Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Assalamu’alaikum Wr Wb.
Untuk mengetahui
akhirat, tentu kita harus mati dahulu! Secara logika paling sederhana kalimat
barusan ada benarnya. Nah, pada kesempatan kali ini saya akan ajak kerabat
akarasa untuk menikmati diorama siksa neraka dari kitab klasik Jawa kuno yang
berjudul Kitab Kunjarakarna. Sekilas mengenai Kitab Kunjarakarna ini ditulis
pada masa kerajaan Kediri ketika di perintah oleh Dharmawangsa (991 – 1016) dan
ditulis dalam bentuk kakawin atau tembang.
Seperti halnya
kitab-kitab klasik atau naskah-naskah kuno lainnya, dalam Kitab Kunjarakarna pun
tidak diketahui siapa nama sang pujangga atau penulisnya. Sang pujangga hanya
menyebut dirinya sebagai ‘kadi ngwang adusan’ yang artinya pujangga atau
penulis dari dusun.
Jika menilik dari
isinya, maka tak berlebihan jika Kitab Kunjarakarna buah karya pujangga yang
rendah hati ini di masanya tentu layak dikategorikan sebagai sebuah karya sastra
yang spektakuler. Bagaimana tidak, kitab klasik ini berbeda dengan kebanyakan
kitab karya lainnya. Kitab ini membahas dan menguraikan tentang “apa dan
bagaimana’ dengan neraka.
Baik, sebelum saya
melanjutkan lebih jauh, kita kembali pada narasi pertama pembuka tulisan ini. Untuk
melihat akhirat, tentu kita harus mati dahulu. Bisa jadi kerabat akarasa
berpikiran logika berpikir saya terlalu kasar. Jujur saya agak kesulitan untuk
mencari padanan kata untuk menyampaikan maksud saya mengajak membincang makna
kematian yang tentu saja ada kesinambungan dalam inti dari tulisan ini, melihat
diorama kengerian neraka. Ya, tentu saja dalam hal ini saya tidak bermaksud
mengajak panjenengan mati, hanya sekedar melihat itu.
Sekilas, kata ‘mati’
sangat amoral pengucapannya jika dihantarkan kepada objek yang bernama manusia
(dalam konteks direct). Tetapi, dalam komunikasi indirect, kata ini lebih
sering digunakan untuk manusia itu sendiri. Meski bagaimanapun, mati adalah
kata dasar dari kematian atau rujukan bagi sinonim lainnya seperti wafat,
tiada, ataupun meninggal yang memeroleh makna mati sendiri jika telah sesuai
dengan kalimat sebelum ataupun sesudahnya.
Kematian adalah fase di
mana berakhirnya sebuah kehidupan (berhentinya sistem kerja manusia secara
biologis). Sebuah tahap yang sebagian kalangan (mayoritas kaum agamis)
menyebutnya sebagai peringatan tentang anekdotnya tokoh hedonisme yang
dinamakan duniawi.
Matinya seorang manusia
tentu dipengaruhi oleh hukum alam (sebab - akibat) entah itu karena penyakit,
atau usia yang sudah semakin senja. Namun di balik semuanya, kematian tetap
menjadi misteri karena adanya sebuah ketetapan yang bernama “ajal”.
Maka apapun penyebab
kematian seseorang, para awam hanya akan mengatakan “sudah ajalnya” meski para
penerap ilmu ilmiah selalu mencari alasan, akibat, atau penyebab dari kematian
itu sendiri. Dalam konteks jika proses kematian diperbincangkan secara
dialektika. Ketika mengalami kematian, maka segala jenis usaha yang dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan jasmani terhenti, dan yang akan dibawa pergi hanyalah
kebutuhan yang selama jasmani bersifat hayat melakukan sinkronisasi dengan ruh diberikan
kepada Ruh.
Ruh, merupakan
ke-esensian dari hidup (manusia) itu sendiri. Sebagaimana halnya kita selagi
hidup, kebaikan seseorang adalah esensi dari kehidupannya di luar dari
bagaimana caranya berpenampilan. Dan itu, tentu sangat oksimoron dengan yang
terjadi pada saat ini. Otoritas duniawi menguasai pola berpikir wajah manusia
abad ini.
Ruh, dalam sufisme
seorang Ghazali berdiri atas dua maqam. Yang sebenarnya berawal dari sembilan
maqam ruhani. Namun ada dua maqam tertinggi dari ruh itu sendiri.
Maqam Mahabbah (maqam
cinta) dan Maqam Ridha (rela terhadap ketentuan Allah). Maqam cinta ini dihuni
oleh aktifitas-aktifitas seperti zuhud, khauf, ekstase-ekstase illahiah dan hal
lainnya yang bersifat penghambaan.
Kebutuhan ruh haruslah
dipenuhi sesuai ketentuan. Sebab, tubuh tanpa ruh adalah mati. Seperti halnya
kegiatan kita mengangkat tangan, berjalan, atau aktifitas pergerakan lainnya.
Tubuh hanyalah machine of plant yang terhubung oleh energi ruh. Maka, tak ayal
Syekh Siti Djenar menyebut: “Tubuh yang lupa akan kebutuhan Ruh, tak lebih
seperti bangkai yang bernyawa.”
Ruh diberi pinjaman
badan, agar kelak kembali sesuai dengan hakikatnya. Sebab, yang diutus sebagai
khalifah hanyalah ruh. Tubuh dan segala sistem metabolismenya hanya bentukan,
bukan hembusan.
Mengamini pengajian
makrifat Syeh Siti Djenar, hidup di dunia adalah kematian dan kehidupan setelah
kematian adalah kehidupan yang sebenarnya.
Hidup di dunia hanyalah
sebuah proses menuju dari syarat (ketentuan) illah bahwa yang bernyawa akan
merasakan mati. Dan kematian adalah shirot (jembatan) untuk menuju yang hakiki.
Di dunia, kita dihidupkan untuk dimatikan dan setelahnya, kita dimatikan untuk
dihidupkan (selamanya) karena hakikat terdalam dari hidup itu sendiri adalah
tidak adanya kematian yang dialami.
Maka, para pemaham sufi
yang sangat hendak ingin menjumpai kematian itu sangatlah absah. Sebab, melalui
zuhud dan wahdatul wujud, mereka telah merasakan getir cinta dari Illahi. Oleh
sebab juga, kalimah syahadat yang didengungkan tidak hanya sebatas lafadz,
melainkan bersaksi. Mereka rindu kematian, mereka rindu hendak menjumpai sang
Kekasih.
Di dalam ajaran-ajaran
agama selalu ditemukan kata-kata tentang sorga dan neraka. Sorga adalah tempat
untuk manusia yang semasa hidupnya selalu beriman dan patuh dengan
ajaran-ajaran agamanya. Sedangkan neraka adalah sebaliknya. Neraka dikhususkan
untuk manusia yang tidak beriman dan menolak kebenaran ajaran agama Allah.
Dengan kata lain, sorga
adalah suatu tempat yang paling menyenangkan dan penuh keindahan. Sementara
neraka adalah tempat yang paling tidak menyenangkan, sangat menyakitkan, tempat
menjalani siksaan atau hukuman bagi orang-orang yang semasa hidupnya selalu
berbuat kejahatan, mengingkari agama dan lain-lainnya yang serba buruk.
Neraka yang mengerikan,
menakutkan, dan tempatnya menjalani siksaan, atau tempatnya Tuhan memberikan
hukuman kepada orang-orang yang semasa hidupnya tak pernah mengindahkan
ajaran-ajaran agama itulah yang diuraikan di dalam Kitab Kunjarakarna.
Imajinasi sang pujangga
atau penulis kitab ini memang sungguh luar biasa. Ia telah membawa pikiran,
jiwa dan rasa segenap pembaca kitab ini ‘melesat jauh’ untuk mengetahui
bagaimana sesungguhnya ‘alam neraka’ yang sangat mengerikan dan penuh siksaan
itu.
Para pembaca di masa
itu telah dibawa oleh sang pujangga untuk menyelusup sedalam-dalamnya ke ‘alam
neraka’, guna mengetahui bagaimana sesungguhnya yang ada dan terjadi di sana.
Misalnya, ragam atau bentuk siksaan apa saja yang ada, dan kenapa
siksaan-siksaan yang mengerikan dan sangat pedih itu diberikan.
Seperti kebanyakan
kitab Jawa kuno lainnya di masa itu,
Kitab Kunjarakarna juga berangkat dari latar belakang cerita dunia
pewayangan. Dikisahkan oleh sang pujangga, tentang kisah perjalanan raksasa
Kunjarakarna yang ingin merubah dirinya menjadi manusia.
Perubahan jati diri
raksana menjadi manusia seperti yang diinginkan oleh Kunjarakarna itu ternyata
tidaklah mudah. Sesakti apa pun atau sehebat apa pun ilmu yang dimiliki
Kunjarakarna, tapi untuk merubah dirinya agar bisa menjadi manusia biasa
bukanlah sesuatu yang mudah.
Tapi sebagai raksasa
yang sudah bertekad bulat untuk meninggalkan kehidupannya sebagai raksasa,
Kunjarakarna tak pernah putus asa. Ia pun lalu bergegas menemui Sang Bhatara
Wairocana yang berada di kayangan. Di hadapan Bhatara Wairocana, sambil
terisak-isak menangis Kunjarakarna menyampaikan keinginannya untuk meninggalkan
kehidupannya sebagai raksasa dan berganti dalam kehidupan sebagai manusia.
Kehidupan sebagai
raksasa membuatnya menjadi berwatak seperti setan, selalu berbuat kerusakan dan
kejahatan. Kunjarakarna mengaku, dirinya tak sanggup lagi menjalani kehidupan
seperti itu. Ia ingin menjalani kehidupan baru yang serba damai, tenteram,
penuh kesabaran, penuh kelembutan, terhindar dari perbuatan yang penuh
keangkaramurkaan.
Pada mulanya Sang
Bhatara Wairocana terkejut dan heran dengan kedatangan Kunjarakarna. Karena
tidak pernah ada raksasa yang mau bersimpuh dan menangis tersedu di depan Dewa.
Tetapi hal yang tak pernah terjadi itu telah terjadi di hadapannya. Raksasa
Kunjarakarna bersimpuh dan menangis di depannya, meminta agar dirubah menjadi
manusia.
Setelah meyakini bahwa
keinginan Kunjarakarna itu memang tulus keluar dari dalam hati sanubarinya,
Bhatara Wairocana pun kemudian menyatakan kesediaan dirinya untuk membantu.
Tapi caranya tidak mudah. Ada ‘syarat laku’ cukup berat yang harus dijalani
oleh Kunjarakarna. Salah satu syaratnya, Bhatara Wairocana meminta Kunjarakarna
menemui Bhatara Yama Dipati di Tegal Petrabhuwana untuk membersihkan diri atau
meruwat diri.
Tanpa membuang waktu,
Kunjarakarna pun bergegas menemui Yama Dipati di Tegal Petrabhuwana. Tegal
Petrabhuwana adalah suatu tempat untuk para arwah manusia yang semasa hidupnya
selalu melakukan kejahatan dan keangkaramurkaan menjalani hukuman siksaannya.
Tegal Petrabhuwana ini adalah tempat yang bernama neraka itu. Setelah bertemu
dengan Bhatara Yama Dipati, Kunjarakarna pun kemudian menjalani ruwatan atau
pembersihan diri di Tegal Petrabhuwana.
Apa yang dialami atau
diperolehnya selama mengikuti pembersihan diri di Tegal Petrabhuwana itu
merupakan balasan atau hukuman dari apa yang telah dilakukannya selama
menjalani kehidupan sebagai raksasa. Dan, Kunjarakarna menjalani semua proses
‘hukuman’ di Tegal Petrabhuwana itu, demi niat dan kesungguhan hatinya untuk
menjadi manusia yang bersih dan jauh dari keangkaramurkaan.
Di dalam Kitab Kunjarakarna
dijelaskan betapa panjangnya siksaan yang diterima oleh para pendosa di neraka.
Ada tingkatan hukuman. Tingkatan hukuman itu misalnya lama hukuman atau siksaan
bagi pendosa yang mencapai 1,8 miliar tahun. Siksaan itu akan dialami sepanjang
hari tanpa henti. Raungan dan jeritan tangis tidak akan pernah bisa
menghentikan siksaan maha pedih itu.
Sang pujangga di dalam Kitab
Kunjarakarna menguraikan pula tentang ragam kejahatan yang dibaginya dalam
duapuluh jenis. Masing-masing jenis kejahatan itu mempunyai bentuk hukuman yang
berbeda satu sama lain. Di antaranya ada dua jenis yang masuk kategori
terberat, yakni kejahatan anidya
paradrwya dan anidra parawadha.
Mereka yang termasuk
sebagai pelaku kejahatan anidya paradrwya adalah yang semasa hidupnya suka
memiliki atau menguasai harta milik orang lain dengan cara melawan hukum,
seperti perampok, pencuri, dan tentu juga termasuk para koruptor. Sedangkan
yang masuk jenis kejahatan anidra
parawadha adalah mereka yang semasa hidupnya bergelimang dengan kejahatan
seksual. Misalnya memperkosa, terlibat perdagangan seks, berselingkuh, suka
mengganggu isteri atau suami orang lain, dan lainnya lagi.
Mau tahu apa hukuman
atau siksaan yang dialami oleh mereka yang masuk dalam kategori pelaku kejahatan
anidya paradrwya? Di dalam Kitab Kunjarakarna disebutkan, di dalam neraka
hukuman yang akan diterima antara lain tubuhnya dipotong-potong dengan gergaji
besi yang teramat panas. Bayangkan, bagaimana jerit raung saat tubuh digergaji.
Tak terbayang bagaimana sakitnya. Potongan tubuh itu disatukan kembali, lalu
digegerjai lagi. Begitu seterusnya berulang-ulang.
Sedang bagi yang masuk
dalam kategori anidra parawadha, di
dalam neraka mereka akan mendapat hukuman dihimpit batu sebesar gunung,
tubuhnya akan ditusuk-tusuk tombak api dan digulung lempengan tembaga panas
membara. Sungguh mengerikan.
Pertanyaan yang patut
kita pertanyakan pada diri kita sendiri adalah kita termasuk pada siksa yang
mana? Bukankah kita tempatnya salah dan alpa?
Akhir kata, semoga tulisan yang lumayan panjang ini ada manfaatnya buat
kita semuanya. Sampai ketemu pada tulisan selanjutnya, jika sekiranya tulisan
ini ada manfaatnya mohon bagikan pada yang lainnya. Sekiranya ada banyak
kekhilafan dengan bersar hati saya menerima kritik atau tambahan-tambahan
pengetahuan baik melalui kontak di akarasa ini maupun lewat komentar yang saya
sediakan dibawah ini. Wassalam.
Nuwun.
Referensi bacaan :
Wikipedia
Kritik Teks Jawa : Sebuah
Pemandangan Umum Dan Pendekatan Baru Yang Diterapkan Kepada Kunjarakarna, William
van Der Molen
0 on: "Kajian Kitab Kunjarakarna : Uraian Neraka dan Tiwikrama Mantan Pendosa"