Akarasa – Selamat datang kerabat
akarasa. Sebelum batik diakui oleh Unesco sebagai warisan dunia tak benda asal
Indonesia, wayang sudah lebih dulu diakui. Seingat saya pada 2004 lalu,
kemudian disusul keris. Kesenian wayang bagi orang Jawa merupakan kekayaan yang
dimiliki bersama. Menikmati pertunjukkan wayang bagi saya secara pribadi memberikan
suatu pengalaman batin yang hampir tak terjelaskan. Penikmatan sebuah pertunjukan
wayang kulit seringkali terjadi begitu saja.
Nah, ngomong – ngomong tentang wayang,
ada satu karakter wayang yang menarik perhatian saya, yakni Gunungan. Seperti
yang kita ketahui, Gunungan inilah sebagai pembuka sekaligus penutup dari lakon
yang di pentasakan.
Gunungan adalah wayang berbentuk gambar
gunung beserta isinya. Di bawahnya terdapat gambar pintu gerbang yang dijaga
oleh dua raksasa yang memegang pedang dan perisai. Gambar ini adalah perlambang
pintu gerbang istana, dan pada waktu dimainkan gunungan dipergunakan sebagai
istana. Di sebelah atas gunung terdapat pohon kayu yang dibelit oleh seekor
ular naga.
Dalam Gunungan tersebut terdapat juga
gambar berbagai binatang hutan. Gambar secara keseluruhan menggambarkan keadaan
di dalam hutan belantara.
Secara umum pengertian Gunungan adalah melambangkan
keadaan dunia beserta isinya. Sebelum wayang dimainkan, Gunungan ditancapkan di
tengah-tengah layar, condong sedikit ke kanan yang berarti bahwa lakon wayang
belum dimulai, bagaikan dunia yang belum beriwayat. Setelah dimainkan, Gunungan
dicabut, dijajarkan di sebelah kanan. Gunungan menggambarkan bentuk gunung,
profil lapisan permukaan bumi yang menonjol. Cukup menarik untuk kita renungkan
tentang filosofi gunung ini.
Gunung mempunyai sifat alamiah yang
stabil. Gunung menggambarkan tempat yang tinggi, sejuk, oksigen yang tipis,
lereng yang curam penuh hutan belukar, pada kaki gunung biasanya terdapat
dataran yang subur. Daerah pegunungan cocok sebagai tempat peristirahatan,
tempat mencari kedamaian batin. Pemandangan yang indah dan alami di pegunungan
membangkitkan rasa terdalam dalam diri seseorang.
Oksigen yang tipis di pegunungan
mengakibatkan seseorang kurang bicara, dan mudah mendapatkan inspirasi. Otak
kita mendapat masukan energi dari sari-sari makanan dan oksigen. Pasokan
oksigen yang tipis di tempat pegunungan yang tinggi, membuat pikiran seseorang
berkurang keaktifannya, berkurang keliarannya dan menjadikannya lebih
meditatif.
Maka tak mengherankan, para leluhur
kita menempatkan gunung sebagai tempat pertapaan orang-orang suci. Beberapa
wilayah gunung dikeramatkan, dijadikan tempat suci, ada yang dinamakan Dieng
dari kata dhyang, ada yang disebut Parahiyangan, tempat para Hyang, Kahyangan,
tempat para makhluk suci. Nama tempat suci Himalaya, Mahameru, Kailasa bahkan
Gua Hira semuanya berada di atas Gunung.
Dari gunung kelihatan pemandangan yang
luas di bawah. Semakin ke atas semakin luas batas cakrawala yang nampak.
Semakin ke atas kesadaran seseorang, dia akan melihat secara general, umum dan
tidak lagi terfokus pada detail yang rinci. Semakin tinggi kesadaran seseorang,
pandangannya menjadi semakin holistik.
Seseorang yang pandangannya terfokus ke
puncak, hanya melihat fokus tujuannya saja. Itulah sebabnya seseorang yang
terfokus pada pencapaian kesadaran tinggi, sering tidak peduli dengan kondisi
masyarakat sekitar, sering alpa dalam memahami kondisi negerinya. Para leluhur
kita menyebut seseorang yang dapat menjelaskan segala sesuatu secara alami,
secara natural sebagai Resi. Seseorang yang telah mencapai puncak kesadaran,
selanjutnya dari puncak akan melihat ketidak benaran, ketidak adilan di bawah
dengan jelas, sehingga dia akan memperhatikan kondisi masyarakat sekitar.
Seorang Bhagawan, begitu para leluhur
menyebutnya, akan peduli dengan nasib orang sekitarnya. Seseorang belum menjadi
orang yang baik bila ada tetangganya yang tidak dapat tidur dengan perut
keroncongan. Dalam wujud karakter wayang sifat ini diwakili oleh Leluhur Resi
Drona yang pemahamannya tentang alam luar biasa, tetapi membela kaum Kurawa
yang jahat yang telah memberi kehidupan dan kehormatan bagi dirinya.
Dalam kehidupan sehari-hari bentuk
gunung diwujudkan para leluhur kita dalam berbagai peralatan. Diantaranya
adalah caping, topi bambu berbentuk kerucut, sehingga air hujan tidak
mengganggu kepala, akan tetapi mata tetap dapat memandang dengan leluasa.
Selanjutnya, atap rumah joglo, yang menunjukkan bahwa pusat bangunan dengan
lantai tertinggi terlelak di pusat, dibawah puncak atap dan merupakan tempat
berdoa yang paling efektif.
Nasi tumpeng juga berbentuk kerucut,
dan puncaknya dipersembahkan kepada pimpinan tertinggi dalam acara ritual.
Payung kraton bertingkat tiga juga menggambarkan tingkatan dari kamadhatu,
rupadhatu dan arupadhatu. Gunungan berbentuk simetris di sebelah kiri dan
kanan. Semakin ke bawah jarak antara kiri dan kanan melebar. Semakin ke atas
sifat dualistis tersebut semakin kecil dan pada akhir, ujungnya terlampauilah
sifat dualistis.
Dalam tradisi masyarakat Jawa,
seseorang dapat mewujudkan doa dalam bentuk lambang atau simbol. Lambang dan
simbol dilengkapi dengan sarana ubo rampe sebagai pemantap kesempurnaan dalam
berdoa. Lambang dan simbol juga memberi makna bahasa alam yang dipercaya
sebagai bentuk isyarat akan kehendak Gusti Kang Murbeng Gesang, Pemberi
Kehidupan. Leluhur kita merasa lebih mantap jika doanya tidak sekedar diucapkan
di mulut saja, melainkan dengan diwujudkan dalam bentuk tumpeng, sesaji sebagi
simbol kemanunggalan tekad bulat.
Dalam Gunungan terdapat gambaran
tentang air, api, angin dan tanah. Gunungan mewakili lima unsur alam, yaitu
tanah, air, api, angin dan ruang. Semua benda di alam ini merupakan kombinasi
dari kelima unsur tersebut. Pada saat pagelaran wayang, sebelumnya hanya ada
layar putih saja dengan Gunungan yang berada di tengah-tengahnya. Setelah
Gunungan dimainkan dan kelima unsur tersebut membentuk alam, maka dimulailah
cerita kehidupan di alam ini.
Karena cerita berfokus pada istana,
maka Gunungan Blumbangan gubahan Sunan Kalijaga pada waktu Kerajaan Demak
diubah menjadi Gunungan Gapuran pada waktu Kerajaan berpusat di Kartasura. Pada
setiap babak yang biasanya diawali dengan penggambaran suasana istana, maka
Gunungan dimainkan. Demikian pula pada saat terjadi keributan misalnya amukan
api atau gelombang samudera, Gunungan dengan posisi disebaliknya dimainkan.
Setelah selesai maka Gunungan kembali diletakkan di tengah layar. Setelah
pralaya maka setiap orang akan kembali kepada unsur-unsur alaminya.
Dalam setiap babak kehidupan mulai dari
lahir sampai mati para leluhur Jawa mengingatkan perlunya kesadaan untuk
memahami sangkan paraning dumadi, asal muasal kehidupan. Manusia ini asalnya
dari Gusti Kang Murbeng Gesang, Yang Maha Pemberi Kehidupan, melalui lima unsur
alami dan akhirnya kembali juga kepada lima unsur alami dan bersatu dengan Yang
Maha Kuasa. Itulah mengapa setiap babak selalu diawali dan diakhiri dengan
dimainkannya Gunungan oleh sang Dalang. Segala sesuatu diiawali dengan
kelahiran, kemudian jagad gumelar, dunia terkembang dan diakhiri dengan jagad
ginulung, dunia tergulung dan musnah. Di dunia ini tidak ada yang abadi.
Jutaan tahun sebelum manusia hadir,
bumi telah dipersiapkan melalui mekanisme alam semesta. Bumi terpilih sebagai
lokasi yang ideal untuk kehadiran berbagai tumbuh-tumbuhan, fauna-flora dan
manusia serta makhluk-makhluk yang kita tidak mengetahuinya.
Di mulai dengan tumbuh-tumbuhan yang
bersel satu sedikit demi sedikit pertumbuhan tanam-tanaman berevolusi ke
wujud-wujud yang lebih sempurna, baru kemudian hadir fauna, dan jutaan tahun
kemudian hadir manusia dari suatu ekosistem yang saling menunjang, saling
membutuhkan, semuanya lestari, berkesinambungan, yang kita sebut dengan suatu
kesatuan.
Suatu teknologi yang sangat
menakjubkan, setiap bentuk warna, dari suatu tumbuh-tumbuhan bermanfaat berbeda
suatu dengan yang lainnya. Juga berbagai cabang, ranting, akar, umbi-umbian
dari sesuatu tanamanpun berbeda-beda manfaatnya. Diperlukakan kurun waktu yang
panjang untuk mempelajari semuanya. Leluhur kita bahkan menyimbolkan berbagai
buah-buahan sebagai persembahan yang sakral bagi Yang Maha Kuasa. Kekuatan
tanaman disebut Sri (Yang Maha Agung), agar umat manusia mau mengikuti hukum
alam dengan menyantap tanaman sebagai sumber energi, obat-obatan, gizi,
protein, vitamin dan lain-lainnya.
Tidak banyak yang mengetahui bahwa kata
sayur dalam bahasa Indonesia berasal dari kata Sansekerta ayur yang berarti
tumbuh-tumbuhan yang menyehatkan atau yang bermanfaat bagi umat manusia. Ilmu
mengenai kesehatan yang dihasilkan oleh berbagai tumbuh-tumbuhan ini sudah
hadir ribuan tahun yang lalu dengan nama Ayur-veda. Para ahli kesehatan
meneliti berbagai manfaat dari berbagai tumbuh-tumbahan yang hadir di berbagai
belahan bumi, dan berbagai topografi dan iklim yang berbeda-beda.
Manusia perlu sadar bahwa di dalam
dirinya masih tersisa nafsu kebinatangan. Kebutuhan makan-minum, kenyamanan dan
seks dalam diri binatang juga masih ada dalam diri manusia. Manusia harus
meningkatkan harkat dirinya dengan sifat kasih dan ketidak terikatan terhadap
dunia. Hidupnya hanya untuk berbakti dan melayani sesama. Alam semesta ini juga
tidak mempunyai pamrih kecuali sekedar berbakti dan melayani makhluk hidup.
Seperti halnya, ajaran Astabrata dari Rama kepada Wibisana
pada hakikatnya adalah pelajaran bagi manusia agar meneladani tindakan alam.
Rama memberi nasehat kepada Wibisana, agar: Meniru sifat Matahari, Bulan,
Bintang, Awan, Bumi, Samudera, Api dan Angin. Ke delapan unsur alam tersebut
semuanya bertindak sesuai kodratnya. Mereka hanya sibuk bekerja menjalankan
tugas dari Yang Maha Kuasa saja. Inilah contoh dari alam semesta yang bersifat
kasih, hanya memberi, tanpa membeda-bedakan, dan tanpa pamrih sedikit pun juga.
Pun halnya, tanaman dan hewan pun
memberikan banyak persembahan kepada makhluk lainnya. Lebah membuat madu jauh
melebihi kebutuhannya untuk makan di luar musim bunga. Bahkan lebah menjaga
kemurnian madunya yang sebagian besar justru dipersembahkan kepada manusia. Bukan
untuk koloninya sendiri.
Ayam bertelur sebutir setiap hari, dan
tidak semuanya dipergunakan untuk meneruskan kelangsungan jenisnya. Sapi juga
memproduksi susu melebihi kebutuhan untuk anak-anaknya. Padi di sawah
menghasilkan butir-butir gabah yang jauh melebihi kepentingan untuk
mempertahankan kelangsungan kehidupan kelompoknya.
0 on: "Makna Simbolik dari Gunungan Wayang"