Akarasa – Sugeng rawuh
kadang kinasih akarasa. Hari lahir nabi atau yang lebih terkenal dengan maulid
nabi adalah hari dimana nabi terakhir
yaitu nabi Muhammad saw dilahirkan. Setiap umat Islam dari berbagai daerah pasti memiliki cara
tersendiri untuk memperingatinya.
Seperti halnya, Yoygakarta dan
Surakarta memiliki cara tersendiri dalam memperingati maulid nabi, terutama
untuk masyarakat keraton. Mereka memperingatinya, dengan melakukan Grebeg Maulid.
Sebenarnya grebeg tak hanya dilakukan dihari lahir nabi saja. Di Yogyakarta,
ada tiga macam jenis Grebeg. Pertama ada grebeg yang dilakukan ketika hari raya
Idul Fitri, yang disebut Grebeg Syawal, yang kedua adalah Grebeg Besar yang
dilaksanakan ketika hari raya Idul Adha, dan Grebeg Maulid.
Grebeg Maulid atau yang
sering disebut Grebeg Sekaten dilaksanakn di Alun-Alun Utara kota Yogyakarta.
Disebut grebeg sekaten karena, sebelum acara grebeg dimulai terlebih dulu
diadakan sekatenan selama satu bulan. Sekatenan, kurang lebih seperti pasar
malam pada umumnya. Yang membedakan adalah acara puncaknya yaitu Grebeg.
Sebenarnya, Garebeg
sudah diselenggarakan sejak jaman Kerajaan Islam Demak. Dilestarikan
keberadaannya pada jaman Mataram di bawah kekuasaan Panembahan Senopati, sampai
era pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Berbicara soal Upacara
Grebeg Maulud, tidak bisa lepas dari Sunan Kalijaga. Karena upacara
tradisional ini merupakan prakarsa beliau. Atas prakarsa Sunan Kalijaga dulu
setiap tahun bertepatan dengan peringatan Maulud, di halaman Masjid Demak
diselenggarakan Tabligh Akbar oleh para wali. Tabligh ini berkaitan dengan
peringatan maulud Nabi besar Muhammad SAW. Kegiatan tersebut sekaligus
diperuntukkan musyawarah para wali.
Dalam kegiatan
tersebut, di salah satu sudut halaman Masjid ditempatkan seperangkat Gamelan
hasil karya Sunan Kalijaga. Sedang dibagian lain, dihias dengan dekorasi
menarik seperti layaknya orang berpesta atau seperti Pasar malam. Orang yang
ingin menyaksikan perayaan tersebut harus lewat sebuah Gapura (pintu gerbang)
yang dikatakan sebagai pintu pengampunan.
Setelah serambi dan
halaman Masjid dipadati pengunjung, upacara dimulai dengan diperdengarkan bunyi
Gamelan, diiringi irama gending-gending dakwah. pada kesempatan ini para wali
mulai memberikan dakwah perihal kebenaran agama Islam.
Mungkin telah banyak
diketahui kata "Sekaten" berasal dari bahasa Arab Syahadatain,
artinya dua kalimah syahadah. Yang dimaksud dua kalimah syahadah ini adalah
kalimah Asyhadu alla illallah atau "saya bersaksi tidak ada Tuhan selain
Allah" dan kalimah Wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah yang artinya
"saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad itu utusan Allah".
Sedang simbolisasi
syahadatain ini adalah dua perangkat gamelan hasil karya Sunan Kalijaga yang
digunakan untuk mengundang orang-orang agar bisa berkumpul. Kedua gamelan itu
dulu dibunyikan setiap peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW di Masjid Demak. Dua
perangkat gamelan tersebut diberi nama Kanjeng Kiai Nawawilaga dan Kanjeng Kiai
Gunturmadu atau lebih dikenal dengan sebutan Nyai Sekati dan Kiai Sekati.
Sedang "Grebeg"
berasal dari bahasa Jawa kuno garebeg, artinya mengikuti atau ndherekake, yaitu
mengikuti miyos dalem, diantaranya para Gusti Bandara Pangeran, abdi dalem sipat
Bupati, dan beberapa abdi dalem yang bertugas.
Di Kasultanan
Yogyakarta, perayaan Sekaten ditunjang dengan berlangsungnya pasar malam di
Alun-Alun Utara. Dan menjelang puncak upacara Grebegan, di halaman Keben Kraton
Yogyakarta banyak pedagang kaki lima menjajakan nasi gurih, telur merah,
penjual sirih, dan sering terlihat juga penjual pecut.
Dulu setiap
berlangsungnya keramaian itu, para kerabat Dalem juga keluar Kraton ikut
menyempatkan diri membeli nasi gurih, makan sirih, dan sebagainya. Menurut
kepercayaan yang sampai sekarang masih dilakukan, konon bila memakan daun sirih
(nginang), baik laki-laki maupun perempuan akan awet muda.
Sebenarnya hal tersebut
hanya simbolisasi. Makan sirih (nginang), kelengkapannya berbagai jenis
tumbuhan. Di samping sirih, ada gambir dan injet (adonan kapur). Dengan
membiasakan diri memakan daun sirih, dengan sendirinya gigi akan awet, tidak
mudah rusak akibat terkena campuran batu kapur. Tempo dulu, bila seseorang sudah
lanjut usia namun bentuk giginya masih utuh dan nampak putih bersih, pasti
dikatakan awet muda.
Lain halnya makna sebut
pecut. Yang tertarik membeli pecut berbarengan perayaan Sekaten, sebagian para
petani. Konon, bila seorang petani penggarap sawah (penggaru atau ngluku)
menggunakan pecut untuk mencambuk kerbau atau sapi yang digunakan untuk
menggarap sawah, hewan tersebut akan bertambah kekuatannya dan tidak mudah
capai. Dengan demikian, waktu untuk bekerja di sawah dapat lebih lama dan
mendapat hasil lebih, seperti yang diharapkan.
Seperti yang
berlangsung di Kasultanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta, setiap upacara
Grebeg kedua penguasa Kraton itu memberikan sebuah hajad berupa Gunungan,
terbuat dari jenis makanan dari ketan dilengkapi beberapa jenis sayuran (hasil
bumi).
Bagi Kraton, hajad
dalem berupa gunungan tersebut memiliki makna simbolis sangat mendalam, yaitu
Sultan maupun Sunan masih merelakan harta kekayaan yang dimilikinya
(divisualisasikan dengan Gunungan), diberikan atau dibagikan kembali kepada
rakyatnya. Hal ini terlihat, setiap upacara Grebeg, hajad dalem berupa Gunungan
diperebutkan atau dibagikan kepada masyarakat di halaman Masjid Besar.
Kembali peristiwa tempo
dulu, di zaman kejayaan masing-masing kraton, masyarakat yang diwakili salah
seorang pamong desa, setiap tahun asok bulu bekti ke kraton. Ujud bulu bekti
itu beraneka ragam, namun sebagian besar berupa hasil pertanian (palawija) di
masing-masing desanya. Karena ingin membalas budi baik kepada para kawula,
pihak kraton kembali memberikan sesuatu yang disimbolisasikan lewat Gunungan.
Namun ada juga cerita
yang menyatakan awalnya Grebeg merupakan sebuah prosesi upacara yang
diselenggarakan pihak kraton untuk menangkal segala bencana yang dikhawatirkan
akan mengguncang wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Pihak Kasultanan Yogyakarta
dan masyarakat sekitarnya percaya, dengan diadakannya upacara ini, maka
wilayahnya akan terhindar dari bencana ataupun petaka yang bisa mengancam
kehidupan mereka. Acara ini menjadi upacara sakral yang sangat dinanti, untuk
mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan.
Gamelan Sekaten
merupakan hasil karya Sunan Kalijaga. Pertama kali menciptakan sebuah Gong yang
diberi nama Syahadatain. Semula hanya dibunyikan di halaman Masjid Demak,
bertepatan dengan Maulud Nabi. Dicipta pertama kali hanya empat jenis, yaitu
Kenong, Kempul, Kendhang, dan Genjur. Kenong berbunyi nong-nong-nong, dan
sekarang ditambah bunyi Saron yang berbunyi ning-ning-ning. Kempul memiliki
suara pung-pung-pung, Kendhang berbunyi ndang tak-ndang tak-ndang tak. dan
Gong/Genjur bersuara ngguuuur.
Bila perangkat kecil
Gamelan itu dibunyikan (ditabuh) bersamaan, akan mengumpulkan suara nong-ning
(nong kana-nong kene) artinya di sana- di situ-di sini. Pung-Pung,
mumpung-mumpung, mumpung masih hidup. Selanjutnya digabung dengan bunyi kempul, pul-pul berarti segera kumpul
ditambah suara Kendhang ndang tak-ndang tak (cepat atau segera), dan ditutup
atau diakhiri dengan suara ngguuur, artinya agar segera njegur atau masuk
Masjid atau masuk agama Islam.
Ada satu lagi yang
unik, salah satu ciri khas Grebeg ini adalah adanya telur merah (ndog abang)
yang ditusuk dengan bambu dan dihiasi kertas sebagai bunganya. Ndog abang ini
juga memiliki filosofi, yaitu sabagai permulaan kehidupan, sedangkan bambu
memiliki lambang semua kehidupan di bumi pasti ada porosnya yaitu Gusti Allah, dan warna merah sendiri diartikan
sebagai rezeki, barokah juga keberanian. Nuwun.
0 on: "Sekaten Tradisi 5 Abad Yang Masih Bertahan"