Akarasa- Sugeng rawuh
kadang kinasih akarasa. Kisanak orang Jawa? Jika jawabannya iya, berarti sama
dengan saya. Pertanyaan lanjutan, jika kisanak orang Jawa apakah sampeyan
bangga menjadi atau terlahir sebagai orang Jawa? Walah admin akarasa ini takon
(tanya) melulu.. he .. he..
Jika jawabannya bangga,
pertanyaannya kemudian (takon meneh) seberapa jauhkan sampeyan mengenal sejarah
asal mula dan karakteristik masyarakat Jawa?
Kalem kisanak, santai
wae. Tentu saja pertanyaan saya di atas tidak bermaksud memaksa kisanak untuk
berpikir keras, apalagi menyalahkan ketidaktahuan sampeyan sebagai orang Jawa. Tidak
sama sekali dulur. Maksud dari tulisan ini semata-mata hanya urun rembug untuk melengkapi
tulisan-tulisan perihal suku Jawa yang sudah ada.
Aheem .. aheeem..
Begini kisanak, sebelum saya membahasnya lebih lanjut tentang asal mula suku
Jawa dan karakteristiknya, jika misalnya paparan saya terdapat banyak
kekurangan saya harap kisanak menyediakan maaf dan memakluminya. Ngonten njiih!
Mencari tahu tentang asal
mula suku Jawa memang ibarat mencari jejak di air. Begitu banyak sumber dan
data sejarah yang mengemukakan tentang asal mula penduduk Jawa dengan
berbeda-beda. Namun di tulisan ini saya hanya mencuplik dari satu sumber saja
dulu, semoga di kemudian hari saya bisa menuliskan untuk kisanak secara khusus
dari berbagai versi tersebut.
Ada 2 versi yang saya
cuplik untuk menjadi pengantar tulisan ini adalah yang pertama dari buku Dunia Mistik Orang Jawa : Roh, Ritual, Benda
Magis karya Capt. R.P Suyono, dalam bukunya Suyono menyebutkan bahwa
asal-usul Tanah Jawa baru diketahui agak jelas dari cerita tentang kedatangan
seorang Brahmana dari tatar India yang bernama Aji Sengkala.
Selanjutnya dalam babad
(kisah) yang lain, menurut salah satu sejarawan yang berasal dari negeri Kincir
Angin, Belanda, W.L. Olthof yang berjudul asli, Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi ing Taoen
1647, (Babad Tanah Jawa Mulai dari Nabi
Adam Sampai Pada Tahun 1647), menjelaskan bahwa yang menjadi bapak
moyang orang Jawa sekaligus rajanya ialah Batara Wisnu, yang karena ada masalah
dengan ayahnya, Batara Guru, lantas Tanah Jawa dipegang oleh Batara Brahma.
Adapun silsilah raja
Jawa yang kalau ditarik dari awal (menurut W.L. Olthof) adalah Nabi Adam
berputera Esis, Esis berputera Nurcahya, Nurcahya berputera Nurasa, Nurasa
berputera Sanghyang Wening, Sanghyang Wening berputera Sanghyang Tunggal,
Sanghyang Tunggal berputera Batara Guru, Batara Guru beranak lima, Batara Sambo,
Batara Brahma, Batara Maha Dewa, Batara Wisnu, dan Dewi Sri.
Jadi, seandainya kita
berpegang pada hipotesa W.L. Olthof ini. Maka, jelas bahwa bapak moyangnya
orang Jawa merupakan keturunannya Nabi Adam as yang ketujuh. Wallahu a’lam
bishshawab.
Nah, demikian dua versi
tentang asal mula suku Jawa yang mendiami pulau Jawa ini. Di kesempatan lain
saya akan membahasnya lebih lanjut.
Baik, sekarang kita
membahas tentang karakteristik masyarakat Jawa. Namun sebelumnya untuk menjadi
pengertian untuk kita semua, bahwasanya pendiam pulau Jawa ini hidup bermacam
etnis/suku/bangsa utama yang mendiaminya. Terbesar di ataranya yakni, suku
Sunda, Madura, dan bisa juga kita tempatkan etnis Betawi. Kendatipun di pulau
Jawa hidup berbagai macam suku, tapi untuk ketiga etnis tersebut baik itu Sunda, Madura, dan Betawi tidak bisa
kita katakan sebagai “orang Jawa”.
Namun satu hal yang
pasti dan menjadi fakta yang tidak terbantahkan suku Jawa adalah suku terbesar
yang ada di Indonesia. Menurut bulek wiki (wikipedia), setidaknya tak kurang
dari 44% dari total populasi bersuku Jawa. Umumnya, mereka tinggal di pulau
Jawa, tepatnya, Jateng, Jatim, sebagian kecil tinggal di Jabar, Jakarta, dan
juga Banten.
Khusus di Banten,
keberadaan suku Jawa sudah ada sejak abad 16. Mereka datang dari Demak dan
Kudus untuk menguasai dan menaklukan wilayah pesisir utara Banten. Jumlah
mereka sangat banyak. Setelah dikuasai, mereka membentuk kerajaan Banten. dan
akhirnya membentuk satu koloni di beberapa wilayah utara Banten.
Untuk etnis Sunda tentu
saya tidaklah asing karena istri saya adalah urang Sunda, ada satu kesempatan
pada sebuah acara keluarga saya pernah tanya sama kerabat istri saya. saya
tanyakan sama uwa istri saya apakah orang Sunda bisa dikatakan sebagai orang
Jawa? Jawabannya tegas, meski dengan tersenyum. Sungkan sama saya barangkali. Jawabannya
tegas, Tidak!
Pertanyaan serupa
pernah juga saya tanyakan pada seorang teman dari Sumenep, Madura dan periparan
saya yang asli Betawi. Jawabannya serupa, Tidak.
Nah, bertelekan pada
jawaban tidak di atas, saya secara pribadi ada satu simpulan. Meskipun suku
Sunda, Madura, dan Betawi mendiami pulau Jawa mereka merasa enggan disebut
orang Jawa. Bisa jadi mereka (baca ketiga etnis) ini memiliki karakter khas
tersendiri, baik itu tentang adat istiadat, pun bahasa.
Lha terus, njur kepiye
karatere wong Jowo?
Begini kisanak, tentu
tidak berlebihan jika sematan pertama bagi karakteristik orang Jawa adalah kata
Gotong Royong. Gotong royong adalah cerminan utama kehidupan sosial masyarakat
Jawa. Tentu dalam hal ini juga berlaku pada kebanyakan suku lain di Indonesia
secara umum. Tradisi guyub rukun atau sehati dalam kedamaian dalam laku gotong
royong ini menjadi kebutuhan bagi masyarakat Jawa.
Laku gotong royong ini
juga dapat kita temui dalam tradisi Suroan. Peristiwa tersebut merupakan salah
satu bentuk gotong royong yang melibatkan antara pihak keraton dan masyarakat
sehingga menciptakan solidaritas dan wujud kerukunan serta hubungan yang
harmonis yang masih lestari hingga kisanak membaca tulisan ini. Adalah benar
bahwa gotong royong merupakan bayangan sejati akan kepedulian kita terhadap
sesama manusia dan juga alam. Meskipun kita berpijak pada keyakinan yang
berbeda. Adalah bijak ungkapan seorang Mpu
Tantular, “... bhinneka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa,”
Artinya : “... mereka
memang berbeda-beda. Namun, pada hakikatnya sama. Karena tidak ada kebenaran
yang mendua,” hal ini tertuang dalam
Kakawin Sutasoma benar-benar diaplikasikan dalam tiap-tiap individu masyarakat
Jawa khususnya dan Indonesia secara umum.
Karakteristik yang
kedua adalah Sopan Santun. Meski kata sopan santun merupakan wujud tata krama yang tidak tertulis, namun
kata-kata itulah yang akan membangun kehidupan sosial yang indah dan harmonis. Bahkan
boleh dibilang, bagi masyarakat Jawa justru sikap tersebut adalah bagian dari
kehalusan budi pekerti seseorang yang harus diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari agar dapat memberikan kesan yang mendalam bagi umat manusia.
Dalam hal ini,
masyarakat Jawa memang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai etika, baik dari
sikap maupun berbicara. Sebagai contoh untuk masalah sikap, ketika sedang
bertamu dan disuguhkan makanan, sebelum dipersilakan untuk mencicipi, sungkan
bagi orang Jawa untuk memakan atas apa yang telah dihidangkan, meski dalam
keadaan lapar sekalipun.
Dan sebagai contoh dalam
etika sopan santun ini, orang Jawa selalu menjaga segala kata dan perbuatannya,
“ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana,” agar tidak menyakiti hati
orang lain. Dalam interaksi antarpersonal di lingkungan sosial, masyarakat Jawa
harus berpedoman pada istilah ngajeni. Ngajeni dalam hal ini sebagai contoh
saja dalam hal percakapan, baik antara yang lebih muda, sebaya, dan yang lebih
tua harus dibedakan dalam berbahasa.
Perbedaan dalam berbahasa
yang berstrata itulah yang boleh dikatakan sebagai salah satu ciri khas dari
orang Jawa. Dalam adab ngajeni ini seperti tertuang dalam sastra lama, yakni
Serat Wedatama (VIII),
“Socaning jiwangganira Jer katara lamun pocapan pasthi Lumuh asor kudu unggul Sumengah sosorangan Yen mangkono kena ingaran katunggul Karem ing reh kaprawiran Nora enak iku kaki”
Artinya: “Cacat jiwa
raganya memang terlihat sekali saat bertutur kata, sedikit pun tidak mau
mengalah dan selalu ingin menang sendiri. Senang membanggakan diri dan angkuh,
hingga hilang kewaspadaan. Dia senang sekali terhadap sesuatu hal yang
berhubungan dengan keberanian, tanpa mempertimbangkan perbuatannya secara
seksama. Hal semacam itu, Nak, sesungguhnya tidak menyenangkan.”
Selanjutnya adalah
orang Jawa Pandai Menyembunyikan Perasaan. Secara umum, orang Jawa memiliki karakteristik
semacam ini sehingga lebih cenderung tertutup dan sulit untuk berterus terang.
Sekedar untuk tambahan
tulisan ini, untuk memahami karakter masyarakat Jawa, setidaknya kita bisa
melihatnya dalam dunia pewayangan yang merupakan dasar moral orang Jawa
mengenai kehidupan.
Perwatakan yang di
dalamnya ada dua tokoh cerita, Baratayudha; Kurawa dan Pandawa. Seperti yang
kita tahu, tokoh-tokoh Kurawa melambangkan perwatakan satria yang jahat.
Sedangkan Pandawa adalah perwujudan satria yang baik. Atau dalam kisah epik
lainnya, Ramayana, di mana Sri Rama sebagai representasi kebenaran serta
kebaikan. Sedangkan Dasamuka merupakan kebalikannya.
Akhir kata, tidak bisa
disebut putih, jika tidak ada hitam. Tidak ada kebaikan, jika tidak ada
kejahatan. Dua cerminan yang dimiliki dalam setiap jiwa manusia. Tidak peduli
dari bangsa Jawa, Sunda, Madura, Betawi, bangsa Lelembut, atau Planet Namek
sekalipun (jika memang planet itu ada), pasti ada bagian dari kebaikan dan
kejahatan. Tergantung dan tentunya balik pada diri kita sendiri untuk membawa
jiwa dan raga ini ke arah yang mana. Sekian dulu dan mohon dimaklumi jika ada
banyak kekurangan. Nuwun.
0 on: "Karakteristik Baku Masyarakat Jawa"