Berjalanlah. Pilih jalur yang kau anggap bisa kau taklukkan. Meski terjal, meski berkabut. Jangan biarkan orang lain memotong jalurmu. Nanti pada suatu ketika, kau pasti akan bertemu persimpangan. Jangan gamang. Menyetialah pada apa yang terdengar di dalam hatimu. Hanya di hatimu. –akarasa--
Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Secara pribadi, perjalanan itu maknanya lebih dalam daripada
sekedar mengambil foto diri sebagai bukti dan kenangan. Perjalan adalah media
renungan, perpindahan, pencarian makna hidup, dan cara untuk merindukan pulang
ke rumah. Semewah apapun terminal, kita tidak akan tinggal disana selamanya,
karena terminal hanya persinggahan dalam perjalanan menuju tempat tujuan.
Atas saran dari
rombongan mahasiswa UI yang terlebih dulu melanjutkan pendakian dan mereka pun
meninggalkan sebagian perbekalannya di Pos 7 ini, hal yang sama pun kami
lakukan. Karena tidak semuanya akan digunakan selama proses naik dan turun
puncak dari pos 7. Tidak perlu mengkhawatirkan, karena tidak pernah ada
kejadian kehilangan perbekalan di sini. Karena semua pendaki meninggalkan
barangnya di pos ini, meski tidak ada penjaganya. Jadi kami hanya membawa
seperlunya, seperti alat komunikasi dan alat masak secukupnya. Ringan.
Tak seberapa lama kami sudah
tenggelam dalam ritus pendakian, nafas mulai terengah-engah kembali, keringat
mulai bercucuran ditengah suhu yang masih setia dengan gigilnya, ada benarnya
informasi yang kami dapatkan kemarin dari pendaki yang berasal dari Jogja bahwa
jalur dan waktu tempuh dari Pos 7 ke Pos 9 memerukan waktu yang relatif lebih
cepat dan bersahabat.
Dari perkiraan kami 30 menit untuk sampai ke Pos 8 (Samyang Kendit)
ternyata kami hanya membutuhkan waktu separuhnya. Ternyata, di sini tempatnya
sangat terbuka dan tidak ada shelter, sehingga sangat tidak cocok untuk camp.
Awan berarak dan menyelimuti merah saga cahaya sang teja. Hal ini menyakinkan
kami untuk tidak lagi berharap ketemu indah sunrise pegunungan. Kami pun memperlambat langkah agar keindahan
ketinggian Slamet bisa kami nikmati secara pelan.
Akhirnya, tepat pukul
06.00 kami telah tiba di pos 9 atau pos Palawangan. Angin berhembus dengan
kencang. Di sini merupakan batas vegetasi. Batas akhir adanya tumbuhan. Di
hadapan kami terhampar gundukan pasir bebatuan. Medan yang terjal dengan pasir
tajamnya siap menyambut kami. Namun kami tinggal menghitung langkah maka kami
akan disambut atap tertinggi Jawa Tengah.
Pos 9 merupakan gerbang
pendakian ke Puncak Gunung Slamet. Waktu tempuhnya sekitar 2 jam dengan
kecepatan langkah kaki yang santai. Dari titik ini diperlukan kewaspadaan ekstra
karena medannya berupa tanah berpasir dengan kombinasi batu dari yang kecil
sampai yang sangat besar tertanam disana.
Semangat pun berkobar.
Tenaga menjadi berlipat. Kaki-kaki pun dengan kokoh melesatkan raga untutk
segera menggapai puncak. Saking semangatnya Zarin lumayan berjarak dengan saya,
ia jauh didepan. Langkahnya lebih yakin dari pada saat menapaki gunung Semeru
yang pernah kami daki beberapa bulan sebelumnya. Padahal medan ini lebih
berbahaya dari Semeru. Sementara dibelakang kami, terlihat gugusan pegunungan
deret timur berjajar rapi indah mempesona. Kabut tipis yang berpadu dengan biru
pengunungan Dieng, Sindoro, Sumbing dan Merapi. Harmoni dan sungguh dahsyat
indahnya.
Dan benar adanya
seperti yang kami khawatirkan tadi, ditengah pendakian ini dikejauhan kami
mendengar gemuruh yang menderu. Rupa – rupanya ada sebongkah batu yang luruh
kebawah, mendengar gemuruhnya saya yakin batu tersebut sangatlah besar,
untungnya batu tersebut berbeda arah dengan jalur kami.
Sementara nafas yang semakin
tersengal, kaki pun mulai kulai seketika terobati saat tapak menginjak Pos
Benteng pada waktu 06.50. Di sini merupakan puncak yang berupa deret batuan.
Seolah sengaja disusun memanjang hingga menyerupai benteng. Dari sini
perjalanan ke puncak tinggal sepelemparan batu menuju arah kanan. Hari ini,
kelegaan yang tidak terbahasakan keluar dari hati yang memancar melewati
ubun-ubun ketika kaki-kaki lemah kami berlutut-sujud pada titik Triangulasi (puncak) Surono 3428 mdpl. Inilah
puncak tertinggi Jawa Tengah.
Seperti kebiasaan ritus
ketika menapakkan kaki di puncak gunung yang lainnya, segera kukatupkan tangan
dan kupejamkan mata untuk sejenak hening, melambungkan doa, bersyukur,
berterimakasih pada Yang Kuasa atas rahmat-Nya, kutitipkan permohonan untuk
kedamaian arwah para pendahulu yang gugur dalam perjuangannya menggapai indah
gunung Slamet. Terlihat Zarin di samping kiriku pun bersimpuh, meluapkan
kegembiraannya dalam doa syukur.
Topografi puncak gunung
Slamet merupakan sebuah pelataran luas yang menakjubkan. Kombinasi unik dari padang pasir bercampur material khas
gunung vulkanik, banyak berserakan beragam ukuran batu vulkanik di lahan
puncak. Dipuncak Gunung Slamet juga terdapat beberapa kawah aktif yaitu Segoro
Warian dan Segoro Wedi. Kawah-kawah tersebut masih mengepulkan asap putih tanda
bahwa Gunung Slamet merupakan tipe gunung vulkanik yang masih aktif.
Untuk bisa mendekati
kedua kawah tersebut dipuncak, kita mesti menyusuri sambil melipir melewati
punggungan jalur di areal puncak yang samar-samar sudah tercipta untuk mendekati
kawah tersebut. Namun yang perlu diwaspadai adalah ketika angin berhembus
kearah pendaki sambil membawa kepulan asap dari kawah tersebut. Hal ini bisa
membawa efek yang berbahaya jika asap yang membawa gas dari kawah tersebut terhirup
oleh pendaki. Jika hal ini terjadi sangat di sarankan untuk turun dan tidak
berlama-lama berada di puncak gunung Slamet
.
Hampir sejam kami
meresapi puncak tertinggi Jawa Tengah ini. Tidak ada pendaki lain. Sepertinya sudah
pada turun. Hening, hanya desauan angin yang menyeruak di bebatuan hingga
menimbulkan bunyian harmini yang tak terjabarkan kosa kata. Iya, seolah Slamet
menyambut kami untuk memuaskan dahaga nurani. Saat mata terpana melihat lukisan
alam yang menunjukkan pantai utara dan selatan Jawa, saya seolah terangkat
berdiri bagai sang penguasa alam.
Namun tak berapa lama,
saya tertunduk menyadari kekecilanku dan menyadari kemahakuasaan Tuhan
Penciptaku. Bahagia rasa hati diberi kesempatan untuk berdiri kokoh memandang
lautan luas dari ketinggian kedua pulau Jawa. Menjadikanku terpesona sekaligus
menganga, tidak dapat berucap selain decak kagum dan syukur yang tulus. Kesuwun
Gusti.
Seakan tidak ingin
menyiakan kesempatan, lalu kami pun melanjutkan langkah untuk melihat indah
sisi lain gunung Slamet. Kami turun ke segoro wedi lalu menikmati panorama
kawah yang masih aktif mengeluarkan asap belerang. Tenggorokanku tidak tahan
begitu pula dengan alm. Zarin, maka kami pun tidak berapa lama berada di sana.
Segera beranjak mengambil langkah untuk kembali ke puncak. Istirahat sebentar
sambil menikmati bekal yang kami bawa. Berlindung di bawah puncak Benteng, kami
bertemu dengan beberapa rombongan. Saling bertegur sapa, mengucapkan salam,
mendukung dan ikut merasakan eufhoria, kepuasan batin karena berhasil
mengalahkan kelemahan diri demi menggapai puncak Slamet.
Setelah puas menikmati
indah panorama gunung Slamet, kami pun beranjak turun. Waktu tempuh perjalanan
turun tidak selama ketika naik. Hanya membutuhkan waktu 60 menit, kami pun tiba
di pos 7. Segera kami menyiapkan sarapan. Di sini kami berencana untuk meninggalkan
pos tujuh sebelum tengah hari. Belum sempat kami menikmati sarapan pagi hasil racikanku,
ada serombongan lain yakni dari Malang dan Jakarta juga telah sampai di pos.
Lalu kami pun sama-sama menyempurnakan persiapan sarapan pagi. Kebersamaan
menikmati makanan ala kadarnya pun serempak semakin mengikat hati kami untuk
semakin bersaudara. Dan benar, di pos 7 ini adalah serupa penitipan perbekalan.
Tidak ada yang hilang.
Kami sungguh bersyukur
bisa mengalami petualangan menziarahi bumi. Bercermin dari setapak gunung
Slamet, kami menemukan diri. Tidak selama diri yang lemah harus kalah. Kekuatan
motivasi mampu mendongkrak kelemahan nurani. Diri yang egois tidak sebanding
dengan bahagia karena kerelaan berbagi.
Persoalan dan
permasalahan hidup tidak sebanding dengan keceriaan karena sebuah canda.
Petualangan, perjumpaan, persahabatan dan keindahan alam gunung Slamet membantu
melahirkan harapan bahwa memberi lebih menjanjikan untuk merasakan dan memperoleh
kedamaian hati. Matur suwun Slamet, karena engkau telah memberi dan kami akan
selalu rindu untuk kembali. Kembali menimba kedamaian hati juga kebahagiaan hakiki
darimu. Tuhan punya rencana bagi kami. Salah satunya dengan melewati setapakmu.
Maka tunggulah kami untuk menyusurimu lagi.
Karena saya percaya,
bahwa waktu berjalan dengan pola yang sama dan stagnan. Matahari di masa depan
akan terlihat sama sampai kita mengatakan matahari itu sebagai “matahari yang
sama dari masa lalu”. Waktu hanya akan diwarnai oleh siang dan malam, diisi
dengan suara detik per detik dari sebuah bandul. Perjalanan dari musim ke
musim, pasang dan surutnya air menurut rotasi bumi dan putarannya alam semesta.
Apa yang disebut
Heraklius benar adanya, tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari. Adagium
kuno itu juga menyangkut tentang sifat alamiah dari waktu. Waktu terus seperti
itu, waktu hanya memiliki sedikit warna dan tidak memiliki hal yang baru.
Walaupun kaku dan stagnan, waktu adalah satu-satunya hal berharga yang manusia
punya. Dengan waktu, manusia dapat menggapai apa yang mereka pertanyakan dan
apa yang mereka nantikan. Tanpa waktu, manusia tidak dapat hidup.
Hidup berbeda dengan
waktu yang berjalan begitu stagnan. Hidup bukan mengenai proses biologis dari
sebuah makhluk; lahir, tumbuh, dan mati. Hidup lebih dari itu, itulah mengapa
dalam menjalani hidup, manusia dapat melakukan pengandaian, bertanya,
menghasilkan dan berencana. Manusia merencanakan banyak hal dan menyandangkan
waktu pada perencanaan itu. Hubungan waktu dan hidup sulit untuk dipisahkan,
ibarat lepat dan daun.
Manusia boleh saja
merencanakan apa pun, namun hidup lebih dari sebuah pola, bahkan banyak pola.
Bukan tidak mungkin Zasdar mengatakan bahwa hidup begitu acak. Bertrand Russel
dalam bukunya “The Problem of Philosophy” juga ‘menyatakan’ pertanyaan mengenai
hidup dan waktu; akankah masa depan akan selalu sama dengan masa depan yang
telah lalu?
Tentu saja pertanyakan
filosofis semacam itu bisa dijawab dengan berbagai ke-tergantung-an. Sebab
dalam hidup, manusia pun tumbuh, berkembang, istirah, berhasil, gagal, dan
meninggalkan. Sebab dalam hiduplah, manusia meniti waktunya. Bahkan, adagium
yang sama masanya dengan masa Heraklius tadi mengatakan bahwa, setiap hari
adalah matahari yang baru.
Adagium (pepatah) itu
berbicara mengenai hidup dan waktu dengan sudut pandang yang berbeda,
mengkhususkan pada acaknya pola kehidupan. Matahari boleh saja berbentuk sama
setiap harinya, terbit dari Timur dan tenggelam di Barat. Namun jika berbicara
tentang hidup, matahari akan selalu menjadi baru atau di luar dari pola waktu.
Maka, sebaik-baiknya hidup adalah yang melawan waktu. Menembus ruang, lagi
waktu. Manusia yang hidup dengan kehidupannya yang sejati tentu saja akan
selalu berucap dan berbicara selaiknya manusia yang hidup pada waktunya dalam
kepala manusia lainnya.
Waktu memang berjalan
dengan satu pola menuju akhirnya dan waktu adalah satu-satunya kepastian. Waktu
memang terkesan tidak pernah peduli dengan kehidupan, kendati demikian, waktu
tidak pernah meninggalkan.
Dan ketika manusia
memberikan 'waktunya’ kepada manusia lainnya, hal tersebut sama saja dengan
memberikan hal yang paling berharga yang dimilikinya. Sebab waktu adalah apa
saja yang melingkari leher kehidupan dengan bandul detiknya. Lantas,
berhati-hatilah dengan waktu karena merupakan kepastian kedua setelah
keberadaan Tuhan. Selamat jalan sahabat, kami semua akan menyusulmu. Alfatihaah.
Bumi Para Nata,
06/01/2017
0 on: "Jelajah Gunung Slamet : Perjalanan dan Kebersamaan Terakhir [habis]"