Akarasa – Selamat datang kerabat akarasa. Tulisan ini
adalah kelanjutan tulisan sebelumnya dalam seri Perang Jawa. Sebagai seorang
Pahlawan Nasional, tempat Diponegoro dalam sejarah negeri ini sudah pasti dan
mempunyai tempat tersendiri, tetapi apa nilai-nilai yang lebih mendalam yang
diwariskan oleh Sang Pangeran? Apa yang dapat kita pelajari dari kehidupannya?
Apa pemaknaan yang lebih luas dari kehidupannya. Itulah hal yang paling penting
untuk kita pertanyakan pada diri kita masing-masing.
Diponegoro sebagai pahlawan sudah ditetapkan. Namun
masih ada pihak-pihak yang mempertanyakan beberapa hal tentang kepahlawanan
Diponegoro. Diantara pertanyaan tersebut adalah :
Apakah benar Diponegoro membela rakyat saat memberontak
kepada Belanda, ataukah karena keinginan berkuasa di Jawa yang tidak tercapai?
Benarkah perang Diponegoro dipicu oleh ketersinggungan
Diponegoro ‘hanya’ karena tanahnya di Tegalrejo diberi patok untuk pembangunan
jalan?
Bagaimana dengan ‘cacat’ Diponegoro yang suka perempuan?
Bagi saya pribadi, sosok Pahlawan Diponegoro, tidak
harus dicitrakan sebagai tokoh yang sempurna dan tanpa cela. Penokohan yang
membumi, justru menunjukkan kekuatan seorang pahlawan, manusia biasa yang mampu
melakukan hal-hal luar biasa.
Dan pada akhirnya, dari Peter Carey melalui bukunya saya
dapat informasi yang setidaknya membuat kita mengerti mengapa Diponegoro begitu
kuat memegang Islam, taat kepada budaya Jawa dan peduli kepada wong cilik.
Yogyakarta di awal abad ke-19 adalah kota yang sangat
indah. Willem van Hoogendorp (1795-1838) yang merupakan tangan kanan Komisaris
Jenderal Du Bus de Gisignies (menjabat 1826-1830) bertandang ke Surakarta dan
Yogyakarta, setelah tiga tahun perang menghancurkan bangunan-bangunan terbagus
di kota itu.
“Solo (Surakarta) selalu memberi saya kesan yang sangat
luar biasa, tapi Djocja (Yogyakarta) dalam masa kejayaannya pastilah merupakan
Versailles Jawa. Tidak sampai 1/10-nya yang tinggal utuh, tapi terlihat pada
reruntuhan tembok yang besar-besar”, demikian yang dia catat.
Menurut Residen Belanda (1848-1851) Baron A.H.W de Kock,
Yogyakarta mencapai puncak kemakmurannya sekitar 1820. Dalam catatannya
ditulis, “Masa itu Djocja makmur, kaya dan indah. Negeri subur, cantik, asri,
penuh gedung-gedung bagus, taman-taamn yang rapi dan tempat tetirah yang
bagus-bagus. Makanan dan air berlimpah dan perdagangan berkembang”.
Bangunan-bangunan di Yogya bahan temboknya berasal dari pertambangan batu kapur
di Gamping. Rumah-rumah lain sekalipun terbuat dari kayu dan bambu di cat putih
dan asri.
Jan Izaak van Sevenhoven (1782-1841), seorang pejabat
tinggi Kerajaan Belanda mengatakan bahwa banyak pohon beringin tinggi-tinggi
dan rindang di sepanjang jalan utama menuju keraton. Dan selepas jalan utama
terdapat barisan rumah dan toko Tionghoa yang di sebelah baratnya terdapat
rumah-rumah besar tempat tinggal pejabat pemerintah Belanda yang berhalaman
luas dan mempunyai kolam. Di seberangnya berdiri Benteng Vredeburg. Sedangkan
kawasan pemukiman di belakang benteng adalah pemukiman “kumuh”.
Sri Sultan Hamengku Buwana II pada tahun 1808 mempunyai
16 resimen prajurit keraton berjumlah 1.765 orang dan 976 diantaranya
menyandang bedil dan tombak. Mereka mendapat gaji berupa tanah dan diberi
tempat tinggal sangat dekat dengan keraton. Sebagian diantara mereka adalah
prajurit bayaran dari Bali dan Bugis. Selain itu masih ada pasukan perempuan
(prajurit keparak estri) berjumlah 300 orang, yang merupakan anak perempuan
pejabat tinggi atau keluarga kelas atas di pedesaan. Mereka mahir menunggang
kuda dan menggunakan tombak.
Selain pasukan-pasukan itu, Sultan masih punya pasukan
pejabat (prajurit arahan). Sebanyak 7.246 orang di dapat dari para pangeran,
khususnya putra mahkota (Pangran Adipati Anom). Belum lagi 2.126 prajurit yang
disediakan oleh para bupati. Jadi, misalnya, dalam keadaan darurat perang,
Sultan bisa mengerahkan sekitar 10.000 prajurit dalam tempo singkat. Biaya
pemeliharaan pasukan itu diambil dari pungutan dan kerja bakti penduduk desa.
Langkah pertama yang ditempuh oleh Diponegoro adalah
mengeluarkan seruan kepada seluruh rakyat Mataram untuk sama-sama berjuang
menentang penguasa kolonial Belanda dan para tiran, yang senantiasa menindas
rakyat. Seruan itu antara lain berbunyi: “Saudara-saudara di tanah dataran!
Apabila saudura-¬saudara mencintai saya, datanglah dan bersama-sama saya dan
paman saya ke Selarong. Siapa saja yang mencintai saya datangdah segera dan bersiap-siap
untuk bertempur.” Seruan ini disebar-luaskan di seluruh tanah Mataram,
khusuanya di Jawa Tengah dan mendapat sambutan hampir sebagian besar lapisan
masyarakat. Dan daerah Selarong penuh sesak, dipenuhi oleh pasukan rakyat!
Seruan ini disambut baik oleh Kiai Mojo, seorang ulama
besar dari daerah Mojo-Solo; yang datang bersama barisan santrinya
menggabungkan diri dengan pasukan Diponegoro; ia menyerukan ‘perang sabil’
terhadap pihak penguasa kolonial Belanda. Jejak Kiai Mojo dengan santrinya, diikuti
oleh para ulama dan santri-santri dari Kedu dibawah pimpinan Pangeran Abubakar;
juga Muhamad Bahri, penghulu Tegalrejo.
Perang sabil menentang penguasa
kolonial Belanda-Kristen meledak membakar hampir seluruh tanah Mataram, bahkan
sampai ke Jawa Timur dan Jawa Barat. Tampilnya Alibasah Abdul Mustafa
Prawiradirja (Sentot) dan sebagian para bangsawan di kalangan penguasa kolonial
Belanda dan kraton Yogyakarta. Akhimya diutuslah Pangeran Mangkubumi (paman
Diponegoro) ke Tegakejo untuk memanggil Diponegoro ke kraton. Semula Diponegoro
bersedia datang ke kraton, apabila ada jaminan dari Paugeran Mangkubumi bahwa
ia tidak akan ditangkap. Tetapi karena Mangkubumi sendiri tidak berani menjamin
dan bahkan ia sendiri tidak akan kembali lagi ke Yogyakarta, maka Diponegoro
memperkuat diri dengan pasukan rakyat yang telah melakukan bai’ah (janji setia
perjuangan).
Melihat kegagalan Pangeran Mangkubumi ini untuk
memanggil Diponegoro, Residen A.H. Smisaert mengutus kembali dua orang bupati
yang dikawal dengan sepasukan militer. Sebelum utusan Belanda ini sampai,
Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang sedang berunding menjadi terhenti,
karena mendengar letusan senjata dan tembakan meriam yang ditujukan ke arah
rumah Diponegoro.
Serangan Belanda terhadap tempat kediaman Diponegoro,
mengakibatkan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang disertai kawalan pasukan
rakyat mengungsi ke daerah selarong, guna selanjutnya melancarkan peperangan
untuk mengusir penguasa kolonial Belanda dari daerah kekuasaan kesultanan
yogyakarta, khususnya dan Jawa umumnya. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 20
Juli 1825 dan disebut sebagai permulaan “Perang Jawa”.
Yogyakarta seperti antara lain Pangeran Ngabehi
Jayakusuma, putera Sultan Hamengku Buwono II dan pangeran Mangkubumi melengkapi
“Perang Jawa” yang dahsyat.
Strategi perang gerilya yang dipergunakan oleh
Diponegoro dengan taktik “serang dengan tiba-tiba pasukan musuh kemudian
menghilang-bersembunyi”, merupakan strategi dan taktik yang dapat melumpuhkan
pasukan kolonial Belanda; setidak-tidaknya pada awal perang Jawa.
Berita pecahnya perang Jawa sangat mengejutkan pihak
Gubernur Jenderal Van der Capellen di Batavia. Karenanya pada tanggal 26 Juli
1825, ia telah memutus¬kan untuk mengirimkan pasukan dari Batavia langsung di
bawah pimpinan Letnan Jenderal Hendrik Marcus De Kock, pimpinan tertinggi
militer Hindia Belanda. Pada tanggal 29 Juli 1825 Let. Jend. De Kock telah tiba
di Semarang untuk memimpin langsung operasi militer terhadap pasukan
Diponegoro.
Pasukan kolonial Belanda yang dipimpin oleh Kapten
Kumsius dengan kekuatan 200 prajurit, yang dikirim dari Semarang, di daerah
pisangan dekat Magelang disergap oleh pasukan Diponegoro di bawah pimpinan
Mulya Sentika. Hampir seluruh pasukan Belanda berhasil dimusnahkan dan seluruh
perlengkapan dan persenjataannya dirampas.
Kekalahan pertama, menyebabkan Belanda me¬ngirimkan
pasukan yang lebih besar dari Semarang dan dipimpin oleh Kolonel Von Jett untuk
langsung me¬nyerang Selarong, markas besar pasukan Diponegoro. Tetapi serangan
ini gagal, karena pasukan Diponegoro telah mengosongkan Selarong. Tatkala
pasukan Belanda meninggalkan Selarong, di perjalanan, di tempat-tempat yang
atrategis, pasukan Belanda diserang; sehingga menimbulkan kerugian yang cukup
besar
Ibukota Yogyakarta di kepung oleh pasukan Diponegoro,
sehingga pasukan kesultanan Yogyakarta dan Belanda terjepit, bahkan Sultan
Hamengku Buwono V bersembunyi di benteng Beianda untuk menyelamatkan diri. Pada
tanggal 28 Juli 1825, Belanda mengirimkan pasukan komando gabungan antara pasukan
Belanda dan Mangkunegara dari Surakarta untuk menembus barikade pasukan
Diponegoro di Yogyakarta, guna menyelamatkan pasukan Belanda dan Sultan
Hamengku Buwono V yang terkurung. Tetapi pasukan komando gabungan Belanda
Mangkunegara di bawah pimpinan Raden Mas Suwangsa di Randu Gunting dekat
Kalasan disergap oleh pasukan Diponegoro dibawah pimpinan Tumenggung Surareja.
Sergapan ini berhasil dengan baik dan Raden Mas Suwangsa, pimpinan komando
gabungan itu sendiri tertangkap dan dibawa ke Selarong, markas besar pasukan
Diponegoro.
Operasi militer Belanda yang senantiasa mengalami
kekalahan, maka Let. Jend. De Kock menempuh jalan diplomasi, dengan jalan
mengirim surat kepada Diponegoro; surat pertama tertanggal 7 Agustus 1825 dan
surat kedua tertanggal 14 Agustus 1825. Isi surat-surat itu menyatakan
keinginan Belanda untuk berunding dan bersedia memenuhi tuntutan-tuntutan
Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi, dengan syarat: pertempuran dihentikan.
Surat Let. Jend. De Kock diperkuat oleh surat Susuhunan Surakarta, tertanggal
14 Agustus 1825. Surat-surat baik dari De Kock maupun dari Susuhunan Surakarta,
semuanya dijawab oleh Diponegoro, dengan menekankan bahwa Perang Jawa ini
terjadi karena kesalahan Belanda yang bertindak otoriter dan zalim, yang
dibantu oleh pasukan militer Susuhunan Surakarta. Perdamaian yang diajukan oleh
Belanda dan Susuhunan Surakarta ditolak; kecuali pasukan kolonial Belanda
angkat kaki dari bumi Mataram. Jalan diplomasi gagal.
Karena tidak ada jalan lain, De Kock sebagai panglima
tertinggi pasukan Hindia Belanda, mengerahkan pasukannya dari berbagai daerah
Batavia: Bone, Madura, Bali, Ambon dan lain-lain untuk dipusatkan di sekitar
Yogyakarta; guna menembus barikade pasukan Diponegoro. Baru pada tanggal 25
September 1825, De Kock dengan pasukan komando gabungan yang besar sekali
berhasil memasuki Yogyakarta menyelamatkan pasukan Belanda yang terkepung dan
Sultan Hamengku Buwono V.
Pertempuran antara pasukan Belanda dengan pasukan
Diponegoro tidak hanya terjadi di sekitar Yogyakarta, tetapi juga menjalar dan
terjadi di Magelang, Semarang, Pekalongan, Banyumas, Bagelen dan daerah Kedu
seluruhnya. Pertempuran makin hari makin meluas, menjalar ke daerah Jawa Timur
seperti Madiun, Ngawi dan Pacitan. Pertempuran yang luas itu memang melumpuhkan
dan melelahkan pasukan kolonial Belanda dan para kolaborator; bahkan serangan
kedua ke markas besar Selarong; tidak berhasil menangkap dan me¬lumpuhkan
pasukan Diponegoro.
Pada tahun-tahun pertama (1825 -1826) pasukan Diponegoro
memperoleh banyak kemenangan. Dengan pasukan-pasukan berkuda, mereka dapat
bergerak capat dan mobile dari satu daerah ke daerah lain, dari satu
pertempuran ke pertempuran lain dan selalu lolos dari kepungan pasukan musuh
yang jauh lebih besar jumlahnya.
Tetapi sejak tahun 1827 pasukan kolonial Belanda mulai
unggul, selain karena besarnya bala-bantuan yang didatangkan dari
daerah-daerah, tetapi juga merubah strategi pertempuran yang selama ini
ditempuh. Let. Jend. De Kock, selaku panglima tertinggi Hindia melaksanakan
“sistem benteng” dalam operasi militernya. Pasukan Belanda mendirikan
benteng-benteng di wilayah yang telah dikuasai kembali. Antara benteng yang
satu dengan benteng yang lain dibuat jalan se¬hingga pasukan dapat bergerak
dengan cepat. Dengan sistem benteng itu, pasukan Diponegoro tidak lagi dapat
bergerak dengan leluasa; hubungan antar pasukan menjadi sukar. Tiap pasukan
terpaku pada daerah operasinya masing-masing. Gerakan mobile dan cepat yang
selama ini menjadi ciri pasukan Diponegoro menjadi lumpuh.
Daerah-daerah yang dikuasai kembali oleh Belanda
didirikanlah benteng-benteng seperti di Minggir, Groyak, Bantul, Brosot;
Puluwatu, Kejiwan, Telagapinian, Danalaya, Pasar Gede, Kemulaka, Trayema,
Jatianom, Delanggu, Pijenan.
Di daerah-daerah pertempuran sebelah timur,
benteng-benteng itu terdapat di Rembang, Bancar, Jatiraga, Tuban, Rajegwesi,
Blantunan, Blora, Pamotan, Babat, Kopas dan lain-lain.
Di daerah-daerah pertempuran sebelah barat,
benteng-benteng didirikan di Pakeongan, Kemit, Panjer, Merden dan lain lain.
Sistim benteng ini memang dapat melumpuhkan pasukan
Diponegoro, apalagi setelah Sultan Sepuh yang telah berusia 70 tahun diangkat
kembali menjadi Sultan Yogyakarta, yang secara psikologi sangat mempengaruhi
pasukan Diponegoro.
Oleh karena itu, berkat usaha Van Lawick von Pabst,
Residen Yogyakarta, maka pada tanggal 21 Juni 1827, Pangeran Natapraja dan
Pangeran Serang Sutawijaya beserta para pengikutnya lebih kurang 850 orang
menyerah kepada Belanda dan diperlakukan dengan baik.
Penyerahan Pangeran Natapraja dan Pangeran Serang adalah
pukulan yang besar sekali bagi perang Jawa. Sebab dengan menyerahnya kedua
orang pemimpin ini, maka daerah rawan dan daerah pertempuran di sebelah timur
kehilangan pimpinan. Seperti telah dimaklumi bahwa kedua orang inilah yang
memimpin pasukan Diponegoro di medan pertempuran sebelah timur, mengancam
Semarang dan Demak.
Walau demikian, pukulan hebat ini tidak menyebabkan
pasukan Diponegoro berputus asa. Di kota Gede Yogyakarta telah terjadi
pertempuran yang seru antara pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Mas
Tumenggung Reksasentana melawan pasukan kolonial Belanda. Pertempuran ini
terjadi karena usaha Belanda untuk menggiring pasukan Diponegoro untuk berada
di daerah antara Sungai Progo dan Sungai Begowonto.
Pertempuran terus berlangsung, tetapi usaha diplomasi
juga dijalankan oleh Belanda, apalagi setelah kedua Pangeran tersebut
menyerah.Usaha diplomasi menunjukkan hasil yang menggembirakan, dengan
diselenggarakannya perundingan antara pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Kiai
Mojo dan Pangeran Ngabehi Abdul Rahman dengan pasukan Belanda di bawah pimpinan
Stavers pada tanggal 29 Agustus 1827 di Cirian-Klaten.
Perundingan ini tidak membuahkan suatu hasil apapun bagi
kedua belah pihak. Tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh Kiai Mojo dianggap
terlalu berat oleh pihak Belanda, sebaliknya syarat-syarat yang diajukan oleh
Belanda, termasuk janji-janji untuk memberikan kekuasaan yang luas kepada
Diponegoro, tidak dapat diterima oleh Kiai Mojo.
Perundingan yang gagal pada bulan Agustus 1827,
mengakibatkan pada bulan September 1827 berkobar lagi pertempuran antara
pasukan Diponegoro dengan pasukan kolonial Belanda di daerah-daerah Klaten,
Puluwatu, Kemulaka dan Yogyakarta. Operasi militer Belanda yang besar ini
langsung dipimpin oleh Jenderal Van Geen.
Pada tanggal 10 Oktober 1827 diadakan kembali gencatan
senjata untuk mengadakan perundingan perdamaian antara kedua belah pihak,
bertempat di Gamping. Pihak Belanda di pimpin oleh Letnan Roeps, seorang opsir
Belanda yang pandai berbahasa Jawa, sedangkan dipihak Diponegoro di pimpin oieh
Tumeng¬gung Mangun Prawira. Tetapi perundingan inipun gagal, sebab tuntutan
mengenai pelaksanaan syari’at Islam, seperti pernah diajukan pada perundingan
pertama, sangat ditentang delegasi Belanda.
Kegagalan perundingan kedua ini, diikuti oleh operasi
militer Belanda secara besar-besaran di bawah pimpinan Kolonel Cochius dan
Sollewijn menyerang daerah-daerah sebelah selatan Yogyakarta, Plered,
Tegalsari, Semen dan-lain. Pada tanggal 25 Oktober 1827 pasukan Belanda di
bawah Mayor Sollewijn menyerbu markas perjuangan Diponegoro di Banyumeneng,
tetapi Diponegoro dengan pasukan-pasukannya berhasil menghindar. Tetapi dalam
perjalanan pulang pasukan Sollewijn berhasil dijebak dan diserang oleh pasukan
Diponegoro, sehingga memporak-porandakan pasukan Belanda; dan hanya dengan
susah payah pasukan Sollewijn dapat menyeberangi sungai Progo, terus masuk ke
kota Yogyakarta.
Pertempuran yang terjadi setelah kegagalan perundingan
kedua ini, bukan hanya terjadi di sekitar Yogyakarta saja, tetapi juga terjadi
dan berkecamuk di daerah-daerah Kedu, Banyumas, Bagelen, Bojonegoro, Rembang,
Tuban. Hanya dengan susah payah, pasukan Belanda bisa bertahan dan
menyelamatkan diri.
Pertempuran yang timbul berkecamuk lagi ini, mendorong
Jenderal De Kock untuk mengerahkan bala ¬bantuan, termasuk dari negeri Belanda
sendiri. Dan memusatkan markas besarnya di kota Magelang pada tanggal 13 Maret
1828; dengan menempatkan markas besarnya di Magelang, maka pasukan Belanda
dapat beroperasi lebih mobile, karena tempat itu sangat strategis untuk
menjangkau daerah-daerah Semarang di utara, Surakarta di timur, Yogyakarta di
selatan dan Banyumas di barat. Strategi ini cukup berhasil, karena daerah Kedu
hampir seluruhnya dapat diamankan oleh pasukan Belanda.
Keunggulan Belanda di bidang militer, diikuti dengan
kemenangan di bidang.diplomasi, di mana pada tanggal 28 April 1828, Pangeran
Natadiningrat beserta isteri, ibu dan kira-kira 20 orang pasukannya menyerah
kepada Letnan Kolonel Sollewijn. Penyerahan Natadiningrat ini sangat
menggembirakan Belanda, karena sampai waktu itu; bolehlah dikatakan tidak ada
keluarga terdekat Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang menyerah kepada
Belanda. Pangeran Natadiningrat adalah putera kesayangan Pangeran Mangkubumi
yang diharapkan oleh Belanda dapat membujuk ayahnya sendiri untuk menyerah
kepada Belanda dan meninggalkan Diponegoro.
Selain itu, pasukan Diponegoro di daerah Rembang di
bawah pimpinan Tumenggung Sasradilaga, yang semula berhasil memukul mundur
pasukan Belanda, lambat-laun mulai terjepit dan akhirnya pada tanggal 3 oktober
1828 menyerah pula kepada Belanda.
Kemudian operasi militer Belanda berhasil mempersempit
daerah operasi pasukan Diponegoro dengan jalan menggiringnya ke daerah antara
sungai Progo dan sungai Bogowonto. Usaha berhasil, setelah pertempuran sengit
dengan pasukan Diponegoro di daerah Belige di bawah pimpinan Pangeran Bei pada
tanggal 31 Maret 1828. Dengan daerah gerak yang makin sempit, sangat
memungkinkan pasukan Belanda yang besar itu dapat mengurung pasukan Diponegoro.
Apalagi banyak pasukan bekas anak buah Diponegoro yang menyerah kepada Belanda
diikut-sertakan dalam operasi militer ini.
Dalam posisi terus terdesak dan terjepit, pasukan
Diponegoro bukan hanya kekurangan persenjataan, tetapi juga kekurangan suplai
bahan makanan. Tambah ironis, dalam situasi semacam itu di kalangan pimpinan
pasukan Diponegoro terjadi perpecahan; sehingga dengan tiba-tiba pada tanggal
25 Oktober 1828 Kiai Mojo dengan pasukannya menyatakan keinginannya untuk
berunding dan mengadakan gencatan senjata dengan Belanda.
Pada tanggal 31 oktober 1828 perundingan berlangsung di
Mlangi antara Kiai Mojo dengan delegasi Belanda di bawah pimpinan Letnan
Kolonel Wiranegara, komandan pasukan kraton Yogyakarta. Perundingan dengan
pengawalan yang ketat oleh pasukan Betanda, berakhir gagal. Perundingan kedua
dilanjutkan lagi pada tanggal 5 Nopember 1828, dengan pengawalan ketat oleh
pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Le Bron de Vexela; juga
berakhir dengan kegagalan.
Ketika perundingan gagal, Kiai Mojo beserta pasukannya
kembali ke tempat semula, tetapi senantissa diikuti oleh pasukan Letnan Kolonel
Le Bron de Vexela. Dengan tiba-tiba pasukan Le Bron menyerang pasukan Kiai
Mojo, tetapi gagal karena semua prajurit Kiai Mojo telah siap mati syahid.
Letnan Kolonel Le Pron tak kehabisan akal untuk dapat menangkap Kiai Mojo. Tipu
muslihat yang licik dan keji dipergunakan oleh Le Bron dengan mengajak
berpura-pura untuk melanjutkan perundingan di Klaten. Kiai Mojo dengan
pasukannya menyetujui tawaran ini. Kiai Mojo dengan pasukannya memasuki kota
Klaten dengan nyanyian-nyanyian agama seolah-olah sebuah pasukan yang menang
perang dari medan pertempuran.
Setelah sampai Klaten, Kiai Mojo diajak oleh Letnan
Kolonel Le Bron de Vexela masuk ke sebuah gedung, sedangkan pssukannya
beristirahat di luar. Dengan serta-merta Kiai Mojo ditangkap dan pasukannya
yang sedang lengah disergap oleh pasukan Belanda yang lebih besar dan kuat
persenjataannya. Dalam kondisi tak berdaya, Kiai Mojo beserta pasukannya
tertangkap dan tertawan; tidak kurang dari 50 pucuk senapan dan 300 buah tombak
yang dapat dilucuti dari pasukan Kiai Mojo. Bersamanya tertangkap pula para
ulama yang turut menjadi pimpinan pasukan di medan per¬tempuran, seperti antara
lain Kiai Tuku Mojo, Kiai Badren, Kiai Kasan Basari.
Kiai Mojo beserta stafnya dibawa ke Surakarta; dari sana
terus ke Salatiga tempat kediaman Jenderal De Kock. Dari Salatiga Kiai Mojo
dengan teman-temannya dibawa ke Semarang untuk kemudian dikirim ke Batavia.
Tertangkapnya Kiai Mojo dan stafnya diper¬gunakan sebaik-baiknya untuk bisa
membujuk pasukan Diponegoro yang lainnya, yang masih melakukan perang gerilya.
Pada awal Januari 1829, Komisaris Jenderal Du Bus telah
mengirimkan Kapten Roeps dan seorang staf Kiai Mojo untuk mengadakan
perundingan dengan Diponegoro di markas besarnya di Pengasih. Pada akhir
Januari 1829 mereka dapat di terima di markas per¬juangan Diponegoro dan
pembicaraan dimulai antara delegasi Belanda dengan delegasi Diponegoro. Tetapi
di saat pembicaraan sedang berlangsung, tiba-tiba ter¬dengar suara dentuman
meriam dari pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mayor Bauer. Mendengar letusan
meriam, serentak pasukan Diponegoro mau membunuh delegasi Belanda yang sedang
berada di tengah-tengah meja perundingan. Berkat kebijaksanaan Alibasah
(Sentot) delegasi Belanda itu dapat selamat dan me¬merintahkan agar pasukan
Belanda mengundurkan diri, jika jiwa para delegasi Belanda ingin selamat.
Pada bulan Februari 1829 Belanda mengadakan gencatan
senjata secara sepihak. Sebab Jenderal De Kock mencoba membujuk Alibasah,
panglima muda remaja yang sangat ditakuti oleh Belanda. Jenderal De Kock
mengirimkan surat kepada Alibasah, yang isinya antara lain menjamin kebebasan
bepergian bagi Ali basah dengan pasukannya di daerah kekuasaan Belanda tanpa
ada gangguan. Bahkan De Kock mengirimkan beberapa pucuk pistol kepada Alibasah
sebagai tanda kenang-kenangan dan keinginan mau berdamai.
Taktik licik Belanda ini mempengaruhi pimpinan pasukan
Diponegoro, apalagi setelah beberapa tokoh pasukan Diponegoro seperti
Tumenggung Padmanegara, Pangeran Pakuningrat diberikan kebebasan bepergian di
daerah kekuasaan Belanda pada bulan Ramadhan.
Dalam kesempatan gencatan senjata ini Jenderal De Kock
menggunakan waktu untuk terus mengirim surat kepada beberapa tokoh pasukan
Diponegoro seperti Alibasah dan Pangeran Pakuningrat, yang isinya tidak lain
menyanjung-nyanjung tokoh-tokoh tersebut dan keinginan Belanda untuk
bekerjasama dengan mereka.
Setelah gencatan senjata berjalan tiga bulan tanpa
mendapat hasil yang memuaskan bagi Belanda, maka pertempuran dan operasi
militer dilanjutkan. Terjadilah pertempuran sengit di antara kedua belah pihak,
sampai Komisaris Jenderal Du Bus diganti oleh Johannes Van Den Bosch sebagai
penguasa tertinggi Hindia Belanda di Indonesia, dan Jenderal Mercus De Kock
diganti oleh Jenderal Mayor Benyamin Bischop sebagai pimpinan tertinggi militer
Hindia Belanda, pada bulan Mei 1829. Tetapi karena Jenderal Benyamin Bischop
sakit-sakitan pada tanggal 7 Juli 1829 meninggal dunia, maka praktis pimpinan
tertinggi militer Hindia Belanda masih tetap berada ditangan Jenderal De Kock.
Pada akhir bulan Mei 1829 pasukan kolonial Belanda
mencari dengan seksama tempat pangeran Mangkubumi yang menjadi kepala urusan
rumahtangga pasukan Diponegoro. Maksudnya tidak lain agar dapat menangkap para
anggota keluarga tokoh-tokoh pasukan Diponegoro, untuk dapat memancing
tokoh-tokoh itu supaya bisa menyerah.
Pada tanggal 21 Mei 1829 tempat
persembunyian Pangeran Mangkubumi dengan para keluarga tokoh-tokoh pasukan
Diponegoro di desa Kulur diserbu oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor
Bauer dan Kapten Ten Have. Hasilnya nihil, karena rombongan Pangeran Mangkubumi
telah pergi bersembunyi ke tempat lain. Usaha pengejaran akan dilakukan, tetapi
dengan tiba-tiba pasukan Di ponegoro di bawah pimpinan Alibasah menyerang
pasukan Belanda tersebut, sehingga terpaksa menghadapinya dan dengan demikian
rombongan Pangeran Mangkubumi lepas dari kejaran Belanda.
Operasi militer untuk menangkap Pangeran Mangkubumi
tidak berhasil; diikuti dengan diplomasi untuk mengajak berunding. Belanda
menggunakan putera Pangeran Mangkubumi yang telah menyerah yaitu Pangeran
Natadiningrat untuk bisa membujuk Pangeran Mangkubumi agar menghentikan
pertempuran dengan Belanda, dengan alasan usia telah lanjut dan Belanda
berjanji untuk memberikan jabatan yang terhormat dengan tempat dan gaji yang
besar. Usaha ini tampak akan berhasil, sebagaimana dilaporkan oleh Residen Van
Nes pada tanggal 28 Juni 1829; tetapi hasilnya ternyata gagal.
Kegagalan ini mendorong untuk melakukan operasi militer
besar-besaran ke pusat pertahanan pasukan Diponegoro di desa Geger. Pada
tanggal 17 Juli 1829 pasukan kolonial Belanda di bawah pimpinan Kolonel
Cochius; Letnan Kolonel Sollewijn dan Mayor Cox van Spengler dibantu dengan
pasukan Mangkunegara menyerang desa Geger. Dengan kekuatan yang tidak seimbang,
markas Geger dapat direbut oleh pasukan Belanda dan beberapa pimpinan pasukan
Diponegoro gugur sebagai syuhada, antara lain Sheikh Haji Ahmad dan Tunenggung
Banuja.
Operasi militer terus ditingkatkan oleh Belanda terhadap
“kantong kantong” persembunyian pasukan Diponegoro, sehingga pada akhir Juli
1829 putera Diponegoro yakni Diponegoro Anom dan Raden Hasan Mahmud tertangkap
oleh pasukan Letnan Kolonel Sollewijn. Tertangkapnya putera Diponegoro ini
diper¬gunakan untuk melemahkan semangat perjuangan Diponegoro dengan cara
mengancam akan membunuh Diponegoro Anom oleh Belanda. Jiwa puteranya akan
selamat jika Diponegoro menghentikan pertempuran. Hal ini terlihat dari surat
Jenderal De Kock tertanggal 6 Agustus 1829. Tetapi usaha ini tidak berhasil
melemahkan semangat tempur Diponegoro.
Dalam usaha konsolidasi, karena Alibasah dan Pangeran
Bei sakit keras, maka Diponegoro telah mengangkat pimpinan pasukan infantri
kepada Syeikh Muhammad dan Baisah Usman, sedangkan pasukan kavaleri dipimpin
oleh Pangeran Sumanegara. Selesai konsolidasi, pasukan Diponegoro melakukan
serangan terhadap pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Bauer dan Kapten Ten
Have di Serma pada tanggal 3 Agustus 1829. Dalam pertempuran sengit ini, banyak
korban yang jatuh di kedua belah pihak, antara lain Syekh Muhammad dan Hasan
Usman.
Untuk meningkatkan efektifitas operasi militer, Jenderal
De Kock telah memindahkan markas besarnya dari Magelang ke Sentolo. Dengan
demikian pasukan Belanda akan lebih dekat dengan pusat-pusat pertempuran yang
dilakukan oleh pasukan Diponegoro.
Bersamaan dengan operasi militer Belanda yang ditingkatkan,
Panglima Alibasah dan Pangeran Bei telah sembuh, sehingga dapat aktif kembali
memimpin pasukan Diponegoro yang telah kehilangan dua orang panglimanya yaitu
Syeikh Muhammad dan Basah Usman. Pertempuran sengit tidak dapat dihindarkan
lagi, disaat pasukan Diponegoro melintasi sungai Brogo menuju Pajang diserang
oleh pasukan Belanda. Kedua belah pihak yang bertempur mati-matian,
mengakibatkan banyak jatuh korban, diantaranya seorang perwira Belanda mati
terbunuh yaitu Letnan Arnold.
Seiring dengan operasi militer yang ditingkatkan, usaha
diplomasi licik juga dilakukan. Pada tanggal 7 Agustus 1829 Letnan Kolonel
Sollewijn datang ke Kreteg untuk membujuk keluarga Pangeran Mangku¬bumi untuk
menyerah dengan janji jaminan dari Belanda. Akhirnya Raden Ayu Anom (isteri
kedua Pangeran Mangkubumi) beserta anak-anaknya dan pengawalnya sebanyak 50
orang menyerah kepada Belanda.
Dengan posisi pasukan Diponegoro yang makin terjepit
karena daerah operasinya makin diperkecil oleh Belanda, kelelahan dan
kekurangan bahan makanan dengan perang yang telah berjalan lima tahun, akhirnya
satu demi satu pasukan Diponegoro menyerah kepada Belanda. Pada tanggal 5
September 1829 Tunenggung Wanareja dan Tumenggung Wanadirja bersama dengan 44
orang pasukannya menyerah. Pada tanggal 6 September 1829, atas bujukan
Tumenggung Surianegara yang sengaja ditugaskan oleh Jenderal De Kock, menyerah
pulalah Tumenggung Suradeksana dan Sumanegara kepada Belanda di Kalibawang.
Pada tanggal 9 September 1829, Pangeran Pakuningrat bersama dengan pasukannya
sebanyak 40 orang menyerah lagi kepada Belanda.
Pada tanggal 21 September 1829 atas nama pemerintah
Hindia Belanda, Jenderal De Kock mengeluarkan pengumuman tentang ‘hadiah besar’
bagi setiap orang yang dapat menangkap hidup atau mati Diponegoro. Pengumuman
itu antara lain berisi: “Barangsiapa yang berani menyerahkan Diponegoro hidup
atau mati kepada penguasa Hindia Belanda, akan dinilai oleh Gubernur Jenderal
Htndia Belanda sebagai seorang yang sangat besar jasanya. Kepada orang itu akan
diberikan hadiah berupa uang kontan sebesar £ 50.000,- (lima puluh ribu pounds)
dan diberikan gelar kehormatan dengan gaji dan tanah yang cukup luas”.
Pengumuman yang menyayat hati ini belum lagi kering,
pada akhir September 1829 telah gugur Pangeran Bei bersama dua orang puteranya
yaitu Pangeran Jayakusuma dan Raden Mas Atmakusuma.
Bulan September 1829 benar-benar bulan yang menyedihkan
bagi Diponegoro, sebagai pemimpin tertinggi Perang Jawa. Pada tanggal 25
September 1829 Mayor Bauer bersama Raden Mas Atmadiwirja (putera Pangeran
Mangkubumi), Tumenggung Reksapraja beserta rombongan mencari Pangeran
Mangkubumi, tetapi hasilnya nihil. Tetapi Belanda tidak berputus asa. Jenderal
De Kock mengutus Pangeran Natadiningrat, putera Pangeran Mangkubumi yang telah
menyerah, untuk membujuk ayahnya. Maka pada tanggal 27 September 1829 Pangeran
Natadiningrat berhasil membujuk ayahnya untuk menyerah kepada Belanda. Keesokan
harinya, tanggal 28 September 1829 Pangeran Mangkubumi dibawa oleh puteranya ke
Yogyakarta. Di pertengahan jalan (di Mangir) rombongan Pangeran Mangkubumi
telah dijemput oleh Residen Van Nes dan pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta.
Pengaruh dari menyerahnya Pangerang Mangkubumi sangat
besar bagi pasukan Diponegoro, karena secara berturut-turut telah menyerah pula
pangeran Adinegara, Kanjeng Pangeran Aria Suryabrangta, Pangeran Suryadipura,
Pangeran Suryakusuma, Kanjeng Pangeran Dipasana, semuanya adalah mempunyai
hubungan famiIi dengan Diponegoro sendiri. Menyerah¬nya secara berturut-turut
orang-orang di sekitar Diponegoro, benar-benar dapat melumpuhkan pasukan
Diponegoro.
Apalagi usaha untuk menarik Alibasah, panglima pasukan
Diponegoro yang disegani masih terus dilanjutkan. Melalui Pangeran
Prawiradiningrat, yang menjadi bupati Madiun dan saudara Alibasah sendiri,
Belanda telah berusaha untuk menaklukkannya. Sejak tanggal 23 Juli 1829 usaha
ini telah dilakukan walaupun pada permulaannya gagal, karena syarat-syarat yang
diajukan oleh Alibasah cukup berat; yaitu:
Memberikan uang jaminan sebesar £ I0.000.-
Menyetujui pembentukan sebuah pasukan di bawah
Pimpinan Alibasah sendiri yang berkekuatan seribu orang dan dilengkapi dengan
persenjataan dan pakaian seragam;
Memberikan 400 – 500 pucuk senjata api;
Pasukan Alibasah ini langsung dibawah komando
pemerintah Hindia Belanda, dan bebas dari kekuasaan sultan atau pembesar bangsa
Indonesia;
Mereka bebas menjalankan agamanya,
Tidak ada paksaan minum Jenever atau arak;
Diizinkan pasukannya memakai surban.
Tawar-inenawar syarat-syarat ini dilakukan pada tanggal
17 oktober 1829 di Imogiri, antara delegasi Ali basah dengan delegasi Belanda,
yang hasilnya masih memerlukan waktu untuk diputuskan oleh penguasa tertinggi
Hindia Belanda di Batavia.
Dalam surat yang ditulis Jenderal De Kock kepada
Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, tertanggal 20 Oktober 1829, antara
lain berisi: “…saya telah menulis surat kepada Residen dan Kolonel Cochius
bahwa mereka harus sedapat mungkin berusaha me¬nyenangkan hati Alibasah, karena
adalah hal yang penting sekali apabila orang seperti Alibasah dapat kita tarik
ke pihak kita dan turut membela kepentingan kita ….. seperti yang hendak saya
nyatakan dengan hormat, bahwa karena sebab-sebab itulah saya berpendapat bahwa
adalah sangat penting apabila Alibasah sudah berada di pihak kita, makin lama
makin mengikat dia pada kepentingan kita. Sungguhpun hal ini harus disertai
beberapa pengorbanan dari pada kita.”
Surat Jenderal De Kock ini mendapat jawaban dari
pemerintah Hindia Belanda di Batavia tertanggal 25 Oktbber 1829, antara lain
berbunyi: “Pemerintah pada dasarnya setuju dengan keinginan Jenderal (Jenderal
De Kock) bahwa dari pihak kita harus dipergunakan segala apa yang mungkin dapat
dipakai, selama hal itu dapat sesuai dengan kebesaran pemerintah dan berusaha
sedapat mungkin mencegah kembalinya Alibasah ke pihak pemberontak.
Melihat isi surat-surat pemerintah Bindia Belanda ini
dapat disimpulkan bahwa Belanda bersedia memenuhi syarat-syarat yang diajukan
oleh Alibasah. Oleh karena itu kepada Residen Yogyakarta diperintahkan untuk
segera menyerahkan uang sebanyak £ 5.000,- dan 200 pucuk senjata untuk
dipergunakan pasukan Alibasah serta pasukannya itu langsung dibawah komando
Jenderal De Kock, walau secara yuridis masih berada dibawah wewenang sultan.
Syarat-syarat lain¬nya seluruhnya dipenuhi.
Untuk pelaksanaan penyerahan Alibasah dengan pasukannya,
pada tanggal 23 Oktober 1829 Jenderal De Kock datang ke kota Yogyakarta untuk
menyambutnya; dan pada tanggal 24 Oktober 1829 Alibasah dengan pasukannya
memasuki kota Yogyakarta dan diterima oleh Jenderal De Kock dengan upacara
militer yang meriah.
Dengan menyerahnya Pangeran Mangkubumi, Ali basah dan
puluhan Pangeran dan Tumenggung serta tertangkapnya Kiai Mojo dan gugurnya
ratusan tokoh-tokoh Perang Jawa, maka secara praktis Diponegoro tinggal
sendirian. Pengalaman pahit dan getir yang di alami oleh Diponegoro sebagai
pimpinan tertinggi perang Jawa, karena banyaknya sababat-sahabat
meninggalkannya atau meninggal dunia. Dalam kondisi yang demikian, ia harus
menentukan pilihan: meneruskan pertempuran sampai mati syahid di medan laga
atau menyerah kepada musuh sampai mati di dalam penjara. Kedua alternatif itu
sama-sama tidak menyenangkan!
Setelah menyerahnya Alibasah dengan pasukannya, operasi
militer Belanda terus ditingkatkan guna memberikan pukulan terakhir terhadap
pasukan Diponegoro yang tinggal sedikit lagi itu. Tekanan-tekanan pasukan
Belanda kepada posisi pasukan Diponegoro yang terus-menerus ditingkatkan,
banyak pula tokoh-tokoh Perang Jawa yang menyerah, antara lain pada bulan
Desember 1829; salah seorang komandan pasukan Diponegoro yang masih ada yaitu
Jayasendirga; Tumenggung Jayaprawira dan beberapa tumenggung lainnya beserta
pasukannya bertekuk lutut kepada Belanda. Adapula yang karena kondisi kesehatan,
akhirnya wafat di puncak gunung Sirnabaya Banyumas seperti Pangeran Abdul Rahim
(saudara Diponegoro sendiri).
Memasuki tahun 1830, musibah yang menimpa pasukan
Diponegoro masih terus saja bertambah. Pada tanggal 8 Januari 1830, putera
Diponegoro yaitu Pangeran Dipakusuma tertangkap oleh pasukan Belanda; pada
tanggal 18 Januari 1830 berikutnya Patih Diponegoro menyerah kepada Belanda.
Usaha untak menghentikan Perang Jawa dengan damai yang
licik terus dilakukan. Dengan menggunakan bekas tokoh-tokoh Perang Jawa seperti
Alibasah dan Patih Danureja dalam usaha perdamaian licik membawa hasil yang
menggembirakan bagi Belanda. Sebab pada tanggal 16 Februari 1830 telah terjadi
pertemuan pertama antara Diponegoro dengan Kolonel Cleerens, wakil pemerintah
Hindia Belanda dalam rangka perdamaian di Kamal, sebelah utara Rama Jatinegara
daerah Bagelen.
Pertemuan perdamaian tidak dapat dilangsungkan, karena
Diponegoro menuntut perundingan itu harus dilakukan oleh seorang yang mempunyai
posisi yang sama dengan dia; setidak-tidaknya seperti Jenderal De Kock. Padahal
Jenderal De Kock pada saat itu sedang berada di Batavia.
Untuk menunggu kedatangan Jenderal De Kock, maka
Diponegoro dengan pasukannya terpaksa harus menginap di Kecawang sebelah utara
desa Saka. Selama tenggang waktu perundingan, gencatan senjata dilakukan oleh
kedua belah pihak. Desa Kecawang masih terlalu jauh, apabila perundingan akan
dilangsungkan di sana. Oleh karena itu; untuk memudahkan jalan perundingan
Diponegoro dengan pasukannya harus pindah ke Menoreh yang tidak begitu jauh
dari Magelang, markas besar pasukan Belanda.
Pada tanggal 21 Februari 1830 rombongan Diponegoro telah
tiba di Menoreh. Tetapi sampai 5 Maret 1830 Jenderal De Kock belum juga datang
ke Magelang padahal bulan Ramadhan telah tiba. Berkenaan dengan bulan suci ini;
Diponegoro tidak mau mengadakan perundingan dengan Belanda karena ia akan
memusatkan dirinya untuk melakukan ibadah puasa selama sebulan. Kontak pertama
antara Diponegoro dengan Jenderal De Kock terjadi pada tanggai 8 Maret 1830,
sebagai perkenalan dan selanjutnya jadwal perundingan akan dilangsungkan
sesudah bulan Ramadhan.
Menjelang hari raya Idul Fithri, Diponegoro telah
menerima hadiah dalam bentuk seekor kuda tunggang yang sangat baik dan uang
sebesar f 10.000.- Kemudian diikuti dengan pembebasan putera dan isteri
Diponegoro yang ditahan di Semarang dan membolehkan mereka berkumpul dengan
Diponegoro di tempat penginapan perundingan di Magelang.
Pada tanggal 25 Maret 1830, Jenderal De Kock telah
memberikan perintah rahasia kepada Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya
untuk memperketat pengawalan dan penjagaan kota Magelang dengan mengerahkan
pasukan Belanda dari beberapa daerah di Jawa Tengah. Instruksinya, apabila
perundingan gagal, Diponegoro dan delegasinya harus ditangkap!
Pada tanggal 28 Maret 1830 perundingan akan
dilangsungkan di gedung Keresidenan Kedu di Magelang. Sebelum jam 07.00 pagi
Tumenggung Mangunkusuma datang kepada Residen Kedu untuk memberitahukan bahwa
sebentar lagi Diponegoro dengan staf nya akan tiba. Pemberitahuan ini
menyebabkan Letnan Kolonel Du Perron menyiap-siagakan pasukannya, sesuai dengan
perintah Jenderal De Kock. Jam 07.30. pagi Diponegoro dengan stafnya dikawal
oleh seratus orang pasukannya memasuki gedung keresidenan. Delegasi Diponegoro
diterima langsung oleh Jenderal De Kock dengan staf nya. Perundingan dilakukan
di tempat kerja Jenderal De Kock. Pihak Diponegoro disertai dengan tiga orang
puteranya yaitu Diponegoro Anom, Raden Mas Jonad, Raden Mas Raab, ditambah
dengan Basah Martanegara dan Kiai Badaruddin. Sedangkan di pihak Jenderal De
Kock disertai oleh Residen Valk, Letnan Kolonel Roest, Mayor Ajudan De Stuers
dan Kapten Roeps sebagai juru bicara.
Letnan Kolonel De Kock van Leeuwen, Mayor Perie dan
opsir-opsir Belanda lainnya ditugaskan untuk melayani dan mengawasi
pemimpin-pemimpin pasukan Diponegoro yang berada di kamar yang lain. Sedangkan
letnan Kolonel Du Peron tetap berada di luar gedung keresidenan untuk setiap
saat dapat melakukan penyergapan, sebagaimana telah diperintahkan oleh Jenderal
De Kock.
Kolonel Cleerens yang mula-mula sekali berhasil
melakukan kontak dengan Diponegoro dan berhasil merencanakan pertemuan
perdamaian serta telah memberikan jaminan diplomasi penuh kepada Diponegoro dan
stafnya tidak diikutsertakan bahkan tidak berada di kota Magelang tempat
perundingan dilaksanakan. Dengan demikian jika terjadi pengkhianatan maka
secara moral Cleerens tidak terlibat langsung, karena memang tidak hadir.
Babak pertama Jadwal perundingan, menurut Diponegoro
sebagai pendahuluan untuk menjajagi materi perundingan pada babak selanjutnya;
tetapi menurut Jenderal De Kock harus langsung memasuki materi Perundingan.
Pembicaraan materi perundingan menjadi tegang, karena De Kock bersikeras untuk
langsung membicarakan materi perundingan. Suasana tegang dan panas itu,
sampai-sampai Diponegoro terlontar ucapan: “Jika tuan menghendaki persahabatan,
maka seharusnya tidak perlu adanya ketegangan di dalam perundingan ini.
Segalanya tentu dapat diselesaikan dengan baik. Jikalau kami tahu bahwa, tuan
begitu jahat, maka pasti lebih baik kami tinggal terus saja berperang di daerah
Bagelen dan apa perlunya kami datang kemari.”
Ketika pihak Jenderal De Kock terus mendesak tentang
tujuan penerangan yang telah dilakukan oleh Diponegoro selama lebih lima tahun
ini, maka akhirnya ia memberi jawaban dengan tegas dan gamblang, yaitu antara
lain: “Mendirikan negara merdeka di bawah pimpinan seorang pemimpin dan
mengatur agama Islam di pulau Jawa”. Mendengar jawaban ini Jenderal De Kock
terperanjat, karena ia tidak mengira bahwa Diponegoro akan mengajukan tuntutan
semacam itu. Sewaktu De Kock memberi jawaban bahwa tuntutan semacam itu adalah
terlalu berat dan tak mungkin dapat dipenuhi, Diponegoro tetap teguh pada
tuntutannya.
Tanda-tanda perundingan babak pertama akan menemui jalan
buntu, dan Belanda khawatir jika pe¬rundingan ditunda sampai besok, berarti
kesempatan buat Diponegoro dan pasukannya untuk mengadakan konsolidasi guna
menghadapi segala kemungkinan. Sesuai dengan rencana Belanda bahwa perundingan
adalah semata-mata methoda untuk menangkap Diponegoro dan stafnya, maka dengan
angkuhnya Jenderal De Kock berkata: “Kalau begitu, tuan tidak boleh lagi
kembali dengan bebas.”
Mendengar ucapan ini, Diponegoro dengan marah menjawab :
“Jika demikian, maka tuan penipu dan pengkhianat, karena kepada saya telah
dijanjikan kebebasan dan boleh kembali ke tempat perjuangan saya semula,
apabila perundingan ini gagal.”
Jenderal De Kock berkata lagi: “Jika tuan kembali, maka
peperangan akan berkobar lagi.” Diponegoro menjawab: “Apabila tuan perwira dan
jantan, mengapa tuan takut berperang?”
Tiba-tiba Jenderal De Kock menginstruksikan kepada
Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya untuk menyergap Diponegoro dan stafnya
serta seluruh pengawalnya dilucuti. Dalam posisi tidak siap tempur, Diponegoro
dan pasukannya dengan mudah ditangkap dan dilucuti.
Dengan cepat Diponegoro dimasukkan ke dalam kendaraan
residen yang telah disiapkan oleh Belanda dengan pengawalan ketat oleh Mayor
Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps berangkat menuju Ungaran. Dari sana kemudian
Diponegoro dibawa ke Semarang untuk selanjutnya dibawa ke Batavia. Pada tanggal
3 Mei 1830 Diponegoro beserta stafnya dibawa ketempat pembuangannya di Menado.
Tidak kurang dari 19 orang yang terdiri dari keluarga dan stafnya ikut dalam
pembuangan di Menado. Pada tahun 1834 Diponegoro beserta keluarga dan stafnya
dipindahkan ke kota Makasar. Dan pada tanggal 8 Januari 1855 Diponegoro wafat
dalam usia kira-kira 70 tahun, setelah menjalani masa tawanan selama duapuluh
lima tahun.
Perang Jawa yang dahsyat dan penuh patriotisme telah
digerakkan dan dipimpin oleh tokoh-tokoh pejuang Islam, yang hampir sebagian
terbesar berideologi Islam dan bertujuan berdirinya negara merdeka yang
berdasarkan Islam. Fakta-fakta sejarah yang terungkap, baik latar belakang yang
mewarnai para tokoh Perang Jawa, masa peperangan yang memakan waktu lima tahun
lebih, yang diisi dengan menegakkan syari’at Islam di dalam kehidupan pasukan
Diponegoro sampai pada saat perundingan dengan Belanda serta tujuan yang akan
dicapai, semuanya adalah bukti yang kuat bahwa Diponegoro dan pasukannya telah
melakukan perjuangan politik Islam untuk mendirikan negara Islam di tanah Jawa.
Kegagalan yang diderita oleh Diponegoro dan pasukannya,
bukan karena tujuan dan metodanya yang salah, tetapi karena kekuatan yang tak
seimbang, baik manpower, persenjataan, perlengkapan dan pengkianatan bangsa
sendiri yang sebagian besar membantu Belanda-Kristen yang kafir; disamping tipu
muslihat yang licik dan keji yang dilakukan oleh penguasa kolonial
Belanda-Kristen.
Tipu muslihat yang licik dan keji, yang hanya bisa
dilakukan oleh orang-orang yang bermoral rendah dan jahat, ternyata telah
menjadi watak kepribadian pe¬nguasa kolonial Barat-Kristen di Indonesia, baik
Portugis-Kristen Katholik maupun Belanda-Kristen Protestan.
Referensi :
PETER CAREY:
NASKAH KUNO “BABAD DIPONEGORO”
serbasejarah.wordpress.com
Diolah dari berbagai sumber
0 on: "Perang Jawa : Kehormatan, Darah, dan Airmata [3]"