Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Tulisan yang kerabat akarasa baca ini adalah kelanjutan
tulisan sebelumnya. Sengaja saya tulis berseri, agar panjenengan tidak jenuh
dalam membacanya.
Orang Rimba mengenal
hutan dengan isinya sebaik mereka mengenal telapak tangan mereka sendiri. Orang
Rimba tidak akan tersesat di hutan mereka. Saya gambarkan disini, di dalam
rimba ada jalan-jalan setapak yang menjadi jalur lintas utama. Keadaan tersebut
persis seperti pulau Sumatera yang memiliki jalur lintas tengah, jalur lintas
timur dan jalur lintas barat sebagai jalur jalan utama, atau di pulau jawa yang
memiliki jalur pantura dan jalur selatan. Satu tempat dengan tempat lain
dihubungkan dengan jalan-jalan yang mudah dikenali. Orang luar yang baru
pertama kali masuk rimba dijamin tidak akan tersesat jika jeli mengikuti jalan
lintas tersebut.
Dari penuturan Pak Te,
jalur-jalur jalan di dalam hutan selalu berhubungan dengan jalan-jalan lain
yang semuanya bisa menuju keluar hutan. Artinya seseorang bisa masuk rimba dari
suatu tempat di daerah timur dan bisa keluar di tempat lain di daerah barat,
utara atau selatan. Misalnya seseorang yang masuk rimba dari wilayah desa Bukit
Suban (wilayah kabupaten Sarolangun) yang berada disebelah selatan Taman
Nasional bisa keluar melalui desa Tanah Garo (wilayah kabupaten Bungo) yang
berada di sebelah utara taman.
Mengenali jalan Orang
Rimba sangat mudah. Namun demikian jangan dibayangkan jalur jalan di dalam
rimba sama seperti jalur jalan di pedesaan yang dibersihkan dari apapun dan
diratakan. Jalur jalan didalam rimba hanyalah jalan setapak. Sangat sulit
melewati jalan tersebut bila bersisian. Berjalan disana harus beriringan. Lebar
jalan paling-paling sekitar setengah sampai satu meter. Jalan di rimba terjadi
karena tanah sering dilewati sehingga tidak ditumbuhi tumbuhan karena mati
terpijak.
Jangan kaget bila
ditengah jalan melintang kayu bulat besar. Tidak tanggung-tanggung, diameter
kayu yang melintang bisa lebih dari 1 meter. Kita harus melompatinya jika ingin
terus. Kadangkala kayu yang melintang sekalian dijadikan jalan oleh Orang
Rimba. Apabila melintasi sungai kecil, Orang Rimba biasanya membuat jembatan
dengan merobohkan batang-batang kayu melintangi sungai tersebut. Namun tidak
jarang jalan berakhir di pinggir sungai. Artinya kita harus menyeberangi sungai
dengan masuk ke air. Di seberang sungai kita akan disambut jalur jalan
berikutnya.
Sebagaimana kita juga,
berjalan tidak pernah menjadi perkara yang sulit bagi Orang Rimba. Bagusnya
lagi tidak ada orang cacat diantara Orang Rimba sehingga mereka semua bisa
berjalan normal, dan cepat. Mereka merupakan pejalan-pejalan yang tangguh.
Kecepatan mereka berjalan sangat mengagumkan. Bisa dikatakan sepadan dengan
kecepatan dan ketangguhan berjalannya orang Baduy Dalam, Lebak, Banten. Saya jadi
teringat saat masuk Baduy Dalam dari pintu masuk Ciboleger, ketika itu saya
mengikuti ritme Mang Idong pemandu kami yang kebetulan orang Baduy Dalam. Waktu
itu saya ingin mengetahui seberapa cepat Mang Idong berjalan. Ketika Mang Idong bertanya sudah lelah apa belum,
saya selalu menjawab belum. Hasilnya luar biasa, baru 20 menit berjalan saya
sudah kehabisan nafas dan terkapar. Jantung serasa mau meledak. Kepala nyut –
nyut. Referensi untuk KONI ingin mencari bibit atlet untuk cabang jalan cepat,
Orang Rimba dan Baduy patut dipertimbangkan.
Sejak kecil, Orang
Rimba merupakan pejalan kaki. Kemanapun, baik di dalam hutan maupun keluar
hutan, Orang Rimba melakukan perjalanan dengan jalan kaki. Efeknya luar biasa.
Mereka tidak ada yang mengalami kegemukan. Tidak ada yang berperut buncit dan
leher menggelambir. Perempuan Rimba selalu langsing. Meskipun baru saja
melahirkan, tubuh perempuan rimba tidak berubah menjadi kegemukan. Agaknya
orang-orang kota perlu mencontoh Orang Rimba agar tidak mengalami obesitas,
yakni berjalan kaki kemana-mana.
Orang Rimba pada
umumnya memakai sandal ketika berjalan kaki. Namun tampaknya tanpa sandalpun
tidak terlalu menjadi soal. Yang dikhawatirkan bila tanpa sandal hanyalah duri
yang berpotensi menusuk telapak kaki. Orang Rimba memiliki telapak kaki yang
kuat dan keras hasil dari perjalanan bertahun-tahun. Kelemahan telapak kaki
mereka hanyalah jalan aspal yang panas dan duri.
Hasil kebiasaan
berjalan selama hidup menjadikan Orang Rimba tidak saja pejalan cepat tetapi
juga pejalan yang pandai mengatur ritme berjalan. Hanya di tempat-tempat
tertentu mereka berhenti. Seolah-olah ada tempat-tempat khusus yang sengaja
disiapkan untuk beristirahat di sepanjang jalur jalan. Agaknya mereka enggan
berhenti di sembarang tempat, persis seperti kereta api yang hanya berhenti di
stasiun. Biasanya tempat berhenti ditandai dengan adanya batang-batang kayu
sebesar lengan yang dipakai sebagai tempat duduk.
Apabila kita berjalan
di dalam rimba, jangan lupa menyiapkan penangkal pacet penghisap darah,
misalnya tembakau. Pacet sangat menyukai darah manusia. Jadi kalau berjalan
jangan lupa sering-sering melihat kaki. Tanpa kita sadari, sang pacet boleh
jadi telah menguras darah kita. Bayangkan darah hasil makan sehari ternyata
hanya dipersembahkan pada pacet. Orang Rimba sendiri biasa terkena pacet,
apalagi kita. Bagusnya pacet hanya banyak pada hari-hari lembab, yakni dimana
hujan belum lama turun. Bila musim terang, pacet jarang kita temui.
Taman nasional Bukit
Duabelas adalah daerah tangkapan air untuk sungai Batanghari yang merupakan
sungai terbesar di Jambi sekaligus salah satu sungai terbesar di Indonesia. Di
dalam kawasan mengalir sub daerah aliran sungai Makekal, Kejasung dan Air Hitam
Ulu. Sungai-sungai kecil mengalir ke ketiga sungai tersebut yang kemudian
mengalir ke sungai Batanghari. Bentuk aliran sungainya seperti serabut akar.
Di dalam kawasan tempat
hidup Orang Rimba Air Hitam di daerah selatan-barat daya taman nasional tidak
ada sungai besar. Sungai-sungainya kecil-kecil, sehingga lebih mirip selokan
karena aliran airnya pada umumnya memiliki ukuran terlebar tidak lebih dari 2
meter. Airnya juga sangat dangkal, tidak sampai setinggi lutut. Bila tidak
keruh dasar sungai terlihat sangat jelas. Ikan-ikan yang bersliweran di dalam
air bisa dilihat seperti melihat ikan di dalam aquarium.
Sungai di dalam rimba
adalah sumber air minum bagi Orang Rimba. Mereka meminum air langsung tanpa
dimasak dahulu. Sama persis dengan orang Baduy Dalam, Orang Rimba pun
berpantang untuk membuang kotoran ke dalam air. Membuang hajat di air sangat ditabukan,
bahkan memakai sabun pun ditabukan. Bila mereka ingin membuang hajat, maka itu
dilakukan di darat. Istilahnya adalah bingguk. Untuk membersihkan diri, Orang
Rimba menggunakan daun-daunan atau kulit kayu, yang disebut dengan istilah
becuka.
Bahaya Rimba
Orang Rimba mengenal
hutan sama baiknya seperti mengenal telapak tangannya sendiri. Orang Rimba
sangat mengenal tanda bahaya yang ada didalam hutan. Misalnya ada angin kencang
mereka tidak akan melakukan perjalanan malam hari karena ancaman kejatuhan
cabang-cabang pohon yang runtuh. Demikian juga apabila mereka memilih tempat
untuk mendirikan bubung, mereka akan memilih tempat dimana tidak ada
cabang-cabang pohon diatas mereka yang memiliki kemungkinan runtuh.
Seperti yang sudah saya
narasikan di atas. Bahaya lain di dalam hutan adalah lintah. Binatang penghisap
darah ini cukup ditakuti karena konon kabarnya bisa masuk ke lubang dubur.
Kalau sudah begitu sangat sulit untuk di keluarkan. Dalam hal ini, Bang Mangku
sempat cerita pada saya ditengah istirahat di basecamp perkebunan sawit tempat
kami menginap sebelum melanjutkan perjalanan keesokan harinya. Bang Mangku
menuturkan, untuk mengeluarkan lintah, maka perut harus diasapi dan dipanasi.
Baru kemudian lintah itu mau keluar.
Seperti yang kita tahu,
lintah biasanya hidup di air. Oleh karena itu di dalam rimba mesti berhati-hati
bila sedang di dalam air. Sebenarnya ada binatang penghisap darah yang lain
yang hidup di darat, yakni pacet. Namun berbeda dengan lintah, pacet tidak
dianggap berbahaya. Terkena pacet merupakan hal biasa. Tapi toh meski demikian,
setetes darah yang dihisap pacet mungkin merupakan hasil kita makan seminggu.
Beruang adalah binatang
mamalia besar yang paling ditakuti. Bertemu beruang bisa berarti petaka. Sudah
sering terjadi Orang Rimba terluka karena diserang beruang. Saudara ipar Bang
Mangku pernah diserang beruang hingga menyebabkan kakinya sobek. Menurut
mitologi Orang Rimba, beruang bersama dengan ulo (ular), kalo (kalajengking)
dan tikus merupakan binatang yang berasal dari neraka sehingga selalu
bermusuhan dengan manusia. Itulah makanya Orang Rimba dalam bepergian membekali
dirinya dengan Kecepek (senjata api rakitan).
Jika misalnya kerabat
akarasa seorang survival sejati, hidup bersama Orang Rimba lah komunitas yang
paling komplit. Bagaimana tidak, binatang mamalia kecil seperti kelelawar biasa
mereka ambil kemudian untuk dimakan. Landak dan kancil adalah binatang favorit
bagi Orang rimba.
Tidak cukup sampai
disini, TNBD adalah habitatnya berbagai jenis ular. Namun yang paling banyak
disini adalah jenis ular sawah. Orang Rimba menyebutnya ulo sawo. Nah, ulo sawo
inilah yang paling banyak diburu. Daginyanya di makan. Kulitnya disamak dan
dijual. Hal yang sama juga untuk biawak, mereka memburunya untuk kemudian
dagingnya dimakan dan kulitnya di jual. Tapi untuk kera, Orang Rimba berpantang
untuk memakannya. Bagi Orang Rimba, kera satu keluarga dengan manusia oleh
karena itu pantang dimakan.
Sebenarnya banyak binatang
air yang dimanfaatkan oleh Orang Rimba. Berbagai jenis ikan, seperti ikan
huloton, limbat, ikan tano dan semacamnya dipancing untuk diijadikan lauk.
Demikian juga berbagai jenis siput dan katak mereka makan. Labi-labi adalah
binatang air sejenis penyu yang sangat terkenal. Lehernya panjang. Labi-labi
selebar telapak tangan dengan berat 1 kg akan memiliki leher paling pendek
sejengkal atau sekitar 20 cm. Moncongnya mirip penyu kepala babi. Karapak
punggungnya tidak keras. Keberadaannya sudah sangat jarang. Orang Rimba biasa
mengambilnya dengan cara memancing atau mencari-cari didalam air dengan sejenis
tombak yang disebut tiruk. Alat ini sebesar jari tangan yang semakin ke ujung
semakin meruncing.
Buaya yang menurut
cerita juga terdapat di sungai-sungai dalam rimba menjadi mitos tersendiri.
Penduduk desa sekitar selalu mengagumi kemampuan Orang Rimba menaklukkan buaya.
Mereka berani terjuan ke sungai yang ada buayanya dan dengan tangan kosong
menangkap buaya. Apabila ada buaya yang tertangkap, kulitnya diambil dan
dijual. Bersambung......
0 on: "Jelajah Suku Anak Dalam : Makan Kelelawar Hingga Biawak [2]"