Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Hukuman mati. Satu kata yang mengadung kesan kengerian, dan
bahkan jika kita dimintai kesan untuk kata tersebut, hanyalah amit-amit jabang bayi itulah kalimat
yang paling pas!
Mengutip dari sejarah
kekaisaran Tiongkok kuno, dari sekian hukuman sadis yang pernah ada, ternyata
hukuman penggal atau hukum pancung (leher) tidak ada dalam daftarnya. Hukum penggal
sendiri dalam catatan sejarah terbagi menjadi dua cara, yang pertama tentu yang
lebih kita kenal selama ini yakni penggal leher. Sedangkan yang lebih sadis
lagi dalam hukum penggal ini adalah penggal pinggang. Karena dalam hukuman ini
terdakwa akan merasakan sakit lebih lama sebelum ajal menjemputnya. Ngeri,
tentu saja. Membayangkan pun saya sarankan jangan.
Setidaknya dalam sejarah
kekaisaran Tiongkok kuno ada 16 jenis hukuman mati yang terbilan sadis. Meski tidak
ada pancung di dalamnya, namun yang paling sadis adalah dengan cara mengesekusi
dengan di sisir dan dibersihkan. Loh iya, disisir dan dibersihkan. Tapi tentu
saja maksud disisir dan dibersihkan di sini bukan rambutnya biar lebih rapi dan
kelihatan perlente. Mau tahu apa yang disisir dan dibersihkan?
Istilah disisir dan
dibersihkan di sini adalah dimana terdakwa disikat dan dibersihkan kulit dan
dagingnya hingga bersisa tulangnya saja. Namun demikian, dalam sejarahnya belum
ada seorang pun yang mengalami hingga benar-benar bersih. Artinya, si terdakwa
sudah meninggal terlebih dahulu sebelum proses itu selesai. Pencetus hukuman
mati model seperti ini adalah kaisar Hongwu atau lebih sering dikenal dengan
Zhu Yuanzhang (1328-1398), hal ini bisa kisanak baca lebih jauh di bulek wikipedia.
Lantas, bagaimana
sejarah hukuman mati di nusantara ini? Baik, berikut ini saya rangkumkan buat
kisanak pembaca setia akarasa ini.
Paling terkini,
eksekusi mati terpidana mati di Indonesia seperti yang kita tahu adalah
dihadapkan dengan regu tembak. Eksekusi mati sekarang ini sudah lebih beradab,
meski saya sarankan kisanak jangan membayangkannya, cukup dibaca saja atau
sekedar tahu saja. Ya, eksekusi sekarang sudah mengedepankan sisi moril
terpidana dan berupaya mengakhiri hidup terpidana secepat mungkin agar tidak
merasa tersiksa dan berlama menahan kesakitan. Regu tembak akan langsung
membidik jantung si terpidana, kemudian untuk memastikan terpidana benar-benar
sudah meningga; biasanya diadakan tembakan terakhir di kepala dalam jarak
dekat. Dor!
Baik, sekarang mari
kita mundur ke belakang pada masa Indonesia ini masih disebut nusantara. Pada masa
kerajaan Hindu-Budha hukuman mati dilakukan dengan berbagai cara, salah satu
diantaranya adalah dengan menusuk dada (jantung) terpidana dengan sebilah
keris. Ada juga dengan cara lain yakni dengan menenggelamkan si terpidana ke
sungai atau laut yang sebelumnya telah diberi pemberat.
Pada masa kerajaan di
nusantara masih bercorah Hindu-Budha seperti yang sudah saya sebutkan di atas,
ada beberapa kerajaan pada masa itu telah memiliki ktab hukum pidana. Sebut saja
misalnya Majapahit yang memiliki sebuah kita hukum pidana Kutaramanawa, kita
ini adalah adobsi dari hukum agama yang berlaku di India. Selain itu, di masa
Majapahit sudah dikenal adanya Hakim yang diangkat oleh raja, yakni
Dharmadyaksa.
Pada masa kerajaan di nusantara
ini sudah bercorak Islam lain lagi eksekusi hukuman matinya, pada masa Mataram
Islam misalnya, eksekusi mati ini ada dua pilihan, tinggal pilih sesukanya. Monggo
kerso. Mau pilih dengan cara diadu dengan harimau Jawa atau hukuman picis.
Hukuman mati dengan
cara diadu dengan macan tentu kisanak membayangkan pilem Gladiator, yang mana
si terpidana diadu dengan singa di collosseum, kalau hukuma mati dengan diadu
dengan macan ala Mataram ini dilaksanakan di alun-alun. Nah, hukuman mati
dengan cara picis ini tak kalah mengerikannya. Dimana tubuh terpidana
disayat-sayat dengan pisau dan lukanya diolesi dengan air garam atau cairam
asam. Hal ini dilakukan hingga terpidana benar-benar mati.
Seje deso mowo coro,
lain lubuk lain ikannya. Lain Mataram lain pula Aceh. Di kesultanan Aceh hukum
berlandaskan syariat Islam, Qishash adalah hukumnya. Qishash adalah hukum dalam
syariat Islam, secara umum prinsipnya adalah nyawa dibayar nyawa, pencuri
diganjar dengan potong tangan, penganiaya diganjar potong kaki, dan seterusnya.
Tapi lunaknya, hukum qishash ini dapat dibatalkan apabila korban atau
keluarganya memberikan maaf. Esksekusi hukuman mati yang sudah di vonis qadi
atau hakim ini biasanya dengan cara di pancung.
Kedatangan bangsa Eropa
ke nusantara nyatanya tidak bisa menghentikan hukuman mati. Justru memperkaya
khasanah hukuman mati yang sudah ada sebelumnya. Yang paling terkenal adalah
eksekusi mati pada seorang pemberontak pada tahun 1722 dengan cara kaki dan
tangannya di ikat dengan empat ekor kuda. Kemudian empat ekor kudan yang
berlainan arah tersebut dihela hingga tangan dan kaki si terpidana tercerai
berai.
Dan yang terakhir pada
masa pendudukan bangsa Nipon atau Jepang eksekusi mati berhadapan dengan algojo
dengan cara pancung. Sebagai penutup, eksekusi mati pada jaman itu sengaja
dipertontonkan pada masyarakat dengan tujuan memberi efek psikologis atau efek
jera agar perbuatan terpidana tidak terfikir untuk dilakukan oleh masyarakat. Tidak
perlu membincang HAM, belum ada toh kala itu. Akhirnya, sementara sampai di
sini dulu kisanak dan sampai jumpa pada tulisan selanjutnya. Nuwun.
0 on: "Sejarah Eksekusi Mati dari Masa ke Masa"