksi
paling sederhana yang mereka kenal.
Jika piramida tak bisa membuktikan
kebenaran teori Atlantis Donnelly, bagaimana dengan tulisan hieroglif pada
kebudayaan Maya dan Mesir kuno? Kalau bisa membaca hieroglif Mesir kuno, apakah
kita bisa membaca sembarang hieroglif Maya? Jawabannya: tidak. Dua kebudayaan
tulis itu sama sekali tak punya simbol dan teknik yang sama.
Apa pun bukti dan teori yang
dikemukakan para arkeolog untuk menisbikan teori Atlantis, jumlah mereka yang
percaya ternyata tak pernah berkurang. Bukti-bukti baru mengenai keberadaan
Atlantis pun terus bermunculan. Pada 1968, misalnya, Dr. Manson Valentine
menemukan reruntuhan yang kemudian ternama dengan sebutan "Bimini
Road".
Jalan Bimini itu adalah sejumlah
tembok, fondasi, jalan, dan dermaga yang tersembunyi di kedalaman, di sebelah
timur Bimini Utara. Temuan itu sekali lagi menyebabkan kontroversi keberadaan
Atlantis menjadi pembicaraan ramai. Bagi para saintis penentang teori Atlantis,
"Bimini Road" tak lebih dari sekumpulan karang dan bebatuan laut
biasa.
Perdana Menteri Inggris Mencari
Atlantis
Tapi, bagi mereka yang percaya, tak
mungkin ada bebatuan laut yang membentuk pola-pola sedemikian rapi, dalam skala
yang begitu besar. Juga, apakah mungkin ada sekumpulan bebatuan laut yang
secara kebetulan memiliki bentuk semacam tiang-tiang besar sejenis di bawah
permukaannya? Bagi kaum yang percaya, ditemukannya "Bimini Road"
adalah kebenaran ramalan Edgar Cayce.
Edgar Cayce adalah seorang paranormal
asal Virginia, Amerika Seriukat, dan periset fenomena-fenomena supranatural
yang meninggal pada 1945. Pada masa hidupnya, Edgar Cayce telah melakukan
ratusan wawancara dengan "alam gaib" serta amatan spiritual yang
membuktikan bahwa Atlantis memang pernah benar-benar ada. Uniknya, pada 1940,
Edgar Cayce telah meramalkan penemuan Jalan Bimini oleh Dr. Manson Valentine.
"Poseidia akan menjadi bagian
Atlantis yang paling awal muncul ke permukaan bumi. Pada 1968 paling
terlambat," kata Edgar Cayce. Paranormal ini juga telah menyebutkan bahwa
Poseidia, bagian paling barat dari Atlantis, akan muncul di dekat Bimini.
Menurut Edgar Cayce, bagian yang muncul di kedalaman 18.000 kaki di Bimini
adalah titik tertinggi dari benua hilang yang tenggelam itu.
Layaknya sebuah legenda, kebenaran
Atlantis boleh jadi akan selalu menjadi misteri. Yang jelas, sebagai legenda,
keberadaan Atlantis telah mempengaruhi banyak figur besar dalam sejarah.
Menurut Charles Berlitz, dalam The Mystery of Atlantis, Christopher Columbus
pun terpengaruh oleh legenda ini. Ia termasuk tergoda mencari
"Antilia", nama lain Atlantis, sebelum akhirnya menemukan Amerika.
Pada akhir abad ke-19, William
Gladstone, Perdana Menteri Inggris pada pemerintahan Ratu Victoria, sempat
secara resmi meminta parlemen menyiapkan undang-undang yang menjamin penyediaan
dana bagi ekspedisi pencarian Atlantis. Namun, permintaan Gladstone itu ditolak
sebagian besar anggota parlemen, yang tak bisa mengerti antusiasme perdana
menteri ini.
Legenda Atlantis ternyata juga
merupakan sumber ideologi Nazi. Walau jarang diungkap, kepercayaan Nazi bahwa
ras Arya adalah ras paling mulia jelas-jelas didasarkan pada legenda Atlantis.
Dalam dokumen - dokumen rahasia Nazi tertulis jelas bahwa Heinrich Himmler,
pemimpin SS, satuan elite Nazi, pernah meminta para ilmuwan Jerman untuk
membuktikan bahwa ras Arya adalah keturunan langsung dari ras super penghuni
Atlantis. Sekian. Nuwun
0 on: "Atlantis : Moyang Segala Peradaban Yang Tenggelam"