Akarasa – Selamat
datang kerabat akarasa. Satu-satunya hukum dari interaksi sosial adalah
terbentur dan berbenturan. Hal itu sudah sangat pasti karena manusia memiliki
isi kepala yang berbeda-beda dan kepentingan yang berbeda pula. Dan bagaimana
pun, tentu saja, suatu hukum pasti memiliki konsekuensi. Konsekuensi dari
benturan itu salah satunya adalah rahasia.
Rahasia cerita
perselingkuhan, perempuan simpanan, dan seks tanpa pernikahan mewarnai
kehidupan manusia sejak awal sejarahnya. Mulai cerita para Firaun di Mesir yang
memiliki ratusan gundik di luar istri-istrinya yang sah. Lalu ada juga segudang
cerita pergundikan yang melibatkan para bangsawan, bahkan raja-raja di Barat.
Demikian pula di Timur, kisah-kisah para harem pun merasuki setiap relung
istana di Cina, Jepang, dan belahan Asia lainnya.
Dalam alam pikiran
masyarakat Jawa, misalnya, sudah terjadi berabad-abad silam. Jagat pelacuran di
Jawa dimulai dari Solo, bersamaan dengan pindahnya Keraton Mataram Islam dari
Kartasura ke Surakarta alias Solo. Dunia prostitusi ini, kemudian berkembang
sejalan dengan kesenangan dan kebiasaan para bangsawan sendiri, yang kerap
menanggap kelompok kesenian lengkap dengan penari (teledek) dan penyanyinya
(pesinden). Kemudian usai pertunjukan, biasanya para bangsawan mengajak teledek
atau pesinden tidur dengan imbalan tertentu.
Bisa jadi apa yang saya
narasikan diatas bagi sebagian orang menganggap mengada – ada. Terlebih hal itu
dilakukan oleh bangsawan yang berdarah biru, sepertinya itu muskil
dilakukannya. Karena sejauh ini, anggapan sebagian kita bahwa bangsawan atau
orang ningrat adalah orang tanpa cacat dan cela.
Coba mari kita tengok
beragam manuskrip yang mengungkapkan hal ini baik secara terang – terangan
maupun tersamar. Contoh paling jelas hal ini dapat kita temukan di dalam Serat
Centhini, yang digubah Mangkunegara IV pada abad ke-19. Serat yang lebih
dinilai sebagai karya sastra lama Jawa itu, antara lain, mengungkap adanya
tempat pelacuran di dekat lokasi makam raja-raja Jawa di Imogiri.
Tidak hanya sampai
disini, mari kita tilik buku Professional Dreams: Reflections on Two Javanese Classics
karya Benedict Anderson, seorang pengamat masalah-masalah Jawa. Menurut
Anderson Serat Centhini mengungkap dengan lugas dan berani perilaku seks
kalangan ningrat. Hubungan seks antara seorang adipati dan orang biasa,
misalnya, menjadi bagian kecil dari "pinutur" Serat Centhini.
Demikian pula Serat Gatoloco yang melukiskan trend di kalangan petinggi
kerajaan secara lebih simbolik, dan lebih sering diberi makna pendidikan seks.
Dan, memang, kedua serat itu, plus Serat Dharmogandhul, merupakan semacam ensiklopedi
erotis kelompok menengah-atas masyarakat Jawa.
Pandangan adanya
kebiasaan dan trend seksualitas para ningrat itu adalah kebiasaan ngeseks para
bangsawan dan pangeran keraton kian kentara saat mereka melakukan tirakatan,
menyepi ke tempat sangat terpencil. Rakyat jelata bahkan dengan senang hati
menyerahkan keperawanan anak perempuannya kepada si bangsawan atau pangeran.
Tujuannya, agar sang anak kelak mendapat tetesan rembes ing madu, ikut masuk
menjadi kalangan bangsawan.
Tatanan sosial masyarakat
Jawa dahulu memang meletakkan keluarga gadis yang disebadani seorang pangeran
menjadi lebih tinggi dari sebelumnya. Sebab, anak yang lahir dari hubungan seks
itu kelak mendapat gelar kebangsawanan tertentu. Tetapi, motif seperti itu
tentu saja tak lagi berlaku sekarang. Tekanan ekonomi kini lebih melatari motif
hampir semua pekerja seks komersial.
Kembali pada topik
utama kita di atas yakni tentang rahasia wanita simpanan para pesohor yang
tercatat dalam lembaran sejarah. Banyak karya jurnalistik dan sastra yang
menggambarkan kehidupan seks bebas dan seks komersial di kalangan bawah sampai
atas. Walau di kalangan bawah sudah lama terbuka, praktek-praktek terselubung
ternyata masih bertahan. Cerita pelacuran, perselingkuhan, dan seks sudah ada
dalam manuskrip kuno dan tak akan pernah tamat.
Mengutip dari bukunya
Elizabeth Abott yang berjudul A History of Mistress yang sudah diterbitkan
dalam bahasa Indonesia dengan judul yang cukup mainstream Wanita Simpanan. Buku
ini mengisahkan cinta terlarang para perempuan dari masa kuno hingga masa
modern ini melibatkan nama – nama pesohor yang tidak asing ditelinga kita,
mulai dari pemikir hingga rahib dan bahkan bangsawan. Berikut ini saya kutipkan
bagi kerabat akarasa sekalian, semoga menjadi bacaan yang menghibur.
Kita mulai dari kisah
percintaan dari dunia intelektual di Jerman, antara filsuf terkemuka Martin
Heidegger dengan seorang gadis. Cerita roman dua insan yang sesungguhnya
bertentangan secara ideologis itu, menariknya, bertahan walau terasa sangat
menyakitkan pada kedua pihak. Martin Heidegger, yang ketika itu berusia 35
tahun dan sudah beristri, hidup bahagia, dan anggota Partai Nazi pula, sempuran
untuk ukuran lelaki idaman kala itu di Jerman. Gadis yang dikencaninya adalah
Hannah Arendt, yang berdarah Yahudi. Iya Yahudi.
Kisah cinta terlarang
dua sejoli beda usia ini berawal dari dunia kampus. Hannah sebagai mahasiswi
sejarah di Universitas Marburg, Martin seorang dosen di jurusan tersebut. Ia
sungguh tertarik masuk universitas itu selepas sekolah menengah. Salah satu
alasannya, ya, faktor Heidegger tadi. Ia mendengar bahwa di kelas Heidegger, "Pemikiran sudah hidup kembali;
peninggalan masa lalu, yang diyakini telah mati, kembali menjadi
pembicaraan," tulis Elizabeth Abott mengutip Hannah.
Bagaikan kata pepatah
Jawa "witing tresna jalaran saka kulina", ketertarikan intelektual
itu menjadi tempat cinta mereka bersemi. Hannah menjadi mahasiswi kesayangan
Heidegger karena kecerdasannya. Gadis yang masih berusia 18 tahun saat masuk
Universitas Marburg ini punya daya pikat tersendiri dan modis. Gadis ramping
dengan karakter halus, rambut pendek, mata gelap, dan langsung terlihat bukan
gadis biasa. Sebaliknya, lelaki itu seorang profesor karismatik di mata para
mahasiswanya.
Menurut Abott, hampir
dapat dipastikan Heidegger adalah kekasih pertama Hannah. Hubungan mereka yang
semula sopan dan ramah, layaknya dosen dan mahasiswi, dalam waktu singkat
berubah menjadi keintiman fisik. Sebelumnya, sang profesor juga menjalin
hubungan dengan beberapa perempuan.
Dengan pengalaman itu, ia pun mengatur sebuah sistem yang rumit untuk
pertemuan-pertemuan rahasia, seringkali di kamar loteng Hannah atau di bangku
taman milik mereka.
Sempat putus hubungan
beberapa waktu setelah Hannah diungsikan ke Universitas Heidelberg untuk menjaga
reputasi Heidegger. Hannah rupanya sengaja menjauh dari lelaki itu. Mereka
kembali bertemu berkat jasa baik Guenther Stern, seorang mahasiswanya yang
berdarah Yahudi. Mereka kembali menjalin hubungan gelap dengan segala
intensitasnya, dengan kode-kode rahasia, kedipan lampu, hingga surat-surat dan
puisi yang penuh gairah. Uniknya, Hannah juga ternyata menjalin hubungan dengan
mahasiswa yang dilakukan secara sangat tertutup seperti hubungannya dengan sang
profesor.
Kisah dua sejoli itu
tetap terbawa hingga detik terakhir hidup mereka. Walau demikian, Hannah
sendiri diam-diam sebenarnya telah dua kali menikah dan dua kali pula bercerai.
Ia meninggal pada 1975 sambil membawa serta cintanya pada Heidegger yang tak
pernah pupus, walau ia tahu lelaki itu kerap mengkhianatinya. Hanya terpaut
sekitar lima bulan kemudian, Heideger menyusulnya ke alam baka.
Perjalanan Asmara
Sepasang Filsuf
Di kalangan pemikir
besar, tak hanya Martin Heidegger yang punya cerita romantis dengan perempuan.
Filsuf penggagas eksistensialisme asal Prancis, Jean-Paul Sartre, punya kisah
sendiri dengan kekasih seumur hidupnya yang tak pernah ia nikahi: Simone de Beauvoir.
Kekasih sang filsuf dikenal sebagai tokoh feminisme sekaligus filsuf yang juga
terlibat dalam gerakan eksistensialisme Sartre.
Yang menarik, kisah
cinta yang mereka rajut tak sekadar pergumulan seksual, melainkan lebih pada
pergulatan pemikiran yang boleh dibilang saling mengisi. Setidaknya dalam cara
keduanya memandang lembaga perkawinan. Sepanjang 51 tahun berasyik-masyuk,
hubungan asmara mereka tak pernah terikat dalam lembaga yang dianggap sakral
oleh banyak orang. Sebab, "Lembaga
perkawinan hanyalah lembaga kaum borjuis.... Betapa bodohnya mereka yang tunduk
pada kebiasaan yang entah dari mana asalnya itu," kata mereka suatu
ketika.
Saking menariknya kisah
cinta ini, hingga kini masih banyak penulis biografi masih terus menganalisis
dan menafsirkan hubungan keduanya yang tampak begitu rumit. Sebab, tak hanya
dengan Simone, Sartre ternyata juga bercinta dengan banyak perempuan lain,
termasuk mahasiswinya, tanpa merusak sedikit pun hubungan percintaan mereka.
Percintaan mereka tampaknya
terikat pada pakta tentang kebebasan dan keterbukaan: tidak seorang pun akan
berbohong atau mengungkap apa pun satu sama lain. Mereka sejak awal juga
sepakat untuk hidup bersama tanpa harus terikat tali perkawinan. Simone
menyambut pakta itu sebagai jaminan bahwa Sartre tidak akan pernah
membiarkannya hanyut dalam khayalannya sendiri.
Kisah cinta mereka
sempat terputus hingga Simone berusia 30 tahun. Keduanya pun pernah mengalami
semacam kegilaan akibat depresi. Kegilaan perempuan itu biasanya dipicu oleh
alkohol. Simone biasanya duduk diam dan minum, kemudian mendadak menangis
sejadinya. Sartre menyamakan kegilaan akibat tekanan emosi kekasihnya itu
dengan skizofrenia.
Sartre juga pernah
tenggelam dalam depresi berat dan kegilaan serupa yang dipicu oleh meskalin
--sejenis psikotropika yang menyebabkan munculnya halusinasi. Ia dihantui
perasaan adanya seekor lobster raksasa yang hendak menerkamnya. Sebelumnya,
Sartre merasa gagal meraih sukses yang ia impikan: menjadi filsuf besar.
Simone kemudian membujuknya
untuk fokus pada sastra karena ia menganggap sang kekasih tak punya bakat jadi
filsuf. Bujukan itu boleh dibilang manjur. Sartre kemudian mencapai sukses
seperti yang diinginkannya di dunia sastra. Ia dianugerahi Nobel Sastra pada
1964, kendati ia menolaknya. "Menerima penghargaan itu berarti mengurangi
kebebasanku," katanya ketika itu.
Hubungan asmara kedua
filsuf ini sangat unik. Bukan hanya Sartre yang berselingkuh dengan perempuan
lain, termasuk mahasiswinya bernama Camille Sans dan Wanda. Bahkan ia pernah
menjalin cinta dengan aktris Prancis, Dolores Vanetti Ehrenreich. Simone juga
berhubungan seks dengan banyak laki-laki, bahkan beberapa perempuan. Seorang
kekasih Simone adalah pacar mahasiswinya sendiri: Jacques-Laurent Bost.
Simone sangat sensual
dan tak mampu menahan keinginan seksnya. Sebaliknya, Sartre tidak pernah
percaya bahwa perempuan itu benar-benar bisa menikmati tubuhnya yang pendek dan
gemuk. Itu sebabnya, hubungan mereka lebih intens pada pergumulan pemikiran yang
dari situ mereka melahirkan banyak karya. Walau demikian, Simone mengakui,
"Salah satu keberhasilan yang kucapai dalam hidupku adalah hubunganku
dengan Sartre. Hanya satu kali kami bertengkar selama 30 tahun kami hidup
serumah dan tidur seranjang."
Para Rahib Juga Manusia
Biasa
Ada yang cukup
mengejutkan di antara kisah-kisah perempuan simpanan yang diungkap Elizabeth
Abott dalam bukunya ini. Sejak berabad-abad silam, ternyata sudah ada skandal
cinta di kalangan gereja yang telah menerapkan doktrin pembujangan sejak abad
ke-4. Ia mencatat nama Rahib Gordianus yang punya kekasih gelap, dan dari
hubungan itu lahir anak lelaki yang kemudian terpilih menjadi Paus Agapitus I
(946-955). Pada masa yang berdekatan, Paus Yohanes XIII (965-972) juga
dikabarkan punya pacar gelap seorang perempuan yang telah bersuami. Skandal
serupa, menurut telusurannya, masih terus berlanjut hingga zaman modern.
Ada sejumlah nama di
masa lalu yang disebut-sebut sebagai perempuan favorit kepausan, antara lain
duet ibu-anak Theodora dan Marozia Theophylact. Nama lain yang dicatat Abott
adalah Venozza d'Arignamo dan Giula Farnese. Malah sang penulis memperkirakan,
"Saat ini, 20% hingga 30% dari seluruh pendeta Katolik Roma terlibat dalam
hubungan seksual yang relatif stabil dengan perempuan."
Lebih mengejutkan lagi,
fakta tentang bagaimana pandainya mereka menyembunyikan aib itu dan seberapa
seringnya gereja dan jemaat menenggang aib itu. Bahkan Abott menyimpulkan,
"Gereja modern benar-benar mendorong dan memfasilitasi hubungan seksual
para pendetanya dengan mengabaikan segala hal. Bahkan masalah ini hanya menjadi
perhatian bila media membongkarnya," tulis dia.
Salah satu kisah
pelanggaran doktrin pembujangan itu menyangkut nama Eamonn Casey, uskup wilayah
Kerry, di barat daya Irlandia. Perempuan simpanannya, Annie Murphy,
berkebangsaan Amerika Serikat. Sang uskup adalah famili jauh ayah perempuan
yang dikenalnya sejak masih berusia tujuh tahun saat berkunjung ke Amerika.
"Pada April 1973,
saat Annie sudah tumbuh menjadi seorang perempuan dewasa, ayahnya mengirim dia
ke Irlandia dalam pengasuhan Eamonn, untuk memulihkan diri dari gangguan
emosional akibat pernikahannya yang gagal. Sang ayah berharap putrinya kembali
memperoleh keyakinan pada Tuhan yang sedikit luntur," tulis Abott membuka
kisah yang sejak awal diwarnai aib bagi seorang rahib itu.
"Sejak Eamonn
menemui Annie di Bandar Udara Internasional Shannon, ia merasa terpesona dan
menebarkan pesonanya sendiri. Ia menggoda dan menggenggam tangan Annie. Dalam
waktu tiga minggu, mereka melakukan hubungan seks di sebuah rumah pendeta
Protestan, yang merupakan kediamannya. Pada malam pertama, Eamonn melepaskan
piyama birunya yang pudar dan berdiri, tanpa sehelai benang pun di depan seorang
gadis Amerika berusia 24 tahun [ketika itu, sang uskup menginjak usia 45
tahun]," tulis Abott.
Ia juga mencatat kesan
Annie ihwal peristiwa ini. "Di sanalah uskup itu berdiri, cintaku, tanpa
jubah atau salib atau cincin kependetaan, tanpa sehelai benang pun menutupi
tubuhnya. Pemain sandiwara yang hebat itu telah menelanjangi dirinya sendiri.
Ini Natal paling indah dari Natal yang ada.... Aku menyaksikan keinginan yang
luar biasa besar," tulis dia.
Hubungan gelap uskup
yang berlangsung cukup lama ini akhirnya berujung kehamilan sang kekasih. Annie
melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Peter, yang tak pernah diakui Eamonn
sebagai anak kandungnya. Malah perempuan itu dipaksa menandatangani dokumen
adopsi yang ditolaknya mentah-mentah. Annie pun pulang ke Amerika dan
membesarkan anaknya di sana. Ia sangat kecewa karena tadinya berharap sang
uskup bersikap seperti Santo Agustinus, yang dengan bangga mengakui putra hasil
hubungan gelapnya dengan seorang perempuan, lalu memberinya nama Adeodatus: Hadiah
dari Tuhan!
Dalam upaya membungkam
Annie, setidaknya dua kali Eamonn memberi perempuan itu uang dalam jumlah
besar. Pertama sekitar US$ 2.000, saat ia mengantarnya ke bandar udara ketika
keberangkatan ke Amerika. Lalu ia memberi tunjangan terakhir US$ 125.000,
ketika Peter beranjak besar. Belakangan terbukti, dana itu dicuri sang uskup
dari kas kegiatan derma kelompok berjuluk Trocaire yang didirikannya. Uskup
Eamonn pun akhirnya resmi mengundurkan diri dan melepas jubah kerahibannya
segera setelah skandal seks dan keuangan itu terungkap ke umum.
Kejatuhan Komandan di
Kamp Nazi
Cerita lain tentang
perempuan simpanan cukup kencang berembus di masa Perang Dunia II. Namun kali
ini kisah yang dituturkan bukan menyangkut Eva Braun dan Hitler yang sudah
basi, tapi tetap saja kerap jadi perbincangan. Terutama karena sosok Hitler
memang menarik dan memiliki banyak cerita perselingkuhan di balik kekerasan
sikapnya.
Di luar cerita Eva
Braun dan Hitler, Abott menelusuri banyak cerita lain di tengah kekejaman yang
ditebar Nazi selama Perang Dunia II. Salah satunya yang cukup dramatis adalah kisah
kasih perempuan bernama Eleonor Hodys dengan komandan kamp konsentrasi
Auschwitz di Polandia, Rudolf Hoss. Eleonor adalah pembantu rumah tangga di
rumah sang komandan yang mewah di lingkungan kamp itu.
Sang penulis menduga,
Hoss memaksa gadis Italia yang bekas tahanan itu untuk berhubungan seks
beberapa bulan setelah bekerja di rumahnya. Setelah itu, ia memindahkannya ke
koloni kerja paksa dan menempatkannya di Blok 11 yang terkenal kejam. Itu
dilakukan untuk merahasiakan hubungan cintanya dari sang istri, Hedwig Hoss.
Secara diam-diam, sang komandan menemui kekasih gelapnya itu di kamp pada malam
hari.
Lalu Eleonor kedapatan
hamil. Walaupun duduk sebagai komandan Auschwitz, Hoss merasa ngeri juga.
Prajurit SS dieksekusi karena melakukan perbuatan serupa. Setidaknya dipecat
seperti ia lakukan terhadap bawahannya, Rapportfuhrer Palitsch, yang meniduri
tahanan perempuan. Kalau ketahuan ia ayah janin itu, setidaknya ia
dipermalukan, dengan penurunan pangkat atau dipindahkan dari kamp itu. Belum
lagi perselisihan rumah tangganya bila kasus itu terkuak.
Ia memutuskan, Eleonor
harus dienyahkan. Hoss mengurung perempuan yang pernah terbebas dari tuduhan
sebagai Yahudi itu di stehbunker, sel yang hanya muat untuk orang sekadar
berdiri. "Ukurannya sedikit lebih besar dari setengah meter persegi,
gelap, pengap, dan sangat dingin di musim salju. Biasanya stehbunker digunakan
untuk melemahkan tahanan sebelum diinterogasi. Tapi tidak untuk Eleonor. Untuk
membungkam Eleonor selamanya, ia memerintahkan agar perempuan itu tidak diberi
makan --tidak berapa lama kemudian, perempuan itu tewas kelaparan dalam keadaan
berdiri," tulis Abott.
Dengan kematian
Eleonor, Hoss menyangka dirinya lepas dari masalah. Ternyata tidak, karena
Eleonor lebih cerdik. Ia memperjuangkan nasibnya sebelum menemui ajal. Entah
bagaimana caranya ia dapat menghubungi opsir SS dan kepala bagian politik,
Maximilian Grabner. Ia rupanya tahu sejak bekerja sebagai pembantu rumah tangga
bahwa opsir itu musuh Hoss. Sang komandan akhirnya menjalani persidangan
militer, dan Grabner menggunakan pengakuan Eleonor untuk kepentingannya
sendiri: menjatuhkan Hoss.
Lord Byron dan Tujuh
Perempuan
Kisah kasih dan
perselingkuhan agaknya sudah umum terjadi di kalangan bangsawan dan keluarga
kerajaan di berbagai belahan dunia. Elizabeth Abott tak luput meneropong
kalangan bangsawan dan keluarga Kerajaan Inggris. Ia tak hanya mengungkap lebih
dalam lika-liku percintaan Pangeran Charles dengan perempuan simpanannya,
Pamela Parker Bowles, yang belakangan justru mendapat tempat terhormat di
istana.
Tengok saja cerita
panjang perselingkuhan penyair Lord Byron yang memang ganteng itu dengan
setidaknya tujuh perempuan. Menurut catatan Abott, perselingkuhan pertamanya
adalah dengan perempuan yang sebenarnya sudah bersuami, Lady Caroline Lamb.
Layaknya seorang penyair, kisah cinta mereka pun berliku dan dipenuhi emosi.
Perempuan itu ternyata sangat mencintai lelaki itu seperti ia mengapresiasi
karyanya secara luar biasa.
Abott mencatat nama
Claire Clairmont sebagai kekasih gelap Lord Byron lainnya. Perempuan yang masih
berusia 18 tahun saat mengenal sang Don Juan itu bertubuh sintal seperti
kekasih-kekasih Lord Byron lainnya. Dalam sejumlah referensi, Clairmont disebut
sebagai kekasih terakhir penyair aliran romantisme dan politikus Inggris itu.
Tapi, rupanya, si penulis berhasil menelusuri cerita lain.
Ia mendapati bahwa Lord
Byron juga sempat mengencani Countess Teresa Guiccioli. Perempuan keturunan
bangsawan Italia yang tinggal di Ravena ini disebutnya sebagai pacar terakhir lelaki
itu. "Teresa sangat cantik, dengan pinggul berisi, pinggang sempit, dan
dada penuh yang begitu dipuji Byron," tulis Abott menggambarkan sebagian
kelebihan perempuan itu secara fisik.
"Ia juga romantis,
tenggelam dalam rayuan dan intrik. Setelah satu tahun menjalani pernikahan yang
penuh kewajiban dan tanpa cinta tapi memuaskan secara seksual, tidak dapat
dielakkan ia tertarik pada Byron. Begitu juga sebaliknya. Teresa dengan mudah
jatuh cinta setelah satu pertemuan pribadi. Keesokan harinya, mereka tidur
bersama. Selama empat hari berturut-turut, pasangan ini bertemu dan menjelajahi
tubuh mereka satu sama lain," tulis Abott.
Byron sendiri memang
menganggap hubungan seksualnya sama penting dengan dunia seni yang ia geluti.
Kisah asmaranya dengan Teresa tampaknya mengakhiri petualangan cintanya. Teresa
meninggalkan rumah ayahnya, lalu pindah ke kediaman Byron. Di rumah itulah
Teresa menghabiskan sisa waktunya. Kisah perempuan ini pun, konon, mengilhami
Alexandre Dumas ketika menciptakan salah satu karakter dalam ceritanya yang
terkenal, The Count of Monte Cristo. Sekian. Nuwun.
Referensi :
Elizabeth Abott,
Wanita Simpanan
Professional
Dreams: Reflections on Two Javanese Classics, Benedict Anderson
0 on: "Sejarah Wanita Simpanan Sepanjang Masa"