Pencariannya pada Tuhan tidak menghasilkan apa-apa kecuali kepasrahan : "Saya Adalah Nol".
Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Saya punya kolega dekat keturunan China dan Jawa yang saat ini
tinggal di Banjarnegara, usianya di atas saya tepatnya saya tidak tahu tapi
sepertinya 50 tahun lewat. Bisa dibilang cukup sukses jika kita melihat dari
luarnya, ada usaha restoran dan wahana permainan satu-satunya di kota tersebut.
Makanya dia jarang di rumah Jogja jika tidak ada keperluan tertentu.
Kita sebut saja namanya
Bram, lha wong dia ini dulu artis seangkatan Adven Bangun. Ia berkulit kuning,
agak sedikit totok. Agamanya gak jelas, namun ia pecaya pada Tuhan Yang Esa. Ia
berdoa dengan caranya sendiri, dalam kesempatan apa saja dan kapan saja, serta
yakin diterima. “Teng, nyambung dengan Yang Di Atas” katanya menggambarkan
hubungan dengan Sang Khalik.
Meski belum
bersyahadat, ia merasa sudah ‘Islam”. Ia mengaku semasa tinggal di Amerika
selama 20 an tahun, ia pernah shalat di masjid bersama rombongan para pejabat
yang ketika itu ada kunjungan di sana. Yang dilakukan adalah mengikuti ke mana
imam bergerak. Ketika itu, ia meresapi ucapan imam kendati tak paham arti
bacaan shalat. Cara duduknya pun belum sempurna. Tak apa. Yang penting, tak
mengganggu orang lain.
Begitulah. Misal saat
bulan puasa kemarin, ia sangat menghormati orang berpuasa, walau belum pernah
siam. Maka, kala saya katakan bahwa puasa itu berat, dia protes."Tak boleh
ngomong begitu. Iman itu harus mengalahkan segalanya, termasuk rasa lapar,''
katanya serius.
Makdeg, isin saya
dibuatnya. Kebenarannya yang diucapkan dengan ceplas - ceplos sering
menyentakkan hati. Apalagi dalam kondisi banyak orang Islam lagi tererosi
keimanannya. Yang, jangankan berpuasa, menghormati bulan puasa saja mereka
tidak punya rasa krentek.
Satu hal lagi yang
sering disampaikan kepada saya adalah keinginannya ke Tanah Suci."Kalau
Tuhan menghendaki, tak ada yang tak terwujud,'' katanya, ketika saya ingatkan
bahwa Mekkah itu hanya untuk orang Islam. Bahkan, ia berjanji, jika ada rezeki,
saya pun akan diajaknya berumrah. Saya oke-kan saja.
Om Bram ini kalau di
Jogja tinggalnya tak jauh dari Bukit Bintang, kawasan yang sedang ramai belakangan
ini. Rumahnya sangat sederhana. Baginya, rumah itu punya arti
khusus."Tidak semua kenalan saya ajak kemari,'' ujarnya terus terang.
Sebuah rumah yang
mengesankan kurang terpelihara, maklum jarang ditempati. Memang, begitu
memasuki rumahnya, kondisinya, maaf, berantakan."Beginilah saya. Terserah
orang mau bilang apa. Yang penting, saya tidak menyusahkan mereka,'' tuturnya.
Siang itu, saya jadi
tamu spesial. Saya diizinkan salat di atas balai-balai di kamarnya yang pengap
-lantaran jendelanya jarang dibuka. Belum pernah ada orang lain selain saya
yang salat di situ. Saya betul-betul tamu khusus. Di kamar itu, berserakan
aneka barang, dari batu akik, botol arak putih, pokonya bisa dikatakan merk minuman
komplit.
Di tembok kamarnya
tertulis kalimat:"Saya adalah nol.'' Maksudnya, sebagai manusia, ia merasa
tak berarti apa-apa. Ada Sang Pencipta Yang Maha Segalanya. Oleh sebab itu, ia
tak boleh sok tahu, sok pintar, sok jagoan, dan sok-sok yang lain, seperti
kebanyakan orang yang tak punya jati diri.
Pernah, gara-gara
mencari jati diri, Om Bram ini harus bersemadi di sebuah rumah di Cipanas, Jawa
Barat. Ia mencari wangsit. Itu dilakukan jauh sebelum orang-orang ramai mencari
wangsit Wali Songo. Ia ingin menemukan Tuhan. Tentu saja itu musykil."Saya
dibisiki oleh 'alam' agar menghentikan pencarian itu. Percuma,'' katanya.
Beberapa minggu ia menyepi,
ada sesuatu pada diri Om Bram yang berubah. Tubuhnya kurus kering kayak
tengkorak hidup. Satu peribahasa Arab yang berasal dari abad XIII menyebutkan: "Barang
siapa mencari Tuhan, dia adalah seorang pria, barang siapa mencari akhirat, dia
adalah seorang kesatria yang pasif, dan barang siapa mencari dunia, dia adalah
seorang wanita.''
Kata"mencari'' memang
bisa multitafsir. Dan, Om Bram belum menemukan langkah "pencarian'' secara
tepat. Walhasil, pencariannya pada Tuhan tak membuahkan hasil apa-apa kecuali
kepasrahan:"Saya adalah nol.'' Kalimat kunci hasil perenungan itulah yang
tertulis di tembok tempat tidurnya.
Kini, Om Bram tak lagi
disibukkan dengan menyepi dan mencari wangsit. Ia telah menemukan"mainan''
baru: memperhatikan tingkah laku manusia. Jika lagi suntuk, misalnya, ia pulang
ke Jogja dan selalu menghubungi saya untuk njagong di Titik Nol, membaur dengan
berbagai orang yang beraneka status sosial. Ada pelajar, pekerja, pengamen,
pengemis, pencopet tumplek-blek di situ, dengan sejuta niat dan kepentingan.
Mereka memiliki jalan
hidup sendiri-sendiri. Ia tak berniat usil. Jika ada pencopet beraksi,
misalnya, Om Bram cuma mengawasi. Muda - mudi pada pacaran juga cuma
diperhatikan. Kesimpulannya, banyak wanita yang bergincu dan berparfum, pria
berdasi, atau peminta-minta pincang berbaju compang-camping, ternyata cuma
sosok yang bertopeng. Om Bram mencoba memahami di balik kedok itu.
Sketsa kehidupan itulah
yang disampaikan om Bram kepada saya."Kalau mau mengetahui sebenarnya manusia,
disinilah tempatnya (Titik Nol, Jogja),'' ujarnya. Ia mengaku tidak merasa
muak, jengkel, atau terkibuli oleh berbagai ulah manusia. Ia justru tersenyum,
terhibur."Karena saya adalah nol,'' katanya.
Terus terang, saya tak
peduli dengan klaim"nol'' pada diri Om Bram tersebut. Saya justru tertarik
pada sisi positif darinya, yaitu "kesungguhannya dalam berdoa, dan yakin
diterima Tuhan''. Ia seperti seseorang yang kehausan, lalu membutuhkan air, dan
air pun seakan membutuhkannya. Nuwun.
Bumi Para Nata,
29122016
Matursuwun, nyuwuun tambah donga pangestu supados saget lan kuat nyanggi tanggung jawab ingkang kalangkung awrat punika.
BalasHapus