Akarasa – Selamat
datang kerabat akarasa. Wali, saya yakin hampir setiap kita sudah familiar
dengan kata yang satu ini, terlebih kita orang Jawa dan muslim. Pun halnya,
selama ini dalam pemahaman kita, kata Wali adalah serapan dari bahasa Arab
yakni, Waliyu yang artinya pelindung atau kepercayaan. Kemudian jika kita
teruskan lagi kata tersebut menjadi Waliyullah yang artinya pelindung Allah
atau kepercayaan Allah. Pertanyaannya, benarkah Wali adalah Waliyullah?
Sebelum kita mengurai
ini, tulisan ini adalah hipotesa yang saya sarikan dari berbagai sumber dan
sama sekali tidak berusaha mempengaruhi keyakinan kita selama ini. Tak lebih
hanya sebagai penambah wawasan buat kita sekalian, saya harap sampeyan semua
menyikapinya dengan arif bijaksana. Bukan Pak Arif ketua RT lho yaa.
Seperti halnya
istilah-istilah yang saya sebutkan ini, yakni Kiai, Santri, Ngaji, Sunan, dan
tentu juga Wali, kenapa hanya kita temukan di Indonesia? Di negeri jiran yang
masih serumpun pun istilah ini tidak kita temui.
Seperti yang kita tahu,
agama Islam adalah mayoritas dipeluk di Indonesia ini. Tentu saja di di
dalamnya ada banyak Kiai sebagai panutan. Nah, jika demikian apabila Wali adalah
Waliyullah, maka semua Kiai terutama yang khos tentu disebut Wali juga. Namun,
hal demikian ini tidak terjadi. Mengapa? Inilah pertanyaan pentingnya.
Di Nusantara ini,
khususnya Jawa diantara banyak Waliyullah hanya kita kenal ada sembilan orang Wali
atau lazim kita mengenalnya Walisongo. Setidaknya inilah bukti bahwa Wali bukan
Waliyullah. Baik, bisa jadi hipotesa ini provokativ dan mengundang kontroversi,
namun demikian dikesampingkan dulu untuk melanjutkan hingga akhir tulisan ini.
Ketika Raden Patah
mengutus Syekh Dumbo dan Sunan Geseng untuk memanggil Syekh Siti Jenar untuk
menghadapnya ke Demak, sang syekh menolaknya mentah-mentah. Tentu cerita
sejarah ini sampeyan ingat juga toh. Bagaimana Siti Jenar mbangkang tidak mau menghadap Raden Patah di Demak. Tindakan Siti
Jenar ini adalah bukti dia menyangkal kedaulatan kasultanan Demak dan
kepemimpinan Raden Patah.
Atas pembangkangan Siti
Jenar tersebut, Raden Patah kemudian mengutus lima orang Wali atas usulan Sunan
Gresik, yakni Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus, dan
Sunan Geseng untuk mengujunginya di padepokannya di Krendhasawa, Lemah Abang.
Pertanyaannya, ada kekuatan apa dibelakang Siti Jenar yang membuat sultan Demak
ini gentar dan tidak berani gegabah? Logikanya, sebagai seorang sultan tentu
saja mempunyai ribuan pasukan hambok langsung dikirim untuk meringkus sang
syeh. Selesai kan.
Diceritakan, di
padepokan Krendhasawa, Lemah Abang, setelah melalui perdebatan yang panjang,
Walisongo yang diwakili oleh lima orang Wali pun kemudian menyepakati untuk
mengambil keputusan hukuman mati pada sang syekh dengan minum Tirta Marta (air
kehidupan). Siti Jenar menerita putusan mati tersebut dan menjalaninya dengan
lenggono (ikhlas).
Kemudian, Ki Ageng
Pengging yang adalah satu diantara 40 murid utama Siti Jenar adalah penguasa
daerah Pengging. Ki Ageng Pengging inilah yang meneruskan tongkat estafet
dakwah Siti Jenar, seperti halnya sang guru, Ki Ageng Pengging pun mengusik
Raden Patah. Sama nasib.
Seperti yang dilakukan
sebelumnya pada Siti Jenar, namun kali ini Raden Patah sang sultan Demak
mengutus patih Wanapala untuk memanggilnya menghadapnya ke Demak. Apa yang
terjadi. Sama seperti sang guru, Ki Ageng Pengging pun ogah dan menolak dengan
tegas titah sultan Demak tersebut. Inilah bukti penyangkalan Ki Ageng Pengging
atas kedaulatan kesultanan Demak apalagi disuruh mengakui Raden Patah sebagai
penguasanya.
Lagi-lagi, jangankan
mengirimkan pasukannya yang ribuan itu. Raden Patah hanya mengirim Sunan Kudus.
Atas pembangkangannya, Ki Ageng Pengging pun mengalami nasib serupa dengan sang
guru, ia dijatuhi putusan mati dengan cara yang sama, dengan minum Tirta Marta.
Ia menjalaninya dengan rela atas putusan mati tersebut. Dia minum air
kehidupan. Mati. Pertanyaannya, kenapa Syekh Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging
yang menyangkal kedaulatan kasultanan Demak dan mengabaikan titahnya, justru
mentaati Walisongo tanpa ada syarat?
Baik, cukup menarik
toh. Nah, menjawab pertanyaan di atas mari kita mencari tahu dari literasi Cina
terlebih dahulu.
Kata mandari Wei
artinya adalah memangku, sedangkan Li artinya kesusilaan. Jika digabungkan Wei
Li artinya pemangku kesusilaan. Wei Li ini adalah merupakan sebuah jabatan dari
kekaisarab Tiongkok di perantauan yang tugasnya adalah mengurusi orang-orang Tiongkok
diperantauan. Salah satu kewajiban Wei Li ini adalah mengajarkan dan berkuasa
penuh untuk menegakkan kesusilaan atau dalam bahasa lain yang lebih mudah
dipahami Wei Li adalah ajaran dan tradisi serta peraturan. Pendek kata, Wei Li
adalah Guru dan sekaligus Hakim.
Kenapa Syek Siti Jenar
dan Ki Ageng Pengging yang berani menyangkal kedaulatan Kesultanan Demak dan
menolak perintah Sultan Demak justru taat sampai mati kepada Wali Songo? Karena
Syek Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging adalah orang Tionghoa perantauan. Orang
Tionghoa perantauan di pulau Jawa pada zaman itu hanya mengakui kedaulatan
kekaisaran Tiongkok dan kekaisaran Majapahit. Itu sebabnya mereka hanya takluk
kepada pejabat penguasa Majapahit dan pejabat penguasa kekaisaran Tiongkok di
pulau Jawa yaitu Wali Songo.
Mengulang pertanyaan di
atas, mengapa sultan Demak yang mempunyai ribuan pasukan itu gentar menghadapi
Syekh Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging yang justru malah taat tanpa syarat
kepada Walisongo yang kita tahu tak mempunyai pasukan? Jawabanya, karena Raden
Patah juga seorang Tionghoa perantauan.
Adapaun tindakan Raden
Patah mendirikan kesultanan Demak adalah melanggar kesusilaan. Melanggar
tatakrama dalam tradisi Tiongkok seperti yang sudah saya narasikan di atas.
Tindakannya yang berlagak penguasa melanggar kesusilaan. Dia takut kepada
kekaisaran Tiongkok, bukan takut atau gentar pada pribadi Siti Jenar dan Ki
Ageng Pengging. Seperti halnya, tradisi hukuman mati dengan minum racun seperti
yang dilakukan Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging pun bukan suatu tradisi asli
Nusantara, pun Arab. Tradisi semacam ini adalah tradisi Tiongkok kuno.
Tradisi hukuman mati
dengan minum air kehidupan (baca racun) dalam tradisi Tiongkok tidak
diberlakukan pada rakyat jelata. Tradisi semacam ini adalah diperuntukkan bagi
para bangsawan dan pejabat negara dan orang-orang besar saja. Syeh Siti Jenar
dalam Manunggaling Kawula-Gusti mengajarkan bahwa di dunia ini adlaah kematian
dan kematian manusia adalah awal dari kehidupan sejati dan abadi itu. nah, dari
sinilah kemudian racun kematian tersebut disebut air kehidupan (tirta marta).
Kematian Syek Siti
Jenar dan Ki Ageng Pengging yang dijalani dengan ikhlas oleh keduanya dan diterima
dengan jiwa besar oleh para pengikutnya menjadi bukti lain bahwa Wali adalah
jabatan dari kekaisaran Tiongkok. Sekali
lagi, ini adalah hipotesa bisa jadi berseberangan dengan patron yang selama ini
kita ketahui dan yakini. Baik, kita lanjutkan lagi untuk mendalami lebih jauh
hipotesa ini.
Selanjutnya, masih dari
literasi Cina. Kata Bai (baca Pai) dari bahasa mandarin artinya putih. Kemudian
Shan artinya gunung. Jika dua kata ini di gabung adalah Baishan yang artinya
secara harfiah adalah gunung putih. Meski demikian, istilah Baishan ini dalam
bahasa mandarin untuk menyebutkan suatu golongan yang dalam hal ini adalah
orang sufi. Pendek kata, Baishan artinya Sufi. Kemudian kata Ren dalam bahasa
mandarin ini artinya adalah orang. Jika ketika kata tersebut digabung akan ada
satu pelalafalan Baishanren (baca paishanren) yang artinya adalah orang Sufi.
Seiring berjalannya waktu, pelafalan Paishanren ini dalam pengucapan menjadi
Pesantren.
Dalam sejarahnya,
pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan kita baru mengenalnya tidak begitu
jauh dari Indonesia merdeka. Jauh sebelum itu, Pesantren hanyalah kumpulan
paishanren (orang sufi) belaka. Paishanren ini mengakui kedaulatan kekaisarab
Tiongkok dan taat tanpa syarat kepada pejabat penguasa Tiongkok yaitu Wali.
Karena jumlahnya yang sembilan itu kemuidan kita mengebalnya dengan Walisongo.
Sekarang kita beralih
dengan kata Sunan. Apa jawaban sampeyan ketika ditanya tentang asal-usul kata
Sunan ini? Sangat mungkin jawabannya seragam, bahwa kata Sunan adalah
kependekan dari kata Susuhunan yang artinya sesembahan. Benarkan demikian?
Inilah faktanya yang kita pahami selama ini. Lain tidak. Kita hanya memahami
Sunan adalah kependekan dari Susuhunan. Namun bisa jadi pemahaman ini akan
bergeser jika kita menilik dari literasi dari tradisi Tiongkok mengenai
asal-usul kata Sunan ini. Setidaknya, dalam tradisi Tiongkok, ada enam kasta
bangsawan.
Pertama yaitu, Wáng (lafal: wáng) artinya yang dihormati
kolong langit.
Kedua adalah Gōng (lafal:
koung) artinya yang dihormati negeri-negeri.
Ketiga adalah Hóu
(lafal: hóu) artinya yang dihormati bangsa-bangsa.
Keempat adalah Bà (lafal:
pà) artinya yang dihormati beratus marga.
Kelima adalah Zǐ (lafal:
chǐ) yang dihormati masyarakat.
Keenam adalah Nán (lafal:
nán) artinya yang dihormati orang banyak.
Nah, dari keangsawanan
keenam dalam tradisi Tiongkok inilah istilah Sunan berasal. Dasarnya adalah
dari Jun (lafal : Cun) artinya penguasa dan Nan (lafal : Nan) artinya yang
dihormati orang-orang. Jika dua kata ini digabung menjadi Junnan (lafal :
Cunan) artinya pejabat penguasa dari kasta bangsawan Nan.
Tentu ada satu
pertanyaan juga, kenapa para Wali juga disebut Junnan? Tak lain karena mereka
diangkat oleh kekaisaran Tiongkok untuk menjadi pejabat penguasa atas
orang-orang Tionghoa di perantauan dan diberi gelar kebangsawanan Nan oleh
dinasti Ming yang berkuasa di Tiongkok ketika itu (1368-1644).
Di Jawa ini khususnya,
kerajaan Islam terbagi dalam dua sebutan yaitu, kasunanan dan kasultanan.
Seperti yang kita ketahui juga, jika kasultanan diperintah oleh sultan
sedangkan kasunanan diperintah oleh susuhunan atau sunan atau juga seorang
sesembahan dalam padan katanya lagi merupakan orang yang disembah.
Bagaimana kisanak,
lanjut. Baik jika demikian. Dari narasi diatas menjelaskan bahwa kata susuhunan
yang kemudian menjadi sunan ini tak lebih dari gothak-gathuk-an dari pengucapan
kita orang Jawa. Lantas, apa pendukung hipotesa di atas, begitu kan
pertanyaannya?
Begini kisanak, seperti
yang sudah saya singgung di atas. Dalam tradisi Tiongkok suatu gelar
kebangsawanan adalah diwarisakan turun temurun, dari generasi ke generasi. Pun
halnya dengan bangsawan Nan. Jabatan Jun pun diwariskan sampai kemudian dicabut
oleh penguasa yang baru jika pemberi gelar tersebut runtuh misalnya. Itulah
sebabnya gelar Sunan (Junnan) dan jabatan Wali diwariskan ke generasi
berikutnya.
Sebagai contoh saja,
Sunan Gresik mewariskan gelar dan jabatannya ke anaknya, Sunan Ngudung (imam
masjid Demak. Itu sebabnya jumlah Wali selalu songo (sembilan) namun yang
menjabatnya berbeda dari waktu ke waktu. Walisongo lenyap dan penyandang gelar
Sunan pun tidak ada lagi. Apakah hal demikian terjadi karena dinasti Ming
mengakhirinya atau karena Kesultanan Islam Nusantara yang mengakhirinya? Atau
karena kekuasaan dinasti Ming berakhir tahun 1644 dan dinasti Qing yang
menggantikannya melarang orang Tionghoa merantau dan menganggap semua orang
Tionghoa perantauan dan keturunannya adalah pengkhianat?
Sejarah Tiongkok
mencatat, pemerintah Belanda pernah menulis surat permintaan maaf atas tragedi
pembantaian puluhan ribu orang Tionghoa di Batavia tahun 1740 pada kaisar yang
berkuasa kala itu. Kaisar Qianlong (1711-1799) yang berkuasa kala itu justru
menolak permintaan tersebut dan menyatakan orang Tionghoa perantauan dan
keturunannya bukan rakyat Tiongkok lagi. Lebih tragisnya lagi, sang kaisar
menyebut orang Tionghoa perantauan adalah seorang pengkhianat dan pantas mati!
Walah semakin melebar,
konsekuensinya semakin panjang tulisan ini dan saya harap sampeyan membacabanya
hingga di akhir tulisan ini. Sejenak mari kita kembali pada kisah Raden Patah
seperti yang sudah saya narasikan di atas. Lagi-lagi mengulang pertanyaan yang
sama. Raden Patah meskipun sudah mentahbiskan diri sebagai penguasa Jawa namun
tidak berani sembrono menangani perkara Syekh Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging.
Lha wong Belanda yang ngedap-edapi (mengagumkan) dalam segi persenjataan dan
pasukan saja keder pada kekaisaran Tiongkok apalagi Raden Patah yang seorang
Tionghoa, bukan? Itulah sebabnya Raden Patah tidak berani sembrono sesama
Tionghoa perantauan.
Di dalam tradisi
Tionghoa, meskipun gelar jabatan berakhir namun kasta bangsawannya terus
disandang dan diwariskan ke generasi berikutnya. Itu sebabnya meskipun Dinasti
Zhou jatuh namun kasta Wáng (raja) tetap disandang oleh keturunan berikutnya
dan terus diwariskan dari generasi ke generasi. Itu sebabnya meskipun tidak
menyandang gelar Jun lagi namun para keturunan Sunan tetap bangsawan Nan.
Sekarang kita kembali ke literasi dari bahasa mandarin lagi.
Dalam bahasa mandarin,
Yisilan (lafal : yisilan) adalah terjemahan literal dari kata Islam. Jiao (lafal
: ciau) artinya adalah agama. Selain disebut Yisilan jiao, agama Islam juga
dinamai Huijiao (lafal : huiciau). Kemudian Junzhu (lafal : cuncu) artinya
penguasa negeri atau raja. Apa yang terjadi ketika bahsawan Nan keturunan Sunan
menjadi raja negeri?
Mereka menggelari
dirinya Junzhuhuinian (lafal : cuncuhuinian) yang kemudian dalam dialek Jawa
kemudian dilafalkan Susuhunan yang artinya bangsawan Nan raja negeri Islam.
Kemudian Susuhunan lalu disingkat menjadi Sunan. Itulah kisanak, anak bagus,
cah ayu, manakala ketika kita bicara tentang Sunan, harus dipastikan dulu Sunan
yang mana dulu? Sunan singkatan Susuhunan atau Sunan yang Junnan gelar
Walisongo itu?
Bagaimana kisanak,
lanjut atau bagaimana ini. Tanggung yaa, wes kadung teles (basah) njebur
sekalian. Seperti halnya istilah Wali dan Sunan yang sudah saya narasikan
panjang di atas, ternyata istilah Kiai ini pun cukup menarik untuk kita
perbincangkan. Saya rasa semua kita selagi masih orang Indonesia kenal dengan
istilah Kiai ini, namun saya rasa tidak semua dari kita yang tahu istilah Kiai
ini tahu asal-usulnya. Baik, mari kita perbincangkan.
Dari literasi yang saya
dapatkan yang dalam hal ini merujuk dari hipotesa Bambang Noorsena, kata Kiai
berasal dari kata Krian (Jawa kuno) yang kehilangan huruf R. menurutnya,
kata-kata Jawa kuno kehilangan R ketika menjadi kata Jawa modern seperti yang
kita pakai saat ini. Krian artinya yang mulia. Jika menurut hipotersa Noorsena
ini, Krian tanpa huruf R adalah Kian bukan Kiai. Sepertinya untuk kata Krian yang
kehilangan huruf R ini, tanpa mengurangi rasa hormat hal ini ora mathuk (tidak
tepat). Krian adalah gelar yang diberikan oleh raja Majapahit bagi pembesar. Hanya
raja yang berhak memberi gelar Krian kepada seseorang. Itulah sebabnya guru
agama Islam mustahil gelarnya Krian.
Lain lagi pendapat dari
alm. Nurcholish Madjid. Istilah lain untuk menunjuk guru di pesantren adalah ‘Kiai’
juga dari serapan bahasa Jawa. Penyebutan ‘Kiai’ untuk laki-laki dan ‘Nyai’
untuk perempuan lazim digunakan orang Jawa untuk memanggil kakek dan neneknya. Kata
‘Kiai’ dan ‘Nyai’ dalam hal ini mengandung pengertian rasa penghormatan
terhadap orang tua. Opo iyo, orang Jawa memanggil kakek dan neneknya dengan
Kiai dan Nyai? Kebetulan saya orang Jawa, saya tidak pernah menemui penyebutan
ini. Umumnya orang Jawa memanggil kakek dan neneknya dengan Eyang Kakung/Uti
atau Mbah Nang dan Mbah Dok.
Setahu saya juga
penyebutan Kiai untuk kakek ini juga tidak saya temui di Sunda, orang Sunda
umumnya memanggil kakeknya dengan Aki dan neneknya dengan Nini sedangkan untuk
kata Nyai dalam budaya Sunda untuk menyebut perempuan secara umum. Sederhanaya,
memanggil guru agama Islam dengan kakek sama sekali tidak masuk akal, bukan?
Kisanak, kesekian
kalianya kita cari padan katanya dari bahasa mandarin. Kata Jiao (lafal : ciau)
dalam bahasa mandarin artinya adalah mengajar. Yi (lafal : yi) adalah aksara
pertama Yisilan. Seperti yang sudah saya terangkan di atas, Yisilan adalah
terjemahan literal Islam. Dalam hal ini, Yi artinya Islam. Kemudian, Shi (lafal
: shi) artinya guru. Jiaoyishi (lafal : ciauyishi) artinya guru agama Islam. Nah,
dalam tradisi Tiongkok sejak jaman dahulu kala adalah menyingkat kata, akhirnya
tak pelak lafa; Ciauyishi pun disingkat menjadi Ciauyi yang kena pengaruh logat
Jawa menjadi Kiai. Guru agama Islam.
Kemudian, kata ‘Santri’
ada satu pendapat yang menyatakan jika istilah santri ini berasal dari bahasa
Tamil yang berarti guru mengaji. Pendapat yang lain lagi mengatakan istilah
santri berasal dari kata ‘shastri’ dari bahasa India yang berarti orang yang
mengetahui buku-buku suci agama Hindu. Pendapat yang saya sebutkan belakang ini
kuatkan oleh satu pendapat yang lain lagi. Pendapat penguat ini menyatakan
bahwa pendidikan pesantren jika dilihat dari segi bentuk dan sistemnya, memang
mirip dengan pendidikan ala Hindu di India.
Kisanak, seperti yang
kita tahu, bahasa Tamil bukanlah bahasa pergaulan dunia (lingua franca) dan
umat Hindu di Nusantara ini tidak menggunakan bahasa Tamil, namun memakai
bahasa Sansekerta. Sepertinya kurang logis para Kiai mewarisi bahasa Tamil dari
umat Hindu Nusantara, apalagi blusukan ke Tamil untuk mencari kata guna
menyebut mereka yang belajar agama Islam kepadanya. Santri versi Tamil adalah
Guru ngaji. Sedangkan Santri di pesantren dalam pengertian kita adalah Murid. Jadi
tidak logis Santri di pesantren menurut Santri versi Tamil. Pun Shastri yang artinya
Pakar kitab suci. Santri yang belajar di pesatren adalah Murid yang belajar
agama Islam. Versi dari India ini pun tidak pas.
Hal berbeda tentang
kata Santri justru dari pandangan Nurcholish Madjid. Menurutnya, kata Santri
yang digunakan untuk peserta didik di pesantren berasal dari bahasa Jawa ‘Cantrik’
yang berarti seseorang yang selalu mengikuti guru kemana saja guru pergi denga
tujuan untuk mempelajari ilmu yang dimiliki oleh sang guru. Sayangnya, kata
Cantrik ini masih digunakan sampai sekarang. Itu sebabnya tidak ada alasan
untuk mengeditnya menjadi Santri bila
yang dimaksudkan adalah cantrik, bukan?
Lain cak Nur lain pula
pendapat Mbah Yai Sahal Mahfudz. Dalam pendapatnya, kata Santri berasal dari
bahasa Arab, yakni dari kata ‘santaro’ yang berarti menutup. Kalimat ini
mempunyai bentuk jamak (plural) sanaatir (beberapa santri). Jika merujuk ini, tanpa
mengurangi rasa hormat, seperti yang kita tahu danpahami dalam logika awam
sekalipun, Santri adalah orang yang belajar agama Islam, bukan belajar menutup.
Sepertinya tidak pas jika Santri adalah dari kata Santaro.
Dalam bahasa mandarin,
Baishan (lafal : paishan) artinya Sufi. Laoshi (lafal : laoshi) artinya guru
tua. Yanti (lafal : yanthi) artinya murid muda. Baishan Yanti (lafal : paishan
yanthi0 artinya murid Sufi. Seperti yang sudah saya singgung di atas, tradisi
Tiongkok yang sering menyingkat kata makan Baishan Yanti pun disingkat menjadi
Shanti. Bisa jadi karena pengucapan thi hampir sama seperti tri maka Shanthi
pun dilafalkan Santri.
Kemudian, istilah lain
yang berasal dari Jawa dan sering dipakai dalam tradisi pesantren adalah Ngaji
dan Njenggoti. Kata Ngaji yang digunakan untuk menunjuk kegiatan Santri dan Kiai
di pesantren ada satu pendapat yang menyebutkan dari serapan kata ‘Aji’ yang
artinya terhormat dan mahal. Kata Ngaji ini biasanya disandingkan dengan kata
Kitab, contohnya ‘Ngaji Kitab” yang berarti kegiatan Santri pada saat
mempelajari kitab yang berbahasa Arab. Oleh karena itu Santri banyak yang belum
mengerti bahasa Arab, maka kitab tersebut oleh Kiai diterjemahkan kata demi
kata ke dalam bahasa Jawa.
Para santri mengikuti
dengan cermat terjemahan Kiainya dan mereka mencatatnya pada kitab yang
dipelajari, yaitu di bawah kata-kata yang diterjemahkan. Kegiatan mencatat
terjemahan ini di pesantren biasa dikenal dengan istilah "Njenggoti",
karena catatan mereka itu menggantung seperti janggut pada kata-kata yang
diterjemahkan.
Penggunaan istilah Jawa
di atas menunjukkan bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di
Indonesia merupakan khas Indonesia. Pada awalnya pesantren lahir di Jawa dan
selanjutnya berkembang ke luar Jawa. Dalam bahasa Jawa, sinomin kata Aji adalah
paduka, baginda, raja. Ngaji adalah belajar menulis dan membaca huruf Arab.
Menyatakan Ngaji berasal dari kata Aji lagi-lagi kurang pas.
Mari kita cari rujukan
padan kata dari bahasa mandarin untuk menilik dari sisi lain istilah Ngaji dan
Njenggoti ini. Dalam bahasa mandari Gou (lafal : kouw) artinya mengait. Ji (lafal
: jhi) artinya menyelidiki. Gouji (lafal : kouwji) artinya mempelajari
(menyelidiki). Gu (lafal : ku) artinya kuno. Jigu (lafal : jiku) artinya kitab
kuno (suci). Gouji jigu (lafal : kouwji jiku) artinya mempelajari (menyelidiki)
kitab kuno (suci). Dalam pelafalan keseharian masyarakat Tiongkok maka Kouwji
jiku pun diucapkan menjadi kouwji saja. Karena pengaruh logat Jawa maka lafal
kouwji pun menjadi Ngaji.
Dan akhirnya kita
sampai pada penghujung tulisan panjang ini kisanak. Namun saya tambahkan
sedikit untuk melengkapi tulisan ini. Ada satu anggapan bahwa sejarah adalah
karya pemenang. Atau dalam lain bahasa sejarah ditulis oleh pemenang? Hal demikian
dari literasi yang saya baca tidak terjadi dalam tradisi Tiongkok. Raja atau
kaisar tidak memberi perintah kepada pencatat sejarah. Pencatat sejarah dinasti
mencatat apa adanya, tidak ada yang ditutup-tutupi dan kemudian menyimpannya di
kotak sejarah dan menguncinya. Pencatat sejarah pun tidak diperkenankan membaca
kitab sejarah apalagi yang ditulisnya. Cacatan sejarah ini tidak boleh dibaca
selama raja masih hidup.
Ketika generasi
selanjutnya membaca kitab sejarah dia boleh menulis komentar namun tidak boleh
mengubah apalagi memusnahkan yang tertulis. Memahami yang kuno apa adanya untuk
mengerti hari ini lalu mencatanya adalah jalan susilawan (jūnzǐ dào) berbakti kepada generasi selanjutnya.
tulisanya keren kang mas sy baru tau. . .
BalasHapusLanjut kang. . . .
Makasih atas rawuhe kang..
Hapusmasuk akal kang
BalasHapusMakasih kang atas kunjungannya..
HapusSusuhunan bukannya dari kata suhu, mas? Trus kyai itu singkatan dari ki yayi. Nyai itu dari ni yayi
BalasHapusKyai -> ki yayi. Nyai -> ni yayi. Susuhunan ->suhu
BalasHapus