Akarasa - Selamat datang kerabat
akarasa. Jika ada hal yang menjadi akar permasalahan di dunia ini, tidak lain adalah
dikotomi persepsi antara benar dan salah. Sayangnya, dikotomi itu tidak selalu
berjalan pada jalannya masing-masing, kadang yang benar akan menjadi salah atau
pun sebaliknya. Jika kita tarik dalam konteks sejarah, pada akhirnya ada
simpulan baru bahwa perjalanan sejarah dari masa ke masa akhirnya membentuk
suatu pandangan baru untuk memilah benar dan salah agar dapat menarik
garis-merah kebenaran.
Untuk bisa mengenali sejarah
secara utuh bukanlah perkara yang mudah, yang dalam hal ini adalah sejarah
Sunda secara umum dan khusunya sejarah Rajagaluh yang akan saya ulik ini. Secara
umum, dalam hal ini lazim terjadi pada sejarah Sunda dari masa prasejarah dan
masa Hindu-Budha. Dari kedua masa tersebut sumber-sumber yang tersedia dapat
dikatakan sangat terbatas.
Oleh karenanya, tidak
mengherankan misalnya bila upaya untuk melakukan rekonstruksi sejarah kerajaan
Padjadjaran dan kerajaan Sunda lainnya secara relatif lengkap masih sulit untuk
dilakukan. Hal yang sama juga sebenarnya terjadi dengan masa sesudahnya. Namun,
keterbatasan sumber pribumi dari masa pasca Hindu-Budha seringkali
"terselamatkan" oleh ketersediaan sumber-sumber kolonial, khususnya
arsip-arsip berbahasa Belanda, baik dari masa VOC maupun pemerintah Hindia
Belanda.
Keterbatasan sumber
pribumi dalam sejarah Sunda ataupun sejarah yang ada di Nusantara ini secara
umum besar kemungkinan berkorelasi dengan rendahnya budaya tulis pada
masyarakat kita waktu itu. Padahal, sejarah membuktikan bahwa urang Sunda
termasuk etnis terdepan yang pertama kali melek huruf. Menjadi sebuah
pertanyaan besar, mengapa hal ini bisa terjadi. Benarkah etnis Sunda miskin
akan budaya tulis sebagaimana terlihat dari sedikitnya sumber-sumber pribumi
yang mampu menjelaskan sejarah Sunda? Ataukah sebaliknya bahwa etnis Sunda
tidaklah miskin akan budaya tulis. Inilah tantangan bagi para baraya urang
Sunda, saya kan wong Jowo yang dicelupkan secara tidak sengaja untuk mengenali
Sunda.
Adapun realitas sejarah
yang hingga kini tampil ke permukaan belumlah dapat menggambarkan realitas
sebenarnya karena sesungguhnya masih banyak sumber-sumber sejarah milik etnis
Sunda, khususnya sumber benda dan tertulis, yang masih "terkubur"
alias belum tergali oleh para sejarawan dan peminat sejarah pada umumnya.
Kalaulah boleh memilih, mudah-mudahan kondisi kedualah yang kini tengah terjadi
sehingga menjadi tantangan bagi siapa saja, khususnya kerabat akarasa yang
mengaku urang Sunda dan memang urang Sunda untuk terus berupaya keras menggali
sumber-sumber sejarah milik urang Sunda sehingga dapat lebih memperjelas
perjalanan sejarah urang Sunda, khususnya perjalanan sejarah urang Sunda di
tatar Sunda.
Kembali pada topik
utama bahasan kita kali ini, yakni Rajagaluh. Dari literasi yang saya dapatkan,
Prabu Silwangi pernah tinggal di lereng Gunung Ciremai sekira abad ke 15.
Tepatnya di kawasan hutan Desa Pajajar Kecamatan Rajagaluh, kurang lebih 35 km
arah timur dari pusat kota Majalengka. Di hutan itulah raja Padjadjaran yang
dikenal gagah perkasa, bersemedi di sebuah pesanggrahan yang dibangunnya. Ketika
itu kerajaan Rajagaluh dibawah tampuk pimpinan seorang raja yang terkenal
digjaya sakti mandraguna. Agama yang diantunya adalah agama Hindu.
Prabu Siliwangi adalah
Raja terbesar Kerajaan Padjadjaran. Apapun yang berhubungan dengan Prabu
Siliwangi selalu dikeramatkan dan dianggap sakti oleh masyarakat Sunda. Salah
satunya adalah tempat pesinggahan atau petilasan Prabu Siliwangi. Petilasan
Prabu Siliwangi tersebar di seluruh Jawa Barat. Salah satunya yang terdapat di
kawasan hutan lindung dan objek wisata di atas.
Sayang, setelah
mendapat gelar kehormatan sebagai Sri Ratu Dewata Wisesa, Prabu Siliwangi lantas
menghilang atau moksa. Bangunan pesanggrahan yang konon sangat megah kala itu dan
semua infrastruktur yang ada di kawasan hutan Pajajar lantas burak santak
(hancur lebur) menjelma menjadi hutan belantara.
Dalam versi lain, dalam
hal ini merujuk Babad Cirebon, konon menghilangnya atau moksa-nya Prabu
Siliwangi dari bumi Pajajar karena ia menolak masuk Islam. Syarif Hidayatullah
atau lebih kita mengenalnya Sunan Gunung Jati yang tak lain adalag cucunya
sendiri pernah pada satu kesempatan meminta kakeknya tersebut untuk bersama –
sama menyebarkan Islam di kawasan Parahiyangan. Namun, dengan berat hati
permintaan cucunya tersebut ditolak. Dalam Babad Cirebon ini juga menyatakan
bahwa, Syarif Hidayatullah sekitar tahun 1482 menyebarkan agama Islam di Jawa
Barat dengan damai. Dari sekian daerah atau kerajaan di Jawa Barat kala itu,
hanya kerajaan Rajagaluh yang tidak mau tunduk.
Sebagai bukti bahwa Siliwangi
pernah lama tinggal di kawasan Pajajar, ditandai peninggalan sejarahnya.
Seperti ada tumpukan bebatuan, bekas bangunan di bukit Pajajar, dan sebuah
sumber air bersih di atas bukit Pajajar. Bebatuan itu adalah bekas bangunan
pesanggrahan Prabu Siliwangi. Sebuah batu besar berukuran 5 X 6 x 2,5 meter
yang di dalam batu besar itu terpancar sumber air bersih. Konon, batu tersebut
adalah bekas tempat bertapa Siliwangi yang kemudian masyarakat setempat menamai
sumber air itu sebagai Pancuran Talaga
Siliwangi.
Diriwayatkan, setelah Cirebon memisahkan diri dari wilayah Pajajaran
maka pembayaran upeti dan pajak untuk kerajaan Cirebon dibebeaskan, namun untuk
Kuningan pajak dan upeti masih berlaku. Untuk penarikan pajak dan upeti dari
Kuningan Prabu Siliwangi mewakilkan kepada Prabu Cakraningrat dari kerajaan Rajagaluh.
Akhirnya Prabu Cakraningrat mengutus Patihnya yang bernama adipati Arya Kiban
ke Kuningan, namun ternyata adipati Kuningan yang bernama adipati Awangga
menolak mentah-mentah tidak mau membayar pajak dengan alasan bahwa Kuningan
sekarang masuk wilayah kerajaan Cirebon yang sudah membebaskan diri dari kerajaan
Pajajaran.
Sebagai akibat dari
penolakan tersebut maka terjadilah perang tanding antara adipati Awangga dan adipati
Arya Kiban. Dalam perang tanding keduanya sama-sama digjaya, kekuatannya
seimbang sehingga perang tanding tidak ada yang kalah atau yang menang. Tempat
perang tanding sekarang dikenal sebagai Desa Jalaksana artinya jaya dalam
melaksanakan tugas.
Perang tanding tersebut
dapat didengar oleh Syarif Hidayatullah yang kemudian ia mengutus anaknya Arya
Kemuning yang dikenal sebagai Syeh Zainl Akbar alias Bratakalana untuk membantu
adipati Awangga dalam perang tanding. Dengan bantuan Arya Kemuning akhirnya
adipati Arya Kiban dapat dikalahkan. Adipati Arya Kiban melarikan diri dan
menghilang didaerah Pasawahan disekitar Telaga Remis, sebagian prajuritnya
ditahan dan sebagian lagi dapat meloloskan diri ke Rajagaluh.
Semenjak kejadian
tersebut kerajaan Rajagaluh segera menghimpun kekuatannya kembali untuk
memperkokoh pertahanan menakala ada serangan dari kerajaan Cirebon. Sebagai
pengganti adipati Arya Kiban ditunjuknya Arya mangkubumi, Demang Jaga Patih,
Demang Raksa Pura, dan dibantu oleh Patih Loa dan Dempu Awang keduanya berasal
dari tatar Cina.
Syarif Hidayatullah
melihat kerajaan Rajagaluh dengan mata hatinya berkesimpulan bahwa prajurit
Cirebon tidak akan mampu menaklukan Rajagaluh kecuali dengan taktik yang halus.
Hal ini mengingat akan kesaktian Prabu Cakraningrat. Akhirnya Syarif Hidayatullah mengutus tiga orang
kepercayaannya, yakni Syeh Magelung Sakti, Pangeran Santri, Pangeran Dogol
serta diikutsertakan ratusan Prajurit.
Pengiriman utusan dari
Cirebon dengan segera dapat diketahui oleh Prabu Cakraningrat, raja sakti pilih
tanding tersebut kemudian segera menugaskan patih Loa dan Dempu Awang untuk
menghadangnya. Saat itupun terjadilah pertempuran sengit, namun prajurit
Cirebon dapat dipukul mundur, Melihat prajurit Cirebon kocar-kacir maka majulah
Syeh Magelung Sakti, Pangeran Santri dan Pangeran Dogol, terjadilah perang
tanding melawan Patih Loa dan Dempu Awang. Perang tanding tidak kunjung selesai
karena kedua belah pihak seimbang kekuatannya, yang akhirnya pihak Cirebon
tidak berani mendekati daerah Rajagaluh, begitupun sebaliknya.
Atas kejadian ini Prabu
Cakraningrat segera mengutus patih Arya Mangkubumi ditugaskan untuk menancapkan
sebuah Tombak Trisula pada sebuah lubuk sungai disekitar tempat terjadinya
perang tanding. Akibatnya, dari tancapan tombak tersebut serta merta air sungai
tersebut berubah menjadi panas dan dapat membahayakan bagi prajurit Cirebon
manakala menyebranginya. Kejadian tersebut mengundang marahnya pihak Cirebon.
Nyi Mas Gandasari cepat bertindak, dengan kesaktiannya ia mengencingi sungai
tersebut. Serta merta air sungai pun tidak berbahaya lagi walaupun airnya tetap
panas. Tempat kejadian tersebut sekarang dikenal dengan nama Desa Kedung
Bunder.
Setelah kejadian
tersebut Magelung Sakti dan kawan-kawan serta prajuritnya berupaya mendekati
kotapraja Rajagaluh, rombongan kemudian berhenti ditepian kotapraja Rajagaluh,
membuat perlindungan sebagai tempat pengintaian. Tempat tersebut berada
disekitar Desa Mindi yang sekarang dikenal dengan hutan Tenjo.
Pada saat yang
bersamaan Syarif Hidayatulloh mengutus pula Nyi Mas Gandasari, ia ditugaskan
untuk menggoda Prabu Cakrningrat, dengan harapan Nyi Mas Gandasari dapat
melarikan ajiimat Bokor Mas (Kandaga Mas), ajimat ini adalah pusaka andalan
kesaktian Prabu Cakraningrat.
Saat mendekati wilayah Rajagaluh,
Nyi Mas Gandasari menyamar sebagai pengemis agar luput pengawasan prajurit Rajagaluh.
Begitu masuk pinggiran kotapraja Rajagaluh, peran penyamarannya dirubah menjadi
ronggeng keliling. Pinggiran kota tersebut sekarang dikenal sebagai Desa Lame. Gerak-gerik
penyamaran Nyi Mas Gandasari tidak terlepas dari pengawasan dan Pengintaian Magelung
Sakti dan kawan-kawan.
Ketenaran Nyimas
Ronggeng begitu cepat meluas baik dari kecantikannya ataupun lemah gemulai
tariannya yang mempesona. Berita ketenaran Nyi Ronggeng sampai pula ke istana.
Dengan penuh penasaran Prabu Cakraningrat memanggil Nyi Ronggeng ke istana.
Usai Nyi Ronggeng mempertunjukan kebolehannya. Tanpa diduga sebelumnya ternyata
Sang Prabu Cakraningrat langsung terpikat hatinya. Gelagat perubahan yang
terjadi pada Prabu Cakraningrat segera diketahui oleh anaknya Nyi Putri
Indangsari. Dinasehatilah ayahnya agar jangan terpikat oleh Nyi Ronggeng. Namun,
nasehat Nyi Putri ternyata tidak digubrisnya diacuhkannya, bahkan Sang Prabu
berkenan mengajaknya Nyi Ronggeng masuk ke istana malahan beliau sampai
mengajak tidur bersama.
Nyi Ronggeng menolak
ajakan terakhir dari Sang Prabu Cakramingrat, Nyi Ronggeng pun dapat
mengabulkan ajakan beliau untuk tidur bersama asal dengan syarat Prabu Cakraningrat
terlebih dahulu dapat memperlihatkan ajimat andalannya yaitu Bokor Mas.
Syarat tersebut
disetujui oleh Sang Prabu, maka diperlihatkanlah ajimat yang dimaksud, serta
merta dirabalah ajimat tersebut oleh Nyi Ronggeng. Bertepatan dengan itu
tiba-tiba Sang Prabu ingin buang air kecil, maka kesempatan itu tidak
disia-siakan oleh Nyi Ronggeng. Bokor Mas langsung diambil dan dibawa lari saat
Sang Prabu buang hajat kecil.
Dil luar Nyi Mas
Gandasari dihadang oleh seekor banteng besar penjaga istana, namun dengan
kesaktiannya ia dapat lolos dari amukan banteng tersebut.
Kejadian tersebut
segera terlihat oleh Syeh Magelung Sakti dan kawan-kawannya, banteng itupun
ditebasnya sampai putus lehernya. Kendatipun kepalanya sudah terpisah namun
kepala banteng tersebut masih bisa mengamuk menyeruduk membabi buta, namun
akhirnya kepala banteng tersebut terkena tendangan Syeh Magelung Sakti sehingga
melayang dan jatuh didaerah Ciledug yang sekarang dikenal sebagai Desa Hulu
Banteng. Sedangkan badannya lari kearah utara sampai akhirnya terjerembab ke
sebuah Lubuk Sungai. Sekarang dikenal sebagai Desa Leuwimunding.
Prajurit Cirebon terus
menyerbu kotapraja Rajagaluh. Pertahanan Rajagaluh sudah lemah sehingga Rajagaluh
mengalami kekalahan. Prabu Cakraningrat sendiri konon melarikan diri ke kota
Talaga bergabung dengan Prabu Pucuk Umum. Yang kemudian keduanya pergi menuju
Banten (Ujung Kulon).
Sementara anaknya Nyi
Putri Indangsari tidak ikut serta dengan ayahnya karena rasa jengkel sebab
saran-saran Nyi Putri Indangsari tidak didengar oleh ayahnya. Nyi Putri
Indangsari sendiri malah pergi kesebelah utara sekarang di kenal dengan Desa
Cidenok. Di Cidenok Nyi Putri tidak lama, ia teringat akan ayahnya. Nyi Putri
sadar apapun kesalahan yang dilakukan oleh Sang Prabu Cakraningrat, sang Prabu
adalah ayah kandungnya yang sangat ia cintai, iapun berniat menyusul ayahnya,
namun ditengah perjalanan Nyi Putri dihadang oleh prajurit Cirebon yang
dipimpin oleh Pangeran Birawa. Nyi Putri dan pengawalnya ditangkap kemudian
diadili. Pengadilan akan membebaskan hukuman bagi Nyi Putri dengan syarat mau
masuk islam. Akhirnya semua pengawalnya masuk Islam tapi Nyi Putri sendiri
menolaknya, maka Nyi Putri Indangsari ditahan disebuah gua.
Dikisahkan juga
menghilangnya Adipati Arya Kiban yang cukup lama akibat kekalahannya oleh
Adipati Awangga saat perang tanding, ia timbul kesadarannya untuk kembali ke Rajagaluh
untuk menemui Prabu Cakraningrat untuk meminta maaf atas kesalahannya. Namun
yang ia dapatkan hanyalah puing-puing kerajaan yang sudah hancur luluh. Ia
menangis sedih penuh penyesalan. Ia menrenungkan nasibnya dipinggiran kotapraja
Rajagaluh. Tempat tersebut sekarang dikenal dengan Batu Jangkung (batu tinggi).
Ditempat itu pula akhirnya adipati Arya Kiban ditangkap oleh prajurit Cirebon,
kemudian ditahan/dipenjarakan bersama Nyi Putri Indangsari disebuah gua yang
dikenal dengan Gua Dalem yang berada di daerah Kedung Bunder, Palimanan. Sekian.
Sedih katanya masuk islam tidak ada paksaan, lah itu raja Pajajaran sampe moksa, gara2 di ajak biar islam, mana slogan islam agama Damai?
BalasHapusKalo ga masuk Islam berarti di bantai
BalasHapus