Akarasa – Akarasa –
Selamat datang kadang kinasih akarasa. Sebenarnya saya tidak ingin menceritakan
ulang yang telah diketahui banyak orang. Saya justru ingin, bercerita tentang
Solo dari sudut pandang yang lainnya. Solo yang tidak selalu identik dengan keraton,
pasar Klewer atau pun budaya Jawa.
Karena sejatinya, masih
banyak sisi menarik yang membuat saya selalu terpikat dan terpesona dengan bumi
para nata yang berjarak sejam perjalanan dari tanah rantauku ini. Pernik –
pernik denyut kehidupan kota Solo yang senantiasa membuat kesengsem lantas
jatuh cinta. Hal – hal yang kemudian menjadikan saya seperti menemukan masa
lalu sekaligus masa depan, justru ketika jauh dari kampung halaman, komplit.
Kisah – kisah yang remeh temeh namun acapkali membahagiakan.
Maka mau tak mau, suka
tak suka saya pun bercerita tentang perjalan saya ke sana. Perjalanan menelusuri
kisah masa silam yang telah terlupa. Mengenang kejayaan kekuasaan yang selalu
menyisakan legenda, intrik, pertarungan suksesi, pengkhianatan, pemersatuan
bahkan keteledoran akan kekuasaan. Juga cerita – cerita dari bangunan tua yang
mengajak setiap kita yang menikmatinya untuk memaknainya.
Sebuah ziarah sejarah
menyisir derak kehidupan dan pergantian jaman. Apa boleh buat!
Kampung Laweyan,
begitulah orang lebih gampang menyebutnya. Namun selengkapnya adalah sebentang jalan yang merupakah satu wilayah kecamatan di kota Solo. Kampung ini sudah
lama menjadi sentra kerajinan batik di wilayah Solo. Sebagai kampung kuno yang
padat, rumah-rumah di sini dibangun sangat berdekatan. Selain sebagai salah
satu sentra industri batik, kawasan Laweyan juga terdapat rumah-rumah besar
berarsitektur indah dengan tembok tinggi yang mengelilinginya. Hanya dipisah
oleh spasi tak lebih dari 3 meter. Pintu-pintu rumah dibuat berhadap-hadapan.
Setiap rumah pasti
punya pintu. Apakah pemilihan pintu menyiratkan pesan tertentu kepada orang
yang melintas atau akan bertamu di depannya? Apakah pintu menyimpan guratan
sejarah rumah tersebut? Ataukah justru tidak bermakna apa-apa? Pertanyaan ini
tiba-tiba menyeruak ketika saya menyusuri lorong-lorong sempit di kampung
Laweyan.
Pertama kali memasuki
kawasan ini saya menangkap kesan kampung yang angkuh. Banyak pintu-pintu yang
tertutup. Pintu-pintu rumah juga dibuat cukup kokoh untuk mencegah pencuri
masuk. Meski begitu, masih ada yang masih memberi celah-celah berjeruji supaya
tamu atau tetangga masih bisa mengintip aktivitas di dalam rumah, dan
sebaliknya.
Saat mencari referensi
di internet, saya baru tahu ternyata rumah-rumah penduduk Laweyan saling
berhubungan langsung melalui pintu-pintu tembus yang disebut pintu butulan. Baik itu di permukaan atau di
bawah tanah. Mungkin itu sebabnya, tidak semua pintu yang ada di kampung ini
terbuka karena mereka memiliki pintu-pintu alternatif yang tidak diketahui oleh
masayarakat umum. Barangkali, pintu-pintu itu sengaja dibuat untuk memberi
batasan antara ruang privat dan ruang publik. Inilah jawaban pertanyaan –
pertanyaan saya di atas tentang setiap rumah mempunyai pintu.
Kampung Laweyan yang
sudah ada sejak tahun 1500 Masehi ini juga menorehkan kejayaan kaum perempuan
dalam bidang bisnis, tapi juga menyandang stigma negatif berwujud predikat
"perempuan bahu Laweyan". Entah ada korelasinya atau bukan, namun
jika kerabat akarasa berminat membacanya di akarasa ini saya sudah membagikan
tulisan tentang perempuan bahu laweyan, Ciri
dan Mitos Wanita Bahu Laweyan.
Kampung Laweyan ini
menjadi saksi ketika beberapa trah Majapahit tak puas dengan kekuasaan yang diambil
alih orang-orang pesisir. Dengan pengaruh Syeh Siti Jenar dan penggalangan kekuatan
Majapahit lama, penumbangan kekuasaan Demak terus menerus disusun. Pengaruh
ajaran Syeh Siti Jenar yang menekankan pada tasawuf mendapat tempat bagi
kelompok pedalaman, bagi para bangsawan yang menolak untuk menyingkir ke Bali
dan menerima Islam dengan paham akulturisme, sebuah penerusan keluhuran
budaya-budaya yang telah berkembang.
Salah satu kelompok
tersebut adalah kelompok Ki Ageng Ngenis, Putera Ki Ageng Selo. Ki Ageng Ngenis
membangun wilayah perdikan (bebas pajak) di pedalaman lembah Solo. Kampung ini
kemudian menjadi tempat perpindahan dari orang-orang sungai Nusupan atau
Bengawan Semanggi (kelak dikenal sebagai Bengawan Solo). Orang-orang dari
Sungai Nusupan ini bertradisi dagang dan membuat batik, dari kampung Laweyan
inilah kemudian dikembangkan tradisi membatik yang lebih rumit dan canggih
ketimbang tradisi batik di masa Majapahit atau yang berkembang di Demak dimana
pola-pola batik pesisir lebih sederhana. Selengkapnya baca Mengenal
Ki Ageng Ngenis Sang Perintis Kesultanan Mataram
Lama laun Kampung Laweyan
berkembang menjadi pusat industri batik sejak jaman kerajaan Mataram. Ada
perkembangan yang menarik di sini. Meski budaya patriarki masih sangat dominan
pada saat itu, tapi penguasa yang sebenarnya di kampung Laweyan adalah kaum
perempuan yang disebut Mbok Mase. Kaum perempuan di Laweyan terbiasa bekerja
keras sejak kecil, hemat dan telaten. Istilah Jawanya, "Gemi, Nastiti, Ngati-ati" (mengelola uang dengan ketat,
teliti dan sangat berhati-hati). Dengan etos kerja ini, perlahan-lahan mereka
menguasai perekonomian kampung Laweyan.
Kaum laki-laki di
kampung Laweyan disebut Mas Nganten. Kaum laki-laki ini dibebaskan berbuat apa
saja di luar bisnis batik asal tidak
poligami, foya-foya, dan tidak menyakiti hati Mbok Mase. Secara praktis, usaha
batik ini menjadi cara bagi Mbok Mase agar terhindar dari penindasan kaum
lelaki. Dengan menguasai usaha batik, Mbok Mase memiliki posisi tawar yang
kuat ketika berhadapan dengan lelaki.
Kelompok Mbok Mase juga bersikap oposan terhadap kaum priyayi (bangsawan)
istana saat itu.
Meski raja Mataram
Islam pertama berasal dari kampung ini, tapi kelompok Mbok Mase ini bersikap
oposan dengan kaum bangsawan yang suka foya-foya, gila hormat dan juga
berpoligami. Para bangsawan ini bisa menikmati hidup enak karena faktor
keturunan, sedangkan Mbok Mase mendapat posisi yang kuat karena kerja keras.
Untuk menyaingi kaum
priyayi yang mereka benci itu, para Mbok Mase juga membangun rumah-rumah besar
dan menjulang tinggi mirip keraton. Para juragan batik ini juga membangun
lorong atau jalan rahasia di dalam rumah mereka menuju rumah juragan batik
lainnya di Laweyan. Jalan-jalan rahasia ini dimanfaatkan untuk ketika mereka
akan mengadakan pertemuan rahasia dengan sesama saudagar batik untuk membahas
kondisi sosial politik ketika itu.
Dari tempat pusat batik
inilah pula pernah berkumpulnya Ki Ageng Pemanahan, putera sulung Ki Ageng
Ngenis dan beberapa kawannya Ki Juru Martani dan Ki Panjawi. Mereka mendapat
kawan dari pertapaan gunung Lawu yang bernama Mas Karebet atau dikenal Joko
Tingkir. Keempat orang ini di usianya menjelang 30-an tahun menaklukkan wilayah
Bengawan Semanggi dan menjadikan pusat perdagangan penting. Setelah penaklukan
Bengawan Semanggi, Mas Karebet ingin masuk ke Istana. Selengkapnya baca Ki
Ageng Pamanahan : Perjanjian Belum Selesai
Puncak resistensi kaum
Mbok Mase terjadi sekitar itu 1740-1750. Kala itu laskar etnis Tionghoa
mengobrak-abrik keraton karena marah terhadap inkonsistensi Pakubowono II dalam
melawan Belanda. Pakubowono II melarikan diri ke sebuah goa di tepi Sungai
Laweyan, Solo. Raja meminta bantuan pinjaman puluhan kuda dari para saudagar
batik Laweyan, tapi ditolak oleh para Mbok Mase.
Politik Kebo Ndanu,
dimana ada amuk kerbau di Keraton Demak disusun oleh Ki Juru Martani yang
cerdas, Ki Panjawi mencari rumput kemudian di aji-aji agar kerbau itu mengamuk
di Keraton, dari amukan kerbau inilah 'Senja kekuasaan Demak bermula'. Karebet
yang berhasil menjinakkan kerbau diangkat menjadi lurahe prajurit, barangkali setingkat kolonel
saat ini di Demak dan menguasai spenihnya pasukan darat Demak. Hingga kemudian
Karebet diambil menantu oleh sultan Demak yang berkuasa saat itu, Sultan
Trenggono. Di kampung Laweyan inilah taktik tersebut dimatangkan.
Setelah Sultan
Trenggono wafat, kemudian digantikan anak tertuanya Sunan Prawoto. Sementara
Karebet ketika itu menjabat adipati Pajang. Ketika Aryo Penangsang menuntut
tahta Demak, dan menolak naiknya Sunan Prawoto menjadi sultan Demak. Setelah
diberi tahu oleh Sunan Kudus jika ayahnya Pangeran Sekar Sedo Lepen yang tewas
karena di bunuh salah seorang pengawalnya sendiri yang ternyata adalah suruhan
Sunan Prawoto. Maka, kemudian dengan cara yang sama, Aryo Penangsang mengutus
orang kepercayaannya untuk menghabisi Sunan Prawoto. Tewaslah Prawoto diujung
keris bersama dengan dengan istri sekaligus orang suruhan Penangsang tersebut.
Demak kosong kekuasaan. Status quo.
Untuk lebih lengkapnya
kerabat akarasa bisa baca di Aryo Penangsang : Ksatria yang
Dihitamkan Sejarah dan Dibalik Mitos Kutukan Aryo
Penangsang
Dalam status quo
tersebut dewan wali yang beranggotakan walisongo terjadi silang pendapat,
sebagian memilih Penangsang sebagai pewaris utama tahta Demak dan Karebet sang
adipati Pajang. Karebet tahu diri, yang dalam hal ini hanya sebagai menantu dia
akan kalah voting dalam Penangsang yang masih matangkan oleh dewan wali.
Di salah satu wisma di Kampung
Laweyan inilah saksi ketika Karebet rembukan intrik politik dengan penasehat
politiknya, yakni: Ki Panjawi, Ki Juru Martani, Ki Ageng Pamanahan dan anak
bujangnya yang masih belia kala itu Danang Sutowijoyo.
Diputuskan dalam
rembugan itu adalah dengan memancing Aryo Penangsang yang berdarah panas itu
keluar dari keraton Jipang Panolan dan diarahkan ke dalam sungai Bengawan Sore
(sebuah kanal buatan untuk pertahanan disekeliling keraton Jipang). Karena
menurut mitosnya kesaktian keris Setan Kober dan jimat Aryo Penangsang memiliki
kelemahan di sungai, ini sama dengan ayahnya yakni pangeran Sekar Sedo Lepen
yang tewas di bunuh di tepi sungai oleh orang suruhan Sunan Prawoto setelah
selesai sholat Jum’at.
Di Bengawan Sore Danang
Sutowijoyo memancing Aryo Penangsang dengan memantati dan mengata-ngatai
pengecut. Tak ayal, Aryo Penangsang yang saktinya tidak tertandingi kala itu
lalu meloncat ke kuda hitam beringas Gagak Rimang, walau sudah dihalangi oleh
Ki Patih Mentahun dan adiknya Pangeran Aryo Mataram. Di tengah-tengan kali
Bengawan Sore itulah perut sebelah kanan Penangsang tertusuk tombak Kyai Plered
Danang Sutowijoyo, dan ususnya terburai. Barangkali lupa, Penangsang mengalungkan
ususnya itu ke tepi keras dan terus mengejar Sutowijoyo, ketika Keris Setan
Kober dicabut dan berteriak "Mampuslah kau bocah ingusan!!" ususnya
terpotong dan Penangsang langsung mati.
Tewasnya Penangsang ini
juga mengawali suksesi Karebet mentahbiskan diri sebagai sultan Pajang penerus
Demak setelah mendapat restu dari Kalinyamat. Pertemuan di Kampung laweyan ini
pula yang menjadi saksi perpindahan pusat keraton Jawa yang berpusat di Pesisir
ke Pedalaman dan mengangkat Danang Sutowijoyo sebagai anak angkat. Selengkapnya
baca tentang Ratu
Kalinyamat : Antara Lingkar Kekuasaan dan Dendam.
Kematian Penangsang ini
juga yang dikemudian hari menjadi cikal bakal berdirinya Kerajaan Mataram
dimana Danang Sutowijoyo menjadi penguasanya, di usia yang belum genap 24
tahun. Danang Sutowijoyo yang dikemudian hari bergelar Raden Sabrang Lor ing
Pasar, karena sang bapak Ki Agen Pemanahan mampu membangun pasar yang ramai
dengan mendatangkan budak-budak terampil yang sampai sekarang masih ada
jejaknya dan dikenal sebagai 'orang kalang'. Kelak orang kalang adalah
pengusaha-pengusaha kaya di Kotagede bahkan kekayaannya melebih para bangsawan
Yogyakarta. Selengkapnya bisa kerabat akarasa baca Orang
Kalang : Mitos Manusia Berekor.
Menjelang umur 30
tahun, Ki Ageng Pemanahan mengajak anaknya menemui Sultan Hadiwijoyo di Laweyan
dan bicara soal gelar penguasa Perdikan. Kemudian Sultan memberikan gelar
'Panembahan Senopati'. Diharapkan Danang Sutowijoyo menjadi Panglima Pajang
yang utama untuk menaklukkan Brang Wetan dimana Surabaya adalah incaran utama
Sultan Hadiwijoyo. Tapi pertemuan itu tak lama kemudian ternoda dengan
peristiwa asmara Raden Pabelan kerabat dekat Panembahan Senopati dengan sekar
kedaton Pajang putri sang sultan, yang kemudian Raden Pabelan dibunuh oleh
prajurit kaputren Pajang yang akhirnya membuat marah pihak Mataram. Pembunuhan
Pabelan yang ditombak mati di Laweyan dan mayatnya dilarung di sungai membuat
Panembahan Senopati murka. Selengkapnya baca Romansa
Jawa : Tragedi Cinta Raden Pabelan
Panembahan Senopati
setelah mendapatkan dukungan beberapa bupati pesisir yang dikontrol oleh penguasa
perdikan Pati Ki Juru Martani balik menantang Sultan Hadiwijoyo. Tantangan ini
dijawab dengan Sultan Hadiwijoyo dengan mengirimkan ribuan pasukan ke Kotagede
melewati jalan Prambanan, berbarengan dengan itu di dekat candi Prambanan
gunung merapi meletus. Namun Panembahan Senopati sudah menyusup ke Laweyan dan
sungkem kepada Sultan yang terjatuh dari gajah, tak lama setelah sungkeman
tersebut Sultan Hadiwijoyo mangkat. Selengkapnya baca Biografi
Jaka Tingkir dan Pajang
dan Misteri Keruntuhannya.
Setelah Mataram
memapankan kekuasaan, wilayah Laweyan tetap memiliki arti penting. Kekuasaan
Kotagede amat bergantung dengan jalur sungai. Suplai di utara didapat dari Solo
dimana Bengawan Solo menjadi pusat perdagangan paling penting di Jawa pedalaman
untuk mengalirkan barang-barang kebutuhan masyarakat. Setelah Sultan Agung
meninggal, anaknya yang bernama Amangkurat terlalu banyak memainkan intrik yang
tak perlu dan menyebabkan kerajaan mendapatkan musuh dimana-mana. Selengkapanya
baca Amangkurat
I : Diktator Pertama Tanah Jawa
Konflik Amangkurat ini
kemudian memutuskan Keraton dipindahkan ke Plered, keraton baru dibuat dengan
batu merah dan amat kokoh. Tapi di Plered ini juga kemudian Amangkurat I
semakin mencurigai semua orang, ia menculik satu persatu penggede keraton,
orang-orang tua keraton dan dibantai lalu menggantinya yang lebih muda.
Di Laweyan, Amangkurat
mengumpulkan kelompok pedagang, para panglima perang dan pemimpin administratif
Jawa lalu memutuskan 'sentralisasi Jawa' hegemoni Mataram benar-benar
diwujudkan dengan menutup bandar-bandar pesisir, menghantam Banten, mencabut
persekutuan dengan Cirebon yang kemudian berbuntut dipermalukannya Amangkurat
oleh Banten dan tidak mampunya Amangkurat menguasai Brang Wetan (Surabaya) yang
merupakan amanat penting Bapaknya, Sultan Agung Anyokrokusumo. Selengkapnya baca
Sejarah
Pemberontakan Trunojoyo
Pada masa pemerintahan
Amangkurat III, Laweyan dikenal masyarakat sebagai tempat dihukumnya Raden
Sukro, Putera Raden Arya Sinduredjo, patih Amangkurat. Raden Sukro ada main
seks dengan salah seorang selir Amangkurat yang juga merupakan anak Pangeran
Puger, kelak Pangeran Puger menghantam Amangkurat Mas dan menjadi Raja dengan
gelar Pakubuwono I. Melawannya Pangeran Puger ini tak lepas dari
dipermalukannya puterinya di depan umum di Jalan Laweyan.
Pada masa Pangeran
Diponegoro, Jalan Laweyan sempat menjadi permufakatan diam-diam antara Pakubuwono
VI dengan utusan Diponegoro dan diputuskan agar Solo juga membantu Yogya
melawan Belanda. Keputusan ini kemudian dilanjutkan ke sebuah desa yang
dinamakan Alas Krendowahono di utara Solo. Pertemuan Alas Krendowahono menjadi
dasar persekutuan saling pengertian antara Solo dan Yogya dalam 'Perang Jawa'.
Bantuan Solo ini kemudian diwujudkan dalam bantuan kelompok ulama garis keras
yang dipimpin Kyai Modjo. Selengkapnya baca Perang
Jawa : Diponegoro, Ratu Adil yang Kalah Perang
Persekutuan diam-diam
ini kemudian dibongkar oleh agen intel Belanda dan melaporkannya ke Semarang,
atas perintah Gubernur Jenderal Batavia, Pakubuwono IV ditangkap lalu dibuang
ke Ceylon. Penggede Belanda saat itu menyebut dokumen penangkapan sebagai
'Dokumen Laweyan'. Namun Belanda tidak bertindak gegabah, karena mereka tak
ingin menambah musuh, Keraton Solo didiamkan. Pada suatu saat Pangeran
Diponegoro, menyusup ke Keraton Surakarta dan bicara penting soal pasukan
Madura. Ditengah pembicaraan tiba-tiba datang Residen Surakarta, Pangeran
Diponegoro sembunyi, lalu melarikan diri, kereta yang ditinggalkannya
dikuburkan di belakang istal Istana Surakarta. Perang
Jawa : Sejarah Singkat Kyai Modjo
Pakubuwono VI adalah
keturunan Ki Juru Martani dan memiliki nama kecil Raden Mas Sapardan,
menganggap wilayah Laweyan adalah wilayah penting karena Ki Juru Martani kerap
mengambil keputusan di wilayah itu, pada tahun 1830 ketika perang Diponegoro
usai, Jenderal Van Den Bosch di salah satu rumah dinasnya di Jalan Laweyan
meminta Pakubuwono VI menyerahkan kekuasaan Surakarta di sekitar wilayah
Banyumas, Jepara, dan Madiun. Tapi Pakubuwono VI menolak, penggede Belanda
itupun menyodorkan bukti-bukti persekutuan Pakubuwono dengan Diponegoro,
kemudian Pakubuwono VI ditangkap Belanda dan dibuang ke Ambon, ditengah laut
Pakubuwono ditembak mati, kelak Jenderal Pangeran Djatikusumo salah seorang
penggede Angkatan Darat Republik anak dari Pakubuwono X mengumumkan tengkorak
Pakubuwono VI ada lobang di kepalanya tembusan peluru jungle riffle.
Pada awal abad 20-an Jalan
Laweyan juga menjadi saksi bentrok antara orang-orang Mangkunegaran dengan
pedagang Cina akibat politik diskriminasi Belanda. Orang-orang Cina mendirikan
perkumpulan yang kemudian menjadi berkembang semacam perkumpulan politik yang
sehaluan dengan Nasionalis Cina yang di pimpin oleh Dr. Sun Yat Sen yang sedang
mapan di daratan Cina. Dr. Perkumpulan ini kerap bentrok dengan
saudagar-saudagar Laweyan, untuk menandingi Perkumpulan Cina ini seorang
Saudagar Laweyan, bernama Hadji Samanhudi mempelopori berdirinya Sarekat Dagang
Islam, atau dikenal SDI sebagai cikal bakal Sarekat Islam dimana kemudian
muncul macan podium yang paling berpengaruh atas nasionalisme Indonesia : HOS
Tjokroaminoto.
Kemudian, pada 29
Desember 1929, Bung Karno berpidato ke Solo dengan menumpang taksi Cherovlet
yang dikendarai Arif anak gang Cikini, mengajak Maskoen, Gatot Mangkuprodjo dan
Mang Ojib. Bung Karno pidato di sebuah gedung bioskop dimana terdapat pertemuan
Permufakatan Politik Indonesia, Setelah pidato di Solo Bung Karno bersama
Inggit, Gatot Mangkupradja makan di sebuah warung sate kambing di Laweyan, kemudian
mereka ke Yogyakarta ke rumah Raden Mas Mashudi di Jalan Tugu Kidul. Saat mau
beristirahat sekompi polisi Belanda mengetuk pintu rumah Mashudi dan memerintahkan
Bung Karno keluar.
Tuduhannya adalah
pidato di Solo mengandung unsur subversif, rombongan Sukarno disuruh berganti
pakaian di halaman dan dibawah todongan senjata di bawa ke Stasiun Tugu lalu
dengan kereta khusus tanpa jendela dibawa ke Bandung. Dan diadili kemudian
lahirlah pokok pemikiran Sukarno yang terkenal berupa analisa sejarah perkembangan
masyarakat yang diperbudak kapitalis dan modal asing bernama "Indonesia Menggugat".
Pada saat pertarungan
keras antara kubu Sjahrir dengan Tan Malaka dan berujung pada peristiwa Paras,
Boyolali. Jalan Laweyan amat penting. Di Jalan Laweyan pula terdapat beberapa
pertemuan kelompok tentara anti kebijakan ReRa Hatta dan kemudian melahirkan
'perang Srambatan' antara Pasukan Siliwangi yang pro Hatta-Nasution dengan
pasukan Solo yang anti ReRa, perang Srambatan ini juga berkembang menjadi Madiun
Affair. Ketika itu Solo dikenal sebagai sarang oposisi terhadap pasukan
Pemerintah yang bercokol di Yogyakarta atas perlindungan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX. Kelompok oposisi menolak apabila laskar-laskar rakyat
dilucuti, sementara banyak laskar-laskar rakyat juga binaan Amir Sjarifuddien,
eks menteri pertahanan di era sebelumnya.
Setelah Madiun Affair 1948
terjadi, penangkapan pasukan komunis dilakukan pasukan Kala Hitam, Siliwangi
pimpinan Mayor Kemal Idris beberapa pemimpin muda Komunis berhasil sembunyi
termasuk DN Aidit yang bersembunyi di salah satu rumah Laweyan. Setelah KMB
1949 sebuah perjanjian memperpendek perang ditandatangani, Aidit sempat sering
muncul di Laweyan kemudian ke Kranggan Yogyakarta lalu menurunkan ukiran jati
lambang PKI dan membawanya ke Jalan Kramat. Di kemudian hari DN Aidit yang kala
itu baru berusia 31 tahun berhasil mengantarkan PKI sebagai Partai terbesar
nomor empat di Indonesia. Kenangan Aidit terhadap Jalan Laweyan dan beberapa
wilayah Solo ia bacakan juga ketika berhadapan dengan Jaksa Dali Mutiara pada
pengadilan verifikasi peristiwa Madiun 1949 yang coba diangkat pihak Masyumi
beberapa tahun kemudian.
Hingga tahun 70-an,
masih banyak Mbok Mase di Laweyan. Namun semenjak rezim Orde Baru berkuasa,
maka batik tulis ini mulai tergeser oleh
industri batik cap yang biayanya jauh lebih murah dan efisien. Tidak
jauh dari kampung Laweyan, berdiri pabrik tekstil yang mampu membuat kain bermotif
batik secara massal. Di pinggiran kota Solo yang lain juga muncul pabrik
tekstil raksasa yang dimiliki oleh salah satu menteri Orde Baru yang senang "meminta petunjuk bapak Presiden.'
Tak ayal pamor batik
Laweyan meredup pamor. Banyak industri
batik kemudian tutup. Kaum laki-laki dan perempuan Kampung Laweyan pun beralih
menjadi buruh pabrik. Kini yang tersisa adalah sebagian rumah-rumah besar
dengan tembok menjulang dan stigma
buruk. Ya, nama Laweyan juga bersinggungan dengan mitos yang memojokkan
perempuan yaitu "perempuan bahu laweyan."
Predikat ini dilekatkan
pada perempuan yang mempunyai tompel
atau titik hitam sebesar uang logam di bahu kirinya. Masyarakat Jawa percaya
bahwa perempuan ini kebal terhadap berbagai ilmu hitam. Perempuan bahu laweyan
sosok yang digambarkan pribadi pendiam namun apabila ia melakukan hubungan
intim dengan suaminya, maka suaminya itu pasti mati secara mengenaskan. Apakah
mitos ini sengaja diciptakan dan dihembuskan oleh bangsawan kraton yang membenci
perempuan Laweyan? Wes embuh.
Akhir kata, demikain cerita
segaris jalan yang bernama Laweyan dan kampung Laweyan, dimana banyak tersimpan
saksi sejarah penting berdirinya negeri ini. Semoga menambah wawasan buat kita
sekalian. Nuwun.
Bumi Para Nata,
Ngayogyokarto 100117
0 on: "Kampung Batik Laweyan : Saksi Diam Intrik, Suksesi dan Pengkhianatan Kekuasaan"