Akarasa – Selamat
datang kerabat akarasa. Apa toh yang paling ingin dicapai oleh manusia dalam
hidupnya? Pertanyaan yang bisa jadi sangat beragam jawabannya. Namun secara
umum, dan saya rasa banyak diamini orang adalah merasakan emosi bahagia. Lain
tidak.
Cukup menarik membahas
ngelmu jiwa yang disebut bahagia ini. Secara umum, seperti halnya emosi marah,
emosi bahagia merupakan salah satu jenis emosi yang dianggap sebagai emosi
dasar manusia. Secara harfiah, ada beberapa jenis emosi yang maknanya
berdekatan dengan bahagia, yakni rasa senang, aman, nyaman, cinta, damai, dan
sayang.
Ya, bahagia kata yang
paling sering diucapkan manakala ditanya masalah rasa apa yang paling diinginkan
dalah hidup ini. Sayangnya dalam kenyataannya bahagia sangatlah sulit untuk
ditemukan terutama oleh orang-orang yang tak tahu arti bahagia yang sebenarnya.
Pertanyaannya,
memangnya bahagia itu apa toh?
Tidak ada yang dapat
mendefinisikan secara tepat apa itu bahagia, karena memang arti kebahagiaan
berbeda-beda pada setiap manusia, hal ini disebabkan adanya perbedaan konsep
dan cara berpikir manusia yang berbeda-beda dalam menjalani hidup. Orang Jawa
bilang bahagia itu sawang sinawang.
Seperti halnya sebuah
ungkapan klise yang sering kita dengar ‘bahwa
rumput tetangga terlihat lebih hijau daripada rumput di halaman sendiri’. Istilah
opo meneh iki? Apa masih dikatakan hijau jika rumah tentangga sebelah yang halamannya
di plester semua? Atau misalnya jika pun ada rumputnya namun kering kerontang
yang kebrangas itu masih kita katakan lebih hijau? Jika jawabanya iya atau
masih agaknya kita perlu kacamata. Narasi ini adalah jawaban rasionalitas
ungkapan di atas.
Baik, ungkapan atau
istilah di atas adalah tentang cara pandang kita terhadap kehidupan orang lain
yang kita lihat secara kasat mata. Bahwa kehidupan orang lain, entah itu
tentangga, saudara, sahabat, kolega terlihat lebih mapan, lebih sejahtera, dan
lebih bahagia dibanding dengan kehidupan kita sendiri. Pada akhirnya kita
menjadi pesimis dan perlahan menarik diri dari mereka, berjalan menjauh karena
menganggap diri kita tak sebahagia mereka, dan merasa tak pantas dan tak layak
bergaul dengan mereka.
Apakah ada yang
menjamin, orang yang selama ini terlihat bahagia, sejahtera, dan bergelimang
materi itu bahagia setiap harinya? Tidak ada yang menjamin itu semua, karena
manusia mempunyai ukurannya sendiri dalam memaknakan bahagia itu sendiri.
Lantas bahagia itu
milik siapa? Sejatinya bahagia adalah suasana hati kita sendiri yang kita
ciptakan sendiri. Ya, hati kita sendiri yang menanamkannya dan menetapkan bahwa
kita layak bahagia, bukan dengan fokus pada kekurangan kita dan membanding-bandingkannya
dengan orang lain. Lantas kok begitu sulitnya mendapatkan rasa bahagia ini,
masalahnya apa?
Baik, jika kita tarik
dalam konteks pada diri kita masing-masing, tidak perlu sungkan untuk mengakui
bahwa dalam hidup berkehidupan senyatanya dalam pencapaian suatu keinginan
senyatanya ada unsur ‘ter’ di dalamnya. ‘Ter’ yang saya maksud di sini dibilang
paling puncak. Misalnya, terbaik, terkaya, terhormay, dan lain sebagainya. Inilah
faktanya.
Karena sering mengira
bahwa bila keinginan terbesar terpenuhi kita akan merasa senang selamanya, kita
sering mengejar sesuatu secara mati-matian dan menghindari sesuatu yang tidak
kita ingini juga secara mati-matian. Sebaliknya, bila keinginan tidak
terpenuhi, maka kita mengira akan merasa susah selamanya. Padahal, rasa hidup
yang sebenarnya adalah sebentar senang dan sebentar susah. Pengertian yang
salah mengenai sumber kebahagiaan hingga kita mati-matian mengejarnya inilah
yang justru kita dapati sebaliknya rasa, sengsara.
Aja gumunan, aja
sumelang, bisa jadi adalah obat dari itu
semua. Ya, kata-kata sederhana ajaran Ki Ageng Suryomentaram dalam kawruh begja
sawetah inilah kalau kita bisa melakukannya dengan benar inilah obat mujarab
manusia modern yang mencari bahagia. Sumber kebahagian bukan berada di tempat
clubing seperti yang kita anggap selama ini. Sumber kebahagiaan bukan berada di
meja saji restoran kenamaan, juga tidak berada di kendaraan mewah yang hingga
kita kemuli karena takut dia masuk angin itu.
Sumber kebahagiaan dari
ajaran Suryomentaram terletak pada hidup sederhana. Sederhana disini bukan lantas
mengajarkan untuk memiskinkan diri. Tak mudah heran, tak mudah tergiur
dengan iming-iming gemerlap dunia. Aja
sumelang tak khawatir pada suatu apa. Bukankah ketentraman terletak di hati
yang tak lagi mengkhawatirkan sesuatu.
Ternyata untuk hidup
tenang, tentram syaratnya tidak perlu mahal. Cukup menata hati untuk tidak
mudah heran dan menghilangkan rasa khawatir, was-was dalam diri. Ajaran Ki
Ageng yang sederhana, namun dalam maknanya dan masih relevan sampai sekarang. Nah,
karena sudah kadung teles (terlanjur basah) membahas tentang Ki Ageng
Suryomentaram sekalian saya ajak kerabat akarasa berkenalan dengan ajarannya,
yakni Kawruh Jiwa.
Lantas siapa toh Ki
Ageng Suryomenatram ini? Selengkapnya bisa kerabat akarasa baca Biografi Ki
Ageng Suryomentaram.
Kawruh Jiwa bagi kita
yang hidup di jaman sedigital ini bisa jadi adalah satu aplikasi yang tidak
terunduh jika di umpamakan sebuah aplikasi dalam suatu gadget. Kita lebih
mengenali pemikir-pemikir barat agar dibilang melek dan intelek. Kalaupun toh sebagian
kita mengetahuinya, itu pun masih setengah hati karena menganggap Kawruh Jiwa
ini adalah bagian dari aliran kepercayaan atau mistisisme Jawa (kejawen). Salah-salah
syirik!
Kawruh Jiwa atau dalam
penyederhanaan makna harfiahnya adalah pengetahuan tentang rasa hanyalah
pengetahuan. Mencoba memahami jiwa dan hal-hal yang terkait dengan itu, seperti
pengetahuan tentang hewan , tanaman, dan sebagainya. Dalam Kawruh Jiwa juga
tidak ada ritual sama sekali. Pendek kata Kawruh Jiwa bukanlah agama dan tidak
memenuhi syarat sebagai agama, lebih tepatnya adalah sebagai upaya pengelolaan
hati. Inti ajaran dari Kawruh Jiwa adalah menciptakan hidup yang bahagia dan
tentram dalam hati maupun kehidupan bermasyarakat.
Kawruh Jiwa merupakan
ilmu mengenai jiwa dengan segala wataknya (meruhi
jiwa sawateg-wategipun). Ilmu yang saya maksud di sini bukanlah ilmu dalam
artian mistik, melainkan ilmu yang diperoleh dengan menggunakan logika dan
penalaran ilmiah (rasional). Oleh karena itulah Ki Ageng lebih memilih
menggunakan istilah kawruh yang berarti pengetahuan dalam pengertian yang
rasional. Dalam Kawruh Jiwa, Ki Ageng mengajak kita untuk berpikir rasional,
memeriksa ulang keyakinan-keyakinan yang kita miliki secara cermat dan teliti,
membuka selubung-selubung yang menutupinya, hingga kita mendapatkan saripati
pengetahuan yang terang dan jernih. Nah, pengetahuan yang jernih inilah yang
akan mengantarkan kita pada kebahagiaan.
Inti ajaran Kawruh Jiwa
adalah ajaran untuk memahami diri sendiri (meruhi
awakipun piyambak) secara tepat, benar, dan jujur. Ketika seseorang telah
mampu memahami dirinya secara tepat, benar, dan jujur, maka dengan sendirinya
ia juga akan mampu memahami atau mengerti orang lain dan lingkungannya dengan
tepat, benar, dan jujur pula. Sehingga kemudian ia dapat hidup damai dan
bahagia. Keadaan tersebut disebut Ki Ageng dengan kehidupan bahagia sejati,
yaitu kebahagiaan yang tidak bergantung pada tempat, waktu, dan keadaan (mboten gumantung papan, wekdal, lan
kawontenan).
Untuk mencapai bahagia
menurut Ki Ageng dalam Kawruh Jiwa ada enam ‘SA’ yang mesti dilakukan, yakni sabutuhe (sebutuhnya), saperlune (seperlunya), sacukupe (secukupnya), sabenere (sebenarnya), samesthine (semestinya), dan sakapenak’e (sepantasnya). Dengan laku
enam ‘sa’ ini, manusia diharapkan tidak berlebihan, senantiasa menyikapi hidup
sewajarnya dan waspada.
Karena sejatinya bahwa
hidup itu layaknya takdir yang harus dijalani setiap manusia. Sederhanaya, bila
setiap kita sudah menganggap hidup ini bagian dari takdir maka kita akan
menerima dengan ikhlas dan bahagia ketika sengsara, kaya atau miskin pun tak
masalah. Seperti ungkpan Ki Ageng dalam ajarannya, “tidak ada sesuatu pun
diatas bumi dan dikolong langit yang pantas untuk dikehendaki dan dicari atau
sebaliknya ditolak secara berlebihan.” Artinya manusia harus nrimo ing pandhum, menerima bagian hidup kita dengan
ikhlas.
Bertelekan pada narasi
di atas, saya jadi teringat ungkapan klise yang saya yakin sampeyan tidak asing
dengan kalimat ini. Bahagia itu sederhana. Meski sebenarnya saya sendiri
bingung kenapa disebut sederhana. Pada narasi panjang di atas cukup menjelaskan
bahwa senyatanya bahagia itu sederhana. Menjadi rumit karena karena kita
memakai rumus-rumus yang njlimet.
Membincang bahagia sama
halnya membincang syukur, dua kata ini adalah seumpama teman sebangku, teman
karib. Bahagia itu sederhana jika kita bisa menghargai apa yang kita punya,
jika kita selalu bersyukur dengan apa yang kita dapat. Bahagia menjadi sangat
sederhana manakal kita selalu melihat kebawah melihat orang-orang tidak
seberuntung kita. Bahagia itu sesederhana kita tersenyum setiap hari dan memberikan
manfaat kepada orang lain. Bahagia itu sederhana jika semuanya terasa cukup!
tidak kurang dan tidak berlebihan. Bahagia itu sederhana, sesederhana melihat
anak kita tersenyum. Sekian dulu, terimakasih sudah membaca sampai tuntas
tulisan panjang ini. Nuwun. Urd2210
Ojo lali bahagia!
nguri2 wewarah para sesepuh jawi
BalasHapus