Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Mataram dibangun atas dasar intrik politik dan pembunuhan. Bahkan
semenjak pada awal pembentukan Mataram oleh tiga serangkai Ki Panjawi keturunan
Bhre Kertabhumi, Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Martani, Mataram adalah sejarah
intrik kekuasaan. Pendirian Mataram pun awalnya adalah konspirasi bohong
pembunuh Aryo Penangsang.
Selengkapnya tentang
Penangsang ini dapat kisanak baca Dibalik
Mitos Kutukan Aryo Penangsang dan Aryo
Penangsang : Ksatria yang di Hitamkan Sejarah
Untuk menunjukkan
kakuatan, salah satunya adalah membangun dunia mistis. Dunia mistis mereka
sebagai keturunan dua dunia: dunia Islam dengan gelar Sayidin Panatagama dan
silsilah keturunan Nabi Muhammad dan Nabi Adam, dan dunia Hindu-Buddha dengan
tradisi kuat terkait misalnya Ratu Kidul. Hubungan mistis pencitraan yang
dibangun untuk memberikan citra bahwa keluarga dinasti Mataram adalah keturunan
Majapahit dan keturunan Dewa-dewi.
Salah satu representasi
yang tersisa dan dibangun oleh raja Mataram adalah Nyai Roro Kidul penguasa Segoro
Kidul (Samudera Hindia) yang kuat dan diyakini keberadaannya oleh masyarakat
seantero Jawa. Bahkan hingga kini. Untuk merebut legitimasi itu, disebarkanlah
kesan bahwa Raja/Sultan Jogjakarta dan Mataram adalah ‘suami' Ratu Kidul.
Keyakinan yang sampai saat ini diyakini oleh sebagian besar masyarakat. Dengan
merebut ‘kuasa' sebagai ‘suami', maka seacara mistis semua kekuatan mistis
dikuasai oleh raja Mataram.
Salah satu hal yang tak
boleh dilanggar oleh raja atau Sultan Mataram adalah karena kesesuaian antara
mistis Hindu-Buddha dan keyakinan Islam adalah bahwa raja Mataram dan kerajaan
penerusnya termasuk kesultanan Jogjakarta pantang naik haji dan pantang
mengunjungi India. Sikap abstain ini untuk menjaga netralitas dan rivalitas
mistis sufi ala Islam dan ajaran mistis Hindu-Buddha yang melekat di sana.
Pelanggaran atas hal ini akan menjadi malapetaka bagi kerajaan Mataram.
Dalam pandangan
tradisional masyarakat Jawa, raja digambarkan sebagai wenang misesa ing sanagari yang berarti memiliki kekuasaan
tertinggi di seluruh negeri. Tidak saja ia memiliki kekuasaan terhadap negara
dan harta benda, tetapi juga terhadap rakyat (para kawula) dengan segala
kehidupan pribadinya. Di samping itu kekuasaan digambarkan dalam ungkapan mbaudendha nyakrawati, yaitu berwenang
menghukum dan berkuasa memerintah dunia.
Bahkan lebih dari itu,
bahwa raja berkuasa segala-galanya, yaitu memerintah, mangatur, menghukum,
menguasai daerah-daerah lain, menguasai militer, dan termasuk mengatur masalah
agama seperti yang terungkap dalam Senopati
ingalaga Ngabdurachman Sayidin Panatagama. Kekuasaan tersentral pada diri
raja, tidak terbagi-bagi dan merupakan kebulatan yang tunggal, tiada yang mampu
menandingi. Ungkapan raja yang tak tertandingi berbunyi endi ono surya kembar yang berarti tidak dibenarkan ada kekuasaan
lain yang sederajat dengan dirinya.
Ungkapan atau pandangan
surya kembar (matahari kembar) ini
pulalah yang menjadi pijakan legitimasi penguasa Mataram mencaplok Giri Kedaton.
Ya, pandangan dua ‘raja Jawa’ itu menyungkupinya seakan-akan sudah mewakili
‘dunia batin’ orang Jawa kala itu. Namun jika mau surut ke belakang,
‘sinkretisasi Islam’ itu sebenarnya sudah mengental sejak Sultan Agung
(1613-1646). Raja ketiga Mataram sebelum terpecah oleh Perjanjian Giyanti
(1755) dan Perjanjian Salatiga (1757) itu dikenal sangat cerdik.
Kecerdikannya sebagai
negarawan, Sultan Agung memanfaatkan agama sebagai sarana berpolitik. Islam dipakainya untuk menerapkan
politik devide et impera. Politik
pecah-belah sebelum menginvasi kerajaan Islam dari dalam bagi perluasan teritorial
Mataram.
Panembahan Senopati
(1584-1601), pendiri Mataram yang selalu gagal memekarkan wilayah kekuasaannya
dijadikan tauladan. Kerajaan yang belum kental Islamnya itu tidak kunjung
berhasil menaklukkan daerah pesisir. Sandungannya, kerajaan Islam kecil-kecil
itu menjadi sangat kuat di bawah kendali Walisongo. Terutama Giri Kedaton.
Ketika kuasa raja
berada di tangannya, yang mula-mula dilakukan Sultan Agung adalah ‘mengIslamkan
diri’. Mengubah perhitungan tahun dari rembulan ke matahari sehingga Tahun
Hijriyah dan Tahun Jawa menjadi sama. Dia mengajukan permohonan ke Ottoman
(kekaisaran Islam) untuk menggunakan gelar sultan. Setelah itu Sultan Agung
merangkul para wali sebagai justifikasi Mataram memang beragama Islam.
Dari sekian banyak
inovasi yang dilakukan Sultan Agung itu, perubahan perhitungan tahun merupakan
salah satu yang membuat kegoncangan. Berbagai upacara jadi berubah waktu dan
penyebutan. Penentuan satu Suro yang bersendi almanak Aboge (Alip Rebo Wage)
berselisih waktu. Saat itulah ‘Sekatenan’ yang semula sebagai ‘paweling asaling dumadi’ akhirnya
dimaknai sebagai upacara memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Ketika kerajaan Mataram
benar-benar diakui sebagai kerajaan beragama Islam, pencaplokan wilayah pun
mulai tidak terhindarkan. Menurut catatan De Han dan De Graff, kerajaan kecil
di pesisir satu demi satu diklaim sebagai ‘tanah milik’ Mataram. Tindakan ini
mendisharmonisasi kerajaan Islam di pesisir.
Saat pertemuan Bupati
di Rembang, Jawa Tengah, Sunan Giri Prapen yang lama mendengar tindakan itu
merasa perlu ‘mengingatkan’. Dengan halus Sang Giri Nata ‘menegur’ secara halus.
Sunan Giri Prapen atau Sunan Giri V atau juga Kyai kawis Guwo ini menyindir
cucu Panembahan Senopati itu.
Sindiran yang tertuang
dalam ‘Kitab Al Asror’ itu ternyata tidak membuat Sultan Agung sadar, tapi
malah sebaliknya. Sultan Agung gelo, loro
atine. Raja Mataram itu menyimpan dendam kesumat. Terbukti, setelah sekutu
kerajaan Surabaya di Pontianak ditaklukkan dan diteruskan penaklukan Surabaya
tahun 1625, Pangeran Jayenglengkara, adipati Surabaya menyatakan takluk pada
Sultan Agung di Mataram.
Ketika Pangeran
Jayalengkara mangkat, Pangeran Pekik, anaknya di panggil Sultan Agung untuk
menghadap di Mataram. Di Mataram Pangeran Pekik tidak di pidana. Sang Sultan ‘berbaik
hati’, Pangeran Pekik mendapat kamulyan berupa pengangkatan dirinya meneruskan
jabatan ayahnya dan diperjodohan dengan Ratu Pandansari, adik perempuan Sultan
Agung. Ini adalah perkawinan politik untuk mengikat Jawa Timur agar setia pada
Mataram. Inilah perkawinan politik gaya Sultan Agung.
Lingkaran Mataram
sendiri sebenarnya kurang suka dengan pernikahan tersebut. Walau bagaimanapun
Pekik adalah putra seorang taklukkan. Apalagi penaklukkan Surabaya membutuhkan
waktu sangat lama, 26 tahun, dengan korban luar biasa banyak. Tentu dendam itu
masih membara. Mengapa Pekik? Bukankah putra adipati Surabaya tersebut belum
teruji kesetiannya kepada Mataram? Tetapi siapa yang berani melawan kehendak
sultan?
Kedok ‘kebaikan’ hati
sang raja ini terkuak dikemudian hari. Bemula dari Pandansari disuruh menghadap
Sultan Agung. Sang sultan bercerita tentang kegundahannya, karena Giri tak
kunjung mau memberi upeti dan ‘berserah diri’ ke Mataram. Sultan Agung ingin
Giri diserang dan ditaklukkan. Dan yang melakukan itu adalah Pangeran Pekik
tidak ada yang lain lagi, suami Pandansari.
Titah tersebut bukan
tanpa alasan, telah berulang kali sultan meminta pertimbangan dewan kerajaan
dan para senopati. Tetapi tidak ada yang menyatakan kesanggupan untuk
menaklukkan Giri. Semua gentar dengan perbawa Giri Kedaton. Apalagi kini Giri
dipimpin oleh Sunan Giri V alias Kyai Kawis Guwa, seorang yang linuwih dalam
ilmu dunia maupun agama.
Bagi Sultan Agung keputusan
menyerang Giri adalah keputusan yang sungguh sulit. Sebagai muslim ia sangat
menghormati Giri. Namun manakala teringat ‘teguran’ halus dari Giri Prapen saat
pertemuan para bupati di Rembang kembali melambungkan niatnya tersebut. Baginya,
Giri adalah klilip yang mengganggu pandangan.
Beberap kali ia menunda
menyerang Giri karena nyalinya belum utuh, ciut. Ia tahu persis kewibawaan Giri
di mata rakyat. Giri Kedaton dibawah kekuasaan Sunan Giri V adalah matahari
yang terang benderang di bang wetan.
Banyak raja di belahan timur Nusantara menghaturkan hormat dan tanda takluk
kepada Giri. Tidak jarang mereka (raja-raja itu) meminta pertikel (pertimbangan) kepada Giri jika menghadapi masalah
kenegaraan.
Lagi-lagi, baginya
tidak ada istilah matahari kembar di Jawa dan jika ini dibiarkan tertib Mataram
akan akan hilang. Maka, klilip tersebut harus di hilangkan dan yang bisa hanya
Pekik, adik ipar yang sekaligus adipati Surabaya.
Sebenarnya, titah
sultan tersebut sangat berat bagi Pekik, apalagi Sunan Giri adalah sinar bagi
Nusantara. Bagaimana mungkin keturunan Sunan Ampel seperti dirinya harus
memadamkan matahari Islam di Giri? Bagi dirinya lebih baik mati dari pada harus
menggempur Giri. Pandansari tahu bahwa suaminya bimbang. Tetapi ia juga tahu
bagaimana caranya agar suaminya luluh.
Pandansari adalah benteng
mataram. Bagi orang seperti dia perintah Sultan adalah hukum, dunia dan
akhirat. Malamnya Pandansari membisiki suaminya, bahwa ‘masih ada satu klilip
Mataram’ yang harus disingkirkan. Klilip (benda kecil yang masuk ke dalam mata)
itu adalah Giri. Kerajaan Giri yang diperintah Sunan Giri muda, cucu Sunan Giri
Prapen, guru Pangeran Jayalengkara, ayahandanya.
Ketika Pekik kebingungan
dengan permintaan tersebut, Pandansari menjelaskan, bahwa hubungan antara
‘guru-murid’ itu sudah terputus setelah meninggalnya Sunan Giri Prapen. Sunan
Giri muda itu juga disebutnya sebagai raja yang tidak mengenal keris dan
pedang. Dari sinilah nyali Pekik muda mulai menyala.
Musim panen 1636 M, pasangan
suami istri itu meminta restu untuk pergi ke Surabaya mempersiapkan pasukan
untuk menggempur Giri. Sultan merestuinya dengan memberikan dua pusaka : Bende
Mataram dan Tombak Kyai Plered. Pasukan mataram bergerak ke timur untuk
bergabung dengan laskar Surabaya, siap berderap menghantam Giri Kedaton. Seluruh
rakyat Mataram menyimak dengan gemetar karena sebentar lagi Jawa akan kembali
diguncang perang.
Kali ini bukan perang
sembarangan, ini perang dua kutub kekuasaan, politik dan spiritual. Bagi
Mataram kekuasaan itu harus dalam satu tangan, matahari kembar harus
dihilangkan. Nyatalah sudah bahwa pernikahan Pekik dan Pandansari tiga tahun
yang lalu menyimpan maksud tersembunyi.
Adipati Sepanjang,
orang kepercayaan Pangeran Pekik ‘muda’ menyebar tilik sandi dan memberi
laporan, bahwa Kedaton Giri melatih 200 prajurit hebat menghadapi Mataram.
Tetapi Sunan Giri V
bukanlah tipe pengecut. Baginya trah wali adalah darah mulia. Suatu hal tabu
baginya untuk gentar oleh gertakan penguasa dunia. Apalagi kini Giri mempunyai
pengikut baru, Endrasena, seorang mualaf dari ningrat China beserta 200 pasukan
pilih tanding. Dengan gemblengan yang dilakukan Endrasena terhadap prajurit
Giri dan 200 pengikutnya, maka Sunan Giri muda yakin pasukannya bisa mengatasi
serbuan Mataram yang dibantu prajurit Surabaya.
Walaupun Sunan Giri V
terkenal ngerti sak durunge winarah
(tahu sebelum kejadian) ia tetap terkejut manakala pada malam gulita Pangeran
Pekik, sendirian, menghadap ke Giri Kedaton. Tujuannya hanya satu, membujuk
agar Giri Kedaton menyerah baik-baik kepada Mataram demi tidak tumpahnya darah
sesama muslim.
“Kanjeng Sunan, sejelas
benderangnya siang saya harap Kanjeng Sunan dapat memenuhi keinginan kakanda
Sultan Agung. Sultan Mataram berjanji akan memberi kemuliaan kepada Giri.” Balairung
senyap sejenak.
Kejadian selanjutnya
adalah hal yang tidak terduga bagi Pangeran Pekik, “bagaimana Endrasena,
sanggupkah kamu membendung Mataram?”
Dengan berapi-api
mualaf itu berkata “demi kewibawaan Giri, apapun akan hamba lakukan, Kanjeng!”
Hawa panas menyelimuti
Giri Kedaton. Dengan tetap menghaturkan sembah Pekik undur diri. Air matanya
jatuh. Ia begitu mencintai Giri beserta orang-orangnya. Tetapi takdir
memaksanya bertindak lain. Saat fajar menyingsing, Bende Mataram telah ditabuh
bertalu-talu. Perang pun pecah.
Dan benar adanya apa
yang dijanjikan Endrasena. Ketika pasukan Mataram yang dipimpin Pangeran Pekik menyerang,
pasukan ini kocar-kacir. Pasukan Giri mampu memukul mundur prajurit yang
berasal dari dua sekondan, Mataram dan Surabaya.
Saat itulah Pandansari
tampil. Putri Mataram ini tahu letak kekalahan pasukan suaminya. Adik Sultan
Agung itu mengumpulkan prajurit yang habis kalah perang tersebut. Dia tidak
memarahi para prajurit, tetapi justru memberinya hadiah berupa busana indah
serta uang. Sehabis itu Pandansari berjanji akan memberi tambahan hadiah lagi
sepulang dari medan laga membawa kemenangan.
Akhirnya ‘politik uang’
itu membawa kejayaan. Giri Kedaton berhasil direbut. Sunan Giri V ditangkap.
Harta benda Giri diambil sebagai pampasan perang. Dan ini sebuah ironi. Ironi
sejarah yang dalam Babad Tanah Jawi ditulis secara liris dan mistis.
Epilog Kedaton Giri
dihancurkan oleh laskar gabungan Mataram-Surabaya pimpinan Pangeran Pekik dan
Pandansari pada tahun 1636. Sejak itulah institusi dewan wali dihapuskan dalam
sejarah Nusantara. Kehilangan dewan wali menjadikan Jawa – kemudian nusantara
-- begitu cepat dicaplok oleh Belanda.
Penaklukan Giri Kedaton
adalah bentuk persembahkan untuk melegitimasi gelar dari Sultan Agung yang menggetarkan bagi keturunannya : Sultan Agung Hanyokrokusumo Senapati ing
Alaga Sayidin Panatagama Abdullah Muhammad Maulana Abdurrahman Khalifatullah
ing Tanah Jawa.
Pada tahun 1646
Amangkurat I (pengganti/anak Sultan Agung) membuat persekutuan dengan VOC.
Penggantinya, Amangkurat II tidak lebih sebagai boneka VOC. Jika Sultan Agung
menggunakan Pangeran Pekik dan laskar Surabaya untuk mengalahkan Giri Kedaton,
maka elit sekarang menggunakan pemilu dan keluguan rakyat Indonesia untuk
saling rebut kuasa. Dulu dan sekarang sama saja, politik selalu tentang
kekuasaan, dan kekuasaan selalu sulit untuk berbagi. Bukan demi uang, tetapi
demi sesuatu yang sesungguhnya absurd : kewibawaan. Sekian. Nuwun.
NB : Monggo di copas
namun alangkah bijaknya disertakan sumbernya
Ojonsentimen banget cah... Panembahan Agoeng Hanyokrokusumo baru mau pakai gelar luwar negri,setelah beliaw tuwa. Sekitar 1640 an, beliaw dipanggil Toehan pada thn 1645 an. Sebelumnnya, beliaw hanya pakai gelar gelar lokal yang pasti bikin takjub, panembahan agung, susuhunan agung, jangan kawatir walau eluu kayaknya nulis nya agak sentimen ama beliaw, its okay, jaman beliau hidup, musuhnnya orang orang hebat pada masanya, gak lokal an atau non lokal an, tenang ajaaa, beliau orang hebat, Bapak Proklamator saja udah kasih gelar pahlawan nasional malahan, gak usah sentimen,
BalasHapusAnd, gw bukan keturunan beliaw.
God bless you man....
👍
BalasHapus