Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Tulisan seri Perang Jawa yang sedang kerabat akarasa baca ini
adalah semacam rangkuman dari beberapa tulisan sebelumnya, yang insya Allah
akan masih berlanjut beberapaseri ke depan. Seperti yang kita tahu dan sudah
saya bagikan pada tulisan terdahulu, Perang Diponegoro yang juga dikenal dengan
sebutan Perang Jawa menorehkan kepedihan tersendiri bagi bangsa ini.
Perlawanan terbesar di
abad ke-19 itu justru kian mencengkeramkan kuku penjajahan Belanda atas negeri
ini. Peter Carey, mantan profesor sejarah di Trinity College, Oxford,
menuangkan cerita perlawanan selama lima tahun itu lewat buku The Power of
Propecy: Prince Dipanegara and the end of an old order in Java 1785-1855. Buku
yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Kuasa Ramalan:
Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, ini menuturkan
dengan amat lengkap latar belakang dan beragam faktor seputar perang itu hingga
dampaknya kemudian. Termasuk riwayat sang pangeran. Berikut nukilan sebagian
kecil dari buku yang terbagi dalam tiga jilid tersebut.
Perang Jawa (1825-1830)
merupakan tonggak perubahan penting dalam sejarah Jawa dan seluruh Nusantara.
Untuk pertama kali, suatu pemerintahan kolonial Eropa berhadapan dengan
pemberontakan masyarakat yang meliputi sebagian besar wilayah pulau itu.
Sebagian besar Jawa Tengah dan Jawa Timur serta banyak daerah pesisir (pantai
utara) terlibat. Dua juta orang Jawa --sepertiga jumlah seluruh penduduknya--
menderita akibat perang. Seperempat luas seluruh daerah pertanian Jawa rusak.
Sekitar 200.000 orang Jawa menjadi korban.
Untuk mencapai
kemenangan pahit atas Jawa, Belanda pun menderita. Sebanyak 7.000 orang
Indonesia yang merupakan serdadu pembantu tewas. Demikian juga 8.000 serdadu
Belanda. Perang itu menguras kas mereka sebanyak 20 juta gulden. Perang itu
berakhir dengan munculnya Belanda sebagai penguasa tunggal atas Pulau Jawa. Dan
suatu tahap baru kekuasaan kolonial pun dimulai dengan diterapkannya
"tanam paksa" oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch
(1830-1870).
Sistem ini terbukti
sangat menguntungkan bagi Belanda. Perang itu mengakhiri suatu sistem yang
sudah matang sejak Marsekal Willem Daendels berkuasa (1808-1811). Sistem
tersebut menyangkut perubahan dari masa Perserikatan Dagang Hindia Timur
(disingkat VOC, dalam kurun 1602-1799). Suatu perubahan dari masa ketika
hubungan Batavia dengan kerajaan-kerajaan di Jawa tengah-selatan masih bersifat
diplomatik tingkat kedutaan antarnegara berdaulat ke masa "kolonial tinggi",
ketika kerajaan-kerajaan itu tunduk pada kekuasaan Eropa.
Dengan mengungkap
perubahan besar yang susul-menyusul berlangsung di Eropa, yang menyebabkan
kebangkrutan Belanda, Peter Carey menuturkan pengaruhnya terhadap
kerajaan-kerajaan di Jawa.
Yogya bernasib paling
sial dalam perubahan tersebut. Dalam tempo singkat, Pemerintah Belanda-Prancis
di bawah Marsekal Herman Willem Daendels dan Pemerintah India-Inggris di bawah
Thomas Stamford Raffles membuka paksa wilayah mancanegara timur Yogya, menguras
habis harta keratonnya, dan membuang rajanya yang sedang bertahta. Setelah
keraton jatuh pada Juni 1812 dan pemberlakuan paksa perjanjian-perjanjian baru,
hubungan antara Batavia dan kerajaan-kerajaan Jawa menjadi serupa dengan masa
pasca-Plassey di India, ketika Inggris mengganti raja-raja Mughal di Benggala
Hilir.
Kejatuhan Yogya bisa
kerabat akarasa baca di Tuah
Kutukan Hamengkubuwana I Atas Ambruknya Yogyakarta Dalam Geger Sepoy
Kembalinya Pemerintah
Belanda di bawah Gubernur Jenderal G.A.G. Ph. van der Capellen (1816-1826)
melanjutkan proses ini. Gentingnya kebutuhan dana dan kurangnya pengertian atas
berbagai akibat kebijakannya terhadap rakyat Jawa merupakan lahan subur bagi
pecahnya Perang Jawa. Masalah kesehatan dan lingkungan yang buruk, khususnya
wabah kolera pada Mei 1821, ditambah dengan harga beras yang membubung tinggi,
menjadi pemicu perlawanan rakyat secara besar-besaran pada Juli-Agustus 1825,
yang merupakan awal pecahnya Perang Jawa.
Bagi orang Jawa, perang
lima tahun ini berdampak sangat luas. Mungkin inilah pertama kalinya
pemberontakan pecah di lingkungan salah satu keraton Jawa Tengah-Selatan yang
pokok masalahnya terletak lebih pada kesulitan ekonomi daripada ambisi
kekuasaan seorang kerabat keraton. Munculnya seorang pemimpin yang sangat
berwibawa seperti Pangeran Diponegoro (1785-1855), yang menyebut dirinya Ratu
Adil Jawa, berdaya guna menghimpun beraneka ragam unsur masyarakat di bawah
panji tunggal Islam-Jawa.
Aneka pengharapan yang
meluas akan penyelamatan Ratu Adil memukau jiwa para petani dan meningkatkan
rasa tidak puas ekonomi yang menumpuk sejak awal abad ke-19. Wawasan perang
suci dan rasa birasa asali Jawa berupa kerinduan mendalam terhadap pemulihan
tatanan lama yang adiluhung --dirumuskan Diponegoro dengan "memulihkan
keluhuran agama Islam di seluruh Jawa-- membantu terbentuknya jati diri bersama
di kalangan pengikut sang pangeran.
Dengan cara demikian,
para bangsawan, pejabat daerah yang dipecat, guru agama, para jawara, kuli,
buruh harian, tani penggarap, dan para perajin dihimpun dalam keprihatinan
bersama. Karena itu, Perang Jawa mengandung makna sangat penting bagi masa
depan Indonesia. Benang halus antara keprihatinan ekonomi dan pengharapan akan
Ratu Adil menciptakan gerakan dengan jangkauan sosial luar biasa, yang dalam
beberapa segi merupakan pendahuluan bagi gerakan kebangsaan abad ke-20.
Kelahiran
yang Diramalkan
Diponegoro --bernama
kecil Bendoro Raden Mas Mustahar-- lahir di Keraton Yogyakarta pada 11 November
1785 tepat menjelang fajar. Dalam tarikh Jawa, hari kelahiran calon pemimpin
Perang Jawa itu sangat bertuah karena jatuh dalam bulan Sura, bulan pertama
dalam tahun Jawa, ketika secara tradisional kerajaan baru didirikan dan
gelombang sejarah baru dimulai. Hari itu juga penting dalam bacaan almanak atau
primbon Jawa modern karena paduan antara hari dalam siklus pasaran dan pekan
pancawara yang terdiri dari lima hari itu.
Jumat Wage konon
dipercaya bahwa yang lahir saat itu adalah orang yang sangat fasih dan
berpengaruh kata-katanya, murah hati, berwatak pandita, tapi akan menghadapi
banyak halangan dan kesulitan dalam hidup karena pembawaannya yang terus terang
dan memerahkan telinga. Tahun Arab kelahiran sang pangeran, 1200 Hijriah,
tampak mengandung makna. Hal itu disebut dalam beberapa versi ramalan yang
lebih bernuansa Islam sebagai tahun ketika Ratu Adil Jawa akan muncul. Secara
tradisional, ramalan itu juga bisa dikaitkan dengan Raja Kediri abad ke-12,
Prabu Joyoboyo.
Ayahnya adalah anak
sulung Sultan Yogya yang kedua, Hamengku Buwono II, dari istri yang resmi
(garwo padmi), Ratu Kedaton. Sang ibu berdarah biru Madura dan menonjol di
kalangan keraton karena kesalehannya sebagai seorang muslimah. Meskipun baru
menginjak usia 16 tahun ketika Diponegoro lahir, sang ayah sudah terpandang
sebagai pemuda menawan dan menyenangkan, yang disukai banyak orang karena
wataknya yang lembut dan rasa humornya yang halus. Dia juga dikenal sebagai
sejarawan amatir dan penulis yang sedang menanjak.
Tidak jelas seberapa
besar pengaruh sang ayah Diponegoro terhadap pangeran muda itu semasa kecilnya.
Sebab, pada usia tujuh tahun, Diponegoro pindah dari tempat tinggal kaum
perempuan di keraton untuk hidup bersama nenek buyutnya di perumahan di
Tegalrejo. Namun keduanya akrab selama kemelut 1811-1812, yang dipercepat oleh
bentrokan antara Keraton Yogya dan pemerintah jajahan di bawah Daendels. Juga
selama sang ayah naik tahta yang hanya berlangsung singkat (1812-1814).
Dalam otobiografinya,
Diponegoro menggambarkan bagaimana ia diperkenalkan ibunya kepada Pangeran
Mangkubumi --julukan Sultan Hamengku Buwono II. Dan, raja sepuh itu telah
meramalkan bahwa cucunya akan mendatangkan kehancuran yang lebih hebat bagi
Belanda daripada beliau sendiri selama Perang Giyanti (1740-1755).
Ramalan itu memberi
wawasan mengenai betapa pentingnya ketokohan sultan pertama yang karismatik itu
bagi Diponegoro. Dan bagaimana teladan hidup Mangkubumi mengilhami para anggota
keluarga yang dekat dengan sang pangeran selama Perang Jawa. Ramalan sultan
pertama itu dapat juga dikaitkan dengan ramalan lain yang konon dibuat Raja
Mataram abad ke-17, Sultan Agung, yang juga diceritakan Diponegoro dalam
otobiografinya.
Ramalan itu menyatakan,
setelah Sultan Agung wafat pada Februari 1646, Belanda memerintah di Jawa
selama 300 tahun dan meski seorang di antara keturunan Raja Mataram akan
bangkit melawan, akhirnya ia akan dikalahkan. Tampaknya hampir pasti bahwa Diponegoro
menganggap dirinyalah yang dimaksud Sultan Agung sebagai keturunan itu.
Hubungan
Darah dengan Wali
Leluhur pria Diponegoro
pernah memberi pengaruh besar terhadap sang pangeran secara pribadi dan sebagai
sumber ilham. Tapi kerabat yang perempuan barangkali malah lebih penting dalam
membentuk pandangan sosial pangeran, yang khas selama masa kanak-kanak dan
remaja. Pandangan sosial itu berakar pada keyakinan agamis mendalam dan
hubungan yang luas dengan masyarakat santri di Jawa tengah-selatan --hubungan
yang agak tidak umum untuk seseorang seperti dirinya dari kalangan keraton.
Keduanya, keyakinan agamis dan hubungan sosial itu, menentukan gaya
kepemimpinan Diponegoro selama Perang Jawa dan terhadap karisma atau sifat
kepahlawanan dirinya.
Melalui anggota
keluarga yang perempuan, Diponegoro menyatakan adanya hubungan darah dengan
beberapa kiai terkemuka di Jawa. Sebagian di antara mereka bisa melacak
silsilah nenek moyangnya hingga ke Wali Songo. Ibunda Diponegoro, Raden Ayu
Mangkorowati, adalah keturunan Ki Ageng Prampelan, tokoh yang sezaman dengan
raja pertama Mataram, Panembahan Senopati. Seorang lagi di antara nenek
moyangnya ialah Sunan Ngampel Denta dari Gresik, seorang di antara sembilan
wali di Jawa.
Selain sang ibu,
perempuan lain yang ikut membentuk pandangan hidup Diponegoro dalam masa
remajanya ialah neneknya, Ratu Kedaton. Sang nenek adalah keturunan Panembahan
Cokrodiningrat II dari Madura. Dalam otobiografinya, Diponegoro merujuk pada
perempuan itu dengan hormat. Kesetiaan perempuan itu terhadap Islam rupanya
berkesan di hati Diponegoro. Bahwa Diponegoro sendiri berdarah seperempat
Madura dari ayahnya mungkin juga telah mempengaruhi kepribadiannya dan ikut
menetukan tabiatnya yang suka mendadak sarat amarah.
Namun pengaruh yang
paling menentukan bagi Diponegoro adalah dari nenek buyutnya, Ratu Ageng, yang
mengasuhnya sejak usia tujuh tahun hingga remaja. Putri seorang kiai terkemuka
di Kabupaten Sragen, Ratu Ageng dapat melacak silsilahnya sampai ke Sultan Bima
di Sumbawa, sebuah kerajaan Islam yang sangat menjunjung kemerdekaannya di
Nusantara Timur. Kerabatnya yang lain pun dekat dengan jabatan keagamaan
Keraton Yogyakarta.
Ratu Ageng juga
terkenal, menurut catatan Keraton Yogya, berkat kesalehannya dan kesukaannya
membaca kitab-kitab agama, juga ketekunannya merawat adat tradisional Jawa di
keraton. Pengabdiannya yang kukuh terhadap adat Jawa terwariskan kepada
cucu-buyutnya. Saat Diponegoro tinggal bersama nenek buyutnya di Tegalrejo,
perempuan itu bahkan di usianya yang sudah 60-an tetap memperlihatkan kemauan
baja.
Suasana lingkungan
Diponegoro dibesarkan jauh berbeda dari suasana Keraton Yogya semasa sultan
kedua berkuasa. Kebersahajaan desa yang melekat di Tegalrejo mengajarkan
kepadanya sejak kanak-kanak untuk bergaul akrab dengan segala lapisan
masyarakat Jawa. Juga untuk menjalani hidupnya tanpa merasa diri lebih tinggi.
Dari sudut Keraton
Yogya waktu itu, Diponegoro mungkin saja dianggap sebagai orang kampung karena
dibesarkan di luar lingkungan ibu kota kesultanan. Tapi, bagi penduduk desa
Jawa tengah-selatan, pengasuhannya yang di luar kebiasaan itu justru menambah
karismanya sebagai pemimpin rakyat. Lagi pula, kerabat perempuan Diponegoro
yang berasal dari keluarga terkemuka di pedesaan jelas merupakan keuntungan
tersendiri bagi pangeran ketika tiba saatnya ia menjadi pemimpin selama Perang
Jawa.
Penggalangan
Kekuatan untuk Perang
Ketika Diponegoro dan
Mangkubumi mengibarkan panji perang di Selarong pada 21 Juli 1825, sejumlah
persiapan dilakukan untuk menggerakkan para petani dan penggarap di tanah
kekuasaan pangeran. Ia menghimpun dana untuk membiayai peperangan.
Pengorganisasian dan pendanaan awal untuk perang tampaknya mengikuti sepenuhnya
cara-cara tradisional.
Pada tahap-tahap
permulaan perang, para pangeran dan priayi sepuh yang mendukung Diponegoro
menyumbangkan barang berharga mereka, seperti permata, uang kontan, dan
barang-barang berharga lainnya. Barang-barang ini dibawa sendiri ke daerah
pertempuran oleh para istri dan putri mereka. Bersama harta berjumlah 24.000
gulden yang direbut dari konvoi Belanda pada 24 Juli, semuanya digunakan untuk
membiayai pertempuran-pertempuran awal.
Mengenai persenjataan,
Diponegoro baru mulai mengumpulkan senjata setelah tiba di Selarong. Namun
tampaknya banyak di antara para pengikutnya telah mempersenjatai diri sendiri
dengan berbagai senjata tradisional seperti ketapel, juga pentungan dan tombak
dari bambu runcing. Pada Juli dan awal Agustus, gerombolan dari desa-desa di
kawasan Yogya sudah tiba di Selarong untuk mendapat perintah dari Diponegoro.
Tapi mereka segera pulang setelah diberitahu apa yang diharapkan dari mereka.
Gaya peperangan yang
disukai Diponegoro adalah memanfaatkan aneka barisan asal desa ini. Penduduk
desa diminta merobohkan pohon untuk menghalangi jalan, membakar jembatan kayu,
menggali lubang jebakan dan mengisinya dengan ranjau bambu. Melumpuhkan
komunikasi untuk mencegah Belanda mendatangkan bala bantuan memainkan peran
yang menentukan.
Diponegoro juga paham
tentang pentingnya menjaga jalur perbekalan agar terbuka. Ia mengangkat seorang
di antara putra pamannya, Mangkudiningrat I, sebagai kepala kapal tambang di
Kali Progo. Ia memastikan agar berbagai kelompok jawara di Kamijoro dan Mangir
yang menguasai tempat-tempat penyeberangan di sungai diundang ke Selarong pada
akhir Juli guna menerima perintahnya.
Siasatnya yang
melumpuhkan jalur komunikasi musuh sambil menjaga kelancaran jalur perbekalan
itu terus digunakan selama perang. Sesungguhnya, pada akhir Agustus 1828,
Belanda bahkan mencurigai ada satu kapal layar penyelundup milik Amerika atau
Inggris yang diketahui membuang sauh di muara Kali Progo memasok senjata api
untuk sang pangeran.
Peran
Besar Penduduk Desa
Dengan memperlambat
jalannya pasukan gerak cepat Belanda, tentara Diponegoro dapat melakukan
sejumlah penghadangan yang berhasil baik. Siasat yang disukai dalam penyergapan
ini adalah bersembunyi di balik rerumputan tinggi di pinggir jalan, kemudian
melancarkan tembakan senjata api berpola bulan sabit.
Sentot (Sentot Ali
Basya Mustofa Prawirodirjo), panglima kavaleri Diponegoro yang masih belia,
mengembangkan juga siasat untuk menyamarkan prajurit berkudanya di balik pagar
bambu. Ia mengoleskan garam pada lidah kuda tunggangan mereka untuk membuat
hewan itu diam tenang selama bertiarap menanti musuh.
Dalam beberapa
penyergapan yang berhasil itu, penduduk desa sekitar yang tampaknya sibuk dalam
kegiatan tani ikut dalam pertempuran menggunakan peralatan tani. Terkadang
dengan menghalangi jalan mundur pasukan Belanda yang terancam dipecundangi seandainya
mereka tidak bisa mundur dengan selamat ke benteng mereka.
Perbentengan desa
berupa pagar-pagar tembok yang tinggi dimanfaatkan dengan sangat baik oleh
Diponegoro selama masa awal peperangan. Desa-desa yang terlindung rumpun bambu
pun bisa diubah menjadi kubu pertahanan yang kuat. Terutama tatkala para
pendukung pangeran menanam ranjau (borang) dengan sangat tersamar dari bambu
runcing di sekeliling suatu desa.
Tentara reguler
Diponegoro memiliki senjata api dan terdapat rujukan dalam arsip Yogya tentang
perintah sang pangeran untuk membeli senjata api. Juga jelas bahwa persenjataan
Belanda yang dirampas, termasuk meriam, dimanfaatkan oleh tentaranya. Selain
itu, teknik-teknik artileri Eropa dipelajari pula. Terbukti, misalnya, seorang
panglima sang pangeran yang ikut dalam pengepungan Yogya pada Juli-September
1825 mengatakan, tembakan meriam Belanda selalu terlalu tinggi karena yang
melayani artilerinya memakai terlalu banyak mesiu.
Diponegoro juga
mendapatkan mesiu dari desa-desa di berbagai kabupaten bagian selatan dan barat
Yogya. Termasuk dari Samen di Kawedanaan Pandak dekat Bantul, into-into di Kali
Progo, serta Desa Geger (Samigaluh) dan Dekso di Kulonprogo --kawasan yang juga
menghasilkan peluru meriam dari timah untuk keperluan artileri sang pangeran.
Bahkan, menurut laporan sejarawan militer Belanda, P.M. Lagordt-Dillie, mesiu
yang dibuat di into-into, yang peracikannya sering dibantu oleh tenaga kerja
perempuan, bermutu sangat tinggi.
Dua
Srikandi Pendukung Diponegoro
Hampir semua lapisan
masyarakat mendukung sang pangeran. Segolongan besar tukang dan pandai besi
menyediakan tenaga terlatih untuk menghasilkan peluru, pemantik, dan mesiu.
Para kuli panggul menjadi pelaku utama pengangkutan perlengkapan militer,
dengan membawa mesiu dalam kantong-kantong besar dari kulit. Para bandit, yang
sebelum perang jadi momok menakutkan di pedesaan, juga bermanfaat sebagai
tenaga bantuan.
Menurut catatan Residen
Kedu, F.G. Valck, ada dua perempuan yang juga berperan besar dalam Perang Jawa
ini. Dalam laporannya, antara lain, tertulis: "Bila teringat
kejadian-kejadian sekitar perang yang baru saja berakhir dan merenungkan
sejenak kejahatan dan kerusakan yang ditimbulkan oleh beberapa istri pembesar
Jawa, bolehlah dicatat secara khusus (sejumlah) perempuan yang sangat mampu
bertindak kejam."
Dua orang yang ada
dalam benaknya: Raden Ayu Serang dan Raden Ayu Yudokusumo. Raden Ayu Serang
yang dikenal dengan Nyai Ageng Serang adalah keturunan keluarga terkemuka wali
di Jawa Tengah: Sunan Kalijaga. Setelah Perang Jawa pecah, ia ikut mengangkat
senjata membantu putranya, Pangeran Serang II, yang memimpin pasukan
berkekuatan 500 orang di kawasan Serang-Demak. Ia bahkan masih terus memberi
pengaruh penting pada penduduk daerah asalnya, Serang-Demak, lama setelah
perang berakhir.
Srikandi kedua dalam
Perang Jawa yang disebut Valck adalah Raden Ayu Yudokusumo, istri Bupati Yogya
untuk Grobogan-Wirosari. Saat terjadi aneksasi Inggris pada Juli 1812,
perempuan ini dengan gigih mempertahankan posisinya, sedangkan sang suami
enggan bertindak. Ia digambarkan sebagai sosok perempuan yang punya kecerdasan
tinggi, kemampuan besar, dan siasat jitu.
Raden Ayu Yudokusumo
berperan sebagai seorang di antara beberapa panglima kavaleri senior Diponegoro
di mancanagara timur. Ia bergabung dengan Raden Sosrodilogo di Jipang-Rajegwesi
dalam perlawanannya mulai 28 November 1827 sampai 9 Maret 1828. Ketika menyerah
kepada Belanda pada Oktober 1828, ia bersama anggota keluarga besarnya mencukur
rambut sampai habis sebagai lambang kesetiaannya pada perang sabil melawan
kafir Belanda dan orang Jawa murtad sekutu Belanda.
Selain dua tokoh
perempuan tersebut, para srikandi itu juga mencakup anggota prajurit istri yang
memberi pengawalan ketat kepada raja-raja. Keterampilan mereka menggunakan
senjata karabin dan menunggang kuda sempat membuat kagum Marsekal Daendels saat
berkunjung ke Yogya pada Juli 1809. Mereka inilah yang berada pada kedudukan
yang tepat untuk mengemban kepemimpinan sebagai komandan tempur selama perang.
Strategi
Belanda Menekuk Diponegoro
Beragam siasat
dilakukan Belanda untuk menghentikan perang. Di bawah komando Jenderal Hendrik
Merkus de Kock, dirancang lima strategi pokok yang memadukan unsur politik dan
militer. Salah satunya adalah menjalin hubungan lebih dekat dengan kesultanan
agar tidak ada lagi pangeran atau pejabat tinggi yang bergabung dengan
Diponegoro. Selain itu, ia bertekad mengurung tentara sang pangeran di wilayah
pegunungan sempit antara Kali Progo, Kedu Selatan, dan Bagelen Timur, sehingga
terkucil dan dapat dikalahkan. Ia berkeras menawan Diponegoro dan pemimpin
perlawanan lainnya, jika perlu dengan tawaran hadiah kepada yang dapat
menyerahkan mereka.
Kunci sukses rencana De
Kock adalah sistem perbentengan medan tempur darurat (benteng stelsel) yang
dirintis perwira kepala zeni, Kolonel Cochius. Rancangan awal Cochius sangat
bersahaja. Setelah memilih tempat strategis yang cocok, biasanya di atas bukit
atau tempat terlindung yang alamiah, ia mendirikan bangunan mirip tangsi
persegi empat yang mampu menampung sekurang-kurangnya satu peleton (25-30
orang) serdadu. Ia lalu melindunginya dengan pagar kokoh dari batang kelapa
setinggi 1,7 meter, dengan membuat satu-dua landasan senjata di pojok-pojok.
Mengingat sifat daruratnya, perbentengan semacam ini dapat dengan mudah
ditinggalkan dan benteng baru bisa didirikan di tempat lain yang lebih
memerlukan penunjang pasukan.
Diperkenalkan secara
sistematis sejak Mei 1827 sebagai bagian strategi tempur terpadu baru De Kock.
Pada Maret 1830, tidak kurang dari 258 perbentengan darurat semacam itu
didirikan di seluruh Jawa Tengah dan Timur. Yang terbanyak (90) dibangun pada
1828. Perbentengan itu tersebar di kawasan luas yang terbentang dari ibu kota
Kabupaten Banyumas di sebelah barat ke Ponorogo di sebelah timur.
Sekurang-kurangnya ada 16 perbentengan yang cukup luas untuk menampung lebih
dari 100 serdadu dan memuat sejumlah meriam.
Strategi yang
diterapkan De Kock ternyata berhasil. Sistem perbentengan yang dijalankan
berhasil membuat posisi sang pangeran makin tersudut. Satu demi satu panglima
tempurnya, termasuk Sentot, akhirnya menyerah.
Pada 21 September 1829,
satu di antara panglima seniornya yang tersisa, Pangeran Ngabehi, dan dua
putranya tewas dalam pertempuran sengit di Pegunungan Kelir, perbatasan
Bagelen-Mataram. Tidak lama kemudian, pada 11 November 1829, hari ulang
tahunnya yang ke-44, ia hampir tertangkap pasukan gerak cepat ke-11 yang
dipimpin Mayor A.V. Michiels di daerah Pegunungan Gowong, sebelah barat Kedu.
Waktu itu, sang pangeran terpaksa terjun ke jurang dan bersembunyi di balik
rumput gelagah. Di sini, ia kembali kehilangan seorang panglimanya yang
menyerah kepada Belanda.
Dengan meninggalkan
beberapa ekor kuda miliknya, tombak pusaka, dan peti pakaian, Diponegoro
memutuskan untuk mengembara di hutan-hutan sebelah barat Bagelen. Hanya dua
punakawannya, Bantengwareng dan Roto, yang mendampingi dia dalam seluruh
pengembaraan itu. Pengembaraan ini terus berlanjut hingga pertengahan Februari
1830, ketika perundingan-perundingan langsungnya yang pertama mulai dilakukan
dengan Kolonel Jan Baptist Cleerens. Perundingan-perundingan ini akhirnya
menghasilkan "konferensi perdamaian" yang gagal di Magelang,
penangkapannya pada 28 Maret 1830, pengasingannya selama 25 tahun di Sulawesi
sejak 12 Juni 1830, hingga wafatnya pada 8 Januari 1855.
Terkisah, dalam proses
perundingan yang digambarkan sebagai penyerahan diri itu, sang pangeran sempat
tiga kali bertemu dan berbincang dengan De Kock. Menurut kesaksian Diponegoro
sendiri, tiga pertemuan itu berlangsung dalam suasana menyenangkan dan santai.
Walau demikian, keduanya sempat bertengkar keras sebelum Diponegoro ditangkap
di Wisma Residen di Magelang pada 28 Maret 1830. Peter Carey pun merekam
pertengkaran itu secara rinci dalam bukunya ini.
Referensi
bacaan :
Kuasa Ramalan:
Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, Peter Carey
Wikipedia
0 on: "Perang Jawa : Diponegoro, Ratu Adil yang Kalah Perang [6]"