Akarasa – Selamat
datang kerabat akarasa. Jika kita mau jujur, wanita selama ini selalu dipandang
sebelah mata dalam derajat sehari-hari. Bahkan ada pameo yang saya yakin sudah
akrab di indera dengar sampeyan, bahwa wanita hidupnya tak jauh dari dapur,
kasur, dan sumur.
Kurang tahu siapa yang
mencetuskan pertama kali pameo tersebut, bukan hanya ngawur tapi yang ngomong
seperti itu pasti dia baru bangun tidur, kesadaran belum penuh atau nyawanya
belum ngumpul sepenuhnya. Mereka tidak sadar bahwa wanita punya tugas dan
tanggung jawab yang maha luhur. Begitulah semestinya.
Pada tulisan ini saya
tidak hendak membincang lebih jauh tentang pameo tersebut secara keseluruhan.
Bisa panjang dan sampeyan akan bosen membacanya. Akan tetapi hanya satu bagian
saja, wanita dan dapur. Tentang wanita dan kasur juga sumur biar blog sebelah
saja yang membahasnya.
Wanita dan dapur adalah
dua hal yang memiliki keterkaitan yang sangat kompleks sekaligus ambigu. Dapur
merupakan salah satu bagian ruang domestik, seperti halnya tubuh wanita yang
dimaknai tidak diperuntukan publik. Dapur bagi wanita tidak bermakna tunggal.
Dapur tidak hanya diartikan sebagai sekedar ruang untuk menyiapkan masakan
saja. Makna dapur bagi wanita jauh melampaui arti fungsional tersebut.
Dapur merupakan tempat
wanita berkutat dengan bumbu-bumbu meracik masakan untuk disajikan. Tempat
penciptaan masakan terlezat hingga masakan paling beracun sekalipun. Tempat
untuk membangun identitas di mata patriarki, identitas atau harga wanita ini
selaras dengan rasa masakan yang disajikan. Semakin enak rasanya maka semakin
baik citra yang dibangun, semakin tidak enak masakannya maka semakin tidak baik
citra yang dibangun. Alasan inilah yang kemudian membuat dapur menjadi semacam
kutukan bagi wanita, karena wanita akan
mendapat sanksi sosial jika tidak berkemampuan memasak tidak baik.
Dapur merupakan ruang
yang ambigu, ia memiliki banyak arti bagi seorang wanita. Dapur adalah alasan
penindasan itu terjadi, dapur juga tempat untuk meracik makanan untuk dihidangkan
pada keluarga, sekaligus dapur juga dapat menjadi tempat untuk menyiapkan balas
dendam yang keji dan rapi.
Awalnya Maharani
berharap menemukan resep baru di musium kota, tapi inilah yang ditemuinya:
Pada suatu muasal yang
jauh, sebuah kapal penangkap ikan Bugis remuk dihantam badai Atlantik.
Satu-satunya yang tersisa, seorang lelaki muda dengan buntalan kulit berisi
bumbu, diselamatkan kapal dagang Portugis. Mereka memberinya makanan Eropa yang
serba tawar itu, membuatnya lari ke dapur dan menampilkan diri sepenuhnya
sebagai penguasa mutlak bumbu-bumbuan. Malam itu seluruh penghuni kapal
terbakar lidahnya, menemukan sensasi yang tak pernah ditemui bahkan sejak jaman
nenek moyang mereka.
Di antara begitu banyak
buku sejarah dan sejenisnya, hanya satu ensiklopedi Spanyol terbitan tahun 1892
yang menyebut nama lelaki itu, tak peduli sebesar apa pun sejarah yang
ditimbulkannya. Dilupakan sejarah, tapi kepadanyalah kita mesti berterima kasih
telah membuat para pedagang Barat berdatangan, bersama tikus-tikus yang
menyelundup di kapal-kapal Spanyol, datang untuk membeli bumbu-bumbu tersebut
dari tangan pertama. Itulah awal kerakusan Eropa, dan orang-orang Belanda
bahkan membawa pula perusahaan besarnya kemari.
Sesungguhnya
orang-orang Belanda yang kemudian menguasai pulau-pulau bumbu ini tak pernah
sungguh-sungguh menguasai bumbu masak yang mereka dambakan. Pemberontakan
dramatik Diah Ayu, sebagaimana akan diceritakan, merupakan bukti otentik
mengenai hal itu.
Maharani tak pandai
memasak dan merasa dikutuk suaminya untuk mendekam di dapur, dan sekali waktu
di tempat tidur. Kini ia terpesona menyadari dirinya tinggal di negeri yang
telah diciptakan Tuhan sebagai surga bagi segala yang tumbuh.
Dan segala yang tumbuh,
hampir bisa dimakan. Saya katakan hampir, karena beberapa bisa bikin kau
sekarat jika memakannya, tapi bikin kau hidup jika kau memakannya dalam keadaan
sekarat. Itu rahasia-rahasia yang paling sulit, hanya dikenali jika kau telah
mengenalnya selama berabad-abad, diturunkan dari satu generasi ke generasi
lainnya.
Mati kelaparan
merupakan hal konyol yang bisa kau lakukan di tempat ini, meskipun kenyataannya
sering terjadi. Ada hutan lebat dengan buah-buahan yang bisa kau makan, juga
daun dan bahkan batangnya, serta getahnya. Ada ladang-ladang pertanian. Ada
sungai dan danau dan telaga di mana ikan berbiak lebih cepat dari manusia; dan
jangan tanya berapa luas laut yang dimiliki. Dan hewan-hewan liar tampak
sejinak merpati. Lemparkan sesuatu, dan ia akan tumbuh: jika bukan mimpi,
tentunya surga.
Di sinilah orang
seperti Alfred Russel Wallace tercengang-cengang pada ribuan spesies, yang
hidup dan yang mati. Di sini pula orang seperti Eugene Dubois mengaduk-aduk
yang pernah hidup. Tapi di antara semuanya, tentunya para pedagang yang segera
berhitung berapa banyak keuntungan yang bisa diperoleh dari negeri penuh harta
karun ini.
Selama bertahun-tahun
Maharani hanya tahu membikin anak, menyiapkan sarapan pagi, makan siang dan
malam. Kini ia tahu orang Belanda pernah menetap selama lebih dari tiga abad.
Mereka mendirikan
perusahaan, sebelum diambil alih kerajaan. Mereka mengirim seorang Gubernur
Jenderal, yang segera mengirim mesin-mesin birokrasinya ke seluruh negeri:
regent, asisten regent, resident dan kontroler. Mereka menaklukkan raja-raja
kecil, menjadikannya bupati-bupati wilayah, dan bupati menaklukkan wedana, dan
wedana menaklukkan lurah. Orang-orang Belanda juga menguasai pedagang-pedagang
Cina, yang membeli hak memungut pajak dalam lelang untuk banyak komoditas:
rempah-rempah, ternak, garam, juga candu.
Dengan cara itulah
bisnis di masa itu dijalankan. Kau harus menanam apa yang mereka inginkan, dan
tidak menanam apa yang tidak mereka inginkan. Kita juga membuat jalan-jalan
panjang, memasang rel kereta api, membangun pelabuhan, karena itulah yang
mereka inginkan. Itu mengawali banyak hal: pos, telegraf dan belakangan lampu
gas serta telepon, dan surat kabar.
Di luar mesin birokrasi
kolonial ini, ada juga orang-orang partikelir Eropa. Mereka pemilik perkebunan
dengan budak-budak pribumi sendiri.
Semua gambaran itu
merupakan panggung yang bagus bagi gelora pembangkangan kaum pribumi.
Pahlawan-pahlawan dilahirkan, sekaligus digugurkan. Kita telah mengenal
sebagian dari mereka, yang lukisannya dipajang di dinding-dinding sekolah. Di
antara para pejuang itu, seorang perempuan melakukan pembangkangannya tanpa tombak
dan bambu runcing. Ia adalah Diah Ayu, yang berperang dari dapurnya sendiri.
Maharani hanya mengenal
sedikit resep dan sedikit bumbu. Kebanyakan dihapal dari majalah. Kini
terpesona mengetahui seorang perempuan bisa menjadi pahlawan dengan menguasai
bumbu masak.
Siapakah wanita
tersebut? Ia juru masak yang terkenal itu, seorang patriotik pujaan anak-anak.
Apa yang kita kenal dari dongeng tentang wanita ini, barangkali didengar
sewaktu sekolah dasar, merupakan omong-kosong tak menentu.
Entah bagaimana para
pendongeng sampai pada bualannya. Segala yang diceritakan tampak lebih banyak
datang dari kepala mereka daripada dari data-data akurat tak terbantah. Sosok
Diah Ayu tiba-tiba menjadi aneh, melankolis, dan menyedihkan. Bisa diduga ada upaya-upaya
melenyapkannya dari sejarah, dan seandainya terselamatkan, apa yang tersisa
hanyalah citra tak benar mengenai dirinya.
Inilah hal-hal salah
yang kita kenal dan datang dari dongeng: ia dijual ayahnya pada seorang Belanda
pemilik perkebunan karena fakta kecantikannya. Itu tidak benar. Boleh dikatakan
ia tak begitu cantik, meskipun benar Belanda itu beberapa kali menidurinya
sampai ia punya dua anak. Fakta yang sesungguhnya adalah, ia dibeli karena
kemampuan luar biasanya mengelola bumbu, memasak, dan menghidangkan makanan
lezat.
Hal salah lainnya: ia
diam-diam memberi pelajaran membaca dan menulis pada para pelayan, dan para
pelayan ke pelayan lain di rumah-rumah tetangga, hingga kemudian banyak pelayan
rumah Belanda menjadi cerdas. Ia mengorganisir mereka dan melakukan
pemberontakan di hari Kamis tak terlupakan itu. Itu tidak benar. Diah Ayu buta
huruf. Tapi benar ia mengajari para pelayan. Apa yang sesungguhnya ia ajarkan
adalah rahasia-rahasia dapur: bagaimana mengelola bumbu masak dengan benar.
Bagi keluarga-keluarga
Belanda di tanah kolonial, seorang juru masak yang pandai tak hanya merupakan
kekayaan keluarga, tapi bahkan harga diri. Mereka bisa memamerkannya dalam
perjamuan-perjamuan malam. Itulah mengapa menjadi hal yang tak aneh jika
perempuan-perempuan pribumi yang ahli dalam penanganan bumbu masak, mendapati
diri mereka diperjual-belikan, atau diculik. Meskipun status mereka dalam
keluarga tak pernah lebih baik dari seorang gundik, seorang juru masak pandai
tak akan pernah dibiarkan meninggalkan rumah, apa pun risikonya.
Ada beberapa alasan
mengapa hal itu terjadi. Pertama, perempuan-perempuan Belanda, sebagaimana
lelaki-lelaki mereka, begitu menikmati kemakmuran yang tak terpikirkan di tanah
kolonial. Mereka menjadi makhluk-makhluk pemalas, menghabiskan waktu di beranda
rumah yang menghadap hamparan perkebunan teh, sambil membaca majalah mode yang
dikirim langsung dari Paris.
Kedua, bahkan
seandainya ada perempuan Belanda mencoba mengenali resep-resep paling istimewa,
ia tak akan pernah berhasil memasaknya. Hal ini sebagaimana dilakukan Nyonya
Ruthie van Bloom, yang berkeliling mengunjungi keluarga-keluarga pemilik tukang
masak-tukang masak terkenal, dan menuliskan resep-resep mereka dalam
berjilid-jilid buku. Bukunya tampak meyakinkan, tapi ia lupa ada
rahasia-rahasia tak terungkap di dalam bukunya.
Diah Ayu merupakan
salah satu dari pemilik rahasia-rahasia tersebut. Ia bisa menciptakan segala
sesuatu menjadi makanan mewah dan rahasianya terletak pada bumbu. Tentu saja
tak bisa dilewatkan fakta bahwa di pulau-pulau ini begitu banyak hal bisa
dimakan. Di sini bonggol pisang bisa kau makan, begitu pula batang belia pohon
bambu, sebagaimana pucuk pohon kelapa. Belalang dan laron bisa dimasak dan
terhidang di meja makan, sebagaimana siput dan katak. Sangat jelas di negeri
ini tak pernah ada orang berdoa meminta manna, sebagaimana orang Israel
memperolehnya dari Tuhan.
Tapi berhati-hatilah,
ada rahasia-rahasia tersembunyi dalam menu makan siang yang melimpah-limpah
seperti itu. Biji buah yang bisa kau jadikan kripik garing barangkali
membunuhmu dalam tujuh hari jika dicampur cuka dan garam. Rahasia-rahasia ini
tersembunyi di dapur, di tangan perempuan-perempuan yang menggerus bumbu dan
merebus umbi-umbian. Beberapa adonan ini menjadi makanan para dewa yang begitu
nikmat, beberapa merupakan penyembuh-penyembuh ajaib, dan sisanya
pembunuh-pembunuh tanpa ampun. Merekalah, para juru masak, yang bisa
membedakannya.
Mengetahui semua ini
Maharani jadi sangat malu, sebab tahu pasti dirinya bukan kebanggaan keluarga
di dapur. Di musium kota ia semakin suntuk berharap memperoleh pengetahuan
tentang bumbu masak dan mengangkat harkatnya sendiri.
Sebab kini Maharani
tahu, melalui pengetahuannya yang luar biasa itulah bagaimana Diah Ayu melakukan
pemberontakannya.
Ia bisa menciptakan
adonan-adonan aneh yang bisa membuat seorang lelaki kehilangan birahi untuk
selama-lamanya: ia berhasil melakukan itu setelah si Belanda memberinya dua
anak. Pada tahap berikutnya, ia semakin memberanikan diri mengolah bumbu-bumbu
paling berbahaya, yang bisa membunuh orang dengan begitu wajar.
Ia memilih tamu-tamu
keluarga tuannya sebagai korban-korban pembunuhan. Tentu saja ia melakukannya
secara diam-diam, dengan adonan pembunuh yang tersembunyi di dalam sayur. Dan
untuk menghindari kecurigaan-kecurigaan tertentu, ia meramu adonan-adonan yang
membuat orang mati seminggu, atau dua minggu, setelah memakannya.
Metode kerjanya
sangatlah luar biasa, dan sanggup menjatuhkan korban bahkan lebih banyak
daripada perang di front. Setahun sejak pembunuhan pertama, ia telah membunuh
lima puluh dua orang Belanda totok. Itu sebagaimana dilaporkan surat kabar
mengenai “kematian-kematian wajar yang mencurigakan” di sekitar Batavia.
Barangkali satu dua orang bukan korbannya, tapi jumlah yang lebih teliti sangat
mustahil untuk disebutkan.
Apa yang kemudian
membuat pembangkangannya jadi mengerikan adalah fakta bahwa ia mengajari
pelayan-pelayan itu rahasia-rahasia dapurnya, dan pelayan-pelayan itu mengajari
pelayan-pelayan di rumah tetangga dalam kesempatan pertemuan-pertemuan pendek
mereka. Dengan cepat rahasia tentang bumbu masak, yang sebelumnya hanya
diketahui sedikit orang dari generasi-generasi terpilih, tiba-tiba telah
diketahui hampir semua juru masak di kota itu. Adalah Diah Ayu yang
menjadikannya senjata pembunuh, dan benar bahwa ia mengorganisir semua tukang
masak tersebut dalam satu pemberontakan di suatu hari Kamis. Mereka membunuh
tuan-tuan mereka secara serempak, tidak dengan pisau dapur, tapi dengan kuah
jamur.
Itu hari paling kelabu
dalam sejarah kolonial, di mana 142 orang Belanda totok mati dalam sehari.
Terjadi di tahun 1878.
Akhir dari kisah hidup
Diah Ayu si tukang masak telah banyak diketahui. Bahkan seandainya ada sedikit
kesalahan, itu tak banyak berarti. Satu hal yang pasti, cukup alasan untuk
membuatnya tak lagi disebut-sebut dalam sejarah, kecuali mitos yang sangat
menyesatkan. Alasan itu tentu saja akan tampak sangat kelelaki-lelakian, tapi
begitulah kenyataannya.
Memang benar ada
perempuan-perempuan (dan juga lelaki) yang meniru metodenya. Memasukan arsenik
ke makanan, misalnya, dan kemudian makanan itu meracuni orang sampai mati. Tapi
metode Diah Ayu jauh lebih bersih, mempergunakan bumbu-bumbu masak yang dikenal
sehari-hari, dengan hasil kematian teramat wajar. Itulah barangkali alasan
paling masuk akal dilenyapkannya sejarah tentang Diah Ayu si juru masak dari
kenangan paling samar sekalipun, kecuali mitos-mitos sesat tentang dirinya.
Hari ini sejarah itu
telah dikuaknya dan rahasia dapur ada di tangannya. Maharani pulang dari musium
kota dan tahu bagaimana membunuh suaminya di meja makan. Ia akan terbebas dari
kutukan dapur dan tempat tidur. Dengan segera.
Disadur dari kutukan
dapur Eka K.
0 on: "Sejarah Rempah : Kutukan Bumbu Dapur"