Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Terimakasih sudah berkunjung disini, tanpa sampeyan semua akarasa
tidaklah berarti apa – apa. Sekali lagi matur nuwun.
Sudah jamak kita
ketahui bersama, benua Asia, Eropa, Amerika, Áfrika dan Oceania merupakan benua
yang kita kenal saat ini. Saya rasa sampeyan juga sudah mengetahui jika konon
jaman dahulu ada satu benua yang menjadi moyangnya peradaban, yakni Atlantis. Sebelum
tulisan ini saya sudah membagikan tulisan serupa dengan tulisan yang sedang
sampeyan baca ini Atlantis : Moyang Segala Peradaban yang Tenggelam.
Sejak berabad-abad
silam hingga saat ini, keberadaan benua Atlantis terus jadi perdebatan dan objek menarik dan seksi untuk diperbincangkan.
Termasuk di akarasa ini. Setelah mengumpulan berbagai bahan dan referensi
akhirnya, dengan segala kekurangan sana – sini semoga memenuhi harapan sampeyan
semua untuk mengkayakan wawasan tentang benua yang di ‘diyakini’ ada di
Sundaland! Kaget? Mari kita telisik lebih mendalam klaim tersebut. Sebelumnya siapkan
kopi dulu, soalnya tulisan ini panjang.
Di masa silam, para
ahli yakin, benua dan peradaban tinggi yang tenggelam itu berlokasi di Samudra
Atlantik. Sayangnya belum ada bukti yang memadai untuk mendukung keyakinan ini.
Belakangan, muncul dua pakar yang mengemukakan pandangan kontroversial: Stephen
Oppenheimer Dokter ahli genetic yang banyak mempelajari sejarah peradaban dan
Arysio Nunes dos Santos. Mereka menyebut benua dan peradaban yang diceritakan
filsuf Yunani kuno, Plato, dalam karyanya, Critias dan Timeaus, itu adalah
Sundaland alias Paparan Sunda.
Ia berpendapat bahwa
Paparan Sunda (Sundaland) adalah merupakan cikal bakal peradaban kuno atau
dalam bahasa agama sebagai Taman Eden. Istilah ini diserap dari kata dalam
bahasa Ibrani Gan Eden. Dalam bahasa Indonesia disebut Firdaus yang diserap
dari kata Persia "Pairidaeza" yang arti sebenarnya adalah Taman.
Menurut Oppenheimer,
munculnya peradaban di Mesopotamia, Lembah Sungai Indus, dan Cina justru dipicu
oleh kedatangan para migran dari Asia Tenggara. Landasan argumennya adalah
etnografi, arkeologi, osenografi, mitologi, analisa DNA, dan linguistik. Ia
mengemukakan bahwa di wilayah Sundaland sudah ada peradaban yang menjadi
leluhur peradaban Timur Tengah 6.000 tahun silam. Suatu ketika datang banjir
besar yang menyebabkan pendudukSundaland berimigrasi ke barat yaitu ke Asia,
Jepang, serta Pasifik. Mereka adalah leluhur Austronesia.
Rekonstruksi
Oppenheimer diawali dari saat berakhirnya puncak Jaman Es (Last Glacial
Maximum) sekitar 20.000 tahun yang lalu. Ketika itu, muka air laut masih
sekitar 150 m di bawah muka air laut sekarang. Kepulauan Indonesia bagian barat masih
bergabung dengan benua Asia menjadi dataran luas yang dikenal sebagai Sundaland.
Namun, ketika bumi memanas, timbunan es yang ada di kutub meleleh dan
mengakibatkan banjir besar yang melanda dataran rendah di berbagai penjuru
dunia.
Kontroversi dari
Oppenheimer seolah dikuatkan oleh pendapat Arysio Santos. Profesor asal Brazil
ini menegaskan bahwa Atlantis yang hilang sebagaimana cerita Plato itu adalah
wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Pendapat itu muncul setelah ia
melakukan penelitian selama 30 tahun yang menghasilkan buku Atlantis, The Lost
Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato’s Lost
Civilization (2005). Santos dalam bukunya tersebut menampilkan 33 perbandingan,
seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani,
yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Sundaland(Indonesia bagian
Barat).
Santos menetapkan bahwa
pada masa lalu Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan
India, Sri Langka, dan Indonesia bagian Barat meliputi Sumatra, Kalimantan,
Jawa dan terus ke arah timur. Wilayah Indonesia bagian barat sekarang sebagai
pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi aktif dan dikelilingi
oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan
samudera Pasifik.
Argumen Santos tersebut
didukung banyak arkeolog Amerika Serikat bahkan mereka meyakini bahwa benua
Atlantis adalah sebuah pulau besar bernama Sundaland, suatu wilayah yang kini
ditempati Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Sekitar 11.600 tahun silam, benua itu
tenggelam diterjang banjir besar seiring berakhirnya zaman es.
Data geologi dan
oseanografi mencatat setidaknya ada tiga banjir besar yang terjadi yaitu pada
sekitar 14.000, 11.000, dan 8,000 tahun yang lalu. Banjir besar yang terakhir
bahkan menaikkan muka air laut hingga 5-10 meter lebih tinggi dari yang
sekarang. Wilayah yang paling parah dilanda banjir adalah Paparan Sunda dan
pantai Cina Selatan. Sundaland malah menjadi pulau-pulau yang terpisah, antara
lain Kalimantan, Jawa, Bali, dan Sumatera.
Padang rumput purba itu
membentang dari Pegunungan Kenya di selatan, menyusuri Arabia, dan berakhir di
Pegunungan Ural di utara. Zaman es tidak mempengaruhi mereka karena kebekuan
itu hanya terjadi di bagian paling utara bumi, sehingga iklim di daerah
tropik-subtropik justru menjadi sangat nyaman. Adanya api membuat banyak
manusia yang betah tinggal di padang rumput Afrasia.
Padahal, waktu itu
kawasan ini sudah cukup padat dihuni manusia prasejarah yang hidup sebagai
petani dan nelayan. Bagi Oppenheimer, kisah ‘Banjir Nuh’ atau ‘Benua Atlantis
yang hilang’ tidak lain adalah rekaman budaya yang mengabadikan fenomena alam
dahsyat ini. Di kawasan Asia Tenggara, kisah atau legenda seperti ini juga
masih tersebar luas di antara masyarakat tradisional, namun belum ada yang
meneliti keterkaitan legenda dengan fenomena Taman Eden.
Wilayah Sundaland
(Indonesia bagian Barat dalam buku Santos (2005) Menurut Plato, Atlantis
merupakan benua yang hilang akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan
meletus dan mencairnya Lapisan Es yang pada masa itu sebagian besar benua masih
diliputi oleh Lapisan-lapisan Es. Maka sebagian benua tersebut tenggelam.
Santos berpendapat
bahwa meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan tergambarkan
pada wilayah Indonesia (dulu). Letusan gunung api yang dimaksud di antaranya
letusan gunung Meru di India Selatan, letusan gunung berapi di Sumatera yang
membentuk Danau Toba, dan letusan gunung Semeru/Mahameru di Jawa Timur. Letusan
yang paling dahsyat di kemudian hari adalah letusan Gunung Tambora di Sumbawa
yang memecah bagian-bagian pulau di Nusa Tenggara dan Gunung Krakatau
(Krakatoa) yang memecah bagian Sumatera dan Jawa membentuk Selat Sunda.
Tak mau kalah dengan
dua peneliti di atas. Peneliti Indonesia sendiri tak mau ketinggalan. Hasilnya
terangkum dalam buku Peradaban Atlantis Nusantara, disusun Ahmad Samatho dan
Oman Abdur Rahman, yang diluncurkan belum lama ini. Berikut cuplikan beberapa
bagian dari buku tersebut.
Selama lebih dari 2.000
tahun, Atlantis yang hilang telah menjadi dongeng. Namun, sejak Abad
Pertengahan, kisah Atlantis menjadi populer di dunia Barat. Banyak ilmuwan
Barat secara diam-diam meyakini kemungkinan keberadaannya. Di antara para
ilmuwan itu banyak yang menganggap bahwa Atlantis terletak di Samudra Atlantik.
Bahkan ada yang menganggapnya berlokasi di Benua Amerika sampai Timur Tengah.
Penelitian pun
dilakukan di wilayah-wilayah tersebut. Tetapi kebanyakan peneliti itu tidak
memberikan bukti atau telaah yang cukup. Sebagian besar hanya mengira-ngira.
Hanya beberapa tempat di bumi yang keadaannya memenuhi persyaratan untuk dapat
diduga sebagai Atlantis sebagaimana dilukiskan Plato pada 24 abad lampau.
Hampir semua tulisan
tentang sejarah peradaban menempatkan Asia Tenggara sebagai kawasan
"pinggiran". Kawasan yang kebudayaannya subur berkembang sekadar
karena imbas migrasi manusia atau riak-riak difusi budaya dari pusat-pusat
peradaban lain, baik yang berpusat di Mesir, Cina, maupun India. Pemahaman itu
mengacu pada teori yang dianut saat ini, yang mengemukakan bahwa zaman es
paling akhir yang dialami bumi terjadi sekitar 10.000 sampai 8.000 tahun lalu
telah mempengaruhi spesies manusia.
Menurut Plato, Atlantis
merupakan benua yang hilang akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan
meletus dan mencairnya lapisan es yang masih menutupi sebagian besar benua.
Maka, tenggelamlah sebagian benua tersebut. Sedangkan Santos berpendapat bahwa
meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan tergambarkan pada wilayah
Indonesia (purba).
Letusan gunung api yang
dimaksud, antara lain, letusan Gunung Meru di India Selatan, letusan gunung
berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba, dan letusan Gunung
Semeru/Mahameru di Jawa Timur. Letusan yang paling dahsyat di kemudian hari
adalah letusan Gunung Tambora di Sumbawa yang memecah bagian-bagian pulau di
Nusa Tenggara dan Gunung Karakatau yang memecah bagian Sumatera dan Jawa,
membentuk Selat Sunda.
Ilmuwan Brasil itu
berargumentasi bahwa letusan berbagai gunung berapi tersebut menyebabkan
lapisan es mencair dan mengalir ke samudra, sehingga luasnya bertambah. Air dan
lumpur yang berasal dari gunung berapi itu membebani samudra dan dasarnya
sehingga mengakibatkan tekanan luar biasa pada kulit bumi di dasar samudra, terutama
pada pantai benua.
Tekanan itu
mengakibatkan gempa. Gempa ini diperkuat lagi oleh gunung-gunung yang meletus,
kemudian secara beruntun dan menimbulkan gelombang tsunami yang dahsyat. Santos
menamakannya Heinrich Events.
Survei Kelautan Kapten Australia
Bagi sebagian peneliti,
pendapat Oppenheimer dan Santos itu dianggap kontroversial dan mengada-ada.
Beberapa tahun ke belakang, pendapat yang paling banyak diterima adalah seperti
yang dikemukakan Kircher (1669) bahwa Atlantis itu berada di tengah-tengah
Samudra Atlantik sendiri dan tempat yang paling meyakinkan adalah Pulau Thera
di Laut Aegea, sebelah timur Laut Tengah. [Athanasius Kircher adalah seorang
rahib Yesuit asal Jerman yang menulis buku Mundus Subterraneus, yang membahas
Atlantis dan memuat peta benua yang hilang itu].
Pulau Thera yang
dikenal pula sebagai Santorini adalah pulau gunung api yang terletak di sebelah
utara Pulau Kreta. Sekitar 1.500 SM, sebuah letusan gunung api yang dahsyat
mengubur dan menenggelamkan kebudayaan Minoan. Hasil galian arkeologis
menunjukkan, kebudayaan Minoan merupakan kebudayaan yang sangat maju di Eropa
pada zaman itu.
Penelitian soal lokasi
Atlantis di Indonesia tidak hanya dilakukan Oppenheimer dan Arysio Santos.
Sosok yang juga getol melakukan penelitian kelautan di perairan Indonesia
adalah pakar dari Australia bernama Hans Berekoven. Bersama istrinya, Rozeline
Berekoven, kapten kapal survei kelautan ini melakukan survei menggunakan
detektor sonar bawah laut untuk mencari sisa-sisa peradaban Atlantis di dasar
Laut Jawa, Selat Karimata, dan Laut Cina Selatan.
Karena ketertarikannya
seumur hidup pada bidang arkeologi dan filsafat, Hans memendam intuisi bahwa
Sundaland atau Paparan Sunda pada zaman dahulu adalah tempat kedudukan sebuah
peradaban besar. Dia memandang, pola migrasi menurut teori antropologi pada
saat ini sudah usang. India merupakan peradaban pertama setelah zaman es, bukan
Mesopotamia.
Apalagi, pada 2002
ditemukan sebuah kota kuno yang tenggelam di kedalaman 40 meter. Lokasinya di
Teluk Cambay. Setelah artefak kota itu diuji lewat tes karbon, diketahui bahwa
benda itu berasal dari masa sekitar 9.500 tahun silam.
Dengan menggunakan
kapal Souhern Sun berukuran 19 meter yang dilengkapi peralatan sonar bawah
laut, Hans dan istrinya berbulan-bulan menjelajahi perairan Indonesia. Dari
penjelajahan itu, ia mendapati bahwa Laut Jawa adalah bagian Sundaland yang
terendam setelah zaman es. Luas Sundaland ini diperkirakan mencapai 1,8 juta
kilometer persegi, termasuk wilayah Laut Cina Selatan dan Teluk Thailand. Ia
berharap dapat menemukan kota purba bawah laut di perairan Indonesia, seperti
ditemukan di India.
Ditimbang dari Kondisi Iklim
Menurut Prof. Dr. Umar
Anggara Jenny (2005), hipotesis tentang adanya pulau sangat besar di Laut Cina
Selatan yang tenggelam setelah zaman es berdasarkan pada kajian arkeologi
molekuler. Salah satu pulau penting yang tersisa dari Benua Atlantis, jika
memang benar, adalah Pulau Natuna.
Berdasarkan kajian
biomolekuler, penduduk asli Natuna diketahui memiliki gen yang mirip dengan
bangsa Austronesia tertua. Bangsa Austronesia diyakini memiliki tingkat
kebudayaan tinggi, seperti bayangan tentang bangsa Atlantis yang disebut-sebut
dalam mitos Plato. Ketika zaman es berakhir, yang ditandai tenggelamnya Benua
Atlantis, bangsa Austronesia menyebar ke berbagai penjuru.
Mereka lalu menciptakan
keragaman budaya dan bahasa pada masyarakat lokal yang disinggahinya. Dalam
tempo cepat, yakni pada 3.500 sampai 5.000 tahun lampau, kebudayaan itu pun
menyebar. Kini rumpun Austronesia menempati separuh muka bumi.
Dari berbagai pendapat
tersebut dapat disimpulkan bahwa asal-usul Taman Eden dan hilangnya Benua
Atlantis sangat berkaitan dengan kondisi geologi, khususnya aktivitas tektonik
lempeng bumi, dan peristiwa zaman es. Perubahan iklim yang drastis di dunia
menyebabkan berubahnya muka laut, kehidupan binatang, dan tumbuh-tumbuhan.
Zaman es memberi ruang
yang besar pada perkembangan peradaban manusia di Sundaland. Pada saat itu,
suhu bumi sangat dingin, kebanyakan air dalam keadaan membeku dan membentuk
glasier. Maka, kebanyakan kawasan bumi tidak cocok untuk didiami, kecuali di
kawasan khatulistiwa yang lebih panas.
Di antara kawasan ini
adalah Sundaland dan Paparan Sunda serta kawasan di sekitarnya yang memiliki
banyak gunung api aktif memberikan kesuburan tanah. Dengan demikian, keduanya
memiliki tingkat kenyamanan tinggi untuk berkembangnya peradaban manusia.
Adapun wilayah lainnya tidak cukup memiliki kenyamanan untuk berkembangnya
peradaban karena semua air dalam keadaan membeku yang membentuk lapisan es
tebal.
Peradaban Sumeria di Candi Cetho
Yang lebih menarik
tentu hasil kajian para peneliti Indonesia sendiri. Di Nusantara, banyak
indikasi yang diduga merupakan bukti-bukti arkeologis peradaban Atlantis.
Selain ada arca-arca dan prasasti di Bukit Pasemah di Pulau Sumatera, ada juga
arca pilar di Sulawesi. Yang paling menarik adalah relief-relief dan bentuk
Candi Cetho, Candi Sukuh, dan Candi Penataran.
Belum lama ini, pada
2009, sebuah tim yang dipimpin Agung Bimo Sutejo dan Timmy Hartadi dari Yayasan
Turangga Seta menemukan beberapa relief misterius di Candi Cetho dan Candi
Penataran. Relief-relief itu mengindikasikan atau dapat menjadi bukti petunjuk
mengenai keberadaan peradaban Atlantis di Jawa/Nusantara serta hubungannya
dengan berbagai bangsa atau orang-orang dari peradaban kuno lain di dunia,
seperti Indian Maya, Indian Aztek, Sumeria, Mesopotamia, Mesir, dan Cina.
![]() |
Candi Sukuh |
Candi Cetho terletak di
lereng Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar, pada ketinggian 1.400 meter di atas permukaan
laut. Dilihat dari bentuknya, Candi Cetho tidak seperti candi-candi lain yang
ada di Indonesia, tetapi justru mirip dengan candi-candi yang ada dalam
peradaban bangsa Inca, Maya, di Amerika Latin.
Beberapa arkeolog
Indonesia menyatakan bahwa Candi Cetho dibuat pada zaman Majapahit, tepatnya
pada saat pemerintahan Prabu Brawijaya V sekitar abad ke-15 M. Jika memang
demikian, ada banyak keganjilan yang patut dipertanyakan. Antara lain,
batu-batu candi yang terbuat dari batu kali, padahal pada era Majapahit, candi
dibuat dari batu bata merah.
Kemudian, dilihat dari
bentuk relief di Candi Cetho, tingkat presisi dan kerapihan pemahatannya masih
sangat sederhana. Tidak seperti di era Majapahit yang jauh lebih detail
menggambarkan figur-figur patung ataupun relief. Hal ini mengindikasikan usia
Candi Cetho yang lebih tua daripada era Majapahit.
Demikian juga
patung-patung yang ada di Candi Cetho banyak menunjukkan hal yang jauh lebih
tua daripada zaman Majapahit. Ada beberapa patung yang tidak menggambarkan
orang Jawa pada masa itu. Patung tersebut justru lebih mirip dengan sosok orang
Sumeria. Padahal, kebudayaan Sumeria dikatakan sebagai kebudayaan tertua di
dunia.
![]() |
Candi Cetho |
Dari sisi wajah dan
potongan rambut tidak menunjukkan orang Jawa, tapi justru memiliki kesamaan
dengan orang Sumeria, Viking, Romawi, atau Yunani. Namun, dari sisi pembentukan
mata, sangat identik dengan patung Sumeria. Wajah dan cara berpakaian serta
perhiasan yang dikenakan bukan ciri khas orang Jawa, melainkan ciri khas orang
Sumeria. Namun, mengapa dipatungkan seperti orang yang takluk dan dengan wajah
ketakutan? Kapankah sebenarnya patung itu dibuat?
Jika diperhatikan dari
sisi perhiasan, untuk telinga, biasanya orang Jawa menggunakan sumping,
sedangkan pada patung ini hanya ada anting-anting. Pada lengan biasanya
digunakan kelat bahu. Sedangkan pada patung itu tidak. Pergelangan tangan orang
Jawa biasanya juga memakai gelang keroncong, tetapi pada patung ini terlihat
gelang yang sangat mirip dengan jam tangan. Gelang sejenis itu merupakan gelang
ciri khas dari daerah Sumeria.
Jika diperhatikan lebih
jauh, timbul pertanyaan, mengapa di Candi Cetho ada patung yang pada dasarnya
sangat mirip dengan orang Sumeria? Sedangkan orang Sumeria yang menggunakan
pakaian seperti itu, menurut literatur, ada pada zaman 3.000-4.000 tahun SM.
Kalau mereka dikatakan manusia pertama yang memiliki peradaban dan tata sosial
yang sudah bagus, mengapa mereka menyembah dan kelihatan takluk di Candi Cetho?
Jadi, apakah bangsa kita tidak punya peradaban pada waktu itu ataukah peradaban
kita sudah lebih maju dari mereka?
Pohon Kaktus di Relief Penataran
Begitu juga beberapa
patung yang terdapat di Candi Sukuh, yang letaknya pada ketinggian 1.186 meter
di atas permukaan laut, tak jauh dari Candi Cetho. Candi Sukuh adalah candi
dengan bangunan yang unik karena terdapat kesamaan bentuk dengan
bangunan-bangunan yang ada di Saqqara, Mesir, Chichen Itza dan Tenochticlan di
Meksiko, serta Copan di Honduras.
Di kawasan Candi Sukuh
terdapat beberapa patung berbadan manusia, tetapi bersayap seperti burung dan
kepalanya menyerupai kepala burung. Pada sosok manusia berkepala burung
ternyata terdapat pula kemiripan dengan patung yang berasal dari bangsa Maya,
literasi kuno pada bangsa Yahudi, serta relief dan patung pada bangsa Sumeria,
Babilonia, dan Assiria.
Sosok manusia berkepala
burung yang sering disebut Anunnaki pada relief di Sumeria, yang ternyata
memakai perhiasan berupa gelang yang mirip dengan jam tangan, sama dengan yang
dipakai para bangsawan dan kesatria mereka.
Candi Penataran
terletak di lereng barat daya Gunung Kelud, tepatnya di Desa Penataran, Blitar,
pada ketinggian 450 meter di atas permukaan laut. Di areal Candi ini terdapat
banyak relief yang menyimpan misteri bagi yang jeli mencermatinya. Sangat
banyak relief yang menunjukkan bangsa asing yang pernah kita kenal. Sosok-sosok
itu selalu digambarkan sebagai sosok yang seolah-olah takluk kepada yang
berkuasa di Candi Penataran.
Beberapa relief yang
masih agak jelas di Candi Penataran memperlihatkan ada tiga orang yang berdiri
di belakang seorang yang dalam posisi duduk berhadapan dengan dua orang yang
sedang berjongkok menyembah. Bila diperhatikan, sosok paling pinggir dari tiga
orang yang berdiri itu berpakaian seperti bangsa Han di Cina. Sosok di tengah mirip
orang yang tergambar di Angkor Wat di Kamboja. Dan yang seorang lagi mirip
orang Maya, Inca, atau Copan di Amerika Latin. Sedangkan yang berjongkok, salah
satunya terlihat mengenakan tutup kepala seperti orang Yahudi.
Relief-relief yang
berada di tingkat II bangunan Sitihinggil di Candi Penataran sangat jelas
menunjukkan penaklukan suatu bangsa yang mirip dengan bangsa Indian. Sesaat
setelah berhasil menguasai, salah satu nenek moyang kita dinobatkan menjadi
adipati di sana. Dalam relief itu terdapat gambar pohon kaktus. Pohon ini asli
dari Benua Amerika. Dapat diperkirakan bahwa bangsa yang ditaklukkan leluhur
kita adalah bangsa Maya dari Kerajaan Copan, yang sekarang berlokasi di
Honduras.
Bukti Lain: Piramida Lalakon
Dari sekian banyak
bukti fisik yang mengindikasikan keberadaan Atlantis di Nusantara, yang paling
menarik pada saat ini adalah penemuan struktur batuan piramida di balik Bukit
Lalakon di Kecamatan Soreang, Bandung. Adalah tim ekspedisi dari Yayasan
Turangga Seta pula yang menemukan dan melakukan studi ilmiah di situs tersebut.
Dengan menggandeng
beberapa ilmuwan dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan BPPT (Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi), tim itu melakukan uji geolistrik di sana.
Hasil uji geolistrik mengindikasikan adanya struktur bebatuan yang membentuk
piramida terpendam dalam bukit tersebut.
Setelah dilakukan
penggalian pada Maret silam, tim itu berhasil menemukan sejumlah bongkahan batu
yang diduga merupakan batu penutup bangunan piramida. Batu-batu yang ditemukan
pada kedalaman 1-4 meter itu berukuran sama: panjang 1-2 meter dan lebar 30-40
sentimeter. Batu-batu itu tersusun rapi dan teratur, dengan kemiringan 30
derajat yang mengarah ke titik pusat piramida.
Tim Ekspedisi Turangga
Seta juga mengklaim telah menemukan puluhan bahkan ratusan situs yang diduga
piramida di banyak pelosok Nusantara. Selain Bukit Lalakon, misalnya, tim itu
pun menemukan Bukit Sadahurip di Garut, yang diduga keras adalah struktur
piramida yang juga tertimbun tanah.
Tentu saja ini baru
penelitian awal yang harus ditindaklanjuti secara serius untuk membuktikan
bahwa itu adalah piramida buatan manusia, yang mungkin terkait dengan peradaban
Atlantis atau Lemuria di Nusantara. Nah, bagaimana pendapat sampeyan? Kira –
kira dimana Atlantis itu berada. Selamat mengira – ngira dan berhipotesa. Akhir
kata, sekian dulu dan terimakasih sudah membaca hingga selesai tulisan ini,
sampai jumpa pada tulisan selanjutnya. Nuwun.
NB : Disarikan dari
berbagai sumber terpilih
0 on: "Menelisik Jejak Peradaban Lemuria di Pulau Jawa"