Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Kaya. Satu kata yang pendek yang saya yakin sebagian besar
orang yang masih bernafas pasti menginginkannya. Bahkan, hampir dapat dikatakan
tidak mungkin orang di dunia ini yang tidak mau kaya atau dalam bahasa lainnya
bercita-cita untuk miskin. Keblinger po pie. Bener toh?
Kita misalnya, orang
biasa atau bahasa kerennya wong cilik yang satuan rupiah paling besar berkisar
puluhan juta atau hanya jutaan, uang serarus juta adalah jumlah yang sangat
besar. Bahkan terkadang malah bingung mau dibelanjakan apa itu uang. Bahkan bisa
jadi, terlampau besar untuk sekadar dibayangkan oleh akal kita yang putaran
uang dalam sebulan cukup sejuta atau dua juta. Dan uang seatus juta ini makin
tak terbayangkan lagi bagi mereka yang putaran uangnya di kelas ratusan ribu. Baik,
mari kita bayangkan uang seratus juta itu kita belikan krupuk, kira-kira dapat
seberapa truk.
Sebenenya, narasi
diatas adalah simpulan dari obrolan semalam saat kopdar dengan temen-temen
motor di salah satu café jalanan di kawasan Mangkbumi. Kami, para pemotor
memberi nama orbrolan itu omong klobot, tanpa tata tertib, tanpa rambu-rambu
logika. Meski demikian obrolan tersebut jujur dan polos dalam menyikapi isu
keadaan terkini, tahu sendiri toh ada kasusnya seorang wanita bupati di barat
Jogjakarta. Namun disini saya tidak hendak membincang tentang tentang wanita
bupati tersebut secara khusus. Baik, kita kembali lagi ke topik awal yakni
tentang kaya dan kekayaan.
Tentang kaya dan
mengumpulan kekayaan tentu ada beragam cara yang bisa dilakukan. Sebagian orang
menghabiskan waktunya untuk menemukan berbagai cara agar cepat menjadi orang
kaya. Sebagian lagi menikmati tahap demi tahap dari proses perjalanan suksesnya
menjadi orang kaya, sambil menangkap pesan pembelajaran dari setiap kejadian
yang dilihat, dengar dan alami. Cepat atau lambat bagi orang yang model ini tak
terlalu dipermasalahkan yang penting bagaimana ia terus bergerak, melangkah,
menangkap pelajaran serta menikmati proses alaminya.
Sementara ada juga yang
tak berhasrat sama sekali untuk jadi orang kaya, lha wong sejak melek ndunyo
wes sugih. Terlahir di keluarga kaya adalah keberuntungan murni, berusaha
menjadi orang kaya adalah pilihan. Siapa saja boleh memilihnya dan siapa saja
boleh tidak memilihnya. Diantara orang-orang yang memilih untuk menjadi orang
kaya tidak sedikit yang berusaha menempuh jalan pintas agar cepat kaya. Tidak
heran juga karena sifat dasar manusia memang maunya yang enak-enak saja...yang
mudah-mudah saja...dan yang cepat tentunya. Berbagai cara cepat kaya berusaha
ditemukan oleh orang-orang yang memilih berjalan dijalur ini. Salah satunya
yang paling gampang jika seorang pejabat adalah korupsi, dan sebagian
diantaranya lagi yang percaya dengan mencari pesugihan. Dua cara instan yang
seringkali menjadi pilihan manakala manusia dibutakan oleh gaya hidup.
Padahal di banyak
peristiwa kehidupan bertutur bahwa yang alami itu adalah berjalan sesuai
tahapan demi tahapan dan segala sesuatunya ada prosesnya. Tidak banyak
pembelajaran yang didapat jika kita menghilangkan atau memotong proses dari
sesuatu. Dan seandainya pun kita bisa menghilangkan atau memotongnya tetap saja
harga dari proses itu kita bayar dalam bentuk lain, entah sekarang atau nanti.
Karena tidak ada yang gratis di dunia dualitas yang sarat pembelajaran ini.
Semakin cepat kita mendapat sesuatu maka semakin besar pula peluang sesuatu itu
akan hilang dengan cepat.
Seperti yang sudah saya
singgung di atas, yakni tentang pesugihan. Tentu ada satu pertanyaan mendasar
yakni bagaimana cara dan tempatnya di mana? Tempat-tempat muja ini banyak, baik
di Jawa ini maupun di luar Jawa. Tapi secara umum tempat-tempat tersebut lebih
banyak di Jawa, entah bagaimana muasalnya hingga ada mitos semacam ini. Pun juga,
dari beragam tempat yang berbeda, biasanya tata caranya akan berbeda pula.
Di Jawa ini misalnya,
dari ratusan atau bahkan bisa lebih ada dua diantaranya yang paling terkenal,
yakni Gunung Kemukus dan Gunung Kawi. Saya rasa bagi sebagian dari sampeyan
sudah tidak asing dengan mitos dua gunung tersebut. Tapi saya rasa, bagi yang
melakukan praktik seperti ini adalah orang yang berputus asa. Jika di Gunung
Kemukus yang di puja dan diyakini bisa membantu mendapatkan kekayaan secara
instan adalah pangeran Samudra yang konon adalah priyayi dari Mataram. Seperti
halnya juga yang ada di Gunung Kawi, dua orang bagsawan yang dimakam sejajar
dalam satu liang lahat tersebut, keduanya juga berasal dari wangsa Mataram.
Baik, mari kita
telusuri lebih jauh sejarah dan asal-usul dua orang tersebut. Makam yang
pertama adalah Kyai Zakaria II, atau lebih sering orang mengenalnya dengan nama
Mbah Djoego. Mbah Djoego ini konon adalah seorang ulama yang terkenal pada
jamannya dan berasal dari Surakarta. Kemudian yang kedua adalah Raden Mas Iman
Soedjono, seorang ningrat yang merupakan salah satu senopati dari Kasultanan
Yogyakarta.
Silsilah Kyai Zakaria
II atau Mbah Djoego ini masih bersambung dengan Paku Buwono I (Pangeran Puger)
yang memerintah Mataram 1705-1719. Berikut ini silsilahnya;
Paku Buwono I
Bendoro Pangeran Haryo (BPH)
Diponegoro (bukan Ontowiryo).
Kanjeng Kyai Zakaria I,
seorang ulama besar pada jamannya.
Raden Mas
Soeyokoesoemo/Raden Mas Soeyodiatmodjo.
Nama yang terakhir di
atas setelah dewasa, karena kemampuannya yang mumpuni dan ketekunannya dalam
mempelajari hal – hal keagamaan, atas perkenan Paku Buwana V, Raden Mas Soeryo
Koesoemo mengubah namanya sesuai “peparing Dalem Asmo” (Pemberian Nama oleh
Sunan), nunggak semi dengan ayahandanya, menjadi Kanjeng Kyai Zakaria II. Jadi,
Raden Mas Soeryo Koesoemo atau Raden Mas Soeryodiatmodjo itulah Kanjeng Kyai
Zakaria II.
Belakangan dalam
pengembaraannya ke daerah Jawa Timur, sesudah Diponegoro atau Pangeran
Ontowiryo sebagai pemimpin tertinggi dalam perjuangan melawan penjajah
ditangkap oleh Belanda di Magelang, Kyai Zakaria II berganti nama. Ia tidak
lagi menggunakan nama bangsawan atau ulama keraton yang sudah terkenal itu,
melainkan nama seperti rakyat biasa. Mungkin dengan tujuan agar identitasnya
tidk diketahui oleh orang lain, terutama pihak Belanda. Nama yang ia pergunakan
adalah Mbah Sadjoego atau singkatnya Mbah Djoego. Sesudah meninggal ia
dimakamkan di Gunung Kawi. Sesuai dengan wasiat beliau tatkala masih hidup.
Sedangkan silsilah
Raden Mas Iman Soedjono, agaknya tercatat lebih lengkap. Bukti autentiknya
terdokumentasikan dalam Surat Kekancingan (Surat Bukti Silsilah) dari Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat yang dimiliki oleh Raden Asim Nitirejo, cucu Raden
Mas Iman Soedjono. Surat tersebut tertulis dalam huruf Jawa bernomor 4753, dikeluarkan
tanggal 23 Juni 1964. Dalam surat tersebut diterangkan silsilah kelahiran Raden
Mas Iman Soedjono sebagai berikut :
Sultan Hamengku Buwono
I – memerintah Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat sejak tahun 1755-1792 – pada
waktu kecilnya bernama Bendoro Raden Mas Soejono. Dari istrinya yang bernama
Bendoro Raden Ayu Dayo Asmoro, berputera Bendoro Pangeran Aryo (BPA) Balitar.
Pangeran Balitar
kemudian berputera Kanjeng Raden Ayu Tumenggung (KRAT) Notodipo. Kemudian Raden
Mas Iman Soedjono menikah dengan salah seorang anggota laskar “Langen Kesumo”,
prajurit wanita dari laskar Keraton Yogyakarta, yang ketika pecah perang Jawa
turut ambil bagian. Laskar ini dipimpin oleh senopati – senopati wanita yang
terkenal, salah satunya yakni Raden Ayu Ratnaningsih (istri Pangeran Diponegoro).
Prajurit wanita yang diperistri oleh Raden Mas Iman Soedjono bernama Raden Ayu
Saminah. Sehari – hari dalam kelaskaran Langen Kesumo maupun dalam kelaskaran
Diponegoro, Raden Ayu Saminah biasa dipanggil Nyi Djuwul.
Pasangan Raden Mas Iman
Soedjono dan Raden Ayu Saminah dikarunia seorang putri yang cantik, luwes dan
berperangai lembut. Walaupun dilahirkan dilingkungan pedesaan, putri yang satu
ini tidak tampak seperti anak desa pada umunya : Pamor trah rembesing madu
kentara sekali. Oleh sebab itu putri ini dinamakan Raden Ayu Demes.
Setelah dewasa Raden
Ayu Demes oleh ibundanya dinikahkan dengan kemenakan Ki Kasijo, pengikut
terdekat dan terpercaya Raden Mas Iman Soedjono. Kemenakan Ki Kasijo itu
bernama Tarikun Karyoredjo, berasal dari Tuban, Jawa Timur. Demikianlah sekilas
tentang dua tokoh yang sekarang makamnya disalahpahami oleh sebagian orang. Akhir
kata semoga bermanfaat. Nuwun.
0 on: "Janji Kekayaan dari Dua Pengikut Setia Diponegoro"