Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Tulisan yang sedang kerabat akarasa baca ini adalah kelanjutan
dari seri Perang Jawa memasuki tulisan
yang ketujuh. Setiap manusia adalah
individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang
berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu
hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik, sebab
dalam menjalani hubungan, seseorang tidak selalu sejalan dengan orang lain. Seperti
halnya dua sekondan penting dalam Perang Jawa ini, Diponegoro dan Kyai Modjo
pun mengalami pecah kongsi.
Jalannya perang
menunjukan pasang surut antara menang dan kalah. Pertempuran demi pertempuran
telah mengakibatkan banyak jatuh korban di kedua belah pihak. Perang telah
meluas bukan hanya di kota Yogyakarta tapi ke seluruh Jawa Tengah dan Jawa
Timur.
Memasuki tahun keempat
(1828) peperangan, Kyai Modjo melihat bahwa perang ini telah membawa
kesengsaraan yang berat bagi rakyat dan pengikutnya, maka ia mencoba melakukan
kontak dengan Belanda untuk mengakhiri perang. Yang diutamakan oleh Kyai Modjo
adalah jaminan pelaksanaan sariat Islam di Jawa dan kemakmuran rakyat, sehingga
tidaklah penting siapa yang berkuasa di tanah Jawa. Sehingga bila Belanda dapat
menjamin hal tersebutmaka dia siap
melepaskan senjata untuk berdamai.
Sebaliknya Diponegoro
memiliki latar belakang yang lebih komplek, khususnya yang berhubungan dengan
suksesi kepemimpinan di kraton, dan faktor inilah yang menjadi sebab agenda
perjuangan Kyai Modjo dan Diponegoro berbeda.
Perselisihan antara
Kyai Modjo dan Diponegoro tentang tujuan perang suci, dan siapa yang berhak
menduduki kursi kepemimpinan setelah tujuan tercapai, membuat Kyai Modjo putus
asa dan mengundurkan diri dari medan pertempuran.
Hal penting lain yang
membuat Kyai Modjo tidak akur dengan Diponegoro adalah adanya kecenderungan
dari Diponegoro memposisikan diri sebagai juru selamat dan secara tersirat
menghubungkan peristiwa spiritual yang dialaminya seakan akan sama dengan
peristiwa spiritual yang dialamai oleh Nabi Muhammad saw.
Peristiwa spiritual
yang dimaksud disini adalah seperti proses yang dialami oleh Nabi Muhammad saw
sewaktu beliau diangkat menjadi Rasul dan peristiwa-peristiwa khusus yang
dialami beliau, seperti suka menyendiri di goa dan gunung, menerima wahyu dari
Malaikat Jibril dan lain-lain
.
Dalam buku Babad
Diponegoro karangan Pangeran Diponegoro sendiri ada dua versi Babad Diponegoro, yang satu
dikarang oleh Cakranegara, seorang Bupati pro Belanda dan musuh Pangeran Diponegoro)
menulis bahwa ia (Diponegoro) telah mengalami kejadian spiritual (dan secara
implisit menginformasikan bahwa peristiwa tersebut) sama seperti yang dialami
oleh Nabi Muhammad SAW.
Diponegoro menulis,
ketika sedang berkhalwat (bertapa) di gua Secang pada tanggal 21 Ramadhan, ia
mendapat tugas suci dari Allah swt melalui perantaraan “Ratu Adil” untuk
berperang, dan pada tanggal 27 Ramadan “Ratu Adil” mengangkatnya sebagai “Jeng Sultan Abdulhamid Herucakra Sayidin
Panatagama Khalifah Rasullullah di tanah Jawa” (Babad Diponegoro,
p.98-100). Kutipan dari halaman 10 buku babad tersebut, Diponegoro menulis
sebagai berikut:
“Amba
nuwun, sampun tan kuwawi jurit, lawan tan saget ika, aningali dhumateng pepeti’
[Hamba mohon(ampun),
hamba tak kuat berperang (lagi) dan tak dapat melihat orang (mati)].
Akan tetapi Ratu Adil
menjawab :
“Ora
kena iku, wus dali karsaning sukma, tanah Jawa pinasthi marang hyang Widhi,
kang duwe lakon sira nDatan ana liya maning-maning”
[Itu tak boleh, sudah
menjadi kehendak Allah, ditakdirkan di pulau Jawa yang memegang peranan ialah
kamu, tak ada yang lain lagi.]
Contoh lain yang
ditulis dalam buku itu adalah mengenai kejadian dalam suatu perang (mirip
dengan perang Hudaibiyah), mengaku tidak tahu membaca dan menulis (padahal dia
telah menulis buku Babad), dan lain-lain.
Barangkali Diponegoro
pada waktu itu pernah membaca atau diceritakan mengenai sejarah kehidupan Nabi
Muhammad saw, dan mencoba mentransformasikan peristiwa spiritual Nabi Muhammad
tersebut ke dalam dirinya sendiri. Memang setiap Muslim dianjurkan untuk
berusaha meniru atau mencontoh akhlak Rasullullah sebagi suri tauladan, tetapi
bukan berarti harus menjelma seperti nabi.
Mungkin sebagai orang
Jawa Diponegoro (meskipun sudah beragama Islam) belum bebas dengan pengaruh
budaya Jawa yang kental dengan hal-hal yang berbau mistik dan Hinduism.
Menghadirkan tokoh spirituil seperti “Ratu Adil” (Jibril atau mesias ?), “Nyai
Roro Kidul”, dan tokoh dewa-dewa yang menjelma menjadi manusia bertujuan untuk
mempengaruhi masyarakat agar memandang orang-orang yang memiliki hubungan
istimewa dengan tokoh tersebut adalah orang yang istimewa atau terpilih
(memiliki kanuragan) dan statusnya berbeda dengan manusia kebanyakan, sehingga
pada akhirnya masyarakat menjadi patuh dan tunduk secara sosial maupun politik.
Alasan Diponegoro memberontak
tidak semata karena faktor penjajah, tetapi lebih dari itu. Diponegoro berkeinginan
mendirikan kerajaan Jawa yang baru dengan dia sebagai rajannya. Keinginan ini
barangkali dipicu oleh perasan frustrasi akan konflik internal (suksesi)
kerajaan yang berkepanjangan akibat campur tangan penjajah.
Kecenderungan
Diponegoro memposisikan diri sebagai raja (baru) Jawa terlihat dalam gaya dan
atribut kerajaan yang ditonjolkannya dalam memimpin peperangan. Karena
Diponegoro berjuang untuk mendirikan istana tandingan, gelar dan perlengkapan
kebangsawanan Jawa selalu ditampilkan demi kebutuhan untuk menunjukan bahwa ia
adalah penguasa spiritual yang berhak atas tahta Mataram.
Para pengikutnya
(kecuali Kiay Modjo Cs), dengan berbagai cara, juga memperlakukan dan melayani
semua keperluan Diponegoro sebagaimana layaknya seorang pemegang tahta
kerajaan. Mereka memperlihatkan perlengkapan bangsawan Jawa yang megah,
termasuk didalamnya pusaka pribadi-keris, kuda, dan lain-lain. Disamping itu,
meskipun Diponegoro sendiri berpakaian jubah Arab muslim, ia dan para bangsawan
dikelilingi oleh payung berlapis emas. Bendera yang digunakan bertuliskan
ornamen kerajaan (Ali Munhanif, 2003).
Diponegoro berhasil menggunakan
sentimen kebudayaan Jawa (mistisisme; Ratu Adil) yang diadopsi dari kebudayaan
Hindu-Budha, untuk merekrut sebagian masyarakat dan bangsawan beraliran
(kepercayaan) bergabung dalam panji-panji kerajaan tandingannya.
Disebabkan kelelahan
berperang dan perbedaan pandangan mengenai tujuan perang antara Kyai Modjo dan Diponegoro
tersebut serta belakangan diketahui oleh Kyai Modjo bahwa tindakan-tindakan
Pangeran Diponegoro dan pengikutnya tidak mencerminkan ahlak Islam membuat Kyai Modjo bersedia berunding
dengan Belanda untuk menghentikan perang. Keinginan itu disampaikan Kyai Modjo
melalui surat tanggal 25 Oktober 1828 kepada Kolonel Wira Negara – Komandan
Pasukan Tentara Kraton, menyatakan keinginan mengadakan pertemuan dan
perundingan dengan Belanda. Tempat pertemuan yang ia inginkan di daerah Pajang
sebagaimana dia berasal.
Belanda sadar bahwa
kekuatan Diponegoro sangat tergantung pada Kyai Modjo. Sehingga apabila Kyai
Modjo dan pasukannya dapat ditundukan maka akan mudah untuk meringkus Diponegoro. Maka ketika Belanda mendengar
keinginan Kyai Modjo untuk melakukan negosiasi perdamaian kesempatan ini tidak
disia siakan oleh Belanda. Dimata Belanda Kyai Modjo ini adalah seoarang
pemimpin dan panglima yang sangat mengancam kepentingan Belanda, sehingga
penting bagi Belanda untuk melumpuhkan tokoh ini.
Kabar Kyai Modjo yang
berkeinginan berdamai ini tentu saja sangat menggembirakan Belanda. Belanda
berpura-pura setuju melakukan perdamaian sembari menyusun siasat busuk untuk
memperdaya dan menangkap Kyai Modjo. Atas kesepakatan bersama pertemuan akan
diadakan di Mlangi – Yogyakarta pada tanggal 31 Oktober 1828, pertemuan ini
gagal terlaksana kemudian direncanakan lagi pada tanggal 5 Nopember 1828,
pertemuan inipun gagal.
Atas kegagalan ini
Belanda kemudian membujuk Kyai Modjo untuk mengadakan perundingan di Klaten dan
Kyai Modjo menyetujui. Belanda telah bertekat akan menangkap Kyai Modjo dan
pengikutnya bila pertemuan berhasil diadakan. Pertemuan di Klaten direncanakan
diadakan pada tanggal 12 Nopember 1828. Pada tanggal tersebut, ketika Kyai
Modjo dan pengikutnya datang untuk berunding, Kyai Modjo dan pasukannya yang
berjumlah kurang lebih 500 orang disergap dan dilucuti oleh Belada di dusun
Kembang Arum tanpa ada perundingan, ditangkap dan dibawa ke Salatiga dengan
pengawalan ketat. Atas permintaan Kyai Modjo sebagian besar pasukannya
dibebaskan oleh Belanda dan hanya kerabat Kyai Modjo, beberapa tokoh agama,
prajurit, dan pelayan saja yang tetap ditawan oleh Belanda.
Dalam dunia modern
tindakan Belanda ini adalah suatu kejahatan perang. Konon dalam menangkap Kyai Modjo
dan pasukannya, Belanda mendatangkan tentara
Belanda Pribumi dari Manado dan Ambon.
Di Salatiga pada
tanggal 17 Nopember 1828, Belanda mengadakan pertemuan (tepatnya interogasi)
dengan Kyai Modjo dan kerabatnya. Pembicaraan tersebut tertuang dalam dokumen
Raden Tumenggung Mangun Kusumo tertanggal Magelang 19 Nopember 1828 (Arsip
Nasional RI, Ina Mirawati) tentang pembicaraan Letnan Gubernur Jendral beserta
staffnya Residen Kedu (F.G Valck), Letkol Roepst dan kapten de Stuers dengan
Kyai Modjo beserta para pengikutnya. Isi laporan tersebut secara singkat (dengan
sedikit editing) sebagai berikut ;
Dalam pembicaraan itu
Kyai Modjo mendapat pertanyaan apakah dirinya setuju dan cocok jika Pulau Jawa
dikembalikan kepada Diponegoro (maksudnya Diponegoro menjadi raja tanah jawa,
dengan demikian menghapus kekuasaan dua sultan yang berkuasa saat di Solo dan
Yogya). Kyai Modjo tidak menjawab setuju atau tidak tetapi dia mengatakan bahwa
Diponegoro akan puas dan akan berdamai apabila tanah Jawa dikembalikan kepada Diponegoro
(Diponegoro menjadi raja jawa yang baru). Tersirat dalam pernyataan Kyai Modjo
tersebut bahwa dia mengetahui betul apa sebenarnya motif dibalik pemberontakan
Diponegoro. Kyai Modjo mengungkapkan satu keinginannya yaitu menjadikan Agama
Islam sebagi agama negara (bukan agama kesultanan).
Dalam pembicaraan
tersebut Pemerintah Kolonial menjawab bahwa tanah Jawa tidak akan diberikan
kepada Diponegoro dan Belanda akan tetap berkuasa sampai pemberontak bersedia
bergabung lagi dengan Sultan Solo dan Sultan Yogya (kedua sultan tersebut
notabene berada dalam kendali Belanda). Mengenai keinginan Kyai Modjo agar
Agama Islam menjadi agama negara, Belanda mengatakan bahwa agama tetap berada
dalam perlindungan Sultan (Yogya) dan Sunan (Solo). Bahwa pererintah Kolonial
tidak mempunyai niat untuk mengubah Islam yang menjadi keyakinan mereka itu,
tidak akan melakukan perubahan-perubahan dalam bidang keagamaan,
masalah-masalah yang berkaitan dengan Agama tetap bernafaskan Islam dan mengacu
pada Alquran. Pemerintah di kedua kerajaan itu wajib melindungi dan percaya
terhadap Agama Islam.
Jawaban Belanda yang
tidak mengabulkan keinginan Diponegoro bukan persoalan besar bagi Kyai Modjo.
Awalnya Kyai Modjo bersedia membantu Diponegoro dalam peperangan karena Diponegoro
punya keinginan untuk membersihkan ajaran Islam dari praktek-praktek bid’ah,
namun belakangan beliau mengetahui banyak pengikut Diponegoro yang mengaku
beragama Islam sudah tidak lagi melakukan sembahyang, tidak memberi zakat dan
tidak pergi ke Mekah, minum minuman keras dan main perempuan. Bahkan Diponegoro
sendiri ikut-ikutan ”main” perempuan dan banyak selir (Sultan Abdulkamit
Herucakra, halaman 74 – 76, KRT Hardjonagoro). Juga Diponegoro telah
memposisikan diri sebagai ”Ratu Adil” yang diutus oleh Allah SWT – ”meniru”
pengalaman spiritual Nabi Muhammad SAW.
Yang menjadi Kyai Modjo
kecewa adalah bahwa Belanda tetap menjadikan Agama Islam dalam wewenang
kekuasaan Sultan. Kyai Modjo sedih dan prihatin mengingat tindak tanduk kedua
sultan dan budaya di kraton sudah sangat melenceng jauh dari ajaran syariat
Islam. Para Sultan dan pemerintah serta rakyatnya telah ”melacurkan” dan
mencampuradukan (sinkretisme) syariat Islam dengan Hinduisme. Pencemaran ritual
Islam tumbuh subur dimana-mana seperti mistikisme, sesajenisme, kejawenisme dan
lain-lain.
Dalam situasi yang
tidak menguntungkan untuk Kyai Modjo di Salatiga itu, pemerintah Kolonial hanya
memberikan pilihan kepada Kyai Modjo; bergabung kembali dengan Sultan (baca
Belanda) atau ditahan dan diasingkan keluar pulau jawa, dan ..........Kyai
Modjo memilih pilihan kedua tetapi menolak dianggap sebagai pemberontak.
Proses
Pembuangan Kyai Modjo dan Pengikutnya dari Semarangn- Batavia – Ambon – Tondano
(Masarang)
Meskipun Kyai Modjo dan
pengikutnya sudah berada dalam tahanan Belanda di Semarang, Belanda masih khawatir
akan resiko pengaruh Kyai Modjo di tanah Jawa dan kemungkinan melarikan diri
dari tahanan kemudian melakukan perlawanan lagi. Karena itu Belanda bermaksud
membawa Kyai Modjo dan pengikutnya jauh dari tanah Jawa, menyeberangi lautan ke
Manado. Para petinggi kolonial Belanda di Semarang, Batavia, Ambon dan Manado
secara intensif melakukan kontak-kontak untuk secepat mungkin membawa Kyai
Modjo dan pengikutnya keluar dari Jawa Tengah. Jalur laut yang dipilih adalah
Semarang – Batavia – Ambon – Manado, menggunakan kapal perang dengan pengawalan
kuat. Pembuangan tidak langsung dari semarang ke Manado karena masih diperlukan
persiapan mobilisasi (kesiapan kapal perang), keamanan, akomodasi dan konsumsi
yang membutuhkan biaya besar mengingat perjalanan yang jauh.
Keputusan
Pengadilan Tinggi Belanda : Kyai Modjo sebagai Tahanan Politik.
Tahap pertama Belanda
mengeluarkan Kyai Modjo dan pengikutnya dari Semarang menuju Batavia. Untuk
formalitas landasan hukumnya Pemerintah kolonial Belanda kemudian dengan cepat
menggelar sidang pengadilan untuk memutuskan status Kyai Modjo dan pengikutnya.
Hasil sidang Pengadilan Tinggi Kolonial Belanda adalah (ref. surat dari Menteri
Negara Komisaris Jendral tanggal 1 Desember 1828 kepada Letnan Gubernur
jendral);
1. Kyai Modjo dan
pengikutnya dipenjara dalam bentuk tahanan rumah.
2. Membangun gedung
baru sebagai ”rumah tahanan” untuk Kyai Modjo dan pengikutnya,
3. Ir.Tromp ditunjuk
sebagai pelaksana pembangunan ”rumah tahanan” tersebut.
4. Menyiapkan 25 orang
sedadu Ambon secara bergantian menjaga rumah tersebut.
Persiapan
Pemberangkatan Kyai Modjo dan pengikutnya ke Batavia.
Persiapan-persiapan
pemberangkatan Kyai Modjo dan pengikutnya ke Batavia menyangkut jumlah orang ,
jumlah kapal dan pengawalan yang dibutuhkan. Kyai Modjo merupakan tawanan yang
harus mendapat pengawasan ketat karena ia mempunyai pengaruh besar. H.M van de
Poll selaku Kepala Komisaris Negara di Dewan Negara ditunjuk mengurus tawanan
perang Kyai Modjo dan pengikutnya.
De Poll diperintahkan
membawa semua tawanan negara tersebut dengan kapal Fregat De Belona dipindahkan
ke kapal tunggu. Pengurusan Kyai Modjo dan pengikutnya ditempatkan di kapal
Fregat De Belona dan satu kapal tunggu untuk kemudian siap dinaikan ke kapal
perang Mercury, semua itu dibawah pengawasan militer, memperlakukan tawanan
dengan baik sesuai perjanjian antara Kepala hakim dan Komandan Fregat De
Belona, melakukan serah terima tawanan dari pimpinan kapal perang sesuai
kesepakatan antara Komandan Angkatan Laut, Kepala hakim Batavia dan Komandan
Fregat De Belona.
Daftar
Pengikut Kyai Modjo yang diberangkatkan
Daftar nama tawanan
perang yang dibawa kapal Fregat De Belona dari Semarang ke Batavia
1) Kyai Modjo, 2)
Baderan (Kyai Baderan), 3) Urawang (Urawan – Ngurawan), 4) Paeyang (Tmg.Zess
Pajang), 5) Roso Negoro (Tmg.Reksonegoro), 6)Brojo Yudo, 7) Ishak, 8) Wonopati,
9) Ajali (Gazaly), 10) Tirto Drono, 11) Ngiso (Wiso), 12) Haji Ngali (Haji
Ali), 13) Meraji (?), 14) Elias (Elias Zess), 15) Wiro Negoro (?), 16) Merto
Mergolo (Tumenggolo, putra Kyai Baderan), 17) Abdul Wahab (?), 18) Kagiman (?),
19) Mansor (?), 20) Mesin (?), 21) Sapeni (Syafei, putra Kyai baderan) 22) Sasi
(Kosasih), 23)Abdul Rahman (?), 24)Kusini (Kusen), 25)Samangi (Semangi),
26)Sarijo (?), 27)Abrah (?), 28)Markoh (?), 29)Ngali Imran (Ali Imran), 30)Amat
saiman (?), 31)Kasidin (?), 32)Surodrono, 33)AmanWarsiman, 34)Setro Dilogo,
35)Mohamat Tup (Thayeb), 36)Mohamad Ibrahim, 37)Haji Hasan (Kyai Hasan
Mochammad ?), 38) So Dirjo, 39)Jogo Prawiro, 40)Budo , 41)Amat Suke, 42)Kasan
Niman, 43)Usin , 44)Wahodo.
Daftar tawanan perang
yang berada di kapal tunggu.
1)Sapawi, 2)Kalis,
3)Sonoro, 4)Trayem, 5)Tojoyo, 6)Pali, 7)Saiman, 8)Yunus, 9)Gremis, 10)Beno,
11)Wonorejo, 12)Mangin, 13)Bayer, 14)Bayi, 15)Kertojoyo, 16)Dumiri, 17)Mumin,
18)Adam, 19)Jupri, 20)Diman, 21)Sorogi, 22)Sareman, 23)Setrojoyo, 24)Matsari,
25)Kanafi (Hanafi), 26)Kampret, 27)Kemis, 28)Tolosono, 29)Busu, 30)Abdul Lagem,
31)Tenami, 32)Duko.
Kyai Modjo dan
pengikutnya dalam tahanan sementara di Batavia.
Kyai Modjo dan kerabat
beserta pengikutnya secara bertahap dibawa menuju Klaten, Solo, Salatiga,
Semarang, dan Batavia (Jakarta).
Rombongan Pertama :
Kyai Modjo & 76 orang pengikut.
Merujuk pada surat
Kepala penjara Batavia kepada Letnan Gubernur Jendral No.994/768 tertanggal 3
Desember 1828, kedatangan rombongan pertama Kyai Modjo dan pengikutnya tiba di
Batavia pada tanggal 2 Desember 1828 dengan pengawalan militer sangat kuat, menggunakan
tiga kapal perang militer yaitu Mercury, Fregat De Belona dan Fregat Anna
Paulona. Dalam rombongan pertama ini tidak termasuk istri Kyai Modjo dan 2
orang saudara Kyai Modjo yaitu adiknya (Kyai Khasan Besari/Imam Agung) dan
kakaknya (Kyai Imam Hazaly/Khasan Mochammad ?)
Sesuai dengan
kesepakatan semua pihak maka tawanan ini diperlakukan dengan baik serta
diperhatikan kebutuhan sehari-harinya. Hal ini perlu karena Kyai Modjo masih
mempunyai pengaruh yang kuat. Karena dianggap berbahaya oleh Belanda maka
sewaktu berada di Batavia and Manado. Dengan penempatan tahanan politik di
“kantor baru” ini memudahkan penjagaan maupun pemberian layanan, kebutuhan
sehari-hari. Tidak ditempatkan di gedung penjara menyatu dengan tahanan biasa
tapi ditempatkan di “kantor baru” sebagai tahanan rumah. Rumah ini dibangun
memang khusus untuk menempatkan tahanan politik yang sangat istimewa itu,
menunggu ke tempat pembuangan terakhir di Tondano.
Semua biaya yang
diajukan itu disetujui oleh Menteri Komisaris Jendral, untuk selanjutnya Kantor
Keuangan Negara yang akan melakukan pembayaran. Biaya ini belum termasuk sewa
kapal untuk mengangkut tahanan politik ke tempat pembuangan sementara di Maluku
(Ambon), biaya hidup yang ditanggung pemerintah untuk para tahanan politik di
Manado, pengiriman istri Kyai Modjo dimulai dari Semarang hingga Manado
menyusul suaminya. Pengiriman ini perlu karena pemerintah menganggap istrinya pun
cukup berbahaya.
Rombongan Kedua ; Empat
Orang Pengikut Kyai Modjo Tiba di Batavia.
Ketika Kyai Modjo dan
pengikutnya dibawa dari Semarang ke Batavia, masih ada beberapa orang lagi yang
masih tertinggal di Semarang. Empat orang diantaranya yang kemudian dibawa ke
Batavia menyusul Kyai Modjo dan tiba di Batavia pada akhir Desember 1828.
Keempat orang tersebut adalah Kajali, Imam Agung, Bawu dan Kawat Sari.
Kedatangan empat orang
pengikut Kyai Modjo ini telah menambah pengeluaran pemerintah kolonial untuk
keperluan sandang/pangan dan pengamanan seperti terekam dalam dokumen Surat
dari hakim Batavia No.15/10 tanggal 2 januari 1829. Surat ini ditujukan kepada
Menteri Negara Komisaris perihal permintaan uang kepada pemerintah untuk ;
Uang saku Kyai Modjo
dan pengikutnya sebesar 312,5 gulden.
Membayar 12,5 pon
daging untuk menu makan para penjaga. Perhitungan ini digunakan dengan jatah
yang diberikan kepada Kyai Modjo dan pengikutnya berjumlah 87 orang selama
tanggal 3 s/d 31 Desember 1828 sebesar 1914 gulden.
4 orang pengikut yang
baru datang dari Semarang selama tanggal 27 s/d 31 desember 1828 telah menelan
biaya 15 gulden.
Biaya perjalanan Kyai
Modjo dan pengikutnya selama berada di kapal Mercury, Belona dan Anna Paulona
sebesar 250 gulden.
Biaya pakaian Kyai
Modjo dan pengikutnya (termasuk 4 orang yang datang belakangan) yang dipasok
oleh kapten Cina Jap Soanko sebesar 40,5 gulden.
Keperluan tikar,
bantal, bale-bale dan lainnya sebesar 258,40 gulden.
Total biaya yang
diperlukan 3051,15 gulden.
Surat Keputusan Letnan
Gubernur Jendral tanggal 6 Januari 1829 No.38 berisi persetujuan atas biaya
untuk keperluan Kyai Modjo dan pengikutnya sebesar 3051,15 gulden dan
memerintahka Menteri Negara Komisaris Jendral untuk membayar sejumlah tersebut
dan memasukannya sebagai biaya perang.
Kyai Modjo dan
pengikutnya Menuju Ambon (bersama Adipati Anom - putra Diponegoro).
Semula Letnan Gubernur
Jendral Van den Bosh yang baru diangkat (menggantikan De Cock) menginginkan
agar Kyai Modjo dan 4 orang pengikutnya yaitu putra Kyai Modjo (Gazaly), Ajali
(Imam Hazaly) dan putranya (Wiso/Ngiso, tidak berdua Reksonegoro karena akan menjadi
5 orang - penulis) serta Tirto drono (Suro Drono) tidak dikirim ke maluku tapi
cukup di Batavia saja namun tidak disetujui oleh Komisaris Jendral.
Secara bertahap sejak
dikeluarkannya Keputusan Letnan Gubernur Jendral tanggal 19 Oktober 1829 No.24
dan 24 Oktober No.18 tahanan politik tersebut sementara dikirim ke Ambon,
menunggu kesiapan Manado menerima tahanan politik yang sangat istimewa tersebut
sebagai tempat pembuangan terakhir.
Setelah sekitar 10
bulan Kyai Modjo dan pengikutnya berada dan ditahan di Batavia, selanjutnya
mereka diberangkatkan menuju Ambon dalam dua rombongan. Rombongan pertama
menggunakan kapal Belanda ”Thalia”. Tidak ada informasi mengenai tanggal
keberangkatan pertama ke Ambon namun penulis memperkirakan pada akhir bulan
Oktober 1829.
Daftar nama 48 orang
tawanan sesuai Keputusan Letnan Gubernur Jendral Tanggal 19 Oktober 1829 No.8
dikirim ke Ambon menggunakan kapal Thalia :
1) Pangeran Sudiro
Kromo (putra P.Diponegoro ?), 2) Ketib Biman (Kyai baderan ?), 3) Wahodo, 4)
Ishak, 5) Urawang (Urawan/Ngurawan), 6) Brojo Yudo, 7) Sis (Tumenggung Zes
Pajang Mataram, putra Kyai Hasan Besari), 8) Reso Negoro (Tumenggung
Reksonegoro), 9) Wonopati, 10) So Dilogo, 11) Joyo Prawiro, 12) Seco Dirjo, 13)
Mohammad Ibrahim, 14) Adam Kasani, 15) Abdul rahman, 16) Mohamad Singep, 17)
Ngiso (putra Moch.Khasan), 18) Janu, 19) Semangi, 20) Elias (Elias Zes, putra
Kyai Hasan Besari), 21) Amat Senawi, 22) Sopani, 23) Maruf, 24) Kasimiman, 25)
Ali, 26) Tahip (Thayeb), 27) Hilman Meraji, 28) Trasim, 29) Ngaliniman, 30)
Ahmat Pekce (Maspekeh), 31) Kusasi (Kosasih), 32) Sopingi (putra Kyai baderan),
33) Kanafi (Hanafi), 34) Mesir, 35) Mangun, 36) Tamjid, 37) Mandurahman, 38)
Sopingi (=no.32), 39) Kerip, 40) Jemari, 41) Kanapi (=no.33), 42) Raniman, 43)
Kasriman, 44) Sarijo, 45) Amat Baino, 46) Sibawi, 47) Mohamad Kas(an)iman
(Mochammad Khasan?), 48) Wiro Negoro (kepala keamanan kraton ?). Dari dokumen
ini terdapat 2 orang yang yang ditulis dua kali (no.38 & no.41) sehingga
jumlah sebenarnya adalah 46 orang. (Note: huruf tebal dan garis bawah dari
penulis).
Di kapal Thalia tawanan
no.1 s/ 21 ditempatkan pada kamar kelas.1, tawanan no.22 s/d 48 ditempatkan di
kamar kelas-2.
Bila perjalanan Batavia
– Ambon membutuhkan waktu 2 bulan maka rombongan pertama ini diperkirakan tiba
di Ambon pada bulan Desember 1829.
Sementara ke 48
pengikut Kyai Modjo dikirim ke Ambon pada tahap I, Kyai Modjo dan beberapa
pengikut masih berada di penjara polisi Batavia, ditempatkan pada :
Kamar kelas 1 : Kyai
Modjo, Ajali (Gazaly), Rojali, Hazaly.
Kamar kelas 2 : Tirto
Drono.
Kamar kelas 3 : 37
pengikut.
Pengiriman Kyai Modjo
dan sisa pengikutnya ke Ambon dilakukan pada tahap II, nampaknya dilakukan pada
awal bulan Pebruari 1830 (sebulan sebelum Belanda mengadakan perundingan dengan
Pangeran Diponegoro dan kemudian menangkapnya), setelah kapal Thalia kembali ke
Batavia dari mengangkut rombongan tawanan tahap I ke Ambon, seperti tersirat
dalam dokumen berikut.
Surat Direktur Lands
Producten en Civile Magazijn tanggal 19 Pebruari 1830, ditujukan kepada Letnan
Gubernur Jendral memberitahukan bahwa ref. Resolusi bersama antara Letnan
Gubernur Jendral dan Hooge Regeering tanggal 29 Januari 1830 No.1, Direktur
Lands Producten en Civile Magazijn mengajukan kuasa mengirim para tawanan menuju
Ambon dari Batavia dengan kapal sewaan Mostora dengan juru mudi L.I.Psluger dan
dikawal dengan kapal Thalia.
Kyai Modjo dan
pengikutnya Tiba di Ambon
Rombongan kedua
(termasuk Kyai Modjo di dalamnya) diperkirakan tiba di Ambon pada awal bulan April
1830, seperti tersirat pada Surat Gubernur Maluku Tanggal 20 April 1830 No.32
yang ditujukan kepada Letnan Gubernur Jendral tentang :
a. kedatangan Kyai
Modjo, Ajali (Gazaly), Rosali alias Hajali (Hazaly) dan 22 orang pengikut,
semuanya berjumlah 25 orang. Dari 22 orang pengikut 10 orang diantaranya
meninggal di perjalanan dan 1 orang meninggal setelah 2 hari tiba di Ambon.
Pengikut yang meninggal tersebut adalah : 1) Mansur, 2) Saman, 3) Saeru Drono,
4) Adam, 5) Termis, 6) Hunus, 7) Citro Joyo, 8) Kuncung, 9) Setro Wijoyo, 10)
Proyo Truno alias Sanogo, 11) Kasidin (meninggal di Ambon).
Bila nama Rosal
(Rojali) sama orangnya dengan Hajali (Hazaly), maka jumlah tawanan yang masih
tertinggal di batavia - ketika rombongan pertam diberangkatkan ke Ambon adalah
41 orang (Lihat 5.4 surat no.8) sehingga ada 16 orang yang tidak turut ke
Ambon, kemungkinan mereka tetap atau meninggal di Batavia atau dikirim pada
tahap ke 3 (wallahu alam).
Permintaan bantuan
makanan dan pakaian dengan biaya setiap hari sebagai berikut;
1 gulden :Kyai Modjo
1 gulden :Ajali
(Gazaly), Rosali (Hazaly) & Tirto Drono.
1 gulden : 11 orang
pengikut.
Selain itu masih
ditambah masing-masing 3 gulden per hari.
(Note: sebagai
perbandingan gaji seorang patih di Surakarta 1000 gulden/bunan, Sartono
Kartodirdjo ,1973).
Sesuai resolusi tanggal
29 januari 1830 No.2, tahap selanjutnya para tawanan akan dikirim ke Manado.
Kyai Modjo dan
pengikutnya diberangkatkan dari Ambon ke Manado.
Kyai Modjo dan
pengikutnya berada di Ambon hanya sekitar 1 bulan, selanjutnya mereka
diberangkatkan ke tempat pengasingan terakhir Manado.
Mengenai putra Diponegoro,
dia tidak ikut serta ke Menado tetapi tetap tinggal di Ambon hingga wafat di
sana.
Kyai Modjo dan
Pengikutnya Tiba di Manado.
Tidak ada dokumen di
Arsip Nasional Indonesia (ARNI) yang menginformasikan tanggal kedatangan Kyai
Modjo dan pengikutnya di Manado. Namun menurut suatu study (Babcock,1989)
mereka tiba di Manado (Pelabuhan Amurang ?) pada bulan Mei 1830.
Letnan Belanda yang
mengawal selama perjalanan dari Surakarta sampai di Manado melaporkan bahwa
Kiay Modjo dan pengikutnya sering menyanyikan lagu-lagu (Zikir Qolibah ?) yang
diambil dari Alquran.
Tentang Istri Kyai
Modjo : Diasingkan Menyusul Kyai Modjo ke Tondano.
Setelah penangkapan
Kyai Modjo pada Nopember 1828, istri Kyai Modjo tinggal di Bojonegoro,
Keresidenan Rembang. Beliau mencoba datang ke kraton namun ditolak oleh
petinggi kraton.
Keberadaannya di tanah
Jawa masih dianggap berbahaya oleh Belanda dan diasingkan ke Tondano menyusul
suaminya – Kyai Modjo ke Tondano pada tahun 1831. Nama sebenarnya tidak
diketahui, namun di Tondano beliau dikenal dengan sebutan ”mbah wedok” (mbah
perempuan) saja.
Keadaan ”mbah wedok”
setelah penangkapan Kyai Modjo terekam dalam dokumen berikut :
Surat Residen Kedu
(Lawick van Pabst) tanggal 12 Pebruari 1831 No.6.
Surat ditujukan kepada
Komisaris Raja-Raja Jawa di Yogyakarta, isi surat melaporkan :
Istri Kyai Modjo telah
datang ke Yogya tapi dilarang masuk oleh para penguasa kraton karena dianggap
berbahaya.
Residen Kedu telah
mengadakan pertemuan dengan para penguasa kraton dan mendapat keterangan bahwa
penguasa kraton tidak bertanggung jawab terhadap wanita itu.
Penguasa kraton tidak
yakin dapat menjaga wanita itu di kraton karena telah terbukti wanita itu telah
pergi ke Distrik Padangan untuk bertemu dengan Raden Ronggo – tokoh ini pada
pemerintahan Daendels pernah memberontak di sebuah gunung.
Di tempat Raden Ronggo,
wanita ini memanfaatkan waktunya memuja Raden Ronggo sebagai Nabi sambil
menghasut kemarahan penduduk, dan wanita ini berhasil mendapat pengikut dan
dicintai pengikutnya.
Residen Kedu
mengusulkan agar istri Kyai Modjo ini segera dikirim ke Manado berkumpul dengan
suaminya di sana.
Surat Komisaris
Raja-Raja Jawa tanggal 16 Pebruari 1831 No.8.
Surat ditujukan kepada
kedua penguasa kerajaan di Jawa, isi surat :
Istri Kyai Modjo
sesudah akhir Perang Jawa, tinggal di Bojonegoro, Keresidenan Rembang. Kemudian
berita terakhir ia berada di Keresidenan Madiun, lalu mendapat ijin selama
beberapa bulan di Yogya. Ternyata selama 2 bulan ia beserta pengikutnya sulit
ditemukan.
Residen Kedu melalui
suratnya tanggal 12 Pebruari 1831 No.6 telah mengusulkan agar istri Kyai Modjo
ini segera dikirim ke Manado berkumpul dengan suaminya di Manado.
Sehubungan dengan hal
itu, mohon Lawick van Pabst diberi ijin mengurus (mengirim) wanita itu (ke
Manado).
Surat Komisaris
Raja-Raja Jawa tanggal 16 Pebruari 1831 No.46.
(Surat ditujukan kepada
Residen Kedu) menugaskan Residen Kedu mengirim istri Kyai Modjo besok hari,
dari Magelang ke Semarang dengan pengawalan prajurit bersenjata lengkap selama
dalam perjalanan, walaupun ini merupakan penghinaan karena dikirim dari
Magelang bukan Yogyakarta (maksudnya krabat kraton sudah tidak mempedulikan
istri Kyai Modjo, padahal ia adalah mantan istri (janda cerai) Pangeran
Mangkubumi – adik seorang Raja Jawa; HB III – penulis).
Nasib
Sentot, Mangkubumi dan Diponegoro paskah penangkapan Kyai Modjo.
Sejak Kyai Modjo
ditangkap dan pada Nopember 2008, pada awal tahun 1829 Diponegoro menyatakan
kesediaannya berunding tanpa melepas tuntutannya untuk tetap diakui sebagai
panatagama. Berturut-turut, sesudah itu menyerahlah Pangeran Mangkubumi
(September 1829), dan Sentot (Oktober 1829), yang menyatakan siap sedia
mencurahkan tenaga bagi bala tentara Belanda.
Tertangkapnya Kyai
Modjo pada tanggal 12 Nopember 1828 memberikan pukulan yang berat pada Diponegoro.
Sebaliknya Belanda sangat bersuka cita karena dengan demikian pilar utama Diponegoro
sudah runtuh. Tinggal dua pilar Diponegoro
yang harus dilumpuhkan yaitu panglima pemberani; Sentot Alibasyah Prawirodirdjo
(saat itu berumur sekitar 20 tahun) dan Pangeran Mangkubumi.
Belanda berusaha
mengontak Sentot dan memberikan janji yang muluk-muluk agar mau menghentikan
perlawanan. Sentot terpengaruh dan pada tanggal 17 Oktober 1829 Sentot
menghentikan perlawanan. Barangkali karena umurnya yang masih belia dan
dendamnya sudah tersalurkan, ia akhirnya dengan imbalan materi dari Belanda,
bersedia meletakan sejata pada tanggal 17 Oktober 1829. Bahkan selanjutnya
sebagai tentara bayaran Belanda, Sentot dikirim ke Sumatra Barat memerangi
saudara muslimnya sendiri dalam perang Padri. Usaha Sentot untuk kembali ke
Jawa setelah usai perang padri tidak dikabulkan oleh Belanda. Dan di Bengkulu
Sentot menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tanggal 17 April 1855 dalam
usia 48 tahun.
Pangeran Mangkubumi
yang saat itu sudah berusia sepuh (70 tahun) dan anak istrinya disandera oleh
Belanda akhirnya menyerah pada tanggal 28 September 1829.
Dengan tertangkap dan
menyerahnya tokoh-tokoh pendukung utamanya maka posisi Diponegoro menjadi sangat sulit sehingga mudah
bagi Belanda memperdayainya. Dengan menggunakan cara yang sama ketika
memperdayai Kyai Modjo dan Sentot, Belanda kembali menyusun siasat untuk
menangkap Diponegoro.
Diponegoro yang paham
bahwa posisinya sudah lemah akhirnya bersedia berunding dengan Belanda. Dengan
menggunakan pengaruh kebangsawanannya dan pimpinan perang tertinggi beliau
berusaha mempengaruhi Belanda untuk tunduk pada keinginannya sebagai kompensasi
perdamaian, atau akan terus berperang. Namun Belanda menganggap ancaman
Diponegoro tersebut sebagai gertakan saja. Belanda tidak akan membiarkan
kesempatan ini berlalu; Diponegoro harus ditangkap tanpa syarat.
Pada Februari 1830
terjadi perundingan antara Diponegoro dengan Van de Kock. Perundingan itu
sempat ditunda karena Diponegoro tak bersedia berunding selama bulan puasa.
Diponegoro diundang ke Magelang untuk berunding dengan jaminan, jika
perundingan gagal, maka Diponegoro dibolehkan kembali ke tempatnya dengan aman.
Perundingan diadakan pada saat perayaan Idul Fitri tanggal 28 Maret 1830. Namun
sebenarnya perundingan itu adalah jebakan belaka karena de Kock sudah mengatur
siasat liciknya yaitu sebelum memasuki wilayah perundingan pasukan Diponegoro
dilucuti senjatanya.
Diponegoro diundang ke
rumah Residen Kedu di Magelang guna meneruskan perundingan antara pihak Diponegoro
dan pihak Belanda, namun tidak tercapai kesepakatan. Ketika pihak Diponegoro
akan meninggalkan tempat perundingan untuk meneruskan peperangan, Belanda
menggunakan kekuatan militernya dan memaksa Diponegoro untuk menyerah atau
dibunuh. Siasat licik Belanda untuk kesekian kali telah memperdaya Kyai Modjo
dan Pangeran Diponegoro.
Dalam perundingan,
Diponegoro ternyata masih berkeras dengan tuntutannya sehingga ia ditawan dan
dibawa ke Ungaran, kemudian ke Semarang untuk selanjutnya 8 April 1830 sampai
di Jakarta dan ditawan di Stadhuis, pada 3 Mei 1830 melalui pelabuahan Batavia
diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado. Di Manado ditawan di benteng
Amsterdam, Diponegoro hanya empat tahun karena Belanda menganggap penjagaan di
Manado kurang kuat.
Diponegoro dipindah ke
benteng Rotterdam di Makasar (kini Ujungpandang) tahun 1834, sampai wafatnya, 8
Januari 1855, dalam usia 70 tahun, dan dimakamkan di kampung Melayu Makassar.
Demikianlah peristiwa
penangkapan Diponegoro. Selanjutnya Diponegoro dan pengikutnya dibawa menuju
Semarang kemudian Batavia dan tiba di Batavia (Jakarta) pada tanggal 8 April
1830. Selanjutnya pada tanggal 3 Mei 1830 mereka diberangkatkan dari Batavia
menuju Manado dengan menggunakan kapal Belanda “Polux”.
Selain Diponegoro dalam
kapal tersebut juga ikut istrinya (RA Ratnaningsih), saudara wanita dan
suaminya (RA Dipasana, Tmg.Dipasana), pengawal dan pelayan laki-laki (Wangso
Taruno alias Sataruno, Anggamerta, Rajamenggala, Rata Djoyosuroto, Bambang
Mertosono alias Merta Leksono, Achmad Banteng Wareng, Saiman, Kasiman, Tiplak,
Nurhamidin), pengikut perempuan ; Nyai Dula (ibu dari Rata Djoyosuroto), Nyai
Anggamerta, Nyai Sataruna, Sarinten, Truna Danti, Nyami).
Sedangkan anak-anak
Pangeran Diponegoro tertinggal di Jawa. Rombongan Diponegoro tiba di Manado
pada tanggal 12 Juni 1830 dan di tahan di Benteng Belanda “Amsterdam” selama 4
tahun. Selama di Manado Diponegoro tidak
pernah bertemu dengan Kyai Modjo yang berada di Tondano. Dilaporkan waktu di
Manado Diponegoro mengirimkan bantuan uang kepada Kyai Modjo, tetapi
dikembalikan lagi oleh Kyai Modjo. Pada tahun 1834 Diponegoro berikut pengawal
dan pelayannya dipindahkan ke Makasar (Ujungpandang) dan ditahan di Benteng
“Roterdam” hingga wafat di sana pada tanggal 8 Januari 1855 dalam usia 70 tahun.
Pada selang tahun 1835
– 1840 sebagian pengikut Diponegoro yang laki-laki (Sataruno, Djoyosuroto,
Mertosono, Nurhamidin, Banteng Wareng) kembali ke Manado (Kampung Jawa Tondano)
kemudian menikah dan memiliki keturunan di sana. Sekian…
Referensi :
Arsip Nasional
Republik Indonesia, Penerbitan Sumber-Sumber Sejarah No.5, Ihtisar Keadaan
Politik Hindia Belanda Tahun 1839 – 1948, Jakarta, 1973
Babcock Tim G;
Kampung Jawa Tondano: Religion and Cultural Identity, Gajah Mada University,
1989.
Carey Peter,
Asal Usul Perang Jawa, Pengantar Ong Hok Ham, LKIS, 2004
De Graaf H J DR,
Awal Kebangkitan Mataram, Masa Pemerintahan Senopati, Grafiti, Cetakan ke-3,
2001
Djamhuri Saleh
A, Strategi Menjinakkan Diponegoro, Pengantar Lapian A B, Komunitas Bambu, Jakarta,
2003
Hardjonagoro KRT
dkk; Sultan Abdulkamit Herucakra Kalifah Rasulullah di Jawa 1787 – 1855, edisi
pertama, Museum Radya Pustaka, Surakarta, 1990
Heru Basuki,
Dakwah Dinasti Mataram, Samodra Ilmu, Cetakan I,Yogyakarta,2007,
Jayadiningrat
Pangeran; Orlog van Java (Perang Diponegoro), Naskah melayu kuno, 1825,
Perpuskakaan Nasional Jakarta
Mirawati Ina,
Akhir Perarng Jawa, KasusPembuanagn kyai Modjo, Arsip Nasional Republik
Indonesia, Penerbitan Naskah Sumber, 2000
Munhanif
Ali,Drs, MA; Ensiklopedi Tematis Jilid 5; Dunia Islam Asia Tenggara; Gerakan
Keislaman Diponegoro, Ichtiar Baru van Houwe, 2002
Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia, Katalog Naskah-naskah Nusantara jilid 4, Disunting
oleh Behren T.E, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1998.
Pulukadang Umar;
Kiay Modjo dan Islam di Minahasa, Naskah, 1975
Sagimun MD;
Pangeran Diponegoro Berjuang, Gunung Agung, Cetakan ke-2, Jakarta, 1986.
Stephen
C.Headly, Durga Mosque, Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS),
Singapore, Cetakan I,2004
permisi, ingin berbagi artikel tentang hubungan Kyai Modjo (Jumal Korib) dari baderan, klaten dan Kaliyoso, Sragen berikut https://datacomlink-blogspot-com.cdn.ampproject.org/c/s/datacomlink.blogspot.com/2017/06/Penelusuran-Sejarah-Kelurahan-Kaliyoso-di-Dungaliyo-Gorontalo.html?m=1
BalasHapusterima kasih..
Monggo kang, langsung ke tekapeh
BalasHapus