Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Membicarakan tentang petualangan yang pernah dicatat oleh
sejarah peradaban manusia, ada beberapa nama yang mendominasi kajian – kajian
para sejarawan. Sebut saja diantaranya yakni ; Marcopolo, Colombus, Cheng Ho,
Vasco da Gamma, dan Ibnu Batutah. Tentu saja masih ada beberapa nama yang tidak
saya sebutkan disini.
Jika sebelumnya saya
sudah membagikan artikel tentang Cheng Ho, selengkapnya baca Sejarah Lengkap Perjalanan 28 Tahun Admiral Cheng Ho dan Ekspedisi Cheng Ho ke Nusantara : Tanah Suci Para Saudagar. Nama yang saya sebut paling belakang pada paragraf pembuka
tulisan ini yakni, Ibnu Batutah pun tak kalah menarik untuk kita ikuti
perjalanannya. Bahkan perjalanan seorang Muslim kelahiran Maroko ini lebih lama
2 tahun dari penjelajahan Cheng Ho.
Hampir separuh usianya
dihabiskan untuk menjelajahi separuh dunia, yang terbentang dari Tangiers di
barat hingga Quangzhou di timur dan Astrakhan di utara sampai Maldives di
selatan. Petualangan sepanjang lebih-kurang 120 ribu kilometer itu ditempuhnya
selama 30 tahun lebih lama 2 tahun dari Cheng Ho, melewati tidak kurang dari 78
kota di Asia, Afrika, dan Eropa.
Perkelanaan itu bahkan
mengalahkan ekspedisi Marco Polo dan Laksamana Cheng Ho. Itulah yang dilakoni
Ibnu Battutah, musafir teragung sepanjang sejarah Islam. Karenanya Ibnu Batutah
dijuluki dengan sebutan ‘Pengembara Muslim’. Berikut benang-benang merah cerita
penjelajahan tersebut yang saya nukil dari beragam sumber. Satu di antaranya
yang menjadi referensi utama adalah karya sejarawan dari San Diego University,
Ross E. Dunn, berjudul Adventures of Ibnu Battuta yang telah diindonesiakan.
"Keberangkatanku dari Tangier, tempat kelahiranku, terjadilah... dengan tujuan berziarah ke Ka'bah dan untuk mengunjungi makam Nabi, semoga salam salawat dilimpahkan Allah kepadanya. Aku pergi sendiri, tiada kawan bepergian yang dapat menggembirakanku, juga tidak dapat bergabung dengan kafilah yang ada. Tapi aku sudah dipengaruhi oleh keinginan yang mendadak menguasai batin dan sebuah hasrat yang sudah lama berkembang dalam dada untuk mengunjungi tempat-tempat suci yang semarak itu".
"Demikian, maka aku cetuskan keputusanku untuk menenteramkan semuanya yang kucintai, perempuan dan laki-laki, dan aku ucapkan selamat tinggal pada rumah kediamanku seperti burung meninggalkan sarangnya. Terasa berat sekali berpisah dengan kedua orangtuaku yang mengikatku dalam kehidupan, dan mereka berdua bersikap baik sehingga aku sendiri merasa teramat sedih atas perpisahan ini."
Demikianlah Ibnu
Battutah menggambarkan awal perkelanaannya dalam memoar yang ditulis Ibnu Juzay
bertajuk Ar-Rihla. Menurut tarikh Masehi, pada saat itu tercatat bulan Juni
1325. Usianya masih cukup belia, baru empat bulan tamat pendidikan ilmu fikih,
ketika memulai petualangan yang di kemudian hari membuat namanya tercatat dalam
sejarah umat manusia sebagai musafir besar. Sebuah perpisahan yang sungguh
terasa berat bagi pemuda seperti dia, dan dia sendiri belum tahu kapan bisa
kembali. Dan, ternyata, ia baru dapat kembali ke tanah kelahirannya 24 tahun
kemudian.
Pada masa itu, yang
memerintah di Maroko adalah Sultan Abu Said dari Dinasti Marinid. Menurut
sahibul hikayat, sikap sultan yang terkenal alim ini tidak seperti
pendahulunya. Ia lebih mengedepankan perdamaian dengan penguasa lain di negeri
tetangga. Dengan demikian, perjalanan para kafilah dari Maroko ke berbagai arah
relatif aman. Dalam kondisi seperti itulah, cukup aman pula bagi seorang pemuda
seperti Ibnu Battutah berkelana sendirian mengikuti jalur kafilah ke arah
timur.
Setelah beberapa pekan
menempuh perjalanan seorang diri, ia baru mendapat kawan seperjalanan setelah
melewati kota Tlemcen. Kota yang dikuasai Dinasti Abdul Wadid, seteru Dinasti
Marinid di masa silam, itu merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang cuku
ramai. Ia bergabung dengan kafilah Ifriqiyah sampai ke Aljir. Ia tak punya
cerita khusus tentang kota ini, yang masih terbelakang ketika itu.
Tempat Persinggahan di Mesir
Pada umumnya, Ibnu
Battutah memang tidak banyak bercerita tentang kota-kota yang dilewatinya di
kawasan Magribi Timur. Tetapi ia punya catatan tersendiri ihwal sejumlah kota
selama perjalanannya sampai ke kawasan Mesir sekarang. Terkisah, dalam
perjalanan menuju Mesir itulah, ia sempat menikah dengan anak seorang kafilah
yang diikutinya. Tapi tak ada keterangan jelas bagaimana riwayat pernikahan itu
selanjutnya.
Memasuki musim semi
1326, genap 10 bulan perjalanannya, Ibnu Battutah sampai di Iskandariah. Ketika
itu, Mesir masih berada di bawah kekuasaan Dinasti Mameluk. Karena musim haji
masih cukup lama, masih tersisa waktu sekitar delapan bulan, pemuda ini pun
memutuskan untuk berkelana dulu ke lembah Sungai Nil dan singgah di Kairo. Kota
ini memang sudah terkenal dengan khazanah intelektualnya ketika itu.
Menurut catatannya,
Ibnu Battutah tinggal di Kairo sekitar tiga pekan. Ia sempat menuturkan
kesannya tentang kota itu, terutama Maristan, rumah sakit yang dibangun Sultan
Qala'un.
"Dalam hal Maristan, tak ada lukisan yang dapat menyamai kecantikannya... ada juga musik untuk menghibur mereka yang sedang menderita, sedangkan pembaca Al-Quran memberikan hiburan dari segi agama," katanya.
Pada saat berada di
Kairo, Ibnu Battutah memutuskan sendiri jalurnya menuju Mekkah yang tidak lazim
bagi kafilah yang hendak berhaji pada umumnya. Kalau orang-orang lain memilih
jalur melalui Sinai, ia bersama sekelompok pengembara menempuh perjalanan itu
lewat jalur selatan pedalaman Mesir. Dari Pelabuhan Aydab, ia lalu berencana
menyeberang ke Jeddah di Pantai Hijaz --nama Arab Saudi dahulu.
Namun, apa daya, niat itu
tidak kesampaian karena alasan keamanan tidak mendukung. Ketika itu, suku-suku
di selatan ini sedang memberontak. Seorang peramal di kota Hiw yang dilaluinya
menyarankan agar ia ke Suriah dahulu sebelum ke Mekkah. Ibnu Battutah pun
mematuhi saran itu, sehingga memutuskan kembali ke Kairo.
Dari Kairo, melalui
Sinai, Ibnu Battutah menelusuri beberapa kota untuk sampai di Damaskus. Sebelum
sampai ke kota itu, ia singgah di beberapa kawasan dan kota, termasuk Hebron
dan Yerusalem. Di kota suci tiga agama itu, Ibnu Battutah sempat menginap tiga
hari dan tak menyia-nyiakan waktu untuk menginap di tempat yang disucikan.
Setelah menempuh perjalanan selama lebih-kurang satu bulan, ia pun sampai di
Damaskus pada hari kesembilan Ramadan 726 atau 9 Agustus 1326.
Ibadah Haji Pertama
Menurut catatannya,
Damaskus ketika itu dipimpin "seorang gubernur dari jenis yang baik dan
tepat" bernama Saif Addin Tankiz. Tokoh ini diakui sebagai administrator
yang cakap sekaligus perencana kota yang bagus. Pada saat itu, kota ini sedang
mengalami transformasi. Ia pun tinggal di sini sekitar tiga pekan sebelum
bertolak ke Mekkah. Selama Ramadan di kota itu, ia juga memperdalam ilmu hadis
dari 14 guru, terutama hadis Bukhari.
Kalender menunjuk
tanggal 1 September 1326 ketika ia mulai bertolak dari Desa Kiswah di Damaskus
menuju Mekkah bersama rombongan dari Suriah. Jarak yang harus ditempuhnya
sekitar 1.300 kilometer, makan waktu sekitar 45 hari. Pada musim haji tahun
itulah, untuk pertama kalinya ia menjejakkan kaki ke kota suci tersebut untuk
menunaikan ibadah haji. Sebelumnya, ia sempat singgah ke Madinah dan
mengunjungi Masjid Nabawi.
"Setiap malam kami
tinggal di masjid suci ini, tempat setiap orang sibuk beribadah dengan khusyuk.
Beberapa orang di antaranya membentuk lingkaran di dalam taman, menyalakan
lilin, dan membaca Al-Quran. Beberapa orang datang berzikir memuji Allah,
sebagian lainnya terlibat dalam renungan di hadapan makam Yang Tiada Celanya
(semoga Allah meninggikan nikmatnya), sedangkan pada setiap tepinya ada
orang-orang yang sedang melantunkan salam-salawat untuk Rasulullah," tulis
dia tentang suasana di Masjid Nabawi.
Matahari hampir
tenggelam ketika Ibnu Battutah untuk pertama kalinya menjejakkan kaki di pintu
gerbang barat Mekkah bersama kafilah Suriah itu. Mereka langsung berjalan
menuju pusat kota dan memasuki Masjidil Haram. Dalam tuturannya kepada Ibnu Juzayy,
ia menyebutkan:
"Kami mencium
Hajar Aswad, kami melakukan salat dua rakaat di Maqam Ibrahim dan menggaet
tirai Ka'bah di Multazam antara pintu dan Hajar Aswad, tempat doa mendapat
jawaban, kami minum air zamzam... kemudian, setelah tawaf antara Shafa dan
Marwa, kami pergi ke tempat penginapan di sebuah pondok dekat Pintu
Ibrahim."
Menurut cerita yang
dikisahkannya dalam Ar-Rihla, Ibnu Battutah beberapa kali menunaikan ibadah
haji. Malah, dalam perjalanan pulang setelah berkelana selama hampir 30 tahun,
ia sempat menunaikan rukun Islam yang kelima itu lagi. Jauh sebelum haji
terakhir ini, sepulang dari pengembaraan ke Irak dan Iran, ia menyempatkan diri
berhaji.
Melanjutkan Petualangan
Selesai menunaikan
seluruh rukun haji, Ibnu Battutah tidak memutuskan segera pulang ke tanah
kelahirannya. Sebagai hasil perenungannya, setelah mendapati dan bertemu dengan
berbagai bangsa dan suku di Mekkah, ia memutuskan berkelana dulu ke Irak dan
Iran, yang dahulu disebut kawasan Il-Khanate.
Ibnu Battutah tak mengungkapkan
apa yang melatari keputusannya itu, walau ketika berangkat dari Tangier
tujuannya hanya satu: menunaikan ibadah haji. Boleh jadi, satu setengah tahun
mengembara dan melihat banyak hal tentang dunia membuat pikirannya berubah. Ia
ingin menyaksikan lebih banyak lagi dalam petualangan ini. Alhasil, tepat pada
hari ke-20 Zulhijah, ia bersama serombongan kafilah haji bertolak ke Irak, lalu
ke Iran.
Usai menunaikan haji
kedua yang dilakukannya sepulang dari Il-Khanate, Ibnu Battutah memulai
petualangan baru yang kemudian membawanya ke Constantinopel. Pada haji kedua
ini, ia sempat bermukim dulu di Mekkah selama setahun, baru kemudian mengawali
pengembaraan itu dengan menyinggahi sejumlah kota pesisir di sekitar Laut Arab.
Suatu saat menjelang
akhir 1332, setelah menunaikan ibadah haji ketiga kalinya, Ibnu Battutah
menumpang sebuah kapal dagang Genoa dari Pelabuhan Latakia di Suriah. Awalnya,
ia sesungguhnya berniat ke India, tapi tak ada penjelasan mengapa ia kemudian
memilih jalur melalui Suriah, lalu menyeberang ke Anatolia.
Dalam perjalanan ini,
ia ditemani At-Tuzari, seorang kawan yang dikenalnya dalam perjalanan. Mereka
menjejakkan kaki di beberapa kota yang masuk wilayah Byzantium. Satu di
antaranya adalah kota Alanya yang menakjubkan pada awal musim dingin 1332. Kota
ini merupakan satu di antara beberapa pelabuhan yang menghubungkan daerah
pedalaman sekitar sisi barat Pegunungan Taurus dengan negara-negara Arab.
Seperti keinginannya, Ibnu Battutah hendak menjajal hidup di kawasan yang tak
dikuasai Islam.
Sahabat Bagi Putri Raja
Petualangan di sejumlah
kota di kawasan perbatasan Asia Barat dan Eropa selama lebih-kurang dua tahun
akhirnya membawa Ibnu Battutah sampai di Constantinopel. Ia bertolak
menyeberangi Sungai Don dan Sungai Dneiper, lalu memutar masuk Sungai Donau ke
arah selatan pada 5 Juli 1334. Setelah menempuh perjalanan melalui Benteng
Mahtuli, Ibnu Battutah pun sampai di Constantinopel sekitar tiga pekan
kemudian.
Di Constantinopel, ia
tinggal sekitar satu bulan dan menjadi tamu putri Raja Andronicus III. Sebagai
tamu putri raja, ia mendapat kesempatan mengamati berbagai hal di kota itu. Ia
punya kenangan tersendiri ihwal kota itu dalam semangat toleransi, objektif,
dan rada aneh.
Pada masa kedatangannya
ke Constantinopel, Byzantium dikabarkan sebagai negeri yang hidup dengan
bayang-bayang kejayaan masa lalu. Tapi Ibnu Battutah tidak begitu peduli pada
hal demikian. Dari Constantinopel, ia melanjutkan perjalanan mengitari Laut
Hitam menuju Asia Tengah, melewati lima kota hingga sampai di Kabul,
Afghanistan. Tak dijelaskan waktu-waktu ia menyinggahi kota-kota itu dan berapa
lama tinggal di sana, hingga kemudian sampai di Delhi, India.
Kota Delhi boleh
dibilang sebagai tempat terlama ia bermukim: sekitar delapan tahun. Warga
muslim India pada masa itu merupakan kelompok terkecil penganut agama. Walau
demikian, menurut catatan Ross E. Dunn, kelompok ini memerintah bagian dari
subkontinen India yang lebih besar. Selain itu, pola-pola dasar masyarakat dan
kebudayaannya pun ditandai dengan penyerbuan-penyerbuan pasukan berkuda dari
Afghanistan.
Diperiksa Mata-Mata Sultan
Ketika Ibnu Battutah
datang ke India, negeri itu masih berada di bawah kekuasaan Sultan Muhammad bin
Tughluq. Mayoritas muslim yang ada di sana adalah kelahiran India. Kebanyakan
populasinya yang berdiam di desa masih menganut Hindu. Sultan membiarkan mereka
hidup dan menganut agama yang mereka yakini. Walau demikian, sultan ini sangat
tidak tahan kritik. Ia menghadapi para pengkritiknya dengan tangan besi.
Pada saat Ibnu Battutah
berada di kota itu, suasana istana kerajaan kebetulan sedang panas. Sekitar
tahun 1334, negeri itu dilanda kekacauan. Tak kurang dari 22 kali pemberontakan
besar pecah dalam 10 tahun terakhir dari separuh masa kekuasaannya. Belum lagi
paceklik selama tujuh tahun melanda negeri. Di masa seperti itulah, Ibnu
Battutah datang ke kawasan Hindustan ini.
Tidaklah mengherankan
bila ia kemudian diperiksa mata-mata sultan ketika menyusuri Sungai Indus. Ibnu
Battutah dan rombongan yang bersama dengannya kemudian disuruh pergi ke kawasan
Multan sambil menunggu perintah sultan. Sang penguasa ingin menerima mereka
dalam status dan derajat kehormatan yang akan ditetapkan kemudian.
Namun, menurut catatan
Ibnu Battutah, ia dan rombongan tidak langsung ke Multan, melainkan singgah
dulu di Sind, yakni kawasan lembah kering di hilir Sungai Indus. Ibnu Battutah
sempat tinggal di Multan selama dua bulan lebih. Ia kembali diskrining untuk
mengetahui berapa lama akan tinggal di Delhi. Bila memang cukup lama, ia baru diperbolehkan
masuk Delhi. Begitulah adanya aturan yang ditetapkan sultan.
"Ketika aku
ungkapkan bahwa aku datang untuk menetap, mereka minta kepada hakim dan juru
catat serta-merta menulis sebuah perjanjian yang mengikatku dan rombonganku
yang ingin tetap tinggal di India, tapi beberapa dari mereka menolak perjanjian
itu," tulis Ibnu Battutah soal pemeriksaan oleh mata-mata sultan tadi.
Sebagai pertanda lain
komitmennya itu, ia juga menyediakan barang-barang hadiah untuk sultan. Beragam
hadiah berupa anak panah, beberapa ekor unta, dan lebih dari 30 ekor kuda itu
dibelinya di Afghanistan, negeri yang disinggahinya sebelum ke India. Ada juga
hadiah lain yang disampaikannya secara samar-samar, yakni "budak-budak
berkulit putih dan barang lainnya".
Menetap Selama Tujuh Tahun
Rombongan Ibnu Battutah
yang bertolak ke Delhi berjumlah sekitar 40 orang, termasuk para budak. Sampai
di Delhi, ia mendapat sambutan meriah dari pihak istana. Kesan utamanya tentang
Delhi ia ungkapkan kepada Ibnu Juzayy. Katanya, "Sebuah kota yang luas dan
indah... kota terbesar di India, bahkan juga paling besar dari semua kota Islam
di Timur."
Namun, pada bagian
lain, ia menyebut, "Kota yang kosong dan tiada berpenghuni serta cukup
untuk sejumlah kecil warga." Yang ia maksud dalam tuturan ini diperkirakan
adalah kota Daulatabad. "Ia hanya memikirkan orang-orang yang
berkepentingan, seperti seseorang yang ingin naik pangkat pada suatu jamuan
pesta yang mengatakan, 'Tiada orang di sana'."
Lebih dari tujuh tahun
Ibnu Battutah bermukim di India --waktu terlama ia berada di satu negeri.
Berkat kesalehan dan kedalaman ilmu fikihnya, Sultan Muhammad bin Tughluq
mengangkatnya sebagai hakim istana. Walau demikian, pada tahun terakhir ia
berada di India, keinginan untuk mengembara ke negeri lain mendesak dadanya.
Pada Juni 1341, ia pun
menyampaikan niatnya itu. Ia menyatakan akan menunaikan ibadah haji sebagai
alasan terkuat untuk meninggalkan negeri itu. Rupanya, sultan mafhum tentang
apa yang bergejolak di dada musafir asal Maroko ini. Maka, raja pun meminta dia
bersedia diutus sebagai duta ke istana Mongol, sekaligus mengiringi 15 utusan
dari penguasa Cina itu kembali ke negeri mereka. Kesempatan meninggalkan
Muhamamad bin Tughluq dan suramnya Delhi untuk berkelana ke negeri lain itu pun
tak disia-siakannya.
Perjalanan ke Cina
diselingi dengan persinggahannya ke Maladewa, Sri Lanka, dan Samudra Pasai di
Sumatera, serta Qui Nihon di Vietnam sekarang. Di Maladewa, ia sempat menikah
dengan perempuan negeri itu karena tuntutan adat setempat. Ia punya catatan
ihwal adat yang ganjil itu.
"Apabila kapal-kapal berlabuh, anak buah kapal pun kawin; bila hendak berlayar lagi, mereka ceraikan istri-istri mereka. Hal ini merupakan jenis perkawinan sementara. Para perempuan di kepulauan itu tidak pernah meninggalkan negeri mereka."
Dalam catatan
perjalananannya dari India ke Cina, Ibnu Battutah sempat menyebut Samudra Pasai
sebagai tempat persinggahannya. Ia berada di negeri ini, yang disebutnya hijau
dan subur, dengan kota pelabuhannya yang besar dan indah, selama lebih-kurang
dua pekan. Malah, dalam perjalanan pulang dari Cina, ia kembali singgah selama
dua pekan di sini.
Kedatangannya ke
Samudra Pasai langsung disambut para panglima dan ahli fikih negeri atas
perintah penguasa negeri, Sultan Mahmud Malik Az-Zahir. Di mata Ibnu Batutah,
sang sultan adalah penganut mazhab Syafi'i yang giat menggelar pengajian.
"Sultan sangat rendah hati dan berangkat ke masjid untuk salat Jumat
dengan berjalan kaki. Selesai salat, Sultan dan rombongan biasa berkeliling
kota melihat keadaan rakyatnya," tulis dia tentang kesannya terhadap sang
sultan.
Dalam perjalanan
pulang, dari Samudra Pasai ia langsung berlayar ke Calcutta, kemudian
melanjutkan perjalanan ke kota pesisir di Yaman. Tak berhenti di situ. Ia
sempat sekali lagi menunaikan ibadah haji sebelum kembali berkelana ke sejumlah
kota di Afrika Barat. Jejak perkelanaannya juga menyebutkan, Ibnu Battutah
pernah menyinggahi kota Malaga dan Grenada di Spanyol sebelum akhirnya kembali
menetap di tanah kelahirannya.
Sampai di Maroko, ia
pun diminta Sultan Abu Inan Faris untuk membeberkan pengalamanannya selama
hampir 30 tahun mengembara. Sultan menunjuk juru tulisnya untuk membantu
penulisan catatan perjalanan panjang yang melegenda itu. Ibnu Battutah sendiri
tak diketahui benar kapan wafatnya. Ada yang menyebut ia wafat pada 1367, ada
juga yang mengatakan tahun 1368. Makamnya diyakini ada di kota Tangier.
Yang menarik, tujuh
setengah abad kemudian, pada 2007, dua warga Maroko sengaja bertualang
mengikuti jejak pengembaraan Ibnu Battutah. Dalam napak tilas ini, dua musafir
bernama Abdelkarim Rachek dan Youssef Abdennaim itu berjalan kaki dari Tangier
menjelajahi 20 negeri yang pernah disinggahi Ibnu Battutah. Perkelanaan yang
dimulai pada Februari 2007 itu pun berakhir pada Maret 2009.
Ar-Rihla: Kisah Pribadi Sang Musafir
Sepulang dari
penjelajahan panjang dan lama pada 1354, Ibnu Battutah diminta sultan untuk
membeberkan pengalaman perjalanannya. Karena ia hanya ahli fikih, bukan ahli
sejarah yang tidak piawai menulis, sultan pun meminta juru tulisnya yang juga
ahli sastra, Ibnu Juzay, menulis catatan perjalanan yang diberi judul Ar-Rihla.
Menurut para ahli,
belum ditemukan bukti-bukti bahwa ia membuat catatan selama penjelajahan
panjang itu. Ketika Ar-Rihla disusun, Ibnu Battutah hanya mengandalkan
ingatannya yang memang kuat dalam penuturannya kepada Ibnu Juzay, yang konon
prosesnya makan waktu hampir dua tahun. Walhasil, Ibnu Juzay memperkaya catatan
perjalanan itu berdasarkan referensi yang ditulis penjelajah sebelumnya,
seperti Ibnu Jubair dan Muhammad al-Abdari.
Beruntung, catatan itu
selesai sebelum penulisnya wafat pada 1357. Ibnu Juzay wafat dalam usia muda,
37 tahun, tanpa diketahui penyebabnya hingga kini. Hubungannya dengan Ibnu
Battutah dirintis sejak sang musafir singgah di Grenada. Penulis muda ini ikut
ke Fez di Maroko ketika Ibnu Battutah mengakhiri petualangan bersejarahnya.
Para pakar menilai,
ulasan yang ada dalam Ar-Rihla amat berbeda dibandingkan dengan catatan
perjalanan terkenal lainnya yang semasa. Sebut saja Book of Marco Polo, yang
hanya terbagi atas dua bagian. Bagian pertama berisi ikhtisar singkat tentang
karier musafir dari Venesia itu. Bagian kedua menyajikan informasi yang
sistematis dan didaktis mengenai Negeri Cina dan negeri lain di sebelah timur
Eropa.
Sedangkan Ar-Rihla
memberi kesan yang kuat sebagai otobiografi dan petualangan pribadi yang
disusun menurut tuturan Ibnu Battutah. Ibnu Juzay menambahkan banyak kesimpulan
retoris dan sejumlah syair ke dalam naskahnya. Walhasil, kitab catatan
perjalanan ini "lebih mengungkapkan kepribadian sang musafir yang tegar,
bersemangat tinggi, lancang, dan tidak sabaran, tapi saleh dan bersikap
manis," tulis Ross E. Dun dalam bukunya, The Adventure of Ibnu Baittutah.
Walau demikian, Dunn
mengakui, Ar-Rihla yang ditulis dalam gaya sastra konvensional pada zamannya
itu tetap merupakan tinjauan komprehensif tentang tokoh-tokoh perorangan,
tempat-tempat persinggahan, pemerintahan, dan keanehan dunia muslim pada masa
itu. Ada pakar lain yang memaklumi "kelemahan" itu dengan menyebut
Ibnu Battutah sebagai ahli geografi dan sejarah dadakan dengan karyanya yang
sekaligus merupakan catatan petualangan yang dramatis. Ia pun menjadi rujukan
intelektual muslim selama beberapa abad di kawasan Afrika Utara dan Jazirah
Arab.
Ibnu Battutah
1. Tangier: Ibnu
Battutah lahir di kota ini pada 1304 dari orangtua keturunan suku barbar
berbahasa Arab. Setelah menempuh pendidikan ilmu fikih, pada 14 Juni 1325 ia
memulai petualangan dari kota ini dan baru kembali pada 1354.
2. Mekkah: Pada Oktober
1326, untuk pertama kalinya Ibnu Battutah menjejakkan kaki di kota ini untuk
menunaikan ibadah haji. Pada tahun berikutnya, setelah mengembara, ia kembali
ke kota ini dan mukim selama tiga tahun. Sepulang berkelana ke berbagai negeri,
ia kembali ke sini sambil menunaikan ibadah haji terakhirnya pada 1348.
3. Constantinopel: Ibnu
Battutah singgah di ibu kota Bizantium ini pada awal 1330-an dan sempat tinggal
selama lebih-kurang satu bulan.
4. Delhi: Ibnu Battutah
menjejakkan kaki di India pada 1334. Delapan tahun lamanya ia berada di negeri
ini menjadi qadi alias hakim di pengadilan Sultan Delhi. Ia menyebut Delhi
sebagai kota terbaik di Hindustan dan di seluruh wilayah Islam di kawasan
Timur.
5. Maladewa: Sekitar
sembilan bulan lamanya Ibnu Battutah berada di kepulauan ini. Ia menyebutkan,
dalam hal makanan, penduduk negeri ini sungguh terpuji. Di sini ia diberi
beberapa budak perempuan dan terpaksa menikahi empat perempuan untuk menuruti
adat setempat.
6. Sri Lanka: Ia
berlayar ke wilayah ini dengan tujuan menyinggahi tempat bernama Puncak Adam.
Konon, di tempat itulah untuk pertama kalinya Nabi Adam menjejakkan kaki di
bumi setelah diturunkan dari surga.
7. Aceh: Dalam
perjalanannya ke Cina, Ibnu Battutah sempat singgah di Kerajaan Samudra Pasai.
Ia tinggal di sini sekitar dua minggu dan sempat dijamu Sultan Malikul Dhahir.
Sepulang dari Cina, ia kembali singgah di kesultanan ini selama beberapa pekan
sebelum melanjutkan pelayaran ke arah barat.
8. Cina: Setelah
menempuh perjalanan melewati Vietnam, Ibnu Battutah menjejakkan kaki pertama
kali di kota Quanzhou yang juga disebutnya Zaitun di Provinsi Fujian sekarang.
Ia sempat singgah di beberapa kota di sebelah utara sebelum meninggalkan negeri
itu pada 1346.
9. Aleppo: Ketika
berada di kota yang kini masuk wilayah Suriah ini pada Juni 1348, ia sempat
menyaksikan wabah penyakit melanda kota itu. Peristiwa ini dikenal dengan
sebutan Kematian Hitam karena rata-rata 500 warganya meninggal setiap hari. Wabah
ini juga sempat menyebar ke Eropa, dua tahun kemudian.
10. Fez: Pada 1354,
Ibnu Battutah mukim di kota ini untuk menuturkan kisah perjalanannya kepada
Ibnu Juzay, juru tulis Sultan Abu Inan Faris yang berkuasa di Maroko ketika
itu.
Marco Polo
Pada 1271, di usia 17
tahun, pemuda kelahiran Venesia ini bersama ayah dan pamannya memulai ekspedisi
ke Cina di bawah kekuasaan Kubilai Khan. Petualangan ini makan waktu hingga 24
tahun, menempuh jarak sekitar 24.000 kilometer.
Laksamana Cheng Ho
Laksamana terkemuka
Cina di zaman Kaisar Yongle ini melakukan ekspedisi laut yang terkenal itu
selama 27 tahun. Penjelajahan laut yang dilakukan dalam tujuh tahap itu
menempuh jarak sekitar 50.000 kilometer. Selesai.
Refernsi tulisan
Adventures of
Ibnu Battuta, Ross E. Dunn.
Erwin Y Salim
Wikipedia
0 on: "Rekam Jejak Sang Musafir Teragung Sepanjang Sejarah"