Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Di antara beberapa gunung yang lain dan pernah saya
mendakinya. Gunung Lawu atau nama lainnya Wukir Mahendra inilah yang yang saya
mengenalnya sangat dekat. Di gunung yang berketinggian 3.265 mdpl ini pula dua
pengalaman yang sarat misteri pernah saya alami dari 8 kali mengunjungi
puncaknya, Hargo Dumilah.
Sebelum saya lanjutkan
tulisan ini, bagi kerabat akarasa yang tertarik untuk membaca dua pengalaman
misteri tersebut bisa baca di Kisah Nyata : Perjalanan Melintas Dimensi Ruang dan Waktu dan Kisah Misteri Saat Pendakian Gunung Lawu Pada Malam 1 Suro.
Seperti yang sudah saya
narasikan di pembuka tulisan ini, gunung Lawu bagi saya secara pribadi adalah
gunung yang memiliki keangkeran luar biasa. Dalam hal ini, tidak lantas saya
mengatakan gunung yang lain tidak angker, tentu hal ini setiap kita punya
pandangan masing – masing yang biasanya dilandasi faktor pengalaman –
pengalaman tertentu, seperti dua pengalaman saya di atas itulah dasar saya
mengatakan demikian.
Salah satu keanehan
nyata Gunung Lawu adalah seolah gunung ini memiliki nyawa yang bisa mendengar
setiap kata-kata kita, meski tidak terucap sekalipun. Apa pun yang kita
keluhkan biasanya terwujud di gunung Lawu ini. Ambil contoh misal kita mengatakan
kelelahan mendaki Lawu, maka kita akan benar-benar dibuat lelah. Pun misalnya
kita mengatakan sangat dingin, bisa
berlipat – lipat dinginnya beberapa saat kemudian.
Seperti halnya gunung –
gunung yang lain. Di gunung Lawu ini ada berbagai larangan – larangan ketika
kita hendak mendakinya. Beberapa pantangannya antara lain tidak boleh bicara
kotor selama dalam perjalanan dan dilarang mengeluh, apapun kondisinya. Jika
sudah capek lebih baik istirahat saja, jangan malah mengeluh. Seperti saya
narasikan di atas paragraf ini. Gunung Lawu seolah bernyawa.
Selain itu dalam soal
pakaian juga ada pantangannya. Jika naik gunung Lawu ini tidak disarankan memakai
ikat kepala warna hitam dengan hiasan batik melati. Tidak boleh memakai kain
sutra warna hijau muda. Pantangan lain yakni dilarang memakai busana berwarna
hijau daun. Konon, hijau merupakan busana kebesaran ratu Pantai Selatan yakni
Kanjeng Ratu Kidul yang tak sembarangan dipakai di Jawa.
Kemudian adalah mitos
tentang kupu – kupu dengan bulatan biru di sayapnya. Indah tentu saja. Tapi jangan
sampai tergoda untuk mengusiknya, apalagi sampai menangkap atau bahkan
membunuhnya. Penunggu Lawu bisa murka. Kedatangan kita yang disambut kupu –
kupu dengan sayap bermotif biru nyala itu adalah sebagai pertanda kita diterima
baik oleh gunung Lawu. Bakan di percaya, ketika turun dan bertemu lagi dengan
kupu – kupu dengan motif ini oleh sebagian orang dipercaya sebagai berkah.
Jika kerabat akarasa
membaca tulisan yang kedua pada tautan di atas, disana saya atau lebih tepatnya
kami sejatinya sudah diberi peringatan oleh burung Jalak, lantas apa
istimewanya?
Peristiwa itu menjadi
pengalaman istimewa sekaligus pembuktian bahwa cerita soal Jalak dan Sunan
Lawu yang diyakini masyarakat sebagai
penjaga Gunung Lawu bukanlah sekedar mitologi semata. Melainkan bisa berwujud
nyata (mengejawantah) dan sungguh-sungguh ada dan terjadi. Jalak atau dalam
keyakinan masyarakat sekitar menyebutnya Kyai Jalak adalah adik dari Sunan Lawu.
Dalam ranah supramistik
tanah Jawa, Kyai Jalak ini adalah manifestasi dari seseorang yang bernama
Wongso Menggolo. Sedangkan Sunan Lawu nama aslinya adalah Dipo Menggolo yang
merupakan kakak beradik. Dua orang ini diyakini merupakan penguasa wilayah
lereng gunung Lawu sekitar 6 abad yang lalu. Dalam riwayatnya, dua orang ini
pula yang membantu Prabu Brawijaya V dan dua abdi kinasihnya Sabdopalon dan
Noyogenggong mencari tempat untuk moksa.
Baik, saya akan cerita
sejarah yang dekat dengan legenda tersebut sambil kita mengenal tempat – tempat
angker yang ada di Lawu ini dari bawah dulu, yakni dari Cemoro Sewu. Legenda di
atas ini bermula ketika Majapait akan ‘sirna ditelan kala’ , Brawijaya V di
temani dua abdi kinasihnya dan sepasukan pengiring pergi meninggalkan kedaton
menuju Gunung Lawu untuk menenangkan diri. Kerisauan hatinya sulit dipadamkan
melihat putranya sendiri yang bernama Raden Patah telah memberontak dan
menghancurkan Majapahit.
Dari Cemoro Sewu, untuk
sampai ke puncak kita akan akan mendapati tanjakan curam hingga mendapati satu
tanah lapang. Nah, tanah lapang ini namanya Bulak Peperangan. Cerita menariknya
di lokasi ini, konon Bulak Peperangan ini adalah tempat peperangan pasukan
pengiring Brawijaya V dan pasukan pengejar dari Demak yang mengejarnya hingga
ke Lawu ini. Banyak cerita mistis disini, salah satunya seperti ada suara
gemuruh peperangan.
Nah, mitos pasar setan
yang kesohor dan sering kita dengar itu letaknya tak begitu jauh dari Bulak
Peperangan ini. Pasar Diyeng beitulah masyarakat sekitar menyebutnya di tandai
tumpukan batu yang acak dan menyerupai lapak – lapak. Namanya saja pasar setan,
tidak semua orang bisa melihatnya. Hanya orang yang berkemampuan khusus atau
yang kebetulan saja yang melihatnya.
Mitosnya, jika
kebetulan yang melihatnya atau minimal mendengar suara “arep tuku opo, Mas /
Mbak”, sebaiknya membuang uang selayaknya kita membeli sesuatu, tidak ada
patokannya. Kemudian petik daun apa saja yang ada disekitar pasar setan
tersebut. Jika ini tidak kita lakukan, konon alamat celaka yang kita dapati di
Lawu ini.
Selain mitos tersebut,
pasar diyeng ini adalah salah satu jalur yang menyesatkan. Makanya sangat tidak
disarankan lewat pasar diyeng ini malam hari. Tiga rekan saya pernah tersesat
di jalur ini.
Selanjutnya kita juga
akan menjumpai Sendang Derajat. Di sendang inilah sering pendaki mengisi ulang
botol air mereka untuk persediaan. Selain itu, Sendang Drajat ini sering
dirituali oleh komunitas tertentu. Tak jauh dari sini ada beberapa bilik dari
bata bersemen setinggi dada, tempat inilah para peziarah maupun pendaki
mengguyurkan air yang diambil dari sendang untuk ritual mandi. Mata air ini
dahulunya adalah tempat pemandian Raja Brawijaya V. Menurut kepercayaan
masyarakat setempat, apabila para pengunjung mempunyai cita-cita atau niat
tertentu dapat terkabul apabila mandi di sendang ini.
Selain Sendang Drajat,
ada beberapa situs lain yaitu Sumur Jalatunda. Sumur ini merupakan sebuah gua
vertikal sedalam lima meter yang dipakai untuk bertapa. Gua ini dipercaya
sebagai tempat Raja Brawijaya V menerima wangsit dalam perjalanan naik ke
Puncak Lawu.
Sekitar 15 menit
perjalanan dari Sendang Drajat, sampailah pada salah satu puncaknya Lawu, yang disebut sebagai Hargo Dalem sekitar di ketinggian
3000 mdpl. Di sebuah sumur vertika atau
yang sering disebut Sumur Jolotundo inilah diyakini Brawijaya V melakukan
moksa. Melebur raga dengan sukma, menyatukannya dengan ngelmu panunggalan,
pangracut, warangka manjing curiga untuk menggapai kasampurnan jati. Sementara itu setelah Sang Prabu Brawijaya V
moksa, kedua abdi kinasihnya melanjutkan
pendakian hingga sampai pada Puncak Hargo Dumiling sekitar 3200 mdpl. Di puncak
Hargo Dumiling inilah dua abdi kinasih Brawijaya V mereka berdua melakukan moksa.
Hargo Dumilah yang
menjadi tujuan utama para pendaki adalah puncak tertinggi Gunung Lawu (3265m
dpl). Puncak ini juga dipercaya sebagai tahta Raja Brawijaya V yang pada musim
kemarau suhu di malam hari bisa mencapai minus 5 derajat celsius. Namun sebelum
menuju Hargo Dumilah, ada satu warung yang terkenal di kalangan pendaki, yakni
warung Mbok Yem. Mampir dulu dan nglarisi wong ora mahal kok.
Sebelum saya akhiri
tulisan yang lumayan panjang ini. Mari kita kembali sejenak membahas soal Kyai
Jalak dan Sunan Lawu. Singkat cerita, setelah mereka menujukkan jalan kepada
Prabu Brawijaya V dan dua abdi kinasihnya, mereka diperintahkan oleh sang
Brawijaya V bila kelak mereka berdua raganya mati, ditugasi menjadi pejaga
Lawu. Sebagai pelaksana harian tugas mejaga dibawah naungan sang penjaga utama
gunung Lawu, yakni Dewi Untari keturunan dari Dewi Nawangsih.
Dalam lembar sejarah,
Dewi Nawangsih adalah putri tunggal Ki Ageng Tarub dengan Dewi Nawang Wulan
yang diperistri oleh Raden Bondan Kejawan (Putra Prabu Brawijaya). Dengan kata
lain, Dewi Untari mulai menjadi penjaga Gunung Lawu pada sekitar abad XV atau
silsilahnya kira-kira dua generasi (cucu) setelah Parbu Brawijaya V. Pada saat mendaki ke Gunung Lawu, seringkali
dilihat kupu-kupu berwana dominan hitam, namun di tengah kedua sayapnya
terdapat bulatan besar berwarna biru mengkilap seperti yang sudah saya
narasikan si awal tulisan ini. Kupu – kupu itulah konon manifestasi atau
maujudnya Dewi Nawangsih.
Akhir kata, demikianlah
yang bisa saya tuliskan bagi kerabat akarasa sekalian. Bagi sebagian orang alam adalah guru paling jujur. Alam semesta,
binatang, dan tumbuhan telah mengajarkan kepada kita semua sebuah kejujuran
yang paling mulia. Selamat berpetualang dan menemukan guru paling jujur di
dunia ini. Nuwun.
0 on: "Napak Tilas Brawijaya V di Gunung Lawu : Pasar Setan di Tepian Surga"