Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Ada satu pertanyaan teman dalam satu obrolan santai beberapa
waktu yang lalu. Kurang lebihnya begini pertanyaannya.
Menapaki spiritual itu
dari mana ee.. Mas! Apa dari syariat
dulu, kemudian menuju tarikat, hakikat dan akhirnya sampai pada makrifat? Atau langsung
dari makrifat (mengenal Tuhan) dulu, kemudian penghayatan hakikat, kemudian
menjalankan tarikat dan melaksanakan syariat?
Karena saya bukan ahli
agama, jadi saya tidak bisa memberi dalil yang ndakik – ndakik untuk
menjelaskan hal ini. Karena bagi saya secara pribadi, spiritual itu adalah
pengalaman. Tentu setiap orang berbeda pengalaman dan pemahamannya.
Tapi bagi saya secara
pribadi, pendakian spiritual bisa dari mana – mana, kita tidak perlu kebingungan
terhadap mana yang harus terlebih dulu ditapaki. Menurut saya semuanya isa
sebagai titik pijak untuk memulai perjalanan.
Ada banyak teman yang
memulai perjalanan spiritual dengan “tidak percaya” terhadap adanya Tuhan. Lalu
belajar tentang ilmu ketuhanan, dan setelah kedewasaan intelektualnya mengalami
kemapanan dan kemudian dia yakin adanya Tuhan dan kemudian menjalankan syariat.
Yang demikian ini hebat.
Ada yang memulai dengan
menjalankan syariat agama. Sebab dari kecil dia berada di dalam lingkungan yang
taat beragama. Oleh orang tuanya, dia dididik untuk menjalankan syariat agama
secara leterluks. Kemudian seiring perjalanan usianya, dia mulai mencari tahu
dengan banyak belajar tentang agama, yang telah dijalaninya selama ini. Hingga
kemudian pengetahuan dan perenungannya sampai pada hakikat. Kemudian dia
menjalani laku suluk/tasawuf dan akhirnya mendapatkan pencerahan Makrifat. Yang
demikian ini luar biasa.
Ada pula yang tidak
mulai apa-apa. Ya tidak menjalankan syariat agama, ya tidak berusaha mencari
tahu tentang Tuhan. Dia skeptis dan agnostik terhadap berbagai wacara agama
serta kerokhanian. Dia seakan puas dengan apa yang ada pada dirinya. Otaknya
tidak digunakan untuk berpikir tentang Tuhan. Namun, di tengah hidupnya dia
dipaksa untuk menerima banyak hal yang tidak masuk akal hingga suatu ketika
kesadarannya mengalami “byaaar!!!”. Tiba-tiba dia sadar apa yang telah
dijalaninya selama ini. Dia pun menemukan Tuhan di dalam hidupnya.
Suatu saat dalam
hidupnya, Tuhan pasti akan datang membawa cahaya-Nya yang suci. Dia akan
menerangi diri pribadi kita sehingga yang sebelumnya hanya mampu melihat
fakta-fakta dengan inderanya, maka setelah pencerahan Tuhan itu datang maka dia
mampu untuk melihat hubungan antar fakta dan akhirnya menemukan kesimpulan
bahwa hanya ada satu Tuhan yang wajib disembah oleh manusia.
Tuhan itu bukan
benda-benda. Tuhan ya Tuhan. Adanya berbeda dengan apa yang pernah diketahui
oleh manusia. Yang pernah diketahui oleh manusia berasal dari pengalaman
inderanya. Nah, wujud Tuhan ini tidak ada di dalam gudang memori manusia.
Sehingga mengatakan Tuhan seperti A, B, C pasti jelas bukan Tuhan. Tuhan
sebagaimana yang dibayangkan oleh manusia, tentu berbeda dengan Tuhan
sebagaimana wujud-Nya yang asli. Anggapan tentang Tuhan beda dengan Tuhan yang
sebenarnya. Sama seperti anggapan saya tentang mobil Volvo, tidak sama dengan
mobil Volvo yang sebenarnya. Sebab saya buta tentang mobil, apalagi tidak pernah
memiliki volvo sebelumnya sehingga penggambaran saya tentang Volvo berbeda
dengan Volvo yang sebenarnya.
Dikatakan oleh Sunan
Kalijaga, sebenarnya wujud Tuhan sangat jelas… sangat sangat jelas! Nah,
kejelasan ini pasti tidak dimaknai sebagaimana kejelasan benda-benda. Benda
bisa dilihat oleh indera. Namun wujud Tuhan? Disinilah kita akan semakin
beranjak arif bahwa Tuhan yang tidak bisa digambarkan oleh kata-kata manusia
itu harusnya tidak dilihat dengan indera. Namun oleh “sesuatu” yang adanya jauh
berada di dalam diri manusia. Yaitu batin yang intuitif yang disebut dengan
guru sejati. Guru sejatilah yang mampu mengantarkan kita untuk melihat dengan
jelas diri pribadi. (sukma sejati) Diri sejati adalah tempat bersemayam Tuhan dalam
diri manusia. Di situlah Tuhan duduk di atas arasy.
Sukma sejati atau Diri
Sejati berasal dari Cahaya Yang Terpuji yaitu dari Nur Muhammad. Nur Muhammad hanya
ada Satu. Dan Nur Muhammad inlah yang selalu mendapatkan Pancaran Ilahi. Semua
yang ada ini pada mulanya satu, termasuk manusia. Asal cahaya itu satu.
Pancarannya ke segenap arah inilah yang menyebabkan terjadinya “aku” yang
jumlahnya banyak. Meski sekarang kita melihat Yang Banyak namun itu semua adalah
perwujudan dari satu Cahaya.
Melatih kepekaan batin
yang intuitif oleh karenanya sangat penting. Berbagai macam cara dilakukan oleh
peradaban manusia untuk menemukan Tuhan di dalam diri manusia. Misalnya dengan
berkhalwat, atau mengadakan perjalanan spiritual ke tempat-tempat yang sepi
untuk kemudian berdzikir hingga dia merasakan kefanaan.
Dalam kesendiriannya,
sang pejalan spiritual akan menemui banyak ilusi/bayangan yang mempesona batin.
Namun dia tidak boleh menggap bayangan itulah kenyataan Tuhan. Perjalanan
diteruskan hingga pendakian memasuki godaan besar. Dia ditawari berbagai macam
kemuliaan dunia. Egonya yang masih melekat pada harta, benda, tahta dan wanita
ditantang agar dituruti namun dengan imbalan dia harus menghentikan
perjalanannya. Ini tahap berbahaya menuju final.
Bila perjalanan
diteruskan lagi, dia akan sampai pada kesendirian dan kesenyapan, Tiba-tiba
semua yang nggandoli egonya terlepas begitu saja. Dia tidak butuh apa-apa lagi.
Di tahap ini, semua pendamping perjalanan yang selama ini menemaninya satu
persatu otomatis terlepas. Pengiring batin terlepas, Malaikat lepas karena
tidak sanggup menemani lagi, semua saudara gaib melepaskan dirinya. Ya, dia
polos seorang diri menuju Tuhan. Dia kini sudah dituntun oleh Tuhan sendiri
untuk melihat Sang Penuntun, yaitu Aku. Ya, manusia sudah bisa melihat Aku
Sejati-Nya tanpa was-was tanpa samar-samar lagi. Aku Sejati itu begitu terang
benderang.
Inilah saat
mind/pikiran/budi/rasa sudah tidak lagi digunakan. Dia sampai tahap Suwung atau
Fana. Kata tidak lagi mampu untuk membahasakan apa fana itu. Sebab kata
sangatlah terbatas untuk menggambarkan sesuatu. Apalagi ini menunjuk pada kata
yang bukan kata benda, bukan kata sifat, bukan kata keterangan, bukan kata
kerja, bukan apa-apa…. ya paling gampang kita sebut saja Suwung alias mbuh ora weruh. Sebab kita tidak
membutuhkan berbagai alat indera dan batin lagi. Kita hanya pasrah, sumeleh,
sumarah saja pada Iradat Gusti. Nuwun.
Jeng
Sunan Kalijaga ngling
Amdehar
ing pangawikan
Den
waspada ing mangkene
Sampun
nganggo kumalamat
Den
awas ing pangeran
Kadya
paran awasipun
Pangeran
pan ora rupa
Nora
arah nora warni
Tan
ana ing wujudira
Tanpa
mangsa tanpa enggon
Sajatine
nora nana
Lamun
ora anaa
Dadi
jagadipun suwung
Nora
nana wujudira
Sunan Kalijaga berkata,
memaparkan pengetahuannya.
Hendaknya waspada pada
yang berikut ini.
Janganlah ragu-ragu.
Lihatlah Tuhan secara jelas.
Tapi, bagaimana
melihat-Nya.
Karena Tuhan itu tidak
memiliki rupa.
Tuhan tidak berarah dan
tidak berwarna.
Tidak ada wujud-Nya.
Tidak terikat oleh waktu dan tempat.
Sebenarnya Ada-Nya itu
tiada.
Seandainya Dia tidak
ada,
maka alam raya ini
kosong dan tidak ada wujudnya.
0 on: "Pendakian Spiritual ke Alam Suwung"