Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Membicang tentang wanita memang tidak ada habisnya, selalu
menjadi topik yang menggemaskan untuk diperbincangkan. Wanita, memang mahakarya
Tuhan dengan segala keindahan dan bentuk fisiknya, pun lengkap dengan
misterinya. Itulah wanita, semakin kita membicangnya lebih jauh seperti halnya
kita terjebak dalam labirin dan tidak menemukan jalan kembali.
Kita harus akui,
terutama kaum bapak-bapak. Selama ini persepsi kita tentang wanita adalah sosok
yang tidak jauh dari dapur-sumur-kasur atau dalam bahasa lebih greget lagi
masak-macak-manak. Bener toh seperti itu?
Sebagai warga negara
yang baik, maksud saya sebagai orang yang jentelmen kita pun harus akui kiprah
bani Hawa ini dalam panggung sejarah. Kita harus akui, catatan sejarah dunia
menyebutkan bahwa kontribusi wanita tidak hanya sebagai penggembira dalam
panggung sejarah umat manusia. Banyak toh pemimpin-pemimpin wanita yang
tercatat dalam sejarah, sebut saja Ratu Balqis dari Sheba atau Ratu Esther
manakala mempertaruhkan nyawanya demi menyelematkan bangsanya dari pemusnahan
massal ketika itu.
Jika dua nama di atas
adalah wanita dari mancanagara, maka dua nama yang saya sebutkan ini adalah
wanita dekat-dekat sini saja, Jawa. Pada abad ke 6 Masehi ada Ratu Shima dari
Kalingga, diperkirakan pusat kerajaannya ada di utara Jawa Tengah. Dalam
riwayatnya, Ratu Shima ini sangat adil dan tegas menerapkan peraturan di
kerajaannya. Tidak mau di suap orang ini, apalagi jual beli jabatan.
Tiga abad setelahnya,
yakni abad ke 9 Masehi di Jawa Timur seorang wanita tercatat dalam sejarah
dunia, yakni Tribuwana Tungga Dewi. Dalam catatan sejarah, Tribuwana Tungga
Dewi sang penguasa Majapahit inilah yang
mengawali kemasyuran pada kerajaan ini turun temurun.
Baik, jika dua nama
tersebut terlalu jauh dari masa sekarang. Sejarah dunia juga mencatat beberapa
nama wanita kombatan yang tangguh dari negeri kita ini. Sebut saja Cut Nyak
Dien dan Malahayati yang keduanya sama-sama berasal dari tanah renconng, Aceh.
Sayangnya generasi sekarang lebih mengenalnya sebagai nama jalan, nama kapal
perang dan tentu saja lukisan-lukisan bisu di dinding kelas.
Tidak banyak orang yang
tahu bahwa Malahayati adalah Laksamana wanita
pertama di dunia. Sebuah posisi yang setaraf
jenderal di TNI dalam kesatuan angkatan laut (AL). Bahkan hingga
sekarang, pencapaian Malahayati belum ada yang menyepadani di negara manapun
dalam kepangkatan. Nama aslinya Keumalahayati, putri dari Laksamana Mahmud Syah
bin Laksamana Muhammad Said Syah. Kakeknya merupakan putra Sultan Salahuddin Syah yang memimpin Aceh
pada 1530-1539. Ayahnya adalah seorang laksamana, tak heran jika Malahayati
akrab dengan dunia angkatan laut.
Kita sendiri atau
bahkan juga termasuk sejarah kerap menafikan bahwa di beberapa tempat justru
wanita adalah kombatan yang tangguh. Sebut saja Inong Balee, di Aceh sebuah
laskar yang mana Malahayati juga merupakan panglimanya.
Selanjutnya di Jawa,
pada masa pemerintahan Sultan Agung raja paling terkenal dari wangsa Mataram
Islam ada satu detasemen wanita yang dikenal sebagai Korps Prajurit Estri. Koprs
ini pun kemudian hari juga di ada di Mangkunegaran.
Keberadaan Korps
Pasukan Estri setidaknya dinyatakan oleh Riklof van Goens, duta VOC untuk
Mataram, yang datang ke Mataram pertengahan abad 17. Menurut Goens, Korps
Prajurit Estri Mataram terdiri atas kira-kira 150 perempuan muda. Tiga puluh
diantaranya adalah mengawal raja, ketika muncul dihadapan orang banyak. Semacam
paspampres dimasa kini. Tiga puluh wanita inilah yang memiliki nama khusus,
yakni Trinisat Kenya yang diambil dari bahasa Jawa, Tri berarti tiga, Sat
artinya Sepuluh dan Kenya yang artinya Wanita.
Pada masa Amangkurat I
berkuasa, Trinisat Kenya ini adalah pengawal intinya. Bahkan ada satu cerita, Trinisat
Kenya ini berhak menghukum penggal kepala atau meng-keris jleb kepada siapa
saja rakyat jelata yang berani baik sengaja atau tidak sengaja memandang wajah
raja. Apalagi dalam pisowanan di siti hinggil Mataram.
Pada masa pemerintahan
Amangkurat I ini, sekurangnya diangkat lebih dari 1000 anggota trinisat kenya
ketika pemindahan Kraton Kutagara atau Kerta (sekarang Kotagede) ke daerah
Pleret – Segarayasa. Konon, Trinisat Kenya inilah yang mengeksekusi ribuan
orang yang dianggap mbangkang kepada Amangkurat. Selanjutnya, korps Trinisat
Kenya ini kemudian dalam pemerintahan Kasultanan Yogyakarta berubah nama
menjadi korps wanita Langen Kusuma.
Sejarah dibentuknya
prajurit wanita Langen Kusuma di Kasultanan Yogyakarta dipengaruhi oleh situasi
politik yang terdapat di dalam keraton. Sultan Hamengku Buwana II di kenal
sebagai sosok bersikeras untuk tidak bersedia bekerja sama dengan pihak asing,
yaitu Belanda. Segala cara dilakukan untuk menentang Belanda, yaitu salah
satunya dengan memperkuat keamanan yang dimiliki keraton.
Penambahan jumlah
prajurit ini sudah dilakukan bahkan ketika Sultan Hamengku Buwana II masih
menjadi putra mahkota, yaitu salah satunya dengan membentuk pasukan prajurit
wanita Langen Kusuma pada tahun 1767. Meskipun pada awalnya pembentukan
prajurit wanita Langen Kusuma difungsikan sebagai prajurit pengawal putra
mahkota, namun ketika Sultan Hamengku Buwana II naik tahta maka fungsi dan
tugas prajurit wanita menjadi bertambah.
Tenaga prajurit wanita
Langen Kusuma semakin dibutuhkan dengan semakin banyaknya intrik-intrik politik
yang terjadi di dalam Keraton Yogyakarta pada masa pemerintahan Sultan Hamengku
Buwana II sehingga menyebabkan semakin dibutuhkannya tenaga penjaga bagi
keamanan raja beserta keluarganya. Tak hanya itu, dengan alasan keamanan maka para
pengawal raja dipilih kaum wanita. Bahkan di waktu malam hari, kamar raja di
Prabayeksa hanya diperbolehkan dijaga oleh pengawal wanita sedangkankaum pria
dilarang untuk masuk. Kebijakan ini kemungkinan dipengaruhi oleh sikap
ketidakpercayaan raja terhadap kaum pria karena banyaknya pemberontakan yang
dilakukan oleh kaum pria dibandingkan kaum wanita.
Pembentukan pasukan
khusus beranggotakan kaum wanita ini bukanlah sesuatu yang aneh jika merunut
pada kebijakan yang telah dilakukan Sultan Agung di masa Kerajaan Mataram.
Diketahui bahwa beliau memiliki prajurit-prajurit wanita dalam korps
keprajuritannya meskipun belum terbentuk dalam suatu pasukan khusus. Dalam
sistem pertahanan dan keamanan di Kasultanan Yogyakarta sendiri terlihat meniru
sistem pertahanan yang dimiliki Kerajaan Mataram. Demikian pula dengan
kebijakan untuk membentuk pasukan prajurit wanita.
Pembentukan prajurit
wanita di Kasultanan Yogyakarta sudah lebih tertata dan juga dibekali dengan
keahlian-keahlian lain sehingga terlihat lebih profesional dibandingkan dengan
prajurit wanita milik Sultan Agung. Hal ini dimungkinkan dengan situasi
keamanan saat itu yang membutuhkan tenaga prajurit yang memiliki kemampuan
militer lebih baik dibandingkan masa sebelumnya. Tidak hanya prajurit pria namun
juga prajurit wanita.
Menghilangnya
keberadaan prajurit wanita Langen Kusuma disebabkan oleh beberapa hal, yaitu
terjadinya perubahan kepemimpinan di Kasultanan Yogyakarta, hilangnya fungsi
militer di kerajaan-kerajaan Jawa serta terbatasnya dana yang dimiliki
Kasultanan Yogyakarta untuk membiayai personel militernya. Dihapuskannya
prajurit wanita ini juga dikarenakan kedudukan mereka yang belum menjadi
prajurit resmi keraton, dan masih sebatas pengawal pribadi sultan. Selain itu,
juga adanya tekanan dari pihak asing yang menghendaki agar kekuatan militer
kerajaan-kerajaan Jawa menjadi lemah.
Dengan jumlahnya yang
terbatas serta awal keberadaannya yang sebagai prajurit pribadi milik putra
mahkota semakin mempermudah jalan untuk menghilangkan prajurit wanita di
Kasultanan Yogyakarta. Apalagi di masa selanjutnya konsep patriarki semakin
kuat berkembang di kalangan masyarakat Jawa, khususnya di lingkungan kerajaan,
yang menempatkan kaum wanita hanya di sektor domestik saja. Akibatnya, timbul
anggapan bahwa keadaan ini sudah berlangsung sejak dahulu tanpa adanya
perubahan.
Bagi sebagian
masyarakat di saat ini peran kaum wanita di bidang militer dengan menjadi
prajurit keraton di masa lalu seakan menjadi sebuah khayalan yang mustahil
dilakukan. Namun ternyata kenyataan menunjukkan bukti yang berbeda dari
anggapan tersebut. Kenyataan menunjukkan bahwa sebelum abad 19 sudah terdapat
sekelompok wanita gagah berani juga memiliki kecerdasan yang tak kalah dengan
prajurit pria. Mereka mampu menunjukkan kemampuan mereka sebagai pasukan
penjaga keamanan dan keselamatan sultan beserta keluarganya. Namun dikarenakan
keadaan dan situasi pada saat itu maka keberadaan mereka di kancah militer
kerajaan tidak berlangsung lama.
Betapapun kecilnya
peran yang dimiliki oleh prajurit wanita Langen Kusuma di Kasultanan Yogyakarta
tetap saja mereka tidak dapat begitu saja dilupakan. Keberadaan mereka
menunjukkan adanya kesempatan yang diberikan bagi kaum wanita Jawa untuk
berperan dalam bidang militer. Sekaligus juga membuktikan bahwa kaum wanita
Jawa memiliki kemampuan untuk ikut berjuang bersama-sama dengan kaum pria
membela kepentingan rajanya. Sekian. Nuwun.
Bumi Para Nata, mongso
13/01/17
0 on: "Sejarah Kombatan Wanita : Inong Balee, Trinisat Kenya, dan Langen Kesuma"