![]() |
Foto Ilustrasi Koleksi Carey |
Akarasa – Selamat
datang kerabat akarasa. Tak terasa sudah ke 600 sekian tulisan saya di akarasa
ini, saya harap sampeyan tidak bosan berkunjung di sini. Jika sampeyan selalu
mengikuti tulisan di akarasa ini tentu juga tahu jika sebelumnya ada tulisan
seri perang Jawa hingga beberapa postingan, semoga sampeyan tidak mblenger.
Nah, pada tulisan ini pun tidak jauh dari sejarah Pangeran Diponegoro sang
pencetus perang Jawa tersebut.
231 tahun yang lalu di
salah satu sudut ruang kaum perempuan dalam Keraton Yogyakarta; Raden Ayu Mangkarawati yang ketika itu masih
terhitung belia, masih berusia 14 tahun menggeliat menahan sakit melahirkan.
Hari menjelang fajar ketika suara tangis itu memecah senyap. Jumat Wage, 11
Nopember 1785 seorang calon pemimpin besar lahir ke dunia. Bayi lelaki, putera
sang fajar, yang kemudian diberi nama Raden Mas Ontowiryo ini adalah sulung
dari Raden Mas Surojo (kelak adalah HB
III) yang ketika itu masih berusia 16 tahun.
Kita tidak perlu kaget,
pada masa itu secara umum masyarakat Jawa termasuk kalangan bangsawan menikah di
usia muda adalah hal yang lazim. Maka tidak mengherankan jika kemudian anak
yang dilahirkan dari pernikahan dini tersebut kemudian diasuh oleh nenek atau
bahkan nenek buyutnya. Seperti halnya, bayi Ontowiryo yang kemudian diasuh oleh
nenek buyutnya, Ratu Ageng. Nah, sosok wanita tangguh inilah yang akan kita
telusuri lebih jauh pada tulisan kali ini.
Di balik setiap
pahlawan besar selalu ada seorang perempuan agung, rasanya kita tidak asing
dengan pepatah ini, bahwa selalu ada wanita tangguh dibalik kehebatan seorang
pria. Maka tidak berlebihan jika dalam hal ini kita menyebut nama Ratu Ageng
ini adalah pembentuk kepribadian seorang Ontowiryo hingga kemudian mewarnai
lembaran sejarah bangsa ini. Cucu Buyut kesayangan HB I yang telah diramalkan
oleh sang kakek buyut, satu hari nanti akan memusingkan pemerintah Hindia
Belanda ini; di kemudian hari lebih dikenal dengan Pangeran Diponegoro. Sayangnya,
karena kebesaran nama Diponegoro sang cucu buyutnya ini seakan nama besarnya
tenggelam oleh sosok pria yang tak pernah lepas dari didikannya.
Ratu Ageng nama yang mirip dengan nama pahlawan Nyai Ageng Serang tapi dua wanita ini adalah beda orang. Ratu Ageng atau
seringkali disebut juga Ratu Ageng Tegalrejo ini bukanlah wanita baen-baen (sembarangan). Wanita pendidik
yang lahir pada tahun 1735 ini adalah seorang permaisuri dari Sultan Hamengku
Buwoni I, dan juga wanita yang melahirkan Sultan Hamengku Buwono II dan ia juga
merupakan nenek buyut Ontowiryo.
Belum cukup hanya itu
saja, ia juga merupakan seorang Panglima Bregada Langen Kesuma. Bregada Langen
Kesuma ini semacam kesatuan pasukan elit khusus perempuan pengawal raja,
seperti hanya Trisat Kenya di zaman Amangkurat I yang fenomenal karena kejamnya
itu.
Meski personilnya semua
dari kaum Hawa, jangan berpikir mereka ini lebay meminjam istilah anak muda
jama sekarang. Bregada Langen Kesuma merupakan kesatuan khusus pengawal raja
yang sangat tangguh. Meskipun semua anggotanya perempuan, namun pasukan berkuda
ini dilengkapi dengan senjata api laras panjang dan pendek, pedang, keris,
tombak, trisula, dwisula, dan lain sebagainya. Keterampilan mereka dalam olah
senjata dan olah kanuragan jangan diragukan lagi. Misal sampeyan suit-suit mereka ini, salah – salah kena
gibeng saja masih untung!
Anggapan diatas bukan
hanya mitos atau legenda semata, setidaknya kehebatan Bregada Langen Kesuma ini
diakui oleh Daendels saat berkunjung ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada
bulan Juli 1809. Ceritanya, dalam acara penyambutan Daendels Bregada Langen
Kesuma ini memperagakan salvo senapan dan meriam yang dipergilirkan dengan
sempurna. Markas dari kesatuan istimewa ini berada di Pesanggrahan
Madyaketawang. Lapangan latihan menembak bagi pasukan ini berada di alun-alun
Pungkuran, di selatan kraton. Untuk lebih lanjut tentang Bregada Langen Kesuma
ini di lain kesempatan kita akan membahasnya lebih jauh.
Bobot – bibit - bebet,
saya yakin kata tersebut tidak asing indera dengar kita. Tiga kata dalam satu
kesatuan tersebut adalah filosofi Jawa yang berkait erat mecari jodoh atau
pasangan hidup. Lazimnya ini dipakai untuk memperoleh gambaran tentang kriteria
calon pasangan hidup menurut pandangan orang Jawa.
Bukan karena tipikal
pemilih atau mengkotak-kotakkan manusia. Berkenaan dengan pasangan hidup, orang
Jawa terkesan sangat berhati-hati , meski tidak terlalu selektif dalam mencari
siapa yang akan bersanding sebagai garwo
(sigare nyowo) ing geghayu bahteraning urep
(dalam mengarungi bahtera kehidupan) dalam kesetiaan sampai kiki nini koyo’ mimi lan mintuna.
Dalam pengertian umum, ada
tiga perkara yang tidak akan terjangkau untuk diketahui manusia yakni, mati,
jodoh, dan rejeki. Namun bagi masyarakat Jawa, setidaknya ada lima perkara yang
mana manusia tidak dapat mengetahui dengan pasti akan nasib dalam perjalanan
hidupnya ; siji pesthi (mati), loro jodho (jodoh), telu wahyu (anugerah), papat
kodrat (nasib), dan lima bandha
(rejeki).
Merujuk dari filosifi
bobot – bibit – bebet di atas tak lain adalah, dalam hal memilih pasangan hidup
yang ideal bagi masyarakat Jawa adalah salah satu bagian terpenting dalam
perjalanan hidup ketika berumah tangga dan berketurunan. Sebab kesalahan
memilih pasangan yang dinikahi dapat berdampak buruk pada kualitas hidup
pribadi, anak, dan keluarga di masa depan. Bahkan ada pepatah mengatakan, “Malapetaka besar yang dialami oleh
seseorang adalah ketika ia salah memilih siapa yang menjadi pasangan hidupnya”.
Dalam konteks Ratu
Ageng ini, filosofi Jawa diatas semuanya komplit ada pada dirinya. Bagaimana tidak,
selain yang sudah saya narasikan di atas jika ia adalah seorang permaisuri
sekaligus dari rahimnya terlahir seorang Nata. Hal ini tidaklah mengherankan,
karena Ratu Ageng ini adalah anak perempuan dari seorang kyai masyur pada
jamannya, yakni Kyai Ageng Derpoyudho dari Majangjati, Sragen. Lumrah adanya
selain karena kecerdasannyam Ratu Ageng ini terkenal karena alimnya.
Jika kita telisik lebih
jauh lagi tentang silsilah Ratu Ageng ini, bisa jadi ada pengetahuan yang
benar-benar baru dan baru kita ketahui. Kyai Ageng Depoyudho ini adalah putera
dari Kyai Ageng Datuk Sulaiman atau sering disebut juga Kyai Sulaiman Bekel
yang lahir sekitar tahun 1601, ia adalah anak tertua dari Sultan Abdul Kahir. Leluhur
Ratu Ageng dapat dilacak dari sisi ibunya hingga ke Sultan Bima Pertama Abdul
Kahir, Sumbawa, yang telah menghabiskan banyak waktu di Jawa untuk mendalami
ilmu agama di pesantren-pesantren. Pada kesempatan lain kita akan membahasnya,
biar lebih mudah untuk kita menguarainya.
Kasih sayang sang permaisuri
yang tercurah terhadap cucu uyutnya ini bertolak belakang dengan anaknya
sendiri, Raden Mas Sundoro. Bahkan bisa dikatakan hubungan ibu dan anak ini
tidak akur. Lazimnya seorang ibu yang berharap anaknya berbudi pekerti yang
baik, hal ini disalah pahami oleh Sundoro (kelak adalah HB II) yang dididik
secara keras sesuai tuntunan agama. Tapi begitulan manusia, apapun
latarbelakangnya, apakah dari trah bangsawan atau rakyat jelata selalu ada saja
yang mbeling.
Karena hubungan ini
pula yang mendasari keluarnya Ratu Ageng dari lingkungan keraton ketika
suaminya, Hamengku Buwono I mangkat pada tahun 1792 yang kemudian tahtanya
diwariskan pada anaknya Raden Mas Sujono ini. Ia lebih memilih tinggal di sebuah
dusun kecil sejam perjalan kaki dari keraton, yakni Tegalrejo. Meskipun ia juga
tahu jika Raden Mas Sujono pun sangat membenci Belanda. Tapi apa boleh buat,
gaya hidup anak kesayangannya tersebut bahkan mengalahkan orang Belanda itu
sendiri. Ontowiryo yang masih bocah pun diboyongnya dan hidup ditengah-tengah
wong cilik, rakyatnya sendiri.
Bisa jadi, karena
dibesarkan dalam lingkungan wong cilik atau rakyat kecil, maka dalam jiwa bocah
Ontowiryo tumbuh rasa kepedulian yang sangat besar kepada orang-orang kecil.
Apalagi dalam keseharian, Ontowiryo melihat dengan mata kepalanya sendiri
betapa seorang Ratu Ageng, permaisuri seorang raja, tidak merasa rendah ketika
harus bergaul dengan kawulo alit.
Pun, ketika bocah Ontowiryo
tanpa canggung membantu nenek uyutnya yang seorang ibu suri ini tangannya
belepotan lumpur demi menghidupinya. Bahkan, keteguhan Ratu Ageng yang tidak
mau menerima bantuan keuangan dari keraton sangat tertanam kuat dalam alam
pikir Ontowiryo yang terbawa hingga akhir hayatnya.
Sebagai wanita ningrat
yang terbilang cerdas, hal ini sangat beralasan karena Ratu Ageng sangat
gandrung pada literatur-literatur keagamaan, sejarah, dan juga sastra, sehingga
rumahnya yang sederhana di Tegalrejo bagaikan sebuah perpustakaan kecil.
Sebaliknya, terhadap harta benda, Ratu Ageng tidak begitu terobsesi. Bahkan,
dalam satu riwayat mengatakan Ratu Ageng ini hanya memiliki barang-barang
primer yang memang dibutuhkan dalam rumah tangga seperti kebanyakan orang.
Dalam pembentukan watak
spiritual Ontowiryo, pola pengasuhan Ratu Ageng terhadap cucu uyutnya ini sangatlah
keras. Sejak kecil Ontowiryo telah diajarkan mengenai keislaman dan adat
istiadat Jawa tradisional. Hal yang sangat ditanamkan pada diri pangeran kecil mengenai
nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan.
Dari Ratu Ageng inilah
menjadikan Ontowiryo tumbuh dalam lingkungan yang sarat dengan diskusi
keagamaan. Selain itu wilayah Tegalrejo ketika itu pun sudah merupakan daerah
yang kental dengan budaya pesantren. Hingga akhirnya pendidikan yang diterima
oleh Diponegoro jauh lebih intensif dibandingkan anak-anak dari keluarga
ningrat pada umumnya.
Tidak hanya itu banyak
kitab-kitab yang dipelajari oleh Pangeran Diponegoro, diantaranya Kitab Tuhfah
berisi ajaran sufisme, kitab-kitab ushul Fiqh, teks-teks Islam-Jawa yang berisi
moral dan dasar-dasar sastra Jawa, beliau juga mempelajari syair-syair Jawa dan
materi ketatatanegaraan serta kerajaan. Salah satu gurunya adalah Kyai
Taptojani yang kelak dikemudian hari sebagai penasihat utama untuk urusan agama
Diponegoro.
Berkat nenek buyutnya Diponegoro belajar banyak perihal disiplin diri, ketaatan beragama,
dan kemampuan atau kepekaan untuk membaur dengan semua kelas masyarakat Jawa.
Hidup di Tegalrejo juga mengajarkannya keuntungan yang diraih dari sikap
menjaga diri dari lingkungan Keraton Yogyakarta, masuk ke dalam dunia batin sendiri
secara intensif, menjadi seorang pecinta kesunyian dan nilai hidup bahwa
kedamaian batin itu datang dari olah tapa dan refleksi diri dalam keheningan.
Nah, dipenghujung akhir
tulisan ini, ada satu simpulan bahwa pengaruh Ratu Ageng inilah yang mempunyai
andil besar dalam pembentukakan kepribadian Diponegoro. Pengalaman agama yang
mendalam dan pengaruh yang kuat serta hubungan Ratu Ageng yang luas dengan
komunitas-komunitas santri di Jawa Tengah secara tidak langsung memberikan satu
kemudahan tersendiri bagi Diponegoro dalam usaha mewujudkan cita-citanya. Membebaskan
orang Jawa dari intervensi dan kolonialisasi bangsa Belanda.
Meski dalam hal ini
kita tidak mengesampingkan peran tidak langsung dari ibu kandung Diponegoro
sendiri, Raden Ayu Mangkarawati yang merupakan selir Hamengku Buwono III yang
tak lain adalah anak perempuan dari Kyai Prampelan yang kesohor tersebut. Pun halnya,
sang nenek sendiri Ratu Kedhaton yang merupakan wanita sholehah.
Maka tidak berlebihan
jika kita beranggapan di balik nama besar Diponegoro ada wanita hebat dibelakangnya,
yakni Ratu Ageng atau dalam nama gadisnya Niken Ayu Yuwati ini. Wanita sholehah
yang masih terbilang trah Ampel yang sekaligus cucu Sultan Bima di Sumbawa. Meski
dalam lembaran sejarah tidak banyak disebutkan seolah tenggelam oleh cucu uyut
kesayangannya tersebut. Maka, satu kesimpulan yang bisa jadi sangat provokatif,
Ratu Ageng : Wanita Tangguh yang Tercuri dari Sejarah. Seperti pada judul
tulisan ini. Sekian dulu, sampai jumpa pada tulisan selanjutnya. Nuwun.
Bumi Para Nata,
Ngayogyokarto 12012017
Great Women! luar biasa, cewe ceweni emg jgn gampang ngeluh seharusnya meskipun jdi cewe
BalasHapusmaksih atas kunjungannya gan. cewe sekarang mah lebay kata anak muda sekarang :)
Hapus