Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Jika diibaratkan, kekuasaan dan pangan adalah teman sebangku. Teman
akrab dan bahkan tidak terpisahkan. Pemikiran paling sederhana adalah pasokan
pangan yang melimpah akan menopang kekuasaan.
Kebutuhan dasar dari
setiap orang adalah makan dan minum. Selama kebutuhan dasar tersebut tercukupi,
maka semua kebutuhan sekunder ataupun tersier bisa dicapai dengan pikiran dan
akal sehat, dengan mengikuti aturan-aturan yang berlaku, baik aturan moral,
agama, hukum tertulis ataupun hukum tidak tertulis.
Banyak negara-negara di
belahan dunia lain, sebut saja contohnya di benua Afrika, kekerasan,
peperangan, kerusuhan menjadi agenda sehari-hari, karena akar masalahnya adalah
perebutan kekuasaan untuk mempertahankan kehidupannya. Bahkan sampai hari
inipun perdagangan manusia dilakukan untuk kelangsungan hidup, mirisnya lagi
anak-anak dibawah umur pun dipaksa dan direkayasa sedemikian rupa untuk diexploitasi
demi bertahan hidup.
Dengan jumlah penduduk
sekitar 7 milyar, maka bumi ini menjadi makin sesak dihuni, dan kelaparan akan
merebak ataupun menimpa negara-negara yang abai terhadap pangan. Dan kita tahu
beberapa waktu yang lalu ada berita yang menyatakan 1 dari 10 orang di dunia
mengalami kelaparan, suatu jumlah yang besar bukan?
Tentu sampeyan masih
ingat semasa kecil dahulu, bagaimana mbah – mbah kita sering menasehati agar
kita tidak membuang nasi supaya ayam di kadang tidak mati. Entah apa hubungan
antara membuang makanan dengan ayam bisa mati. Namun, anak-anak kecil jaman
dahulu mematuhinya. Bisa jadi karena ayam sebagai binatang ternak, seperti
kerbau, dan sapi yang merupakan harta
berharga. Kematian ayam akibat membuang makanan tak ubahnya membuang harta
secara percuma.
Agama menyebut
mubadzir. Manusia yang gemar membuang makanan menjadi saudara setan, demikian
nasehat dari guru ngaji di mushola. Tanpa harus mengetahui kaitan rasionalitas
dari nasehat itu anak-anak jaman dahulu khusyuk menyimak dan mematuhi wejangan
itu. Mereka lebih berhati-hati dalam mengukur takaran saat mengambil nasi.
Apalagi ketika di mushola ada kenduri. Didorong oleh keinginan mengambil nasi
atau lauk sebanyak-banyaknya, baru setengah jalan menikmati makanan perut sudah
kenyang.
Menyangkut pangan ini
ada sejarah yang cukup menarik dari kisah kepemimpinan di Jawa ratusan tahun
lalu. Ciri kepemimpinan di Jawa yang selalu menyebut kebahagiaan raja apabila
rakyatnya cukup mendapat beras. Sebaliknya raja akan cemas apabila rakyat tak
tercukupi pangannya.
Sudah sejak lama beras
digunakan sebagai komoditas politik. Catatan yang lengkap soal ini setidaknya
dapat kita temukan semasa Kerajaan Mataram, abad ke-16 - 18 Masehi. Para raja
yang berkuasa menyadari beras merupakan simbol stabilitas ekonomi dan politik.
Jika terjadi masalah dengan produksi beras, pasti ada pula masalah dengan
kekuasaan. Sebaliknya, kerajaan dan raja akan diagung-agungkan bila masalah
beras bisa dikendalikan.
Harta, wanita, dan takta.
Tiga hal itulah yang sangat menonjol bila kita membaca dan mendalami Babad
Tanah Jawi. Dari awal hingga akhir teks babad, ketiga hal itu selalu ada. Meski
demikian, secara parsial dan terpisah-pisah, kita bisa meneliti berbagai aspek
yang ada di Kerajaan Mataram, di luar ketiga masalah itu, seperti politik beras
dan politik pangan.
Buku Babad Tanah Jawi
yang digunakan untuk membahas politik beras Kerajaan Mataram adalah babad berbahasa
Indonesia yang diterbitkan oleh yayasan Lontar. Buku itu hasil penerjemahan
Babad tanah Jawi yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1939. Babad ini
disusun oleh Raden Ngabehi Yasadipura. Teks ini bertembang macapat dan
beraksara Jawa. Penggunaan teks berbahasa Indonesia bisa memunculkan perdebatan
karena transliterasi akan memunculkan "jarak" dengan naskah asli.
Pemilihan babad sebagai
sumber kajian juga memunculkan perdebatan karena tidak sedikit mengandung mitos
dan dongeng. Meski demikian, sejarawan H.J. De Graf berpendapat yang tertulis
di Babad Tanah Jawi dapat dipercaya, khususnya cerita tentang peristiwa tahun
1600 sampai 1800-an.
Sejak awal berdirinya
Kerajaan Mataram, beras telah menjadi komoditas politik. Keamanan pasokan beras
merupakan salah sendi penyokong kekuasaan Ki Ageng Pemanahan, pendiri Kerajaan
Mataram Islam. Pada mulanya, Ki Ageng Pemanahan mengalah mendapat tanah Mataram
yang disebutkan masih berwujud hutan ketika mendirikan Mataram dibandingkan
dengan daerah lain yang subur. Berkat kepemimpinannya Mataram bisa diubah
menjadi kawasan pertanian. Mataram menjadi negeri yang makmur, banyak orang
yang datang, sandang pangan murah dan sawah berlimpah.
Apabila penguasa jaman
sekarang menggunakan indikator ekonomi, penguasa jaman dulu menggunakan beras
sebagai indikator stabilitas ekonomi dan politik serta pencapaian kemakmuran.
Sebaliknya, tanda-tanda keruntuhan sebuah rezim juga selalu terkait dengan
morat-maritnya pasokan pangan.
Serbuan pasukan Trunojoyo
dari Madura mengakibatkan Mataram porak poranda. Raja Amangkurat I terpaksa
mengungsi hingga wafat. Situasi ini ditandai dengan banyak punggawa kekurangan
pangan. Ketika itu hujan belum turun sehingga pangan sangat kurang. Negeri
Mataram menjadi negeri yang amat menyedihkan.
Persoalan beras juga
menjadi persoalan kewibawaan rezim berikutnya. Masa awal Raja Amangkurat II
ketika kerajaan berpindah ibu kota ke Kartasura dirundung oleh masalah
kewibawaan karena tak mampu menyediakan beras murah.
Dalam Babad Tanah Jawi
tersebut disebutkan sang raja dirundung kesusahan karena banyak prajurit kecil
yang sakit demam. Masalah bertambah lagi, harga pangan sangat mahal. Raja
memandang harga pangan yang mahal akan mengakibatkan ia dipandang hina oleh
rakyatnya. Kalau situasi tidak pulih, kerajaan akan dipandang rendah.
Adik Amangkurat II,
yaitu Pangeran Puger, kemudian melakukan langkah yang kurang lebih kalau sekarang
seperti memantau pasar dan kondisi masyarakat. Ia kemudian berganti busana,
dari busana kraton ke busana rakyat jelata. Ia menyamar sebagai santri. Puger
masuk keluar pasar dan mengemis beras di pasar. Ia juga mendekati pasukan yang
diketahui hanya makan gadung dan ubi sebagai pengganti nasi. Puger juga melihat
petani yang bersusah payah, tetapi tidak dapat menikmati hasilnya.
Setelah memantau pasar,
kemudian ia berdoa. Puger mendapat jalan untuk membuat harga pangan di
negerinya kembali murah. Ia berkeliling ke semua pasar untuk menetapkan harga
beras yang terbeli oleh masyarakt. Empat puluh hari setelah upaya itu, harga
beras kembali murah.
Petani tenang hatinya.
Negeri Kartasura telah pulih. Sandang pangan kembali murah. Di samping fungsi
beras dalam konteks stabilitas politik, ramalan-ramalan munculnya kekuasaan
juga selalu terkait dengan beras. Kemunculan Raden Mas Said, yang lalu menjadi
Mangkunegoro I, disebutkan, bila ia tidak berkuasa, rezeki tanah Jawa akan
berkurang. Akibatnya, orang Jawa tidak bisa makan karena tidak ada beras.
Penentuan letak pusat
kerajaan juga mempertimbangkan pasokan beras. Saat VOC melalui Mayor JAB Van
Hohendorff menyarankan kraton dipindah dari Kartasura ke desa Sala yang
kemudian bernama Surakarta Hadiningrat, salah satu perhitungan pemilihan lokasi
itu adalah kemudahan pasokan beras. Hohendorff mengatakan, ia memperkirakan,
kalau di tempat itu berhasil dibangun negeri, padi dan beras tidak akan mahal
lagi. Meskipun sawah di tempat itu tidak lagi menghasilkan, tetapi hasil dari
Ponorogo pasti akan mengalir ke tempat itu.
Beras juga digunakan
sebagai bagian dari strategi perang. Jauh sebelum Sultan Agung menyerbu
Batavia, penaklukan sejumlah daerah oleh Mataram, seperti sejumlah kadipaten di
wilayah timur, selalu memperhitungkan pasokan pangan bagi pasukan yang hendak
menyerbu ; di samping pengetahuan tentang jalan yang memadai. Pasukan rahasia
selalu diminta mencari daerah yang rata, aman, dan beras murah sebelum mereka
melakukan penyerbuan. Perhitungan tempat yang dijadikan penyangga pangan selalu
dilakukan. Jepara salah satu contoh yang dijadikan tempat untuk penyangga
pangan.
Taktik isolasi pasokan
logistik juga dilakukan sebagai bagian untuk menaklukan lawan. Pasukan Mataram
mengisolasi musuh dari pasokan pangan sehingga musuh hanya makan seadanya
akibatnya mereka terserang penyakit. Hal ini dilakukan ketika mengepung pasukan
yang berasal dari timur. Pasukan lawan tidak lagi makan nasi, tetapi bonggol
pisang, umbi kunci, dan makanan yang tidak layak karena pasokan makanan
ditutup. Pasukan timur itu mengalamai demoralisasi sehingga malah berkelahi dan
saling bunuh.
Cara ini kembali
dilakukan ketika penguasa Mataram berkonflik dengan VOC di Kartosuro. Untuk
melawan VOC yang berada di loji, mereka mengisolasi loji hingga pasukan VOC
kekurangan beras. Pasukan mereka lesu. Komandan pasukan VOC kemudian memilih
menyerah hingga bisa mendapat pasokan pangan.
Meski demikian, Mataram
gagal melihat beras sebagai komoditas untuk diplomasi. ketika Pakubowono I
hendak menguasai Kartosuro, ia bersekutu dengan dengan VOC. Kesalahan diplomasi
Pakubuwono I telah terlihat sejak awal ketika VOC meminta imbal jasa atas
partisipasinya dalam penyerbuan di Kartosuro.
Permintaan VOC sangat
sederhana. Pimpinan VOC menghadap Pakubuwono I dan menyatakan kalau pasukan VOC
tidak akan meninggalkannya. Akan tetapi, ia memohon agar diberi beras 1000
koyam setiap tahun untuk memberi makan prajurit VOC yang menjaga Pakubuwono I.
Belum lagi Pakubuwono I
menjawab, pimpinan VOC itu menulis surat sebagai tanda kesediaan raja. Raja
seperti dipaksa menerima keinginan itu. Tembakan senapan dibunyikan sebagai
tanda penghormatan terhadap perjanjian itu. Hal ini tidak disukai para adipati.
Mereka sudah menduga sejak awal bahwa pelulusan permintaan itu akan membuat VOC
semakin kurang ajar.
Kelak memang permintaan
VOC semakin menjadi-jadi dan persoalan kecil itu merepotkan di kemudian hari.
Di samping permintaan pasokan pangan, permintaan lain VOC juga semakin banyak. Kita
hanya bisa menduga sejak awal hal itu merupakan taktik VOC.
Politik beras yang
dilakukan kerajaan Mataram semakin meyakinkan kita betapa beras memang
komoditas yang sangat strategis. Setiap penguasa tidak bisa mengabaikan
komoditas ini selama makanan pokok kita adalah beras.
Politik harga beras,
meski tidak muncul secara eksplisit dalam teks babad, memperlihatkan kepada
kita bahwa petani harus diberi hati. Namun, prajurit kraton dan abdi dalem juga
tidak bisa dibiarkan mendapat beras dengan harga mahal. Dalam konteks ini,
hanya penguasa yang secara disiplin bisa menjamin produksi beras dan menjaga
stabilitas harga yang bisa aman berkuasa.
Menilik latar belakang
Soeharto yang menjadi presiden selama 32 tahun, alam pikiran Jawa melekat pada
dirinya. Kisah-kisah yang terjadi di Jawa pada masa lalu setidaknya pernah
diceritakan oleh orang dekatnya, termasuk kisah kepemimpinan di Jawa. Ciri
kepemimpinan di Jawa yang selalu menyebut kebahagiaan raja apabila rakyatnya
cukup mendapat beras adalah termasuk yang diceritakan kepada Soeharto.
Sebaliknya raja akan cemas apabila rakyat tak tercukupi pangannya.
Saat Soeharto mulai
menjabat sebagai presiden, dirinya menerima keadaan berupa kondisi pangan di
Indonesia juga masih morat-marit. Soeharto pasti merasakan kecemasan itu hingga
memilih peningkatan produksi beras dengan swasembada pangannya tersebut.
Dibantu para teknokrat, ia membangun ketahanan pangan berbasis pada padi. Ia
menerima konsep Revolusi Hijau sebagai cara untuk meningkatkan produksi padi.
Swasembada itu kemudian
tak langgeng. Apalagi, belakangan rezim impor sangat berkuasa. Pencari rente
hidup berdampingan dengan pengambil kebijakan impor beras. Kebergantungan pada
impor beras bukan lagi karena memang butuh untuk mendapatkan beras, tetapi
lebih banyak disertai keinginan untuk mendapatkan uang dari aktivitas itu.
Terlepas dari itu
semua, pelajaran dari narasi panjang diatas adalah satu butir beras tidak datang
secara tiba-tiba—makbenduduk—ada di atas meja makan kita. Satu sendok nasi yang
kita kunyah melawati beragam tahapan proses yang panjang. Di setiap tahap
proses itu sesungguhnya melibatkan banyak sekali daya dan upaya manusia.
Kalau kita merunut
perjalanan satu butir beras sesungguhnya kita sedang melacak takdir bahkan
sejak padi belum ditanam. Setahap demi setahap takdir satu butir beras
berlangsung, mulai dari sawah dibajak hingga butir-butir beras itu ditanak
menjadi nasi. Pada setiap detail tahapan perjalanan itu yang berlangsung bukan
sekadar petani memanen padi di sawah, atau padi menjadi gabah, atau gabah
menjadi beras. Lebih dari itu—satu butir beras memiliki muatan daya dan upaya
manusia, lengkap dengan doa dan harapan, rezeki, keringat kerja keras, nasib
para petani, regulasi ekspor impor, mafia perdagangan, industrialisasi
pertanian.
Pendek kata, takdir
satu butir beras atau nasi tidak sesederhana saat kita mengunyah, menelan,
melewati tenggorokan kita. Maka, membuang makanan dapat menyebabkan ayam mati
perlu ditemukan rasionalitasnya—dan memang itu inti pesannya. Nenek moyang kita
sedang mendidik kita bahwa takdir satu butir beras atau takdir satu sendok nasi
pasti, akan selalu berhubungan, terhubung, menghubungkannya dengan hal-hal yang
seakan-akan tidak terkait langsung dengan beras dan nasi itu sendiri.
Nasi sisa dan ayam mati
adalah wejangan agar kita memiliki cara berpikir asosiatif. Menatap satu sendok
nasi mengantarkan asosiasi pikiran kita kepada sawah produktif yang ditanduri
bangunan untuk industri atau perumahan, negeri agraris yang semakin kehilangan
generasi petani, perubahan iklim, politik pangan, peta perdagangan dunia,
kapitalisme, perang rebutan minyak bumi, dan seterusnya. Nuwun. Urd/2210
0 on: "Perjalanan Sebutir Beras : Dari Meja Makan Hingga Tahta Kekuasaan"