Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Menurut, socrates. Dunia pernikahan, ibarat sangkar emas. Yang
diluar ingin masuk, yang didalam ingin keluar. Sedangkan dalam pandangan kaum
sufi, sebuah pernikahan antar sepasang kelamin hanyalah suatu kegiatan hawa
nafsu, tetapi dilegalkan oleh agama. Oleh kernanya kaum sufi itu sendiri
menganggap, pernikahan hanyalah sebuah bentuk simbolis yang menyimpan makna
rahasia hakikat hubungan antara yang transenden dan yang imanen.
Dalam legenda agama,
kita diceritakan bahwa pada mulanya Dia menciptakan Adam yang lalu,
diciptakannya juga Hawa. Anehnya, Hawa diciptakan justru dari diri Adam itu
sendiri bukan berasal dari sesuatu yang diluarnya.
Sebagaimana konon,
dunia ini diciptakan juga berasal dari Tuhan itu sendiri. Yang transenden
mengimanen. Atau, semesta dunia adalah pengejawantahan, manifestasi illahi. Dengan demikian, lalu Adam pun dicipatakan
dengan posisi berdiri tegak lurus dan ini tidak berlaku pada mahluk lainnya. Artinya, itu berarti Adam dijadikan sebagai simbol
vertikal atau yang transenden lalu, Hawa simbol horisontal atau yang imanen.
Atau, perhatikan saja (maaf)
bentuk kemaluan Adam, bukankah berbentuk alif atau angka satu, tegak lurus..? Sedangkan,
kemaluan Hawa berbentuk angka nol. Simbol kekosongan yang bersifat mungkin. Bisa
ada, bisa tiada. Bisa menjadi ada atau menjadi tiada, itu bergantung apakah
angka satu berdiri dibelakangnya..?
Dalam literatur agama
Hindu filosofi ini diwujudkan dengan simbol, lingga dan yoni. itulah sebabnya
dikatakan, sesungguhnya segala sesuatu yang ada ini bisa menjadi ada dan
tiadanya adalah tergantung pada kehendak-Nya..!
Bertelekan pada narasi
di atas, pernikahan antar sepasang kelamin menjadilah jelas itu hanyalah sebuah
bentuk simbolisasi atas kebenaran yang menunjukan bahwa, Adam yang sebagai
simbol vertikal, ke Esaan illahiah. Sedangkan Hawa sebagai simbol nol, bola
dunia semesta haruslah disatukan kembali. Sebagaimana Hawa yang adalah berasal
dari Adam. Garwo, sigaring nyowo. Begitu pun, semesta raya yang juga adalah
berasal dari-Nya. Haruslah dinyatakan sebagai bagian dari keutuhan-Nya, hal ini
menjadi semacam perjalanan kembali. Innalillahi wa innaillaihi rojiun.
Hal ini sangat relevan
ketika Sang penyeru berpesan, " datangilah undangan pernikahan..!”
Nikah, dalam bahasa Indonesia
berarti, kawin atau bersenggama, bersetubuh, manunggaling. Pernikahan dalam
pengertian antar sepasang kelamin, yang dilakukan oleh sebagian besar
masyarakat, hanyalah sebuah pernikahan biasa, bersifat ritual seremonial,
eksoterik yang bisa dilakukan dan dihadiri oleh siapa saja.
Adapun, pernikahan
dalam pengertian “persenggamaan” antara Sang Khalik dengan mahluk-Nya. Adalah
pernikahan agung, bersifat spiritual, esoteris. Sederhananya, undangan
pernikahan ini maknanya ialah, menghadiri wejangan ilmu sangkan paraning dumadi
untuk menuju pencapaian puncak kesempurnaan makrifat, Manunggaling Kawulo Gusti.
Seperti termaktub juga
dalam Pesan-Nya, “ jika kamu telah akil balig dan mampu, menikahlah..!”
Kaum eksoterik,
kelompok yang menganggap kebenaran agama hanyalah apa yang tersurat bukan apa
yang tersirat disebalik ungkapannya. Memahami pesan kalimat diatas sebagaimana
pandangan yang telah kita pahami bersama yaitu, siapa yang sudah memasuki masa
usia dewasa secara biologis dan ia mampu memenuhi baik nafkah lahir maupun
nafkah batin, dengan pengertian apa saja yang menyangkut kebutuhan hidup
termasuk didalamnya, seks.
Dapatlah dikatakan ia
telah memenuhi syarat tuk memasuki pernikahan. Namun, lain halnya dalam
pandangan kaum sufi. Kata mampu disini,
bukan saja berarti sekedar memenuhi hal tersebut semata. Melainkan ia juga
haruslah mampu menjadi pembimbing bagi keluarga pada jalan menuju keselamatan.
Sebab, kewajiban suami
adalah disamping mampu membahagiakan keluarga bagi kehidupan dunia, ia juga
berkewajiban menyelamatkan keluarganya untuk bisa berbahagia pada kehidupan
akherat yaitu, kembali kepada-Nya.
Pertanyaannya, dapatkah
seseorang yang belum mencapai “ pernikahan agung “ disebut sebagai orang yang
telah memenuhi syarat bagi sebuah pernikahan, sakral?
Baik, mari kita
membincangnya dalam khasanah budaya Jawa atau lebih sering disebut Kejawen. Kejawen
adalah ajaran `kajatening urip' (sejatining urip, hakekat hidup). Maka dalam
hal perkawinan dua sejoli merupakan bagian `hakekat hidup' tadi.
Artinya, bahwa
perkawinan itu hakekatnya adalah ujud `sabda
dhawuh' nya Tuhan (kodrat Tuhan) kepada manusia untuk berkembang biak. Maka
dalam pandangan Kejawen, perkawinan itu sakral dan berhubungan dengan`penciptaan'
manusia baru (anak) oleh Tuhan.
Pria sejati dalam
filosofi Jawa, adalah :
Memiliki rumah, pusoko,
istri, kukilo, turonggo.
Rumah artinya, seorang
pria harus bersikap melindungi, mengayomi.
Pusoko (keris) artinya
seorang pria harus memiliki ketajaman berpikir, cerdas.
Istri artinya seorang
pria harus berlaku lemah lembut.
Kukilo artinya seorang
pria harus memberi dan menjadi kesenangan bagi siapa.
Turonggo artinya seorang
pria harus menjadi kendaraan yang mampu menghantar dan mempertemukan siapa pada
jalan keselamatan. Demikian syarat bagi seseorang untuk bisa disebut pria
sejati.
Dalam Kejawen,
perkawinan bukan sekedar urusan `hukum kawin mawin' yang pijakannya sekedar
memberi payung hukum masalah kebirahian (hubungan seks), tetapi mendalam kepada
tingkat pemahaman keber-Tuhan-an. Yaitu kesadaran tentang bagaimana manusia itu
diciptakan, bagaimana hubungan penciptaan itu dengan alam semesta, dan
bagaimana manusia yang menyatakan beradab menyikapi `penciptaan' itu.
Tatacara perkawinan
Jawa merupakan wujud nyata penjelasan pandangan Jawa terhadap `hakekat
perkawinan' yang fokus utamanya kepada kodrat Tuhan untuk penciptaan atau
perkembang biakan manusia. Pokok ajaran (filosofi) Jawa tentang perkawinan
ditujukan kepada `titising wiji'. Maka tatacara adat perkawinan Jawa lebih
tertuju kepada penjelasan `titising wiji' tersebut. Penjelasannya menggunakan
simbul-simbul yang bermakna dalam.
Dimulai dengan acara
lamaran yang mengekspresikan bahwa kedua keluarga calon penganten mendapatkan
kesadaran tentang terpilihnya dua keluarga tersebut oleh Tuhan dalam rangka
akan menciptakan `manusia-manusia baru' (anak). Kedua keluarga tersebut akan
`besanan' yang artinya bahwa kedua keluarga tersebut bersedia `dipilih Tuhan'
untuk penciptaan (perkembang biakan) manusia yang akan menjadi anak-keturunan
kedua keluarga tersebut.
Karena landasannya
berupa `penerimaan' sabda dhawuhing Gusti untuk penciptaan manusia, maka fokus
perhatian adat istiadat Jawa tertuju kepada `penciptaan' tersebut. Oleh karena
itu dalam upacara perkawinan ditentukan persyaratan-persyaratan (berupa
simbul-simbul) yang intinya: kesucian, keindahan, kesemestaan, dan doa untuk
segera terjadi `titising wiji'.
`Titising wiji'
merupakan wujud nyata `penciptaan', maka menjadi pokok perhatian adat Jawa
dalam hal perkawinan. Wujud perhatian tersebut diawali berupa doa harapan yang
diekspresikan dalam upara robyongan atau temon dan pesan-pesan serta
larangan-larangan yang harus dijalani penganten setelah menikah.
Kemudian dilanjutkan
dengan adanya upacara dan persyaratan-persyaratan yang harus dijalani kedua
mempelai ketika yang perempuan sudah mulai mengandung.
Diantaranya berupa
ritual tiga bulanan dan tujuh bulanan serta larangan macam-macam bagi si calon
ibu dan calon bapak (diantaranya larangan membunuh mahluk bernyawa). Upacaranya
mengacu kepada `syukur' atas `kebenaran' sabda dhawuhing Gusti, sedang larangan
yang harus dijalani si calon ibu dan calon ayah
Apakah dalam budaya dan
peadaban lain (termasuk yang bertolak dari ajaran agama) mengenal ritual untuk
terciptanya manusia di kandungan Ibu sebagaimana yang ada di budaya dan
peradaban Jawa ?
Lhoh kok malah
dijadikan panutan ? Apa tidak ketatab suwung, kesandhung rata, kebenthus ing
tawang namanya? Rumangsane bener dan suci dhewe, jebule malah jauh dari
kriteria beradab. Perkawinan kok mik dipandang dari urusan hubungan seks.
Hukumnya juga mengacu ke masalah itu saja. Contohnya, masalah masa haid, nifas
dan masa idah itu kok ujung-ujungnya begitu rendah, kapan seorang perempuan
bisa dipergauli bukan ? Kok tidak ngrembuk masalah `titising wiji' ya ?
Jadilah pria sejati
dan, lalu rayakanlah pernikahan agung..!!!
tetapi ingat,
pernikahan dibatasi hanya boleh dengan empat istri. Artinya, pernikahan agung
hanya akan terwujud hanya jika dirayakan dengan yang awal dan yang akhir, yang
lahir dan yang batin..!
Pria atau priyayi,
kadang disebut kaum ningrat. Mereka adalah kelompok kecil kaum elite. Yaitu,
siapa yang senantiasa berada pada wilayah kontemplasi, hidup bersama, dengan
dan didalam keheNINGan RATu. Demikian, semoga bermanfaat untuk lebih memahami
`sejatining urip' yang merupakan landasan pokok ajaran Kejawen. Suwun.
0 on: "Hakikat Pernikahan Dalam Pandangan Hidup Orang Jawa"