Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Ada satu pertanyaan besar selama ini yang berkelindan di otak
saya. Sederhana sebenarnya, mengapa Ujung Galuh disangkutpautkan dengan kota
Surabaya? Dasarnya apa coba!
Sebelumnya harap
dimaklumi, jika pertanyaan saya di atas ada kesan provokativ yang serius. Tentu
saja dalam hal ini saya juga harus siap untuk di dancuk-dancuk-no arek Suroboyo karena menjungkibalikkan sejarah
kota Surabaya yang terpakem selama ini. Tak mengapa, konsekuensi logis.
Surabaya, tentu ada ikatan emosional meski secara tidak langsung dengan saya,
bagaimanapun Surabaya adalah ibukota propinsi tempat saya lahir. Sebelum saya
lanjutkan tulisan serupa opini ini, alangkah bijaknya kita sikapi dengan kepala
adem. Semua tak lebih hanya sebagai perbandingan dari yang sudah pakem selama
ini tentang asal-usul dan sejarah nama kota Surabaya.
Mengulang pertanyaan
pada pembuka tulisan ini, mengapa Ujung Galuh selalu dikaitkan dengan kota
Surabaya? Ujung Galuh yang selama ini diindentikkan dengan kota Surabaya tak
lebih hanya berdasarkan gothak-gathuk belaka!
Lho iya, sejauh ini
gothak-gathuk di atas atas dasar bahwa kata Hujung yang bermakna Tanjung
sedangkan Galuh adalah Emas atau Perak, sehingga dengan mudahnya disimpulan
dengan Tanjung Perak, seperti nama pelabuhan laut di ujung utara kota Surabaya
sekarang ini.
Pendapat lain tentang
Ujung galuh juga berasal dari toponimi (pengetahuian tentang asal usul nama
tempat) kampung Galuhan di daerah Bubutan-Surabaya. Barangkali hanya Von Faber
saja satu-satunya sejarawan yang membuat hipotesa bahwa kampung Galuhan di
Surabaya didirikan oleh raja Kertanegara pada tahun 1275 M sebagai tempat
pemukiman baru bagi prajuritnya yang berhasil menumpas pemberontakan Kemuruhan
tahun 1270 M. Namun sepertinya, teori Van Faber ini kurang dapat
dipertanggugjawabkan, sebab sama sekali tidak ada bukti peristiwa penumpasa
pemberontakan Kemuruhan itu terjadi di sekitar kampung Galuhan.
Sebelum kita lebih jauh
membahasanya, sekedar untuk kita ketahui bersama bahwa nama Desa Surabaya (Cura
Baya) itu sudah ada semenjak jaman Majapahit, dan nama Cura Baya ini disebutkan
dalam Negarakertagama. Jangan tanya bagaimana nasibnya Ujung Galuh, tidak secuipun
Negarakertagama menyebut nama ini. Apalagi mengatakan Ujung Galuh berdekatan
dengan Cura Baya misalnya, tidak seaksara pun menyebutkan hal ini.
Jadi anggapan bahwa
Ujung Galuh dan Cura Baya adalah suatu wilayah yang sama perlu untuk dikoreksi.
Hal ini didukung pendapat Pigeaud yang menafsirkan lokasi Cura Baya dalam
Kakawin Negarakertagama adalah cikal bakal toponimi Surabaya dan lokasinya
termasuk di wilayah Kota Surabaya sekarang. Tetapi anehnya mengapa Pigeaud
dalam bukunya “Java in the Fourteenth Century” yang terbit tahun 1962,
menyatakan bahwa lokasi Ujung Galuh belum diketahui secara pasti? Lha terus
kalau sudah begini piye jal!
Baik kita lanjutkan
lagi, lain lubuk lain ikannya. Lain Pigeaud lain pula M. Yamin. Dalam pendapatnya
M. Yamin Ujung Galuh di peta menujuk pada daerah pelabuhan Tlocor Sidoarjo yang
berbatasan langsung dengan Pasuruan sekarang ini. Barangkali hal ini
didasarakan adanya aliran besar sungai Brantas yang bermuara di pelabuhan
Tlocor.
Lagi-lagi, sepertinya
pendapat M. Yamin ini sangat lemah. Hingga saat ini tidak ada bukti-bukti yang
mendukung teori Yamin ini. Malah artefak kuno yang ada di wilayah Sidoarjo
jutru banyak bertebaran di bagian barat, yaitu di daerah Krian, antara lain
prasasti Kamalagyan dan ceceran situs-situs kuno di Desa Balongbendo dari jaman
Airlangga. Secara teori ini tidak masuk akal, bagaimana tidak, lha wong
pelabuhan Tlocor terlampau jauh ke timur dan tentu saja sukar disinggahi
kapal-kapal yang berasal dari Sumatera dan dari mancanegara khususnya bangsa
Tar-Tar (Mongol).
Selain itu juga, teori
M. Yamin nampaknya juga masih lemah karena tak satupun didukung oleh keterangan
sejarawan lain. Meski demikian, setidaknya berangkat dari sini dapat satu
simpulan bahwa sedari awal pencarian jejak sejarah Ujung Galuh yang disangkut
pautkan atau identik dengan Surabaya ini masih simpang siur. Belum ada
kesepakatan yang konkrit bahwa Ujung Galuh adalah Surabaya. Klaim yang sekarang
diamini sekarang bahwa Ujung Galuh adalah Surabaya adalah produk perumus
sejarah kota Surabaya yang dilakukan belakangan. Klaim ini dipublikasikan
dengan kemasan sedemikian rupa sehingga mengabaikan kemungkinan bahwa lokasi
Ujung Galuh berada di tempat lain.
Jika kita mau
blak-blakan dan main jujur-jujuran, tidak ada dusta diantara kita. Sebenarnya kota
Surabaya sekarang pada masa lampau adalah hamparan rawa dan hutan mangroove. Terbentuknya
delta hingga menjadi dataran kering seperti sekarang dapat ditempati pemukiman
ini berlangsung belakangan. Maka tidak mengherankan jika kemudian mengapa di
Surabaya nyaris tidak ada artefak kerajaan kuno. Bisa dikatakan artefak kuno
hanyalah patung Joko Dolog yang diperkirakan dibuat pada akhir jaman kerajaan
Singasari. Nah, patung ini pun hasil pindahan dari Trowulan pada masa
pemerintahan kolonian Hindia Belanda. Pendek kata, miskinnya Surabaya akan
artefak kuno sudah cukup menjelaskan bahwa kota ini bukanlah bagian dari peradaban
kuno yang penting di Jawa Timur.
Fakta di atas, jika
kita merujuk pada keterangan prasasti Kamalagyan (1037) tentu sangat bertolak
belakang. Betapa tidak, deskripsi
tentang Ujung Galuh dalam keterangan Kamalagyan menerangjelaskan bahwa Ujung
Galuh sejak jaman raja Airlangga sudah dijadikan pelabuhan penting dan sangat
ramai aktivitas perdagangan. Nah, jika Ujung Galuh adalah Tanjung Perak saat
ini, maka deskripsi ini bertentangan dengan sejarah Ampel Denta yang letaknya
dekat dengan pelabuhan Tanjung Perak.
Seperti yang kita tahu,
dalam lembar sejarah keberadaan pesantren Ampel Denta baru muncul pada era
akhir Majapahit berkisar pada tahun 1421 M yakni ketika Raden Rahmad (Sunan
Ampel) di beri tanah Ampel Denta oleh raja Brawijaya. Tanah yang diberikan cuma-Cuma
tersebut ketika itu masih berupa hamparan hutan dan belum berpenghuni. Bahkan,
Raden Rahmad diberikan modal dan warga dari Majapahit untuk membuka hutan dan
membangun peradaban di sana, yang dikemudian hari menjadi pemukiman yang ramai.
Mari kita bayangkan,
jika Tanjung Perak dikatakan sebagai pelabuhan yang sudah ramai pada tahun 1037
M, lalu hampir 400 tahun kemudian di tahun 1421 M dikatakan bahwa wilayah di
Ampel Denta yang dekat dengan Tanjung Perak ternyata masih belum berpenghuni?
Satu riwayat
menyebutkan, ketika Raden Rahmad dalam perjalanan dari trowulan menuju Ampel
Denta di yang kita tahu letaknya di Surabaya Utara kini, ia menyusuri lebih
dahulu daerah Surabaya Selatan kini, lebih tepatnya melewati pelabuhan Bungkul.
Di pelabuhan Bungkul ini Raden Rahmad bertemu dengan Empu Supo yang kemudian
dikenal dengan Sunan Bungkul. Makam Sunan Bungkul yang masih dapat kita
saksikan hingga hari ini merupakan situs paling uzur yang dimiliki Surabaya,
dari sini dapat satu simpulan bahwa pada era akhir Majapahit, peradaban
Surabaya memang baru muncul di wilayah selatan. Surabaya Utara kini, masih
berupa belantara.
Berdasarkan keterangan
Prasasti Canggu (1358 M) hanya disebutkan adanya Pelabuhan Bungkul di wilayah
Curabaya sebagai pelabuhan akhir yang paling timur dari aliran sungai Brantas
dan sama sekali tidak menyinggung tentang keberadaan Ujung Galuh di sana.
Dengan demikian jelas bahwa pembangunan peradaban di Surabaya Utara termasuk
pemberdayaan Pelabuhan Tanjung Perak baru dimulai setelah Raden Rahmad membuka
tanah Ampel Denta. Barulah setelah itu pelabuhan Tanjung Perak menjadi
pelabuhan baru bagi ulama dan pedagang Madura, China dan Arab yang kemudian
membentuk komunitas campuran di daerah Ampel sampai sekarang.
Nah, dari narasi
panjang di atas kita sudah dapat satu simpulan penting tentang Ujung Galuh yang
diindentikkan dengan kota Surabaya tenyata masih jauh dari logika. Kemudian pertanyaan
yang tak kalah penting dan mungkin ada di benak kerabat akarasa juga. Lalu dimanakah
lokasi Ujung Galuh yang sebenarnya? Pertanyaan yang menarik, mari kita
berhipotesa. Jangan hanya pak Yamin saja yang bisa iya toh!
Menjawab pertanyaan
diatas mari kita perhatikan petikan dari prasasti Kamalagyan tentang lokasi
Ujung Galuh. Berikut ini petikan tersebut;
".... kapwa ta
sukha manahikan maparahu samanhulu manalap bhanda ri hujun galuh ika"
Artinya: ....bersukacitalah
mereka yang berperahu ke arah hulu, mengambil dagangan di Hujung Galuh.
Berdasarkan keterangan
ini dapat kita ketahui bahwa lokasi Ujung Galuh berada ke arah hulu jika
ditinjau dari letak prasasti (Desa Klagen Krian), bukan di hilir pantai utara
atau Surabaya. Si penulis prasasti ini sedang berperahu dari arah timur
Mojokerto hendak ke Ujung Galuh untuk membeli barang dagangan.
Perjalanan sungai harus
melewati Waringin Sapta (Wringin Pitu-Mojowarno, Jombang sekarang) yang
sungainya baru saja dibendung dan tertata baik. Jika dianggap bahwa lokasi
Ujung Galuh ada di Surabaya justru tampak janggal dan kurang nyambung
kronologisnya, dari Krian berperahu ke Waringin Sapta untuk apa nyasar dulu ke
Tanjung Perak? Dari sini jelaslah bahwa letak Ujung Galuh memang bukan di
Surabaya.
Sekarang mari kita
melacak dimana lokasi hulu Ujung Galuh. Jika sampeyan pergi ke Kota Jombang,
tepatnya di Kecamatan Diwek, terdapat sebuah Desa bernama Watu Galuh yang
berada di tepi sungai Brantas. Menurut Prasasti Anjuk Ladang (937 M) disebutkan
bahwa ibukota Mataram Kuno di Jawa timur adalah Watu Galuh. Lalu jika dari
daerah itu kita mengikuti aliran sungai brantas ke arah utara ada daerah
bernama Kecamatan Megaluh.
Dekatnya lokasi Watu
Galuh dan Megaluh di Kecamatan Jombang dapat diinterpretasikan bahwa dulunya
keduanya berada dalam cakupan wilayah yang sama. Jika bicara Ujung Galuh pasti
tidak lepas dari lokasi pelabuhan kuno yang ramai. Sekarang mari kita lacak
toponimi desa-desa di sekitar Megaluh Jombang.
Ada satu desa di
kecamatan Megaluh ini bernama Kedung Rejo (Kedung, lubuk sungai), dari sini
jika kita telusuri lagi aliran sungai Brantas ke barat (arah kota Nganjuk) akan
kita temukan nama-nama desa antara lain:
Desa Bandar Kedung
Mulyo, Desa Bandar Alim, dan Desa Kedung Suko. Perhatikan lagi toponimi “Bandar”
(Bandar adalah Pelabuhan) dan “Kedung”. Lalu jika menuju ke arah hulu yaitu ke
selatan (arah Kediri) kita juga akan menemukan Desa Bandar Lor, sebelah utara kota
Kediri dan jika ke barat lagi masuk ke kota Kediri kita temukan Desa Kali Ombo
(Sungai Besar) dan Desa Jongbiru (Jung Biru). Seluruh aliran sungai Brantas
dari hulu arah barat pada akhirnya bermuara di Ploso Jombang. Jika dilihat dari
posisi Kota Krian, maka dapat dikatakan bahwa Jombang merupakan daerah ke arah
hulu.
Jika merujuk pada
pendapat De Casparis (1958) lokasi Ujung Gakuh tidak mungkin di Surabaya,
karena letak Ujung Galuh menurut Prasasti Kamalagyan menuju arah hulu sungai
dari Klagen. Casparis memperkirakan lokasi Ujung Galuh dekat dengan Mojokerto,
yaitu antara Pelabuhan Tuban sampai Babat, Ngimbang dan Ploso Jombang yang
merupakan daerah yang menjadi prioritas pembangunan di jaman Raja Airlangga.
Dari pendapat tersebut
De Casparis mempertimbangkan bahwa Ujung Galuh mungkin terdiri dari dua
pelabuhan utama, yaitu Pelabuhan Tuban sebagai pelabuhan laut yang menghubungkan
Jawa Timur dengan pulau-pulau lain dan pelabuhan sungai di sekitar Ploso
Jombang yang menghubungkan daerah-daerah di Jawa Timur.
Hanya saja yang masih
menjadi pertanyaan adalah apakah dulu pernah ada aliran sungai Brantas yang
bertemu dengan sungai Bengawan Solo dan bermuara ke Pelabuhan Tuban? Ataukah
para pendatang dari luar Jawa yang masuk ke Pelabuhan Tuban harus menempuh
jalur darat menuju ke selatan jika hendak memasuki sungai brantas di Ploso
Jombang? Sebagaimana diketahui pada masa kuno jalur sungai brantas memang
merupakan jalur transportasi utama.
Berdasarkan
sumber-sumber tutur di daerah sepanjang sungai Brantas dulunya adalah
pelabuhan-pelabuhan sungai yang besar dan dapat dilalui kapal-kapal sejak jaman
Airlangga bahkan Pu Sindok. Hal ini sulit dibayangkan karena sekarang ukuran
sungai sudah sangat kecil. Tetapi dulu kapal yang besar sekalipun masih bisa
melintas. Itulah sebabnya Kerajaan Pu Sindok ada di Tamwlang (Tembelang, Jombang).
Itulah sebabnya Kerajaan Daha (Kediri) dapat maju dengan mobilitas tinggi dan
demikian pula kerajaan Majapahit di Trowulan memiliki armada laut yang tanpa
tanding. Karena memang sehari-hari mereka bergerak dengan kapal-kapal di sungai
yang besar.
Jika Ujung Galuh
dikatakan sebagai pelabuhan kuno yang ramai, maka logikanya di sana pun pasti
berceceran artefak-artefak kuno. Sekarang mari kita melacak artefak-artefak
kuno di sekitar daerah-daerah yang saya sebutkan di atas. Kecamatan Megaluh
bersebelahan dengan Kecamatan Kudu - Jombang. Daerah ini yang merupakan gudang
prasasti dari jaman Airlangga, setidaknya yang saya tahu adalah Prasasti Kudu,
Prasasti Katemas, Prasasti Pucangan, dan Sendang Made. Belum lagi saya dengar
banyak prasasti lain yang belum dipublikasikan.
Lalu bergerak lagi
sedikit ke utara sekitar 30 km kita akan masuk ke Kabupaten Lamongan, di sini
juga gudangnya prasasti, antara lain Prasasti Pamwatan, Prasasti Sumbersari,
Prasasti Patakan, Prasasti Terep, dll. Khususnya di daerah Kecamatan Ngimbang
(perbatasan Jombang-Lamongan) setidaknya tercatat ada 7 buah prasasti kuno.
Sedangkan jika dari Jombang bergerak ke barat menuju Nganjuk, di Desa Bandar
Alim terdapat Prasasti Bandar Alim, lalu di Nganjuk ada Prasasti Anjuk Ladang,
Prasasti Hering dan Prasasti Kujon Manis. Menurut cerita tutur, pada saat Kerajaan
Sriwijaya mengutus ribuan pasukan Jambi menyerbu sisa-sisa pasukan Pu Sindok di
Anjuk Ladang, mereka berlabuh di Bandar Alim dan bermarkas di desa yang
sekarang bernama Desa Jambi. Hal ini didukung ceceran artefak batu bata merah
kuno yang tersebar di halaman rumah-rumah penduduk Desa Jambi.
Lalu pada saat Pasukan
Tar-Tar datang berlabuh di pelabuhan Tuban, kavaleri besar itu tidak mungkin
mengangkut semua perbekalan melalui jalur darat menuju Kediri. Solusinya mereka
harus menggunakan jalur sungai brantas di sebelah selatan dan berlabuh di
pelabuhan-pelabuhan sungai yang dekat dengan Kediri. Jalur pelabuhan sungai
yang sudah aktif pada masa itu adalah pelabuhan sungai di kawasan kota
Jombang-Nganjuk-Kediri, yaitu:
Bandar Kedung Mulyo,
Bandar Alim, Jongbiru, Bandar Lor, dan Bandar Kidul. Pasukan Tar-Tar menyusuri
aliran sungai brantas hingga mendarat di Jongbiru - Kediri. Dari situ pasukan
Tar-Tar bersama-sama dengan pasukan Arya Wiraraja dan pasukan Raden Wijaya
mengepung dan membantai pasukan Jayakatwang.
Sisa-sisa tawanan
Kerajaan Gelang-Gelang itu lalu dibawa keluar Kota Kediri. Di sanalah pasukan
Tar-Tar berpesta, dan dalam kelengahan itu pasukan Raden Wijaya menggempur
pasukan Tar-Tar habis-habisan selama 2 hari dan mendesaknya terus hingga sampai
ke Ujung Galuh. Akan sulit membayangkan suatu pertempuran yang bergerak dari
Kediri menuju Ujung Galuh jika lokasi Ujung Galuh adalah di ujung utara
Surabaya, terlalu jauh dan tidak memungkinkan. Tetapi menjadi logis jika letak
Ujung Galuh memang tidak terlalu jauh dari Kediri yaitu di wilayah sekitar
Ploso-Jombang. Dan akhirnya, semua berpulang pada pembaca sekalian. Tabiiiiik!
Dinarasikan dari Negeri
Nyonya dari Timur, Batavia. Klender hari ini 19/01/2017 1324 wib
Kalau memang demikian, berarti hari lahir kota Surabaya sebenarnya tidak jatuh tanggal 31 Mei 1293 yg diambil dari hari pengusiran Tentara Tar Tar oleh Majapahit yang dipimpin Raden Wijaya melalui Hujung Galuh. Lalu semua berubah yg kemungkinan usia Sby bisa jadi 400tahunan lebih muda
BalasHapusPrasasti Wwahan dari Bandar Alim Nganjuk dan Prasasti Kamalagyan dari desa Kemlagen Krian Sidoarjo sudah sangat jelas. menyebutkan Ujung Galuh itu Bandar Pelabuhan Megaluh. Jombang.
BalasHapushalooo...
BalasHapusmasih aktifkah?
menarik nih artikel
pingin tanya2
ini no wa saya :
087855366543