Cara masyarakat Baduy melestarikan hutan adalah dengan tidak menebang pepohonan yang sudah tumbuh.
Kepala adat masyarakat
Baduy, Jaro Dainah, menyatakan bahwa luas hutan lindung yang wajib dijaga dan
dilestarikan warga Baduy Dalam dan Baduy Luar tak kurang dari 3.500 hektare.
Luas hutan lindung itu sebagian dari luas total tanah warga Baduy yang
berjumlah 5.000 an hektare. Pada hutan lindung tersebut tak seorang pun
diizinkan menebang pohon, apalagi merusaknya. Warga Baduy baik Luar maupun
Dalam hanya diperbolehkan memanfaatkan lahan di luar hutan lindung.
Di luar hutan lindung yang
luasnya 3.500 an hektare tersebut adalah hutan produksi. Di sinilah seluruh
masyarakat Baduy, baik Baduy Dalam maupun Luar yang berjumlah 12 ribu-an jiwa,
memanfaatkan hutan sebagai tempat mencari makan dan kebutuhan sehari-hari.
Mereka bercocok tanam seperti padi ladang, buah-buahan, sayur-mayur, dan
menyadap gula merah atau aren serta mencari kayu bakar.
Tulisan lainnya tentang
Baduy Arca Domas Baduy
Dalam menjaga
kelestarian hutan lindung, masyarakat Baduy mengenal sebuah sumpah adat. Mereka
bersumpah kepada Gusti Yang Mahasuci untuk melindungi kawasan hutan lindung
guna menghindari terjadinya bencana. Barang siapa melanggar sumpah ini, mereka
akan menanggung dosa sampai keturunannya. Inilah sanksi hukum adat yang paling
ditakuti masyarakat Baduy.
Selain dikucilkan,
terhukum juga merasa berdosa besar karena melanggar aturan kolot yang sesuai
dengan aturan Gusti Yang Mahasuci. Hubungan kepercayaan yang diyakini warga
Baduy soal melestarikan hutan memang merujuk pada ajaran Gusti Alloh yang
menciptakan langit, surga, negara, berikut manusianya. Manusia harus
menghormati alamnya, karena alam itu untuk hidup-matinya manusia di bumi.
Baca juga : Suku Baduy Yang Anti Poligami
Cara masyarakat Baduy
melestarikan hutan adalah dengan tidak menebang pepohonan yang sudah tumbuh.
Hutan lindung yang berlokasi di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten
Lebak, Provinsi Banten, itu juga dijaga agar tidak boleh disentuh oleh
tangan-tangan perusak dari luar. Warga menjaga hutan tersebut dengan
sungguh-sungguh karena hutan lindung itu memelihara dan menjaga pasokan sumber
air untuk seluruh masyarakat Baduy dan sekitarnya.
Mata air di hutan
lindung itu diyakini sebagai hulu seluruh aliran Sungai Ciujung. Mereka menanam
kuat keyakinan bahwa adanya hutan lindung itu bertujuan melindungi alam, terutama
air. Selain itu, menjaga hutan juga berarti menghindari diri dari bencana
banjir dan longsor. Karena itu, meski di musim kemarau, masyarakat Baduy tidak
pernah kekurangan air atau mengalami kekeringan total.
Atau baca ini juga :
Baduy Warisan Abad Ke 15 Yang Masih Bertahan
Di dalam hutan lindung,
seluruh tanamannya tidak diganti. Dia ada sebagaimana sejak adanya. Makanya, di
dalam hutan lindung, setiap orang dilarang bercocok tanam. Wujud dan luas hutan
lindung sebagaimana adanya sejah dahulu. Seluruh jenis pohon dan tanaman adalah
asli yang tumbuh sejak hutan lindung itu ada.
Meski demikian,
masyarakat Baduy masih diperbolehkan mengambil hasil alam hutan lindung,
seperti buah-buahan dan sayuran, tapi bukan buah-buahan dan sayuran hasil
berladang di dalam hutan lindung. Karenanya di perbatasan antara hutan lindung
dan hutan produksi dipasang patok dasar pembatas. Di setiap pembatas ini, ada
titik kawasan yang kerap dijaga pengawas asal Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Para penjaga akan
segera mengabarkan kepada kokolot (sesepuh) jika terjadi pelanggaran dan jika
ditemukan hal yang mencurigakan. Sebaliknya, para kokolot juga akan
menginformasikan kepada warga Baduy berdasarkan firasatnya. Mereka bersama
tokoh adat, tokoh masyarakat, dan perangkat desa akan turun langsung ke lokasi
untuk menyelesaikannya.
Warga sangat takut akan
dampak rusaknya hutan lindung, yaitu berupa bencana bumi dan penyakit keras
yang meresahkan masyarakat, bangsa, serta negara. Bahkan tidak tertutup
kemungkinan muncul tsunami sebelum waktunya. Dalam sejarah Baduy, pernah
terjadi pelanggaran hukum adat pada 2005 silam yang menggegerkan Banten.
Baca juga : Mengenal ‘AgamaSunda’ Kampung Adat Cireundeu
Ketika itu, terjadi
kasus pembunuhan yang dilakukan Sadim, warga Baduy Dalam dari Cikeusik. Sadim
membunuh warga luar Baduy yang menjadi majikannya dalam keadaan tidak sadar.
Ceritanya, Sadim dipaksa majikannya itu menggarap lahan di kawasan hutan
lindung di sekitar kawasan Gunung Rorongo Congo yang masih menjadi wilayah hak
ulayat masyarakat Baduy.
Padahal, hari itu Sadim
wajib mengikuti satu upacara adat yang disebut Ngaseuk Serang, yakni penanaman
padi pertama kali yang wajib diikuti seluruh warga Baduy Dalam. Takut
kehilangan pekerjaan, dengan berat hati akhirnya Sadim memenuhi keinginan
majikannya itu. Kewajibannya sebagai urang Tangtu (sebutan untuk Baduy Dalam)
hadir dalam acara Ngaseuk Serang ia abaikan.
Sadim pun pergi
mengambil kayu di hutan yang sebetulnya terlarang bagi warga Baduy untuk
menebangnya. Maka, hari itu, selain melanggar larangan adat mengambil kayu,
Sadim juga melanggar adat dengan mengabaikan acara Ngaseuk Serang. Akibatnya
fatal bagi Sadim. Menurut Jaro Dainah, warganya itu terkena kutukan didatangi
roh harimau siluman penghuni hutan Rorongo Congo.
Pagi hari setelah ia
melanggar dua aturan adat itu, Sadim mendadak terbangun dari tidurnya dengan
muka merah dan badan gemetar. Seturut cerita masyarakat sekitar, saat itu Sadim
merasa ada seekor harimau yang hendak menerkamnya. Dengan refleks, ia mengambil
sebilah pisau yang biasa dipakainya di ladang dan selalu berada di sampingnya.
Dengan membabi buta, ia hunjamkan pisau itu ke berbagai sasaran.
Ternyata yang ia tikam
bukanlah harimau, melainkan majikannya, Yadi dan istrinya, Aisah, serta ibu
mertuanya, Kasmiah, yang juga sedang tertidur. Akibatnya, Yadi dan Aisah
terluka parah, sedangkan Kasmiah tewas di tangan Sadim. Warga percaya, kejadian
itu adalah tulah bagi Sadim dan keluarga Yadi yang menyebabkan terjadinya
pelanggaran hukum adat.
Sadim sendiri menerima
dua hukuman, yaitu hukum adat dan hukum negara. Untuk kasus pembunuhan, ia
dihukum tujuh bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Lebak. Sadim juga ditahan
secara adat selama 40 hari sebelum disidangkan oleh peradilan adat Baduy. Namun
Sadim kemudian meninggal dunia dalam masa penahanannya lantaran stres atau
mengalami kelainan jiwa.
Karena itulah, warga
Baduy memiliki keterikatan batin yang kuat untuk tetap menjaga kelestarian
lingkungan, bahkan di kawasan luar area adat Baduy. Bagi mereka, inilah amanat
dari Gusti Yang Agung dalam ajaran kepercayaan Sunda Wiwitan. Karenanya, kepercayaan
Wiwitan, jika tidak didukung negara, akan ripuh (repot). Sebaliknya, negara
jika tidak mengambil dasar batin Wiwitan dalam melestarikan hutan lindung, juga
akan ripuh.
Bagi warga Baduy
sendiri, jika merasa tidak sanggup lagi melestarikan adat, mereka bisa saja
keluar. Jika dihitung, sejak zaman Wiwitan hingga sekarang, sudah ribuan orang
Baduy yang pergi karena tak lagi sanggup melestarikan adat. Urd/2210
0 on: "Jelajah Baduy : Tulah Kutukan Hutan Lindung"