Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Perjalanan mendaki gunung bukan soal cepat atau lambat sampai
di tujuan. Perjalanan mendaki gunung bukan lomba lari, bukan lomba jalan cepat.
Bukan tentang siapa yang duluan, siapa yang terlambat. Karena sejatinya hakikat
mendaki gunung bukanlah menaklukkan puncaknya, akan tetapi menaklukan diri
sendiri.
Meskipun toh dalam
prosesnya, ada masanya untuk kita menikmati. Bahkan seringkali menengok kanan,
kiri, depan, belakang. Setidaknya dalam perjalanan, kita butuh jeda, butuh
berhenti sejenak, merenggangkan kaki, mengatur lagi napas. Adakalanya kita
butuh jeda, untuk menikmati perjalanan. Nikmatilah, selagi masih bisa. Jika
sakit, menangis juga boleh. Jika bahagia, tersenyumlah juga tidak ada yang aru –
aru. Jadilah kembali seperti manusia, yang penuh kekurangan itu.
Tulisan yang sampeyan
baca ini adalah kelanjutan tulisan sebelumnya Jelajah Gunung Slamet : PendakianTerakhir Seorang Sahabat monggo di baca terlebih dahulu agar ceritanya tidak
parsial alur ceritanya.
Dari Desa Bambangan
hingga sampai puncak gunung Slamet ini sekurangnya ada 9 pos yang mesti kami
tempuh. Perjalanan menuju pos 1 sudah cukup mengesankan, sejauh mata memandang
terhampar panorama khas lereng pegunungan, tanaman sayur mayur. Perjalanan dari
plawangan Bambangan menuju pos 1 (pesanggrahan) lumayan landai, namun di jalur
ini kita harus teliti. Karena jalurnya banyak bercabang. Cacatan penting pada
jalur menuju pos 1 ini adalah jangan sampai salah ambil jalur, ambil jalur yang
kiri pada jalan bercabang setelah lapangan. Tak kurang dari dua jam kami sampai
di pos 1 (pesangrahan).
Setelah menghabiskan
sebatang rokok kretek, kami pun melanjutkan kembali perjalanan menuju pos 2
atau oleh para pendaki sering menyebutnya Pondok Walang. Suguhan panorama pada
track ini relatif sama dengan pos 1. Pemandangan didominasi oleh hamparan sayur
seluas mata memandang, meski dibeberapa bagian pohon pinus sudah mulai nampak
dibagian kanan. Kurang lebih 2 jam, akhirnya kami sampai pada pos 2, Pondok Wayang.
Kami istirahat sejenak di pos ini, mungkin sekitar 20-an menit sebelum
melanjutkan perjalanan menuju pos 3 atau Pondok Cemara.
Gelap mulai terasa
ketika kami berajak dari pos 2. Memasuki wilayah sepanjang jalur pos 2 menuju pos
3 perjalanan reatif lamban. Selain karena hari sudah gelap, pada jalur ini kami
sudah memasuki hutan pinus yang kerapatan vegetasinya tinggi. Pohon–pohonnya pun
lumayan besar–besar, belum lagi jalanan pada track ini relatif lebih menantang.
Terjal dan panjang. Cukup menguras tenaga dan tentu saja mental kami. Sekira 2
jam kurang dari pertama kami berajak dari pos 2, maka kami sampai pada pos 3. Di
pos 3 ini kami memutuskan lebih lama untuk istirahat, sambil mengeluarkan
perbekalan kami untuk kami santap di pos 3 ini. Dan bahkan, jika mungkin tidak
memungkinkan kami juga sempat berencana untuk menginap di pos 3 ini.
Karena sudah beranjak
malam, suhu udara pun sudah mulai membuat gigil. Akhirnya di pos 3 ini kami
memutuskan untuk membuat perapian ala kadarnya. Do pos 3 ini ada beberapa
kejadian janggal dan cukup aneh. Salah satu diantaranya kami melihat sesosok
mahkluk yang merayap dan berloncatan diantara dahan – dahan pinus di atas kami.
Awalnya kami mengira dan bermain logika itu adalah sejenis tupai, karena
ditimpa oleh cahaya perapian maka seakan besar. Tapi ternyata setelah sosok
tersebut benar – benar relatif lebih dekat, memang besar sekali dan bukan tupai.
Lebih mirip kera, namun badanya agak tegap seperti manusia. Untungnya binatang
atau sosok yang misterius itu tidak lama mematung di salah satu dahan pinus,
kemudian meninggalkan kami.
Setelah mengemasi
perbekalan yang sempat kami keluarkan untuk kami santap malam di pos 3 ini. Sambil
menunggu perapian habis, kami ngobrol ringan sambil menikmati rokok masing –
masing. Tiba – tiba dari arah kanan pos 3 ini ada sergapan angin yang cukup
kuat, bahkan bercampur debu. Meski itu tidak berlangsung lama. Kami hanya
saling diam tanpa berusaha untuk mengomentari. Namun tetap waspada mengamati
lingkungan sekitar. Sepertinya angin kuat tersebut hanya menerpa kami saja,
karena dahan- dahan pohon disekitar tidak ikut bergoyang.
Seketika itu saya jadi
teringat obrolan di warung dengan seorang ibu – ibu mantan pendaki tentang hal –
hal yang aneh berbau misterius di jalur pendakian gunung Slamet ini. Salah satunya
terdapat makhluk kerdil yang dahulunya adalah manusia yang tersesat ketika
sedang mendaki gunung Slamet dan akhirnya tidak bisa kembali ke bawah. Makhluk
kerdil tersebut awalnya mencoba bertahan hidup dengan memakan dedaunan seperti
hewan, tetapi seiring waktu makhluk kerdil tersebut kehilangan jati diri
manusia karena terlalu lama hidup seperti hewan. Makhluk kerdil tersebut suka
bersembunyi karena takut jika bertemu pendaki. Apakah sesosok bayangan yang
bertengger itu adalah makhluk tersebut? Entahlah, kami tidak ingin berprasangka.
Seperti saling mengerti
satu sama lain, kami pun bergegas segera meninggalkan pos 3 ini untuk
melanjutkan perjalanan ke pos selanjutnya, yakni pos 4 atau dalam kalangan
pendaki sering menyebutnya pos Samarantu. Konon kata Samarantu ini adalah
penggabungan dari suku kata Samar dan Hantu,
yang dikenal paling angker di sepanjang jalur Bambangan. Mitosnya lagi, sangat
tidak dianjurkan untuk coba-coba untuk mendirikan tenda karena konon katanya
banyak makhluk gaib yang akan mengganggu pendaki ketika bermalam di Pos
Samarantu.
Dari jalur pos 3 kondisi
vegetasi menuju pos 4 masih relatif sama dengan yang sebelumnya, masih banyak
pohon-pohon besar dan rapat dengan track yang panjang dan sedikit sekali
bonusnya, kami hampir tidak menemui jalur yang landai. Akhirnya setelah
berjibaku selama kurang lebih 2 jam perjalanan yang bisa dibilang gontai akhirnya
kami sampai juga di Pos 4, pos yang konon angker itu. Pos Samarantu.
Mungkin karena alm.
Zarin termakan oleh cerita horor di pos 4 atau Pos Samarantu ini, kami hanya
istirahat sejenak. Padahal, saya sudah sangat kelelahan. Maklum faktor U tidak
bisa dibantah. Namun demikian, saya pun kemudian serujuk untuk meneruskan
perjalanan menuju pos selanjutnya, yakni pos 5 atau Samyang Rangkah. Saya kurang
tahu kenapa dinamakan demikian. Saya jadi teringat oleh cerita ibu – ibu di
warung siang tadi yang sempat menceritakan puncak gunung Slamet ini dinamakan
pucak Surono. Ceritanya, dahulu ada seorang pendaki gunung bernama Surono yang
meninggal di puncak Gunung Slamet karena jatuh ke Jurang, sehingga untuk
menghormatinya nama puncak Gunung Slamet bernama Puncak Surono. Di puncak ini
terdapat tugu penghormatan untuk mengenangnya.
Dari Pos Samarantu
menuju Pos Samyang Rangkah ini karakteristiknya hampir sama dengan sebelumnya. Tidak
ada bonusnya sama sekali, adanya cuma menanjak yang memang tidak terlalu terjal.
Ditengah perjalanan mendadak tubuh saya menggigil, seperti gejala hypotermia
(kehilangan panas tubuh karena faktor dingin dan fisik yang menurun). Situasi seperti
ini membuat Zarin panik, hingga membantu saya menurunkan ransel dan
mengeluarkan kopi yang tersimpan di termos yang sempat kami buat di pos 3. Ee..
alaaaah ternyata penyebabnya adalah air perbekalan kami dalam dirigen yang saya
bawa merembes keluar dari carrier hingga membasahi punggung. Inilah penyebabnya,
kami saling ketawa. Kadang hal – hal sederhan seperti hal barusan cukup
menghibur. Namun tak ayal, karena fisik saya menurun tetap saja tubuh saya
menggigil.
Akhirnya kami putuskan
untuk membuka tenda tak jauh di tanah lapang tak jauh dari Pos Samyang Rangkah.
Saking capeknya barangkali,
hingga ketika bangun matahari sudah hampir berada di atas ubun – ubun. Jam menunjuk
pukul 10 pagi lewat. Saking nyamannya hingga lupa waktu. Terkadang saya bingung
dengan kata nyaman. Banyak orang mengatakan nyaman tanpa deskripsi yang jelas.
Kalau saya, nyaman itu seperti memakai baju. Apakah tidak pakai baju enak?
Tidak. Apakah pakai baju enak? Iya. Sederhanya begitulah menurut saya.
Setelah sarapan resmi
dan terenak bagi kalangan pendaki, yakni mie instan. Kami pun segera packing
merapikan perlengkapan kami kembali dan bergegas melanjutkan perjalanan. Matahi
sudah terik – teriknya, meski hawa dingin sudah menyungkupi pada areal pos 5
ini, namun tak menghalagi gaharnya sang teja menyengat melalui teriknya. Tetap saja
terasa panas. Tak lama, setelah sampai di Pos 5 kami bertemu dengan sekelompok
pendaki dari mahasiswa UGM Jogja, tetangga dewe.
Kemudian kami pun terlibat
perkenalan dan pembicaraan mengenai info pendakian ke pos selanjutnya, dari
mereka kami mendapatkan info bahwa jalur dari Pos 5 menuju Pos 9 cenderung
semakin bersahabat baik dari segi waktu tempuh maupun kondisi tracknya. Hanya
saja yang akan cukup menguras tenaga dan waktu adalah ketika menuju puncak dari
Pos 9. Oleh sebab itu kami disarankan untuk kembali transit camp ketika sampai
di Pos 7 untuk kemudian ke esokan harinya melanjutkan perjalanan menuju puncak.
Setelah dirasa cukup
mendapatkan info dan saling menawarkan logistik yang masing – masing, kami pun
melanjutkan perjalanan kembali. Pos 5 ke Pos 6 (Samyang Jampang) memakan waktu
kurang lebih 1,5 jam perjalanan santai dengan kondisi vegetasi yang masih cukup
rapat dan track yang masih cukup membuat nafas terengah-engah. Bagitu pula dengan
kondisi waktu tempuh dan karakteristik track dari Pos 6 menuju Pos 7 (Samyang
Katebonan) tak jauh berbeda dengan sebelumnya.
Menjelang senja, kami
sudah tiba sampai Pos 7, alhamdulillah sesuai rencana. Di Pos 7 ini kami tidak
mendirikan tenda, mengeluarkan
perbekalan kami untuk santap malam. Jangan tanya apa yang diolah, seperti biasa,
mie instan dan sarden. Setelah menghabiskan sebatang rokok, alm. Zarin sukses
dengan dengkurannya. Sesuai kesepakatan kami untuk berusaha tidur sore,
mengumpulkan stamina yang terkuras dua hari ini.
Senyatanya, saya tidak
sukses seperti rekan saya dengan dengkurannya. Meski sudah berusaha kuat tetap
saja mata ini enggan terpejam. Selang beberapa saat kemudian terdengar hujan
turun, meski tidak terlalu lebat. Mungkin karena kabut tebal yang mulai
menyungkupi area pos 7 ini. Sebuah berkah, saya kemudian keluar sambil membawa
nesting (alat masak sejenis panci khas pendaki) dan memotong bagian botol air
mineral untuk menampung air hujan yang luruh dari atap tenda.
Yah cukup lumayan air
yang tertampung untuk sekedar membantu menghemat persediaan air yang kami bawa
dalam mengolah bahan makanan dan minuman yang ada. Didalam pendakian memang
kita mesti survive dan sigap dalam memanfaatkan sesuatu hal yang berasal dari
alam. Hal ini beguna untuk mengantisipasi hal yang bisa menghambat
lancarnya proses pendakian kita di gunung, seperti kehabisan air padahal
digunung tersebut susah untuk mendapatkan sumber air apalagi bila musim
kemarau. Air didalam proses pendakian memegang peranan penting, jadi wajib bagi
pendaki untuk tidak mengabaikan ketersediaan air dalam usahanya mencapai tujuan
didalam pendakian tersebut.
Ketika hari mulai beranjak
malam dan hujan pun sudah reda, kurebahkan raga saat waktu bertengger pada
titik 21.00. Namun belum juga raga mendulang tenaga, serombongan pendaki telah
tiba. Mereka adalah pendaki UI Sawangan Depok. Sebagian dari mereka mendirikan
tenda tak jauh dari Pos 7. Sebagian yang lainnya memilih menikmati malam. Membikin
api unggun, kenyamanan yang sempurna menikmati malam di ketinggian pulau Jawa
ini. Tak membutuhkan waktu yang lama untuk menjalin keakraban sama mereka. Begitulah
adabnya pendaki, ketika di ketinggian semuanya adalah saudara senasib dan
sepenangungan. Tidak penting lagi apa status sosial kita. Kami pun berbagi
tempat di Pos 7 ini untuk merebahkan diri, menjemput mimpi masing-masing. Sementara
rekan saya sukses dengan nyanyian tidurnya. Ngorok alias mendengkur.
Saat udara dingin
pegunungan sedang puncak-puncaknya menusuk tulang, saya dikejutkan oleh anak –
anak mahasiswa yang sedang mempersiapkan diri untuk summit attack. Sepertinya mereka
berencana menyambut mentari terbit diatap langit tertinggi di Jawa Tengah ini. Rupa
– rupanya rekan saya Zarin sudah terlibat obrolan serius dengan mereka. Bagusnya
lagi, dia sudah menjerang air membuat teh hangat. Sementara serombongan
mahasiswa sudah mulai beranjak meninggalkan pos 7 dengan meninggalkan bawaan
mereka begitu saja di pos 7 ini. Sedangkan kami masih bertahan di pos 7 ini,
karena berencana naik agak siangan.
Sementara, dibatas
cakrawala terlihat tanda-tanda alam yang memamerkan kilau cahaya emasnya. Fajar
mulai menyingsing. Sambil menunggu keindahan mentari terbit. Tetapi tanda-tanda
alam menunjukkan bahwa hari ini hal itu tidak akan terjadi. Kabut tebal datang
membuyarkan harapan. Tubuh kami mulai merasa kedinginan. Sekedar untuk
mengatasinya, kami harus berjalan, melakukan kegiatan fisik. Hal inilah yang
mendorong kami untuk segera meninggalkan selter tujuh. Tepat pukul 05.30, kami
berangkat untuk menikmati indah alam Indonesia dari ketingian Slamet. Semburat
merah masih memberi harapan, maka melesatlah langkah kami untuk segera sampai
di pos delapan dengan harapan matahari mau memperlihatkan moleknya. Bersambung…..
0 on: "Jelajah Gunung Slamet : Disambut Manusia Kerdil di Pos 3 [2]"