Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Selain tabu – tabu dan aturan yang berlaku di kelompok Orang
Rimba yang jarang diketahui oleh orang terang seprti kita ini, salah satunya
adalah aturan pernikahan.
Mungkin bagi yang tidak
mengetahui, Orang Rimba diasosiasikan dengan hal yang tidak beradab. Hal ini
salah besar, dan bahkan kita yang bagi mereka disebut orang terang ini mesti
banyak belajar dari aturan – aturan yang berlaku di Orang Rimba atau Suku Anak
Dalam ini. Jangan kita berpikir, muda – mudi Orang Rimba bisa bergaul bebas. Jika
itu dilakukan, denda menanti. Dan bahkan, ada aturan jika mereka incest,
hukuman mati menanti dan tidak bisa ditawar – tawar lagi.
Tradisi Orang Rimba
tidak menyediakan suatu mekanisme mengenal calon pasangan secara intim sebelum
menikah. Mereka dilarang untuk berpacaran. Satu-satunya kesempatan bagi mereka
untuk bertemu muka dan bercakap-cakap bebas adalah saat ada pesta pernikahan
digelar. Bujang dan gadis diam-diam mojok dibalik pepohonan menyaksikan pesta
pernikahan yang diadakan. Biasanya orangtua memaklumi hal itu.
Seperti yang sudah saya
narasikan di atas, Orang Rimba memiliki aturan mengenai incest. Mereka melarang
pernikahan antara sesama saudara sedarah, baik saudara kandung maupun saudara
tiri. Demikian juga dilarang menikah dengan orangtuanya, dengan kakek neneknya
dan dengan puyangnya. Hal itu berarti mereka dilarang menikah dengan anak,
cucu, dan cicit. Mereka dianjurkan untuk menikah dengan bujang atau gadis yang
berasal dari kerabat agak jauh. Tujuannya agar tali kekerabatan terus terjalin.
Bujang dan gadis bisa
menikah setidaknya melalui dua cara. Pertama dengan maskawin. Sang bujang
mengumpulkan kain atau harta lainnya berdasarkan hasil usahanya sendiri yang
akan dipergunakan untuk maskawin. Mas kawin diserahkan pihak laki-laki kepada
pihak perempuan. Cara ini sangat mirip dengan umumnya tata cara perkawinan
masyarakat umum yang menggunakan maskawin.
Kedua dengan prinsip
pencurahan. Artinya calon menantu harus mengabdi dulu kepada calon mertua
selama rentang waktu tertentu. Bila calon mertua sreg dengan calon menantu maka
pernikahan bisa dilangsungkan. Jika tidak sreg, maka pernikahan bisa
dibatalkan. Pengabdian kepada calon mertua diantaranya membantu segala
pekerjaan calon mertua, menyerahkan sebagian hasil kerja, dan membujat ladang
yang hasilnya sebagian besar untuk calon mertua. Menurut sebuah sumber, calon
menantu yang mengabdi membuat rumah sendiri didekat calon mertua dan memasak makanan
sendiri. Pada saat pernikahan calon menantu tetap harus membayar maskawin dalam
jumlah yang cukup besar.
Pesta pekawinan dikenal
sebagai upacara sale. Pemimpin upacara adalah malim. Roh nenek moyang diundang
untuk datang dan memberkati mempelai. Setelah menikah, pasangan baru tinggal di
dekat orangtua istri. Mereka membangun rumah (bubungan) sendiri. Prinsip ini
sesuai pepatah mereka, yakni ‘laki ngikut bini’ Artinya suami mengikuti
keluarga istri.
Tidak seperti Orang
Samin yang anti poligami, bagi Orang Rimba poligami adalah hal biasa dan lazim
dilakukan. Ada Orang Rimba yang istrinya sampai empat orang. Masing-masing
istri dibuatkan rumah sendiri yang jaraknya berdekatan. Mereka semua harus
dipenuhi nafkahnya oleh suami. Oleh karena itu mereka yang beristri lebih dari
satu dianggap hebat karena kemampuannya mencari nafkah tentunya lebih dari
rata-rata. Pada waktu makan misalnya, masing-masing istri memasak sendiri di
rumahnya masing-masing. Sang suami akan makan disetiap rumah istri, dimulai
dari yang tua kemudian berturut-turut sampai yang paling muda.
Ada sebuah cerita
menarik mengenai perkawinan Orang Rimba. Salah seorang Orang Rimba yang masih
muda, baru berusia sekitar 20-an tahun menikah untuk kedua kalinya. Istri
keduanya masih dalam keadaan gadis ketika dinikahi. Dalam prosesinya, sang
laki-laki dihadapkan pada keluarga calon istri muda. Laki-laki yang akan
menikah itu dipukul beramai-ramai oleh pihak keluarga istri. Sebaliknya pihak
laki-laki juga dibantu keluarganya. Akibatnya terjadilah semacam perkelahian
massal. Pihak keluarga calon istri sejumlah 10 orang sedangkan pihak keluarga
laki-laki 12 orang. Menurut mereka, perkelahian itu adalah bagian dari proses
adat. Semua yang akan menikah mengalaminya. Akibatnya cukup mengerikan,
laki-laki yang akan menikah sampai rampal kehilangan beberapa giginya.
Jarang terjadi adanya
perceraian dikalangan Orang Rimba. Namun meski demikian mereka memiliki
mekanisme untuk bercerai. Apabila seorang laki-laki dalam 7 hari 7 malam
berturut-turut pergi tanpa minta izin istri dan tidak diketahui kemana
perginya, maka berarti sang istri dianggap secara otomatis telah menceraikan
suami. Apabila istri pergi lewat dari janji maka sang suami dianggap telah
menceraikan istri. Mematahkan rotan adalah simbol bahwa sebuah pasangan
dinyatakan bercerai.
Seks
Seks dan seksualitas,
dalam pengertian sempit maupun luas, merupakan bagian penting dalam kehidupan
manusia. Ia bagian dari naluri instingtif yang paling dasar. Hubungan seks
diluar nikah dianggap tabu yang sangat berat. Pelakunya bisa diancam dibunuh.
Seorang anak muda rimba menceritakan bahwa dirinya tidak mau melakukan hubungan
seksual dengan siapapun sebelum menikah sebab jika ketahuan akan dibunuh.
Tampaknya aturan yang tidak membolehkan seorang bujang dan gadis akrab sebelum
menikah dilaksanakan sangat ketat. Buktinya tidak ada seorang bujang pun yang
berani mendekati gadis. ‘Takut didenda’ ungkap mereka. Ketatnya aturan ini
menghindari perselisihan antar bujang. Sebab jumlah perempuan yang lebih
sedikit merupakan potensi besar terjadinya konflik antar bujang dalam ajang
memperebutkannya.
Suami istri tidak tidur
sekamar. Mereka bahkan tidak memiliki kamar sesungguhnya karena ruang dalam
rumah mereka tidak berdinding. Suami memiliki tempat tidurnya sendiri dan
istripun demikian. Biasanya istri tidur dengan anak yang masih kecil. Bang Mangku
bercerita bahwa untuk bejuluk (melakukan hubungan seksual), mereka akan
diam-diam menyelinap keluar dari dalam rumah dan melakukannya di luar, mungkin
dibalik semak. Tampaknya mereka memang sangat romantis, bejuluk dibawah sinar
rembulan beratap langit adalah hal yang biasa mereka lakukan.
Tidak berbeda dengan
masyarakat kita yang memiliki berbagai ramuan obat kuat, Orang Rimba juga
memiliki ramuan serupa. Ramuan kuat itu menyebabkan mereka lebih tahan lama.
Namun mereka malu kalau harus mengakui menggunakan obat kuat. Jenis tumbuhan
yang digunakan untuk obat kuat adalah akar penyegar.
Pendidikan seksual
agaknya tidak mengalami masalah sebagaimana yang dialami oleh kebanyakan
masyarakat kita. Sejak sangat kecil anak-anak sudah dibiasakan untuk mengenal
organ seksualnya sendiri. Adalah hal biasa seorang anak mengatakan nama-nama
organ dan kegiatan seksual sementara disekitarnya ada orangtua dan kakek
neneknya. Misalnya mereka biasa menyebut bejuluk (hubungan seksual), ciceh
(penis), conggoh (ereksi), bilak (vagina), genoh (air mani) dan lainnya.
Kata-kata itu bahkan
menjadi kata-kata pisuhan (kata yang diucapkan sebagai pernyataan bahwa sesuatu
itu lucu, luar biasa, tidak biasa, menjengkelkan, mengherankan, dan semacamnya)
dalam masyarakat Orang Rimba. Anak-anak pun lumrah misuh dengan kata-kata itu.
Ngisel (masturbasi) dan nyebak (onani) adalah sesuatu yang dimaklumi. Apabila
seorang bujang ketahuan sedang nyebak oleh orangtua, paling-paling hanya akan
digoda. Tidak ada hukuman untuk itu. Baik ngisel maupun nyebak diperbolehkan.
Bahkan ketika seorang anak muda rimba bertanya apakah saya sering nyebak, dan
saya jawab tidak, ia tidak percaya. Ia yakin betul saya berbohong. Artinya
nyebak adalah hal yang sangat lumrah bagi mereka. Ia bahkan tidak percaya kalau
ada orang yang berumur diatas 20 tahun yang belum bejuluk.
Bergaul dengan Orang
Rimba merupakan pengalaman yang mengasyikkan. Mereka secara vulgar membicarakan
persoalan seksual. Di hari kedua pada kunjungan terakhir tahun 2014 saya sempat
berjalan bersama seorang anak yang berumur sekitar 7 tahunan, ketika melihat
bokong seekor sapi dengan vulgar dia berkata, ‘kakok, mirip bilak induk.”
(vagina sapi dianggap mirip vagina ibunya). Lain waktu saya diajak bercerita
tentang seluk beluk bejuluk oleh orang yang sudah menikah. Diceritakan olehnya
warna bilak, apa yang ada didalamnya, dan bagaimana rasanya bejuluk. Pada
kesempatan lain, anak rimba menunjukkan cicehnya yang ereksi pada saya.
Pendidikan seks yang
baik membuat mereka memiliki pengetahuan memadai mengenai seks. Secara mental
mereka juga sangat siap mengahadapi persoalan seksual ketika menikah. Diiringi
dengan pengaturan yang ketat mengenai tata pergaulan tidak pernah terjadi
hubungan seksual pranikah apalagi kehamilan diluar nikah. Mereka bahkan takut
untuk sekedar ngobrol dengan lawan jenis tanpa ada orangtua karena bisa
didenda. Mungkin model pendidikan seks dan pengaturan seks mereka bisa
dijadikan salah satu acuan bagi pendidikan seks masyarakat.
Relasi Gender
Relasi antara laki-laki
dan perempuan tercermin dalam pepatah ‘bini sekato laki’ artinya seorang istri
harus patuh terhadap suami. Perintah suami asalkan tidak mencelakakan harus
dipatuhi oleh istri. Apabila tidak dipatuhi maka sang suami bisa mengadu kepada
tengganai. Menurut cerita, tengganai bisa mendenda sang istri yang tidak patuh.
Denda dibayar oleh orangtua atau saudara laki-lakinya. Namun sebaliknya untuk
hal tertentu seperti misalnya berburu, berladang, mencari jernang dan cara
mencari nafkah lainnya yang diperintahkan istri kepada suami, maka sang suami
harus menurut. Apabila tidak maka suami bisa diadukan kepada tengganai dan bisa
kena denda. Artinya hubungan suami istri relatif tidak terlalu timpang.
Dalam lingkup yang
lebih luas, kedudukan antara laki-laki dan perempuan relatif timpang. Tidak ada
perempuan yang diijinkan untuk menduduki salah satu jabatan pengulu. Demikian
juga tidak ada yang menjadi tengganai maupun malim. Bahkan dalam berinteraksi
dengan orang luar, terdapat pengaturan yang ketat. Berbicara dengan orang asing
tanpa ada suami adalah sesuatu yang terlarang. Berfoto maupun merekam suara
kadangkala dilarang juga meski sebenarnya tidak ada aturan tegas mengenai hal
itu. Pelarangan berbicara dengan perempuan Orang Rimba, menfoto ataupun merekam
suara mereka sifatnya relatif. Orang-orang yang sudah dianggap dekat diijinkan
untuk melakukan hal-hal itu.
Pelarangan hal-hal
tertentu bagi perempuan mencerminkan relasi gender yang terjadi. Perempuan
nyaris tidak memiliki suara. Kekuasaannya dalam mendenda laki-laki hanya
terbatas bila suami enggan mencari nafkah. Sementara itu hampir seluruh dimensi
kehidupan yang lain dikuasai laki-laki, baik oleh suami, orangtua, maupun
saudara laki-lakinya. Pada umumnya alasan pelarangan yang diakui adalah karena
tabu. Namun tampaknya pelarangan lebih untuk melindungi kekuasaan laki-laki
terhadap perempuan terbukti dari adanya ijin yang diberikan bagi orang-orang
yang dianggap dekat. Hal ini wajar mengingat jumlah perempuan rimba lebih
sedikit dibandingkan laki-laki.
Orang Rimba memiliki
pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Pekerjaan laki-laki biasanya
terkait dengan pencarian nafkah, misalnya mencari rotan, damar, jernang,
mengambil umbi dan semacamnya. Perempuan biasanya mengerjakan pekerjaan yang
bersifat rumah tangga, misalnya memasak, mengasuh anak, menganyam kerajinan,
dan lainnya. Namun demikian, tidak ada tabu bagi laki-laki untuk melakukan
pekerjaan perempuan dan sebaliknya.
Pengasuhan Anak
Jika kita mendasarkan
pola pengasuhan anak berdasarkan tipologi demokratis, otoritarian, dan bebas,
maka pengasuhan anak Orang Rimba cenderung ke tipe bebas. Sedikit sekali
aturan-aturan yang diterapkan kepada anak-anak secara ketat. Seringkali saya
melihat orangtua yang menyuruh seorang anak melakukan sesuatu. Namun ketika
sang anak menolak, tidak ada paksaan yang dilakukan. Anak-anak nyaris bebas
melakukan apapun yang mereka inginkan. Aturan-aturan yang ada paling-paling
aturan adat yang berupa tabu-tabu. Namun toh bila anak-anak melanggar tabu-tabu
biasanya dimaklumi mereka masih anak-anak.
Anak-anak yang masih
kecil atau balita selalu mengikuti kemanapun ibu (induk dalam bahasa rimba)
pergi. Demikian juga tidurnya didalam rumah bersama ibu, tidak bersama ayah.
Anak-anak disusui oleh ibunya sampai berumur kira-kira 2 tahun. Apabila
melakukan perjalanan, anak yang masih disusui hampir selalu digendong meskipun
sudah bisa berjalan. Mereka biasanya tetap telanjang. Bahkan ada anak yang
sudah berumur sekitar 3 tahun yang masih tetap telanjang. Leher mereka biasanya
dikalungi jimat. Tujuannya agar sang anak terhindar dari gangguan hantu.
Orang Rimba sangat malu
kalau anaknya menangis, apalagi sampai menangis menghiba. Oleh karena itu
biasanya berbagai macam permintaan anak selalu dituruti. Mereka khawatir bila
tidak dituruti maka sang anak akan menangis dan itu membuat malu mereka. Pernah
seorang ibu rela berjalan kurang lebih 2 km untukn membelikan jajan bagi
anaknya yang menangis. Anak-anak rimba adalah anak-anak yang dimanjakan oleh
orangtuanya. Akibatnya perilaku malas-malasan kerap dijumpai.
Anak laki-laki yang
sudah agak besar mengidentifikasikan diri sebagai laki-laki rimba yang
sesungguhnya melalui sebuah pembelajaran yang panjang. Mereka mengikuti sang
ayah kemanapun sang ayah pergi. Jadi seorang anak laki-laki belajar menjadi
laki-laki rimba dengan cara mencontoh langsung dari sang ayah. Mereka belajar
melakukan aktivitas laki-laki seperti berburu, memancing, mencari rotan dan
lainnya dengan cara belajar pada sang ayah.
Pada umur 8 tahunan,
mereka sudah bisa melakukan semua itu sendirian. Sedangkan anak-anak perempuan
yang sudah agak besar akan mengikuti kemanapun ibu pergi. Sang anak gadis akan
belajar menjadi perempuan rimba dengan mencontoh langsung semua perilaku dan
tindak tanduk ibunya. Mereka belajar menganyam dan memasak. Anak umur 6 tahunan
sudah pandai melakukan semua kegiatan perempuan.
Sejak kecil anak-anak
sudah belajar untuk mencari nafkah dan bertanggung jawab terhadap kehidupannya
sendiri. Anak-anak umur 8 tahunan sudah mencari rotan dan menjualnya sendiri.
Hasil penjualannya diambil sendiri. Ia juga boleh berhutang kepada toke atas
nama dirinya sendiri. Implikasinya ia sendiri yang harus membayar hutangnya,
tidak boleh meminta bantuan pada orangtua. Namun demikian kadang orangtua turun
membantu.
Hubungan antara kakak
adik sangat ditekankan. Seorang kakak berkewajiban melindungi adiknya meskipun
dengan nyawa. Kakak, terutama kakak laki-laki adalah pengganti orangtua.
Posisinya pun disetarakan dengan posisi orangtua. Apabila kakak memberikan
perintah kepada adik, maka sang adik harus menurut. Hanya jika perintah itu
berlebihan maka boleh tidak diturut. Namun demikian, sepanjang yang saya
saksikan, jarang sekali seorang kakak menyuruh adiknya bila tanpa alasan kuat.
Bersambung…..
0 on: "Jelajah Suku Anak Dalam : Seks dan Hukuman Mati [5]"