Akarasa – Selamat
datang kerabat akarasa. Terima kasih masih setia berkunjung di sini. Semoga
penjenengan senantiasa betah di sini. Ada kejadian yang kurang menyenangkan
sebenarnya, hingga menginspirasi tulisan ini. Sekitar setahun yang lalu ketika
saya hendak ke Madiun mampir di alun-alun kidul Kraton Solo. Karena penasaran
dengan kereta yang ada disamping kanan dan kiri Sitinggil, yang beberapa kali
saya ke tempat ini, tak sekalipun saya melihat dari dekat.
Kereta tua bercat
putih, khas peninggalan pemerintahan kolonial Belanda. Saking penasarannya,
saya panjat kereta yang sebelah barat. Ee, ada bapak-bapak berteriak tak jauh
dari kereta tersebut. Saya kira bukan saya, lha mosok orang setua saya
diteriaki hanya gara-gara sedikit memanjat kereta karena penasaran lihat
interiornya, yo mosok takut jatuh po piye. Ternyata saya. Diperingati seperti
itu, sambil menahan malu, saya langsung ngeloyor saja ke tempat salah satu
lesehan untuk pesan teh hangat.
Dari ibu bakul lesehan
itulah saya akhirnya dapat informasi. Ternyata, kereta tersebut adalah dulunya
dipakai mengangkut jenazah Sinuwun Pakubuwono X ke Stasiun Tugu untuk kemudian
dibawa ke pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri. Itulah alasannya hingga
disakralkan. Tidak boleh dipanjat. Ora sopan!
Benar saja, melihat
keterangan yang ada di badan kereta, saya jadi teringat pada sebuah majalah
yang pernah saya baca tentang sosok Pakubuwono X. Seorang raja yang paling lama
berkuasa. Hingga bisa membangun dan mempercantik keratonnya. Dan bangunan yang
sekarang, hampir semua adalah karyanya. Yang itu bisa dikenali, karena pada
tiap bangunan yang didirikan selalu terdapat simbol PB X.
Sampeyandalem Ingkang
Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwono X (lahir di Surakarta, 29 November 1866 –
meninggal di Surakarta, 1 Februari 1939) adalah raja Kasunanan Surakarta yang
memerintah tahun 1893 – 1939.
Nama lahirnya (asma
timur) adalah GRM. Sayiddin Malikul Kusno, putra Susuhunan Pakubuwono IX yang
lahir dari permaisuri KRAy. Kustiyah (putri dari Pangeran Wijoyo II), pada
tanggal 29 November 1866. Pakubuwono IX sendiri adalah putra dari Susuhunan
Pakubuwono VI yang dibuang ke Ambon oleh Belanda atas tuduhan pengkhianatan dan
dukungannya terhadap Pangeran Diponegoro selama Perang Jawa. Jadi Pakubuwono X
adalah cucu Pakubuwono VI, maka dalam garis perjuangannya melawan kekuatan Belanda,
beliau tidak pernah mengabaikan pesan dan terus melanjutkan perjuangan jejak
kakeknya.
![]() |
Sunan Pakubuwono IX bersama GKR. Pakubuwono. |
![]() |
Sunan Pakubuwono X di awal masa bertahtanya. |
GRM. Sayiddin Malikul
Kusno dilahirkan pada hari Kamis legi tanggal 22 Rajab Tahun 1795 (tahun Jawa)
atau tanggal 29 November 1866 pada pukul 07.00 pagi. Waktu mengandung, KRAy.
Kustiyah (GKR. Pakubuwono) ngidam dhahar gedang pakis raja, yang dengan susah payah dicarikan seorang kerabat
dan diketemukan di rumah Jan Smith di Desa Gumawang. Kelahiran Sayiddin Malikul
Kusno disambut oleh para sentana/kerabat dengan bunyi meriam dan segala
tetabuhan serta terompet lengkap dengan bunyi gaamelan Kodok Ngorek sebagai
wujud syukur atas kelahiran calon pengganti raja yang ditunggu-tunggu. Pada
usia 3 tahun Sayiddin Malikul Kusno telah ditetapkan sebagai putra mahkota
bergelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangkunegoro Sudibyo Rojoputro
Narendro ing Mataram VI.
Konon, kisah
kelahirannya menjadi cermin ketidakharmonisan hubungan antara ayahnya dengan
pujangga R.Ng. Ronggowarsito. Dikisahkan, pada saat KRAy. Kustiyah baru
mengandung, Pakubuwono IX bertanya apakah anaknya kelak lahir laki-laki atau
perempuan. Ronggowarsito menjawab kelak akan lahir hayu. Pakubuwono IX kecewa
mengira anaknya akan lahir cantik alias perempuan. Padahal ia berharap mendapat
bisa putra mahkota dari KRAy. Kustiyah. Selama berbulan-bulan Pakubuwono IX
menjalani puasa atau tapa brata berharap anaknya tidak lahir perempuan.
Akhirnya, KRAy. Kustiyah melahirkan Sayiddin Malikul Kusno. Pakubuwono IX
dengan bangga menuduh ramalan Ronggowarsito meleset.
Ronggowarsito
menjelaskan bahwa istilah hayu bukan berarti ayu atau "cantik",
tetapi singkatan dari rahayu, yang berarti "selamat". Mendengar
jawaban Ronggowarsito ini, Pakubuwono IX merasa dipermainkan, karena selama
berbulan-bulan ia terpaksa menjalani puasa berat. Ketidakharmonisan hubungan
Pakubuwono IX dengan Ronggowarsito sebenarnya dipicu oleh fitnah pihak Belanda
yang sengaja mengadu domba keturunan Pakubuwono VI dengan keluarga Yosodipuro.
Sayiddin Malikul Kusno
naik tahta sebagai Susuhunan pada tanggal 30 Maret 1893 menggantikan ayahnya
yang meninggal dua minggu sebelumnya, dengan gelar resmi Sampeyandalem Ingkang
Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdulrahman
Sayiddin Panotogomo Ingkang kaping X. Adapun sebutan "Sayiddin
Panotogomo" dikarenakan pada malam sebelum penobatan, bertempat di Masjid
Pujosono Keraton Surakarta beliau dihadapkan dengan para penghulu dari
keturunan Sembilan Wali yang telah sungkem mengamini penobatannya sebagi wali
hakim.
Semasa berkuasa selama
46 tahun, Pakubuwono X menjadi pendorong di balik layar pergerakan nasional
untuk mencapai kemerdekaan. Pada masa itu, Surakarta menjadi satu-satunya
wilayah di Indonesia yang dapat mengibarkan bendera gula kelapa atau Merah
Putih, bukan bendera Belanda. Masa pemerintahannya ditandai dengan kemegahan
tradisi dan suasana politik kerajaan yang stabil. Pada masa pemerintahannya
yang cukup panjang, Kasunanan Surakarta mengalami transisi, dari kerajaan
tradisional menuju era modern, sejalan dengan perubahan politik di
Hindia-Belanda.
Pakubuwono X juga
berhasil menyatukan trah Dinasti Mataram yang terpecah sejak tahun 1755 melalui
pernikahan. Setelah tidak dapat memiliki keturunan dari permaisurinya, GKR.
Pakubuwono, beliau menikah lagi dengan putri Sultan Hamengkubuwono VII dari
Kesultanan Yogyakarta yang bernama BRAj. Mur Sudarinah. Pernikahan agung kedua
kerajaan itu berlangsung pada 27 Oktober 1915, dan setelah diangkat menjadi
istri permaisuri, BRAj. Mur Sudarinah bergelar GKR. Hemas
![]() |
GKR. Pakubuwono, permaisuri pertama Sunan Pakubuwono X. |
![]() |
GKR. Hemas, permaisuri kedua Sunan Pakubuwono X. |
![]() |
Sebuah foto berwarna yang menampilkan Sunan Pakubuwono X sewaktu menikah dengan GKR. Hemas di Keraton Surakarta, 27 Oktober 1915. |
Dalam bidang
sosial-ekonomi, Pakubuwono X memberikan kredit untuk pembangunan rumah bagi
warga kurang mampu. Di bidang pendidikan, ia mendirikan sekolah Pamardi Putri
dan Kasatriyan untuk kepentingan kerabat keraton. Infrastruktur moderen kota
Surakarta banyak dibangun pada masa pemerintahannya, seperti bangunan Pasar
Gedhe Harjonagoro, Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo Kota (Sangkrah), Taman dan
Stadion Sriwedari, Kebun Binatang Jurug, Jembatan Jurug yang melintasi Bengawan
Solo di timur kota, gedung-gedung pengadilan, gapura-gapura di batas Kota
Surakarta, rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, rumah singgah bagi
tunawisma, dan rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga Tionghoa. Dalam
bidang pendidikan, beliau juga mendirikan sekolah-sekolah, termasuk Mambaul
Ulum dan Pamardi Putri di Kasatriyan.
Beliau secara terbuka
atau diam-diam mendukung organisasi politik kebangsaan pada awal abad ke-20.
Beberapa pergerakan nasional juga lahir di Surakarta, seperti Serikat Dagang
Islam pada 1905. Budi Utomo yang berdiri di Batavia (Jakarta), juga mendapatkan
dukungan kuat dan banyak beroperasi di Surakarta. Beliau pun aktif mendorong
kerabat keraton untuk belajar dan mendukung pergerakan nasional. Kongres Bahasa
Indonesia I di Surakarta (1938) diadakan pada masa pemerintahannya.
![]() |
Sunan Pakubuwono X bergandengan dengan P.R.W. van Gesseler Verschuir, Gubernur Yogyakarta, meresmikan pembangunan Pasar Gedhe di Surakarta, sekitar tahun 1930. |
Dalam tulisan-tulisan
ilmiah, peranan kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dalam gerakan nasional
Indonesia kurang terungkap. Padahal, Yogyakarta melahirkan Budi Utomo (1908)
sebagai partai politik yang benar-benar pertama di Indonesia. Awal 1912 di
Surakarta muncul Sarekat Islam (SI) sebagai partai politik massa yang juga
pertama di Indonesia. Walaupun SI dilahirkan di sebuah kerajaan Jawa,
kemungkinan keterlibatan keraton dalam gerakan nasional seperti diabaikan.
Bahkan beberapa sarjana menyebutkan, salah satu faktor utama perkembangan SI
adalah adanya kejengkelan rakyat terhadap para bangsawan dan hukum keraton yang
sudah kuno.
Arsip di Belanda
menjelaskan bahwa sebenarnya pihak keraton terlibat dalam gerakan itu.
Munculnya organisasi kebangsaan yang penting di kerajaan Jawa tak mengherankan.
Dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Jawa, perkembangan teknologi di
kerajaan itu tampak terbelakang, tapi perkembangan kebudayaannya amat pesat.
J.Th. Petrus Blumberger, penulis tentang gerakan nasionalis Indonesia yang
paling perseptif, mengatakan bahwa kerajaan-kerajaan itu merupakan tempat
“jantung Jawa berdenyut”. Penulis lain menyebutkan bahwa, terutama sekali di
daerah kerajaan, rakyat menunggu-nunggu datangnya Heru Cakra, sang juru
selamat, sebagaimana telah diramalkan oleh Raja Jayabaya.
Pakubuwono X merupakan
tokoh sentral yang membingungkan. Bahkan mungkin kurang diperhitungkan oleh
ke-13 orang residen dan gubernur Belanda yang ditempatkan di Surakarta sejak
tahun 1893 hingga 1939. Kebanyakan orang Belanda menganggap beliau lemah, tidak
cakap, serta patuh. Memang Pakubuwono X tidak memperlihatkan sikap keras,
apalagi hidupnya mewah, doyan makan enak, senang mengenakan pakaian kebesaran
dengan lencana dan bintang-bintang kehormatan (bahkan orang Belanda sering
menyindir, bahwa tanda kebesaran yang dikenakan Pakubuwono X secara berlebihan
bahkan sampai dipunggunngnya pun tanda kebesaran itu masih dipasang). Belanda
juga menganggapnya percaya pada takhayul sebagaimana kawulanya percaya bahwa ia
punya kekuatan gaib guna menyembuhkan orang sakit, memiliki keris dan senjata
yang serba sakti. Nyatanya, dalam perkembangan selanjutnya, gambaran Pakubuwono
X berbeda. Belanda sempat terkecoh oleh kesehatan beliau.
![]() |
Sunan Pakubuwono X bersama para putri dan abdi dalem. |
Sunan Pakubuwono X bersama GKR. Hemas dan rombongan sewaktu berkunjung di Candi Penataran, Blitar. |
![]() |
Sunan Pakubuwono X bersama rombongan sewaktu berkunjung di Candi Borobudur, Magelang. |
Raja yang lahir tahun
1866 itu, dalam usia 32 tahun, menderita batu ginjal dan tidak dapat membatasi
kemauannya. Belanda sudah memperhitungkan usianya dan menyiapkan pengganti yang
sesuai dengan politik Hindia Belanda. Tapi ternyata ia baru wafat setelah 72
tahun. Sejalan dengan usianya, sikap dan wataknya semakin tegas. Patihnya yang
amat berkuasa diganti atas perintahnya, sehingga kekuasaannya meningkat.
Belanda menganggap ia kurang cakap dalam keuangan dan administrasi.
Perhatiannya direbut upacara-upacara kebesaran dan politik.
Selama pemerintahannya
yang panjang, dalam menghadapi 10 orang gubernur jenderal dan 13 residen secara
silih berganti, Pakubuwono X mampu menjauhkan pertentangan yang serius, bahkan
tampil seolah sebagai teman pemerintah Hindia Belanda. Tetapi kewibawaannya
sebagai raja Jawa di mata rakyat semakin meningkat. Loyatitasnya kepada Hindia
Belanda memang tidak meragukan Kontrak Politik yang ditandatanganinya ketika
naik tahta sebagai Susuhunan pada tahun 1893. Pakubuwono X sadar sebagai cucu
Pakubuwono VI yang pada tahun 1831 dibuang Belanda ke Ambon, ia merasa harus
meneruskan perjuangan pendahulunya dalam mengusir penjajah.
Petunjuk bahwa
Pakubuwono X mempunyai kecenderungan terlibat dalam aktivitas politik
dilaporkan oleh Residen Sollewijn Gelpke (1914-1918) kepada atasannya. Secara
teratur ia mendapati Pakubuwono X memerlukan terjemahan berita-berita penting
dari De Locomotief, surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Semarang.
Khususnya berita mengenai Perang Dunia I, Gelpke mendapati Pakubuwono X
bersimpati pada Jerman sebagaimana banyak orang Indonesia saat itu, termasuk
orang-orang Sarekat Islam. Peranan Pakubuwono X sebagai imam bagi masyarakat
muslim di Surakarta, juga sangat diperhitungkan Belanda.
![]() |
Sunan Pakubuwono X dan GKR. Hemas bersama rombongan ketika melakukan kunjungan di Gresik, tahun 1927. |
![]() |
Sunan Pakubuwono X saat berkunjung ke Keraton Yogyakarta pada tahun 1932. Kedatangan beliau disambut langsung oleh Sultan Hamengkubuwono VIII beserta Gubernur Yogyakarta. |
![]() |
Sunan Pakubuwono X bersama GKR. Hemas dan rombongan sewaktu berkunjung di kediaman Bupati Garut pada tahun 1921. |
Sementara itu, Residen
L.Th. Schneider (1905-1908) berpendapat bahwa potensi subversif Pakubuwono X
patut diperhitungkan. Schneider merupakan salah seorang yang pertama kali
mencurigai pengaruh perjalanan Pakubuwono X ke luar daerah. Walaupun perjalanan
dan kunjungan itu secara teoretis bersifat incognito, kunjungannya ke Semarang,
Surabaya, Ambarawa, dan Salatiga (antara tahun 1903 dan 1906) benar-benar dapat
disebut sebagai kunjungan resmi. Kunjungan itu dapat dianggap sebagai
pencerminan tujuan politik Pakubuwono X yang hendak memperluas pengaruhnya
sebagai raja Jawa. Ia juga melawat ke Bali dan Lombok, serta Lampung.
Pada bulan Desember
1921, Pakubuwono X melakukan perjalanan ke daerah Priangan, diiringi oleh 52
bangsawan dan abdi dalem. Setelah singgah di Semarang, Pekalongan, dan Cirebon,
Pakubuwono X menetap cukup lama di Garut dan Tasikmalaya. Di Garut, ratusan
orang berkumpul menanti kehadiran Pakubuwono X, sehingga merepotkan polisi
Belanda. Pada bulan Februari 1922, Pakubuwono X mengadakan perjalanan lagi ke
Madiun, disertai oleh 58 bangsawan dan abdi dalem. Perjalanan itu resminya
sekali lagi disebut incognito, tapi justru benar-benar membuat citra Pakubuwono
X semakin meningkat. Ia mengobral banyak hadiah tanda mata dengan lambang PB X.
Bupati-bupati menerima keris dengan hiasan permata, serta para wedana dan
asisten wedana memperoleh berbagai arloji emas.
![]() |
Sunan Pakubuwono X bersama putri beliau, GKR. Pembayun, ketika berbincang dengan Gubernur Jenderal A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dalam kunjungan beliau di Istana Bogor. |
![]() |
Sunan Pakubuwono X menyambut kedatangan Gubernur Jenderal A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer sewaktu berkunjung ke Surakarta. |
![]() |
Sunan Pakubuwono X bersama Gubernur Jenderal de Graeff ketika berada di Boyolali, tahun 1928. |
Demi mendukung dan
membangkitkan semangat nasionalisme masyarakat (Jawa), Pakubuwono X terus
mengadakan perjalanan ke daerah-daerah. Belanda keberatan, dengan alasan biaya.
Padahal, sebenarnya Belanda hendak membatasi popularitas Pakubuwono X.
Sekalipun perjalanan itu bersifat incognito, tetapi Pakubuwono X selalu
mengesankan di mata rakyat sebagai Kaisar Tanah Jawa.
Setelah perjalanannya
ke Jawa Barat dan Jawa Timur pada tahun 1922, yang bersamaan dengan
meningkatnya semangat radikalisme Budi Utomo, Pakubuwono X tidak mengadakan
perjalanan lagi pada tahun 1923. Baru pada tahun berikutnya, ia mengadakan
kunjungan besar ke Malang. Penampilannya yang mengalihkan perhatian rakyat
disana menyebabkan Gubernur Jenderal Dirk Fock bahkan menyuruh Residen
Nieuwenhuys mempersilahkan Pakubuwono X untuk segera pulang.
Alasannya, persyaratan
incognito telah dilanggar. Setelah Nieuwenhuys pindah dari Surakarta,
Pakubuwono X mengadakan perjalanan lagi pada tahun 1927. Diiringi 44 orang
bangsawan dan abdi dalem, ia mengadakan kunjungan ke Gresik, Surabaya, dan
Bangkalan selama seminggu. Jumlah pengiringnya kala itu bahkan mencapai tiga
kali lipat dari jumlah dalam persyaratan yang dibuat oleh Belanda.
“Main mata” SI dengan
keraton Pakubuwono X boleh dikata berawal di bulan September 1912. Dari sebelas
orang pimpinan SI Solo, empat orang di antaranya pejabat tinggi keraton.
Kongresnya yang kedua diselenggarakan di Sriwedari, sebuah taman dan tempat
pertemuan milik Pakubuwono X. Beberapa hari sebelum kongres dibuka, patih
Sosrodiningrat memberi tahu Van Wijk bahwa SI setempat meminta kepada putranya,
RM. Wuryaningrat, agar menjadi anggota kehormatan.
Selanjutnya, atas
perintah ayahnya, Wuryaningrat menolak permintaan itu dengan pura-pura membuat
alasan karena anggaran dasar SI belum mendapat persetujuan dari pemerintah
Hindia Belanda. Van Wijk lagi-lagi terkejut ketika pada malam menjelang
pembukaan kongres mendengar KGPH. Hangabehi terpilih sebagai pelindung SI.
Ketika ditanya oleh residen Belanda, Hangabehi mengatakan bahwa keanggotaannya
di SI baru dua hari, ia juga telah diundang hadir pada rapat pendahuluan
kongres. Ketika tiba-tiba diminta jadi pelindung, permintaan itu langsung
diterimanya, tanpa meminta nasihat dulu dari Susuhunan atau patih. Kehadiran
KGPH. Hangabehi memang mendapat sambutan hangat dari kongres. Secara resmi
pangeran itu terpilih sebagai pelindung. H. Samanhudi terpilih sebagai ketua,
dan Cokroaminoto sebagai wakil ketua. KRMA. Puspodiningrat – putra KRT.
Wiryodiningrat, penasihat Pakubuwono X yang paling terpercaya jadi ketua cabang
Jawa Tengah. Puspodiningrat waktu itu berpangkat bupati nayoko di keraton, ia
dikenal sebagai pemeluk agama Islam yang taat, yang antipati pada orang Eropa.
![]() |
Sunan Pakubuwono X bersama GKR. Hemas sewaktu berkunjung di Batavia, tahun 1915. |
![]() |
Sunan Pakubuwono X bersama Gubernur Surakarta, J.J. van Helsdingen, dalam sebuah upacara di Keraton Surakarta, sekitar tahun 1935. |
Tindakan Pakubuwono X
ini bahkan menyerempet-nyerempet bahaya, kalau ditilik dari sangsi yang dapat
dijatuhkan Belanda kepada beliau, sehubungan dengan kontrak politik yang
ditandatangani beliau pada waktu naik tahta. Namun semua ini tidak diperdulikan
Pakubuwono X, bahkan beliau tidak pernah mau datang di kantor gubernur jika ada
urusan dinas yang perlu dibicarakan. Sebaliknya, gubernur-lah yang harus
menghadap ke keraton, dan itupun harus mengikuti protokuler, yaitu mengajukan
permohonan dulu jika hendak ketemu Pakubuwono X. Beliau adalah satu-satunya
Raja Jawa yang berani mengambil resiko ini. Beliau tetap menunjukkan
kewibawaannya sebagai ratu.
Pakubuwono X sadar
bahwa untuk mengadakan aksi militer terhadap Belanda sudah tidak mungkin lagi,
sejak Dinasti Mataram terpecah menjadi dua kerajaan dan dua kadipaten. Namun
Pakubuwono X tidak akan melepaskan cita-citanya membangun kembali Mataram
seperti semula. Kata seorang gubernur Belanda, bahwa dalam mimpinya Pakubuwono
X masih membayangkan ini. Juga tidak akan dilupakan pesan yang ditinggalkan
sang eyang, Pakubuwono VI, yang wafat di tanah pembuangan, agar jangan lupa
mengambil tindakan terhadap Belanda.
Walaupun pada
kenyataannya, semua tindakan perjuangan Pakubuwono X ini tidak banyak diketahui
masyarakat Indonesia kebanyakan. Termasuk pula peran kota Solo atau Surakarta
sebagai kota pusat pergerakan nasional. Hal tersebut tidak lepas karena saat
itu Surakarta merupakan sebuah kota pusat pemerintahan, otomatis segala gerak
perjuangan yang dilakukan oleh pihak-pihak keraton bersifat bawah tanah. Atas
jasa-jasa perjuangan Pakubuwono X, pemerintah Indonesia menganugerahi beliau
sebagai Pahlawan Nasional (Keppres No. 113/TK/2011, Tgl. 7 November 2011).
![]() |
Sunan Pakubuwono X dan GKR. Hemas beserta putri, GRAj. Sekar Kedaton, kelak bergelar GKR. Pembayun. |
![]() |
Sunan Pakubuwono X bersama KGPAA. Mangkunegoro VII (paling kiri) menyaksikan defile pasukan baru dari Legiun Mangkunegaran pada tahun 1932. |
![]() |
Sunan Pakubuwono X ketika sedang berkuda. Tampak pada gambar beliau mengenakan seragam militer ala Eropa. |
Dalam bidang keagamaan,
Pakubuwono X mengadakan perombakan besar-besaran pada bangunan fisik Masjid
Agung Surakarta, serta Masjid Kotagede dan Masjid Imogiri yang masuk dalam
wilayah enclave Kasunanan Surakarta di dalam wilayah Kesultanan Yogyakarta.
Pada masa pemerintahan beliau, pembacaan kitab-kitab agama dilangsungkan pada
hari Rabu malam Kamis, bertempat di Bangsal Pracimarga. Pembacaan diatur secara
bergantian dan dipilih diantara mereka yang telah pandai. Pada pertemuan itu R.
Penghulu menguraikan isi kitab yang baru saja dibaca. Pada hari Kamis Malam
Jumat, Pakubuwono X melakukan udhik-udhik(sedekah artinya menyebar dana uang).
Pakubuwono X melakukan ritual agama di beberapa tempat tertentu, yaitu berupa
pemberian uang sedekah yang disebarkan kepada rakyat.
Pakubuwono X pernah
datang di Masjid Demak untuk melakukan shalat sunnah. Beliau juga memerintahkan
permaisuri dan para putri serta para abdi dalem wanita untuk beziarah ke makam
Sunan Kalijaga. Pada awal didirikannya Masjid Agung Surakarta tidak sebesar dan
semegah sekarang. Pakubuwono X sebagai raja yang memerintah berikutnya banyak
melakukan perbaikan Masjid Agung Surakarta, baik mengenai bangunan, perabotnya
maupun dekorasinya.
Aktivitas memakmurakan
masjid tertata dengan rapi mulai dari aktivitas harian, mingguan, bulanan atau
tahunan. Majelis taklim tersedia bagi anak-anak remaja dan orang tua.
pendidikan kegamaan bagi keluarga Sunan dilaksanakan di Istana dan dilaksanakan
oleh Abdi Dalem Mutihan. Pakubuwono X sendiri belajar ilmu agama dari Abdi
Dalem Mutihan tersebut, yaitu kepada Bagus Raden Panji Affandi Muhammad
Muqaddas, saudara Penghulu Tafsir Anom V. Waktu Pakubuwono X masih remaja,
guru-guru mengajinya adalah Kyai Shalekhah, Kyai Yahya, Kyai Pujiwidada, sedang
Kyai Anip adalah seorang khoja diangkat sebagai guru untuk doa-doa terpilih.
Pakubuwono X juga terkenal mahir dalam dunia karya sastra, salah satu karya
beliau adalah Serat Wulangreh Putri.
![]() |
Suasana acara selamatan di Sasana Sewayana, Siti Hinggil Lor, Keraton Surakarta, sekitar tahun 1920-an. |
![]() |
Sunan Pakubuwono X beserta GKR. Hemas dan rombongan mengenakan pakaian haji. |
Pakubuwono X sendiri
merupakan raja yang gemar melaksanakan upacara kerajaan secara besar-besaran,
tak hanya melibatkan para bangsawan, namun juga masyarakat umum. Beliau juga gemar
mengenakan pakaian kebesaran selama bertatap muka dengan rakyat dan ketika
melakukan kunjungan-kunjungan ke berbagai daerah. Pakubuwono X selain sebagai
seorang raja, beliau juga gemar melakukan bisnis. Tak heran, begitu banyak aset
kekayaan yang dimiliki Pakubuwono X, membuat beliau sebagai raja terkaya di
Hindia Belanda pada saat itu. Konon, busana-busana permaisuri GKR. Hemas
didatangkan langsung dari Belanda dan Perancis.
Pakubuwono X adalah
orang Indonesia, bahkan orang Asia Tenggara pertama yang tercatat sebagai
pemilik mobil pada tahun 1894. Mobilnya bermerk Benz, tipe Carl Benz, beroda
empat. Diperlukan waktu satu tahun persiapan pembuatannya, karena tipe ini
memiliki banyak variasi sesuai dengan pesanan Pakubuwono X sendiri.
John.C.Potter seorang penjual mobil mendapat kepercayaan untuk mengurusi
pengirimannya dari Eropa.
Mobil ini bekerja
dengan empat silinder sama dengan kendaraan yang dipakai oleh gubernur jenderal
di Batavia. Malahan ada kabar burung, bahwa dibelinya mobil Daimler tersebut
oleh Pakubuwono X, disebabkan karena beliau tidak mau kalah gengsi dengan si Gubernur
Jenderal. Sebelumnya, ketika gubernur jenderal masih menggunakan mobil merk
Fiat atau sebuah kereta yang ditarik dengan 40 ekor kuda, tidak seorang pun
berani menyainginya. Tetapi tiba-tiba saja Pakubuwono X memesan mobil dari
pabrik dan merk yang sama. Suatu tindakan nyentrik yang berani pada masa itu.
![]() |
Sunan Pakubuwono X ketika berada di dalam kereta kencana kebesarannya. |
Masa pemerintahan
Pakubuwono X adalah masa keemasan bagi Kasunanan Surakarta. Bersama dengan
Mangkunegoro VII, Surakarta berkembang pesat menjadi kota terbesar ke lima di
Hindia Belanda pada masa itu. Kemakmuran Surakarta membuat banyak penulis /
jurnalis luar negeri yang datang berkunjung ke Surakarta sejak abad 19 karena
tertarik dengan keunikan kota ini. Yang menjadi pusat perhatian tentunya pusat
budaya dan pemerintahan saat itu, yaitu Keraton Surakarta dan Pura
Mangkunegaran.
Pada tahun 1937,
majalah bergengsi dari Amerika Serikat, Life, meliput upacara besar ulang tahun
Pakubuwono X. Isi liputan majalah tersebut ialah :
Salah
satu dinasti tertua di dunia adalah dinasti keluarga raja Surakarta di Jawa
bagian tengah, Sultan Paku Buwono X, yang dikenal oleh 2.260.000 penduduk jawa
sebagai "sang bijak / ingkang wicaksana", darah ningratnya bermula
semenjak abad 8 masehi. Di bawah naungan Ratu Wilhelmina dari belanda, beliau
menguasai satu diantara dua kesultanan asli di tanah Belanda pada sisi dunia
yang lain. Petinggi di atasnya adalah residen M.J.J. Treur yang mana dipanggil
sebagai "saudara tua". Baru-baru ini, sang Sultan merayakan ulang
tahunnya yang ke-72 dan mengundang "saudara tua" untuk ikut
menghadiri pesta di istananya. Selain itu, yang ikut hadir adalah 4 istri
resminya, 11 istri tidak resmi, 44 putra putrinya, 88 cucunya, 20 cicitnya -
dan turut diundang pula fotografer pertama eropa yang diundang untuk meliput pesta
ulang tahun sang sultan. Berhubung Paku Buwono masih memegang teguh tradisi
istana Jawa - Melayu, seluruh 6000 abdi dalem, pegawai, prajurit, pembantu, dan
para selir istana diperindah untuk perayaan pesta tiga hari tersebut.
Perjanjian tahun 1750 antara VOC dan Sultan Surakarta membagi kekayaan tanah
kekuasaan seluas 2,408 meter persegi (seukuran delaware). Dengan demikian,
istananya dipermewah dengan kanopi sutra, lampu kristal, dan pegawai istana
dengan lencana emas. Karena sang paku buwono tertarik dengan barang-barang
modern, Paku Buwono "sang bijak" memiliki sebuah mobil amerika dan
pesawat inggris. Namun, karena jantungnya yang lemah, dokter pribadi kerajaann
didikan paris melarangnya untuk terbang, namun beliau tidak mematuhi anjuran
dokternya. Pakaian kepala pegawai istana dibuat dalam gaya culberston. Selain
itu, beliau juga mengoleksi medali penghargaan dari berbagai negara dunia.
Separuh dari negara dunia direpresentasikan dalam medali penghargaan pada jas
velvetnya. Musim semi yang lalu, beliau memprotes ke konsulat Amerika Serikat,
Jenderal Walter A. Foote karena amerika belum memberikannya penghargaan.
![]() |
"Pada pesta jamuan makan malam, sang tuan rumah (memakai fez) dan 'saudara tua' (dengan jas putih) menghadap kamera. Umur paku (72) tertera pada vas bunga." |
![]() |
"Sembilan putri istana menarikan tari kuno jawa, bedoyo, di hadapan sultan dan para hadirin." |
Pakubuwono X duduk di
singgasana Dinasti Mataram selama 46 tahun (1893-1939). Putranya kira-kira 70
orang, yang masih hidup saat sebelum beliau mangkat ada 44 orang – 20 putra, 24
putri. Masalah yang mengganjal ialah bahwa Pakubuwono X tidak memperoleh putra
dari kedua permaisurinya. Dua putra yang tertua, KGPH. Hangabehi dan KGPH.
Kusumoyudo, yang memiliki kemungkinan besar menjadi penggantinya, lahir dari
selir. Menurut keinginannya, KGPH. Kusumoyudo-lah yang hendak dijadikan putra
mahkota, meski usianya 40 hari lebih muda dari KGPH. Hangabehi. KGPH.
Kusumoyudo mempunyai seorang putra (sulung) bernama KRMH. Mr. Kartodipuro
(kemudian bernama BPH. Mr. Sumodiningrat), ahli hukum lulusan Universitas
Leiden tahun 1935. Sekembalinya di Surakarta ia diangkat menjadi bupati anom di
kepatihan, dan tak lama kemudian menceburkan diri dalam kegiatan politik. Ia
bergabung dalam Parindra, dan menjadi wakil ketua cabang Solo sejak Agustus
1939. Ia juga menjadi pemimpin redaksi Sara Murti (Panah Wisnu), pengganti
Timbul, yang terbit sejak Juli 1936. Kritik-kritik pedas yang dilancarkan oleh
Sumodiningrat dalam majalah itu menimbulkan kemarahan Belanda. Gubernur Orie
pernah memanggilnya dan menumpahkan kemarahannya selama tiga jam.
Pada tahun 1898
Pakubuwono X sudah berniat mengangkat KGPH. Kusumoyudo sebagai putra mahkota,
tapi diurungkannya karena sebagian besar kalangan keraton yang anti-Belanda,
termasuk patih, lebih memilih KGPH. Hangabehi. Belanda pun menilainya cukup
dapat dipercaya dan “loyal”. Ia mendapatkan dukungan kuat dari Gubernur Orie.
Pada akhir bulan November 1938 Pakubuwono X sakit keras, dan akhirnya beliau
wafat pada tanggal 20 Februari 1939. Atas nasihat Den Haag, Gubernur Jenderal
A.W.L. Tjarda van Starkenborg Stachouwer memilih KGPH. Hangabehi menggantikan
ayahandanya sebagai Pakubuwono XI.
Semasa hidupnya,
Pakubuwono X dikenal rakyatnya sebagai Sinuhun Wicaksana, yang berarti Paduka
yang Bijaksana. Raja terbesar Kasunanan Surakarta ini wafat dengan meninggalkan
sederet prestasi dan kemegahan yang dapat dirasakan oleh masyarakat Surakarta
dan sekitarnya hingga saat ini.
Catatan pinggir :
Pantas Belanda khawatir, karena kunjungan raja Jawa ini ternyata sangat efektif
menggalang pendukung Sarekat Islam. Paku Buwono X berhasil menarik simpati
rakyat dan para bupati sehingga Solo bisa menjadi kota yang turut mempelopori
nasionalisme.
Dalam catatan sejarah,
kita dapatkan Paku Buwono X telah mengunjungi Batavia, Buitenzorg (Bogor), Priyangan,
Tasikmalaya, Pekalongan, Cirebon, Madiun, Surabaya, Bangkalan, Bali, Lombok,
Kediri, Cepu, bahkan hingga ke Lampung.
Sepanjang jalan yang
dilewati, selalu dibanjiri rakyat dari berbagai pelosok untuk ngalap berkah
dalem. Mereka rela berebut sisa makanan dan air bekas mandi Paku Buwono X, yang
dijual oleh abdi dalem keraton. Yang ini merupakan sebuah cermin betapa besar
kharisma dan wibawa yang berhasil
dibangun sang raja melalui kunjungannya.
Bahkan di kota di mana
ia mengadakan kunjungan, selalu disambut pasar malam dan pertunjukan upacara
keraton. Di situ Paku Buwono X menyebar udik-udik (uang) agar rakyat gembira
dan makin patuh pada perintahnya. Dan terbukti, kepercayaan para bupati dan
rakyat untuk berjuang melawan penjajah semakin menguat.
Maka banyak sejarawan
yang mengakuinya sebagai raja Jawa yang pertama kali menempatkan politik
kunjungan kerja sebagai senjata melawan Belanda. Kunjungan yang bukan sekadar
ritual menyapa rakyat dan rekreasi, tetapi juga menunjukkan eksistensi dirinya
dalam meneguhkan kekuasaan Jawa yang harus dipertahankan.
Sebuah lawatan yang
sangat membuat geram Belanda, karena berpotensial untuk melakukan
pemberontakan. Akhirnya, pada waktu gubernur jenderal Belanda dijabat oleh
Sehneider (1908), menyatakan pelarangannya atas kunjungan raja Solo ini.
Meski dalam penilaian
Belanda, ia adalah seorang anak manja, peminum, suka pesta, rajin bersolek,
namun dalam pandangan orang Jawa adalah seorang raja terbesar. Hingga gelar
yang didapatkan dari rakyat Jawa adalah Sinuwun Ingkang Minulyo soho Ingkang
Wicaksono, atau Paduka yang mulia dan juga bijaksana.
Maka atas seluruh
dukungannya pada pergerakan nasional itulah, seorang cucunya (BRA Mooryati
Soedibjo) sekarang sedang mengusulkannya menjadi Pahlawan Nasional.
Namun dari seluruh
sejarah kehidupan Paku Buwono X, yang paling terkenang olehku adalah jajaran
medali yang ada di badannya. Tubuhnya yang gemuk dan semakin tambun
menggelembung, konon menunjukan bahwa masih tersedia tempat untuk
menggantungkan medali, meskipun telah ada 28 medali yang menghiasi bajunya.
Selama memerintah, ia
memang banyak mendapatkan medali penghargaan dari negara lain. Dan ia juga
gemar sekali memakainya di setiap kesempatan. Hingga baju kebesaran yang
dipakainya penuh medali. Bahkan konon bukan hanya di dada dan bagian depan
tubuhnya, melainkan juga mencantolkan medali-medali itu sampai di punggungnya.
Maka tak heran kalau ada yang mengatakan dengan bercanda, bahwa Paku Buwono
adalah raja terbesar dan ‘terbesar’. Karena saking besarnya tubuh yang
dimilikinya.
Dan satu lagi kenangan
tentang raja terbesar dan terlama di Solo ini, adalah banyaknya perempuan yang
menjadi istrinya. Sejarah mencatat, Paku Buwono X mempunyai istri sebanyak 45
orang dan putra putrinya berjumlah 68 orang. Karena itulah, selain dikenal
sebagai raja terlama dan ‘terbesar’, ia juga dikenang sebagai raja ‘terkuat’ di
Tanah Jawa.
Suasana pemakaman Sunan Pakubuwono X, mulai ketika jenazah beliau dibawa dalam kereta jenazah, hingga kemudian jenazah beliau dibawa dengan gerbong khusus menuju Stasiun Tugu Yogyakarta, dan iring-iringan pengantar jenazah beliau di Astana Pajimatan Imogiri.
GALERI
![]() |
Sri Susuhunan Pakubuwono X dari Surakarta. |
Sunan Pakubuwono X menerima kunjungan Raja Rama V dari Thailand di Sasana Sewaka, Keraton Surakarta (sekitar akhir abad ke 19). |
![]() |
Sunan Pakubuwono X menerima kunjungan Gubernur Jenderal Indochina-Perancis, H.E.P. Pasquier, di Sasana Sewaka, Keraton Surakarta (sekitar tahun 1930-an). |
![]() |
Sunan Pakubuwono X bersama Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg pada tahun 1915. |
Dari berbagai sumber :
Wikipedia Bahasa Indonesia
infobimo.blogspot.co.id
nassirunpurwokartun.wordpress.com
0 on: "Biografi Lengkap Pakubuwono X"