Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Pada tulisan pertama dalam seri Perang Jawa sedikit banyak
telah saya singgung tokoh – tokoh penting selain Diponegoro sendiri, salah satu
diantaranya adalah Kyai Modjo.
Adapun latar belakang
pemicu Perang Diponegoro atau oleh Belanda disebut sebagai Perang Jawa (1825 –
1830) selengkapnya bisa kerabat akarasa baca di Perang
Jawa : Menempuh Jalan Takdir.
Sepertinya kurang afdol
rasanya jika sejarah tidak diwarnai perbedaan, sama halnya sejarah tentang Kyai
Modjo yang secara khusus akan kita bahas kali ini. Perbedaan yang saya temukan
salah satu diantaranya adalah tentang tahun lahirnya. Jika merujuk pada Babcock
dalam bukunya Kampung Jawa Tondano:
Religion and Cultural Identity Kyai Modjo lahir pada tahun 1792 sedangkan
dari catatan sejarah Kampung Jawa Tondano disebutkan lahir pada tahun 1764, sebagaimana
yang tertulis pada papan makamnya.
Nama kecil Kyai Modjo
adalah Muslim Muhammad Khalifah. Ayah Kyai Modjo bernama Iman Abdul Arif (Ngabdul
Ngarip) atau lebih dikenal dengan Kyai Baderan (Kyai Baderan I), juga seorang
ulama terkenal pada masa itu di dusun Baderan dan Modjo, kedua dusun tersebut
berada dekat Pajang dan merupakan tanah pemberian (pradikan) Raja Surakarta
Pakubuwono IV (1788 -1820) kepada beliau.
Belum diketahui latar
belakang keluarga beliau, kecuali menurut suatu sumber (Babcock, 1989) Iman
Abdul Ngarip memiliki alur keturunan dari kerajaan Pajang. Kyai Baderan
meninggal sekitar tahun 1820, kuburannya berada di Desa Modjo Tegalrejo
Boyolali, Jawa Tengah. Di areal pemakaman tersebut dikebumikan juga jasad Raden
Ayu Mursilah dan putranya bernama Bagus Khalifah.
Adapun Raden Ayu Mursilah adalah putri dari Raden Ayu
Mursiyah saudara seayah dengan HB III. Dengan demikian ditilik dari hubungan
kekerabatan Kyai Modjo adalah kemenakan Pangeran Diponegoro karena ibu Kyai
Modjo RA Mursilah bersepupuan dengan Pangeran Diponegoro.
Meskipun ibunya seorang
ningrat kraton, Kyai Modjo dibesarkan diluar kraton. Setelah menunaikan ibadah
haji ke Mekah dan menetap disana selama beberapa waktu Kyai Modjo kemudian memimpin satu pesantren di
negri Modjo .Selain Kyai Modjo, Iman Abdul Arif memiliki beberapa anak laki-laki
diantaranya Wirapatih (Kyai Sepoh alias Kyai Baderan II), Kyai Hasan Muhammad
dan Kyai Hasan Besari. Selain itu ada lagi saudara Kyai Modjo lainnya bernama
RA Marwiyah, Nungali dan Murdoko.
Keluarga Kyai Baderan
memiliki hubungan kekerabatan dengan Kyai Muhammad Qorib (Kyai Bagus Murtoyo /
Murtadho) pendiri daerah Kalioso (Kaliyoso), terletak 15 km sebelah utara Solo.
Kyai Muhammad Qorip memiliki alur keturunan dari Djoko Tingkir (raja kerajaan
Pajang) dan Kyai Ageng Pangeran
Manduroredjo - Patih Sultan Agung Mataram. Beberapa anak Kyai Muhammad Qorib
menikah Kyai Hasan Muhammad - putra Kyai Baderan I, dan juga dengan 2 anak Kyai
Modjo. Wirapatih (Kyai Baderan II) menikah dengan putri dari Kyai Abdul Djalal
II - sepupu Kyai Muhammad Qorib (Durga Mosque, Stephen C. Headly,2004).
Sepeninggal ayahnya,
Kyai Modjo melanjutkan tugas ayahnya sebagai guru agama di pesantren Modjo
dimana banyak putra dan putri dari Kraton Solo belajar di pesantrennya di
Modjo. Kelak nama Muslim Muhammad Khalifah menjadi terkenal sebagai Kyai Modjo.
Keulamaannya dan ada pertalian darah dengan kraton Jogyakarta (baca Pangeran
Diponegoro) kemungkinan membuat Pangeran Diponegoro memilih kyai Modjo sebagai
penasehat agamanya sekaligus panglima perangnya.
Kyai Modjo menikah
dengan RA Mangubumi (Babcock, 1989), janda cerai dari pangeran Mangkubumi -
paman Pangeran Diponegoro dan karena perkawinan ini Pangeran Diponegoro
memanggil Kyai Modjo dengan sebutan “paman” meskipun dari garis ayah Kyai modjo
adalah “kemenakan” Pangeran Diponegoro karena ibu Kyai modjo (R.A Mursilah) adalah
sepupu Pangeran Diponegoro. Pangeran Mangkubumi adalah salah satu pangeran yang
ikut memberontak bersama-sama pangeran Diponegoro dan Kyai modjo. Konon Kyai
Modjo memiliki beberapa orang anak, dua diantaranya meninggal di Mekah,
sedangkan satu anak yang ikut bersamanya ke Tondano bernama Gazaly.
Landasan Kyai Modjo
adalah menegakan sariat islam di tanah Jawa, artinya meluruskan ajaran Islam
dari pengaruh kebudayaan Hindu seperti tahayul, mistik, kurafat, bid’ah, dan
sinkretisme lainnya. Ketika perang Jawa meletus pada tahun 1825 Kyai Modjo
sudah berusia 33 tahun atau 7 tahun lebih muda dari Pangeran Diponegoro.
Dalam pandangan Kyai
Modjo, ideologi untuk mendirikan suatu pemerintahan Islam ini disebutkan secara
tegas ketika ia menyerah kepada Belanda pada akhir tahun 1829. Kyai Modjo
mengatakan bahwa tujuan utama dirinya dan para tokoh Muslim mendukung
Diponegoro adalah karena janji pangeran itu untuk merestorasi agama Islam di
Jawa. Peter Carrey mendokumentasikan pernyataan Kyai Modjo sebagai berikut:
“ Alasan utama mengapa
saya angkat senjata (melawan Belanda) adalah karena Pangeran berjanji akan
membangun suatu pemerintahan Islam. Percaya janji itu, saya langsung bergabung
kepadanya. Namun belakangan, saya mendapati bahwa itu bukanlah tujuan yang
sebenarnya, dan ia sebenarnya hanya ingin mendirikan suatu kerajaan baru di
Jawa. Saya sendiri mengajukan keberatan atas hal itu, dan kami berdebat dengan
sengit akan tujuan pemberontakan ini…… hingga akhirnya ia menyarankan agar saya
berhenti berperang.”
Kyai Modjo sebagai
panglima dan penasihat utama Diponegoro berhasil mengubah modus perlawanan
terhadap penjajah dari “pemberontakan” menjadi “perang sabil”. Di bawah
pengaruh Kyai Modjo, ikut sejumlah tokoh lokal; 88 kyai desa, 36 haji, 11
syech, 18 pengatur agama (penghulu, modin, khatib, juru kunci), 15 guru
mengaji, dan beberapa ulama dari Bagelen, Kedu, Mataram, Pajang, Madiun dan
Ponorogo, serta 3 orang santri wanita.
Bersambung......
Referensi bacaan :
Arsip Nasional
Republik Indonesia, Penerbitan Sumber-Sumber Sejarah No.5, Ihtisar Keadaan
Politik Hindia Belanda Tahun 1839 – 1948, Jakarta, 1973
Babcock Tim G;
Kampung Jawa Tondano: Religion and Cultural Identity, Gajah Mada University,
1989.
Carey Peter, Asal
Usul Perang Jawa, Pengantar Ong Hok Ham, LKIS, 2004
De Graaf H J DR,
Awal Kebangkitan Mataram, Masa Pemerintahan Senopati, Grafiti, Cetakan ke-3,
2001
Djamhuri Saleh A,
Strategi Menjinakkan Diponegoro, Pengantar Lapian A B, Komunitas Bambu,
Jakarta, 2003
Hardjonagoro KRT
dkk; Sultan Abdulkamit Herucakra Kalifah Rasulullah di Jawa 1787 – 1855, edisi
pertama, Museum Radya Pustaka, Surakarta, 1990
Heru Basuki,
Dakwah Dinasti Mataram, Samodra Ilmu, Cetakan I,Yogyakarta,2007,
Jayadiningrat
Pangeran; Orlog van Java (Perang Diponegoro), Naskah melayu kuno, 1825,
Perpuskakaan Nasional Jakarta
Mirawati Ina,
Akhir Perarng Jawa, KasusPembuanagn kyai Modjo, Arsip Nasional Republik
Indonesia, Penerbitan Naskah Sumber, 2000
Munhanif Ali,Drs,
MA; Ensiklopedi Tematis Jilid 5; Dunia Islam Asia Tenggara; Gerakan Keislaman
Diponegoro, Ichtiar Baru van Houwe, 2002
Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia, Katalog Naskah-naskah Nusantara jilid 4, Disunting
oleh Behren T.E, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1998.
Pulukadang Umar;
Kiay Modjo dan Islam di Minahasa, Naskah, 1975
Sagimun MD;
Pangeran Diponegoro Berjuang, Gunung Agung, Cetakan ke-2, Jakarta, 1986.
Stephen C.Headly,
Durga Mosque, Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), Singapore, Cetakan
I,2004
0 on: "Perang Jawa : Sejarah Singkat Kyai Modjo [5]"