Akarasa – Selamat
datang kerabat akarasa. Pernah ke Sawahlunto? Saya belum, tapi jika Gusti Allah
ngijabahi pertengahan januari ini saya ada pekerjaan di Bengkulu, selepas itu
mungkin saya akan menyambanginya. Kata temen saya, mengunjungi Sawahlunto, kota
di Sumatera Barat yang diapit Bukit Barisan tersebut seakan membawa kita
seperti kembali ke zaman kolonial. Gedung-gedung pemerintahan masih bergaya
Belanda. Namun di beberapa bangunan, tidak lupa ditinggalkan pula bentuk
bagonjong yang menjadi bentuk atap khas ranah Minang.
Dari literasi yang saya
kumpulkan, kota kecil ini dulunya merupakan salah satu tempat eksplorasi
tambang batubara oleh pemerintah Belanda sehingga mendapat julukan sebagai kota
tambang. Pada saat industri tambang masih aktif pada medio 1892 hingga 1998,
roda perekonomian di Sawahlunto bertumpu pada sektor tersebut. Hotel, toko,
kafe hingga pasar tak pernah sepi pengunjung.
Eksplorasi tambang
batubara di Sawahlunto berakhir sekitar tahun 1998 akibat habisnya cadangan
batubara di dearah tersebut. Perusahaan batubara terbesar yang beroperasi di
kota tersebut — Bukit Asam — memutuskan untuk menghentikan aktivitasnya secara
total pada tahun 1998. Semua karyawan dipindahkan ke area lain yang memiliki
memiliki cadangan batubara.
Sejak saat itu
perokonomian di Sawahlunto seperti lumpuh. Namun, Sawahlunto kembali bagkit.
Memanfaatkan bangunan-banguan tua peninggalan Belanda, pemerintah kota
Sawahlunto menjadikannya sebagai objek wisata. Saat ini sebagian besar
perokonomian di Sawahlunto berasal dari sektor wisata.
Selain dekenal sebagai
Kota penghasil Batu Bara, Sawahlunto juga dikenal dengan nama Kota
Multikultural atau Kota Multietnik, karena kota tua ini banyak memiliki ragam
budaya dari beberapa daerah di Indonesia ini. Semenjak zaman penjajahan
Belanda, Jepang dan Era Kemerdekaan Republik Indonesia, penduduk yang homogen
dengan berbagai suku (Jawa, Minang, Batak, Sunda, Aceh, dll) akhirnya
menjadikan daya tarik wisatawan karena mempunyai keunikan dan tradisi
tersendiri.
Dulunya, nama kota yang
berasal dari dua suku kata Sawah dan Lunto yang artinya sawah yang dialiri
batang lunto ini adalah sebuah kampung kecil. Tidak ada yang istimewa. Selain
karena dikelilingi hutan belantara diapit oleh perbukitan yang berbanjar
menghimpit dataran yang sempit. Ada yang bilang topografinya seperti wajan
penggorengan. Terisolir. Secara ekonomis tidak ada nilai jualnya kala itu.
bahkan, pemerintah kolonial Hindia Belanda lebih memilih Sijunjung sebagai
pusat pemerintahan dan kantor kontrolir untuk daerah Kota VII.
Saking terisolirnya,
waktu itu sekitar pertengahan abad ke 19. Jika digabungkan dengan
kampung-kampung kecil seputaran Sawahlunto seperti, Kubang, Bancah, dan
Sijantang penduduknya tak lebih dari 500 jiwa. Ini perkiraan pemerintah
kolonial saja, bisa jadi lebih banyak atau kurang dari angka tersebut.
Jelasnya, Pemerintah kolonial menghitung tersebut sebagai gambaran untuk
menarik pajak.
Dalam sebuah catatan
sejarah, Van Kool, salah seorang menteri kolonial Hindia Belanda tahun 1901
sengaja datang ke Sawahlunto. Ini adalah hal langka kala itu, ada apa gerangan
itu orang capek – capek datang ke kampung kecil ditengah belantara yang diapit
perbukitan itu. Emas hitam itulah jawabannya. Emas Hitam atau batu bara yang
dalam rahim kota Sawahlunto itulah jawaban konkritnya. Tidak ada yang lain.
Nah, berikut ini adalah
nukilan cerita sejarah dari buku Cerita
Sejarah Orang Rantai: Dari Penjara ke Penjara yang akan saya bagikan secara
berseri di akarasa ini. Tentu saja dengan gaya tulis saya pribadi tanpa
mengurangi maksud dari sumber utama tulisan ini. Secara umum buku ini memuat cerita
kelam tentang Batubara dan Orang Rantai yang kemudian membuat para petinggi
pemerintah kolonial kala sibuk menggais keuntungan dengan menggunakan sistem
perbudakan.
Orang rantai? Nama yang
tersemat menggambarkan serupa binatang. Sangat mainstream bahasa anak muda
sekarang. Dalam benak kita tentu tergambar mereka ini dirantai di leher,
tangan, dan kaki. Mirip para tawanan pekerja paksa Inggris yang dikapalkan ke
benua Australia untuk membangun jalan-jalan kereta api ataupun juga untuk
membuka tambang-tambang yang bertebaran di benua tersebut.
Lantas, siapa saja
mereka ini? Kemudian, apa hubungannya sampai – sampai menteri Van Kool dari
Batavia nun jauh disana datang hendak menyelesaikan masalahnya? Hubungan
kekerabatan seperti apa orang rantai dengan emas hitam di Sawahlunto ini? Mari
kita mengurainya.
Mungkin bagi kita yang
tinggal di Jawa tentu tidak banyak yang tahu tentang orang rantai. Namun bagi
orang Sumatera secara umum tentu sudah sangat familiar dengan urang rantai
dalam bahasa Minang ini. Orang rantai atau dalam bahasa Belanda Kettingganger di
Sawahlunto ini secara umum adalah narapidana jaman kolonial Belanda. Sebagian
dari orang rantai ini adalah tahanan politik, pelaku kriminal, penjahat kelas
kakap atau orang yang bagi pemerintah (baca kolonial) dianggap secara sepihak
sebagai ‘penjahat’.
Para tahanan atau
tepatnya tawanan politik pemerintah kolonial Belanda ini adalah orng – orang
yang melawan pemerintahan ketika itu. Mereka inilah salah satu dari bagian
masyarakat dalam lingkungannya yang berani melawan tiran. Mereka inilah yang
anggota masyarakat ketika itu yang tidak sudi menjadi jonggos kompeni.
Konsekuensinya, pihak kumpeni menggelari mereka ini dengan teroris, merusak
wibawa pemerintah, mencoreng muka gupermen setempat, dan tentu saja mereka ini
mengkhawatirkan bagi keberlangsungan pemerintah kolonial jika dibiarkan.
Tersebutlah orang
rantai di Sawahlunto ini seorang pendekar pilih tanding dari pulau timah,
Bangka. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai Kakek Udin pendekar pilih
tanding dan paling disegani di daerahnya. Menurut cerita salah seorang cicitnya
di Sungailiat, ia mempunyai banyak murid. Mereka datang dari mana-mana untuk
berlatih silat. Seiring berjalannya waktu, orientasi perguruan silat ini
berkembang menjadi kelompok laskar mempertahankan negeri dari ancaman kekuasaan
kolonial Belanda. Takut para ekstrimis (sebutan orang Belanda bagi pengacau) menjadi
’pengacau’ pemerintah kolonial Belanda di pulau timah itu, Belanda memenjarakan
pendekar sakti ini, mengusirnya dari Bangka, dikirim ke dan menjadi orang
rantai di Sawahlunto.
Kemudian ada juga orang
rantai dari latar belakang kriminal. Tersebutlah tiga nama yang paling menonjol
yakni Ucup, Entong, dan Mamang. Tiga orang ini dari Betawi. Karena gemar sekali
tiga sekawan ini merampok rumah – rumah Belanda di daerah Mister Cornelis
(Jatinegara sekarang), Kemayoran, dan Kota pada akhirnya mengantarkan mereka ke
bui Cipinang dan Glodok.
Entah karena ilmunya
yang sakti atau pandai melobi sipir, terbilang tiga sekondan ini dalam
sejarahnya beberapa kabur dari penjara meski kemudian tertangkap lagi. Karena
dipikir membayakan oleh pihak warga Belanda di Batavia kawanan yang konon tidak
pernah merampok bangsanya sendiri ini kemudian di kirim ke Sawahlunto. Menjadi
orang rantai, menjadi kuli paksa mendulang emas hitam disana.
Tak kalah menarik juga
cerita tentang orang rantai yang bernama Katimin yang berasal dari suatu desa
di Kediri, Jawa Timur berikut ini. Katimin ini adalah bandar dadu. Katimin muda
memang dalam kesehariannya adalah seorang bandar dadu yang pada masa itu adalah
sebuah wahana adu untung paling digemari warga setempat. Namanya juga adu
untung, tentunya ada kalah dan menang. Jengkel itulah bahasa ekspresi bagi
mereka yang kalah dan sisi yang lain suka cita bagi mereka yang menang. Pendek
kata, tertawa di tangisan orang lain.
Hingga pada suatu
ketika, Katimin muda menang besar. Semua modal para penombok ada dalam kantung
lusuhnya. Karena modal lawan semua sudah habis, Katimin hendak kukut
(mengemasi) peralatan dadunya tiba – tiba ada satu orang yang tidak terima atas
kekalahannya.
”Min
aku minta uang modalku kembali, kamu menang besar hari ini. Kalau tidak kamu
rasakan akibatnya”. Ancamnya.
”Lo...!
kowe iki piye toh, wingi – wingi aku kalah yo trimo – trimo wae, aku tak pernah
minta uangku kembali pada siapa pun,” jawab Katimin dengan
nada kesal.
Entah kesambet atau
sedanga ada setan yang bersarang dibenak orang-orang kalah ini, atau bisa jadi
takut dimarahi istrinya masing – masing juga. Seperti ada yang mengkomandoi,
Katimin dikeroyok rame – rame hingga bonyok. Babak belur. Uangnya dijarah.
Mereka lalu pergi meninggalkan Katimin begitu saja. Ora urus!
Katimin yang bonyok
mukanya kemudian pulang. Tonjolan-tonjolan yang membiru di bagian kening, pipi,
tangan dan kaki tak dihiraukannya lagi. Melihat keadaan seperti itu, keluarga
dan saudaranya heran, bertanya-tanya.
”Min,
kamu kenapa” tanya ibu Katimin.
”Kakang
habis dipukuli ya..?”. Sela adik-adik Katimin.
Singkat cerita setelah
katimin menceritakan kejadian tersebut diatas. Kemudian yang masih terseliputi
dendam yang membara berembug dengan delapan orang kerabatnya untuk membalas
dendam. Berangkatlah Katimin cs mencari orang - orang yang telah memukulinya.
Harga diri harus ditegakkan. Begitulah kira – kira pembenaran yang ada di benak
mereka.
Naas bagi salah satu
dari tiga pengeroyoknya saat itu, Katimin cs yang dalam perjalanan mencari
mereka berpapasan di jalan.
”Kejar dan tangkap dia”,
perintah Katimin kepada saudara-saudaranya.
Adu balap pun terjadi,
hanya beberapa ratus meter saja pengeroyok tersebut tertangkap. Posisi kemudian
menjadi berbalik, jika beberapa jam yang lalu dia dan dua temannya yang lain
mengeroyok Katimin. Kini, dia berhadap – hadapan dengan Katimin dan 7 kerabatnya
yang lain. Tak ayal orang ini menjadi bulan – bulanan Katimin cs hingga
sekarat. Tidak sampai disini, Katimin yang masih terseliputi dendam dan jiwa
muda yang bergejolak. Katimin sudah tidak bisa berpikir panjang. Ia menghunus
keris yang dibawanya kemudian menghujamkannya bertubi – tubi ke tubuh lawannya
yang sekarat tersebut. Seketika itu juga orang tersebut meregang nyawa. Tewas
seketika.
Suasana gempar. Ada
raja pati, istilah Jawa untuk menyatakan terjadinya peristiwa pembunuhan.
Banyak orang berkerumun. Entah karena kebetulan atau memang ada yang
melaporkan, ada opsir polisi Belanda lewat. Tidak sempat Katimin cs melarikan
diri. Mereka keburu ditangkap dan dibawa ke kantor polisi.
Setelah menjalani
pemeriksaan, Katimin mengakui jika pembunuhnya adalah dia seorang diri kemudian
tujuh kerabatnya kemudian dilepaskan. Tidak sampai satu bulan Katimin menjalani
persidangan, vonis pun sudah di putuskan 17 tahun penjara. Dari tahanan inilah
yang mengantarkan Katimin dari penjara Kediri kemudian dipindahkan ke Batavia,
lalu ke Sawahlunto. Menjadi orang rantai. Kisah Katimin ini diceritakan oleh
salah seorang anaknya yang masih hidup ketika tulisan ini dalam tahap
penyusunan.
Lain kisah Katimin,
lain pula kisah Kartowiyono yang
tercatat lahir pada tahun 1888 dan berasal dari Sleman, Yogyakarta ini.
Kartowiyono masih terbilang muda ketika ia di bawa ke Sawahlunto, masih berusia
25 tahun. Kartowiyono muda yang diceritakan oleh cucunya ini dalam keseharian
adalah seorang pemuda gagah dengan rambut panjang yang digelung dan selalu
berpakaian hitam – hitam. Persis jawara Banten. Ia bukan seorang pembunuh atau
perampok, akan tetapi ia dikirim ke Sawahlunto karena selalu memberontak
terhadap Belanda. Jadilah ia seorang tahanan politik Belanda yang dirantai
kakinya dan ditato tangannya.
Lama hukuman orang
rantai tersebut bermacam-macam. Mulai dari yang paling pendek yakni setahun
sampai 5 tahun dan kemudian dari 5 tahun sampai 20-25 tahun, tergantung dari
berat ringannya kesalahan yang dibuat. Sejarah orang rantai di Sawahlunto ini jika
dirunutkan kebelakang tidak bisa dilepaskan oleh sosok insinyur muda yang
bernama WH de Greeve sekira tahun 1868. Dari temuan insinyur muda inilah
mendadak Sawahlunto dan Sijunjung mendadak menjadi bahan perbincangan di Den
Haag, tidak hanya Batavia saja.
Kemudian, setelah
menjadi perdebatan panjang di parlemen kerajaan Belanda, baru tahun 1892
pertambangan batubara di Sawahlunto resmi menjadi perusahaan negara (baca
kolonial Belanda). Hasil kerukan batubara dari rahim Sawahlunto ini bagi
pemerintah kolonial mendatangkan banyak keuntungan. Pemerintah kolonial tidak
lagi mendatangkan batubara dari Natal, Afrika. Pun kala itu, pemerintah koonial
diambang kebangkrutan karena anggarannya banyak dipakai untuk perang
menundukkan orang-orang Aceh yang gagah berani
mengangkat senjata. Pemerintah kolonial diambang kebangkrutan.
Melihat situasi yang
demikian, Gubernur Jenderal Belanda di Batavia memerintahkan Directeur van
Justitie (departemen kehakiman) untuk mengapalkan para narapidana yang ada di
penjara – penjara di seluruh Hindia Belanda. Setelah ada kesepakatan dengan
administratur atau kontrolir pertambangan Ombilin awalnya orang rantai pertama
yang di kirim masih seputaran Sumatera. Narapidana dari penjara Muaro di Padang
lah yang pertama kali menjadi orang rantai di Sawahlunto. Mayoritas laki –
laki, meski ada sebagian kecil perempuan.
Orang rantai pertama
yang datang di Sawahlunto ini sebagian dipekerjakan membuat jalan kereta api
dari Muara Kalaban ke Sawahlunto dan sebagian lagi bekerja di tambang. Orang rantai
yang bekerja membangun jalan kereta api ini ditempatkan di penampungan di
tangsi – tangsi di Muara Kalaban. Dikawal para opas berbadan tinggi hitam
tegap, maklum para opas ini dari India Tamil yang kita tahu tingginya di atas
rata – rata orang Indonesia secara umum.
Sayangnya, para opsir
yang tegap tersebut tidak cukup mampu menjaga para narapidana dari Muaro ini. Para
narapidana yang dikaryakan secara paksa untuk membangun jalan kereta ini banyak
yang melarikan diri. Selidik punya selidik yang didapatkan dari narapidana yang
tertangkap lagi. Alasan utama banyak narapidana yang kabur adalah karena
kurangnya hiburan bagi mereka. Hiburan dalam tanda kutip maksudnya.
Dan memang hiburan bagi
mereka ini tidak sebanding dengan narapidana yang ada. Bisa jadi saru banding
lima. Singkat kata, pihak kontrolir yang berwenang pada narapidana yang
dikaryakan ini kemudian mengajukan narapidana dari luar Muaro. Penyebab utamanya
adalah narapidana Muaro rata – rata dari orang Minang dan banyak akalnya. Pun mereka
banyak yang mengenal pesis persembunyian diluar kota.
Bagi pihak pemerintah
kolonial, banyaknya narapidana yang kabur adalah persoalan yang serius. Serius bukan
dalam arti penegakan hukum, akan tetapi lebih kepada nilai ekonominya. Pengajuan
kontrolir yang berkuasa penuh di Sijunjung oleh pemerintah pusat di Batavia
melalui departemen kehakimannya langsung menerbitkan sprindik kepada kepala
sipir di penjara – penjara yang dipilih untuk mempersiapkan warga binaannya
untuk kemudian dikapalkan ke Sawahlunto.
Satu persatu orang terpilih yang berbadan tegap dan kebanyakan
masih muda tersebut kemudian dibawa ke pelabuhan Tanjung Priok untuk
selanjutnya dikapalkan ke pelabuhan Emma Haven (Teluk Bayur) yang sudah selesai
dibangun, sebelum tambang Sawahlunto dibuka tahun 1892. Tidak peduli, apakah mereka
tahanan politik atau pun narapidana kasus kriminal, semua dicampurbaur.
Suka atau tidak suka,
para napi harus menuruti perintah sipir penjara. Persis seperti sapi untuk
disembelih, makanan bergizi penduduk kelas menengah di kota-kota zaman Belanda,
mereka dimasukkan ke gerbong kereta api untuk dibawa ke pelabuhan Tanjung Priok.
Nah, dalam perjalan dalam pengapalan mereka inilah ada banyak kisah menggugah. Berikut
ini petikannya.
Kisah di perjalanan
memang mengerikan. Mbah Sadinomo yang dikapalkan ke Sawahlunto karena membunuh
orang bercerita kepada cucunya, Pak Sukarman, seorang pensiunan Ombilin yang
kini menikmati hari-hari pensiunnya di Tangsi Baru, Sawahlunto. Menurutnya,
lama perjalanan bervariasi. Semua tergantung kapalnya, kapal cepat atau kapal
lambat yang membawa mereka. Bahkan ada yang sampai seminggu baru tiba di
Padang.
Diceritakan juga, Mbah
Saimin teman karib Mbah Sadinomo karena membangkang di kapal Mbah Saimin ini dimasukkan
ke laut dengan menggunakan jala. Seminggu kemudian ketika kapal merapat di
Padang jala diangkat lagi, dikira sudah tak bernyawa, nyatanya masih hidup. Seisi
kapal dibuat heboh terutama para opsir dari Belanda yang melongo keheranan. Akan
tetapi bagi perantaian, mereka maklum. Mbah Sa’imin bukan orang sembarangan,
pasti memiliki ’ilmu’.
Pun halnya soal
makanan, alih – alih makan enak. Ada yang dimakan saja mereka cukup bersyukur. Barangkali
inilah yang menyebabkan juga banyak orang rantai dalam pengapalan banyak yang
meninggal. Kurangnya asupan gizi yang tidak berimbang menyebabkan daya tahan
tubuh menurun drastis.
Bagi tahanan politik,
suasana hati yang telah geram menjadi semakin geram melihat hasil bumi negeri
dibawa oleh penjajah untuk membangun negeri Belanda atau negeri Kincir Angin
itu. Tetapi apa daya, perlawanan yang telah dilakukan belum membuahkan hasil
nyata. Sebut saja, Pak Andi, seorang bangsawan Bugis yang masuk dalam daftar
1500 orang napi yang dikirim pada tahun 1892 ke Sawahlunto, berhari-hari
merenungkan nasib dan bangsanya yang dijajah Belanda.
Memberontak? Tidak
mungkin, karena siapapun yang memberontak di kapal, langsung dilemparkan ke
laut menjadi santapan hewan laut. Itulah hukuman mereka, persis seperti hukuman
kuli-kuli Cina yang dibawa dari negerinya di pedalaman Cina ke Singapura atau
ke Deli atau ke California ataupun para napi yang dibawa Belanda dari Batavia
ke tambang batubara, Pulau Laut, Kalimantan. Meninggal karena kekurangan
makanan atau karena kelaparan selama di perjalanan, adalah suatu hal yang
biasa.
Perjalanan dari Batavia
menuju Sawahlunto betul-betul lama dan memprihatinkan. Perlakuan kasar dan
makian adalah hal lumrah. Maklum cap yang tertempel di diri mereka sebagai
napi, telah membuat harga diri semakin tak ada arti. Sebagai napi, mereka
dianggap binatang yang pantas mendapat perlakuan yang tak manusiawi.
Melawan? Jangan coba.
Parah akibatnya. Nyawa taruhannya. Para pengawal bersenjata di kapal takkan
membiarkan mereka mencari kesempatan melawan kekuasaan kolonial Belanda yang
tengah dirundung krisis ekonomi. Yang bisa mereka lakukan hanyalah berbekal
sikap pasrah pada nasib, mereka meneguhkan hati untuk sampai di negeri yang tak
pernah dibayangkan sebelumnya, Sawahlunto.
Di sana mereka akan
ditempatkan ke dunia bawah tanah? Berkecamuk pikiran mereka. Dunia bawah tanah,
suatu dunia yang tidak lazim mereka hadapi sebagai pelaut-pelaut
Bugis-Makassar, Madura dan Timor yang tangguh atau para petani Jawa yang rajin
di kampung asalnya. Menambang adalah pekerjaan yang tak cocok dengan dunia
kosmologis mereka. Mereka ini tak pernah
tahu, di pelabuhan mana kapal akan berlabuh dan arah mana yang akan ditempuh
untuk sampai ke kota itu.
Penjelasan dari para
sipir penjara Cipinang atau Glodok di Batavia juga tidak begitu jelas dan
lengkap, apalagi penjelasan para awak kapal. Paling-paling dikasih tahu, kapal
akan berlayar ke Westkust van Sumatra (Pantai Barat Sumatra), ke Emma Haven,
pelabuhan baru yang sengaja dibangun Belanda untuk mengekspor batubara Ombilin
ke pulau Jawa, konsumer terbesarnya. Belanda memberi nama pelabuhan itu sesuai
dengan nama Ratunya.
Meski suasana di
perjalanan penuh ketidakpastian, letih dan melelahkan, kejam tak terperi, rasa
senasib sepenanggungan pun muncul. Itulah
”Tunggal Sekapal’, shipmate, kata napi Inggris yang dibawa ke Australia,
atau teman sekapal yang dianggap saudara. Ini mirip perjalanan orang-orang
Itali dan Cina mengadu untung di tambang-tambang emas di California, Amerika
Serikat akhir abad ke 19, atau perjalanan budak-budak Afrika dan budak-budak
dari Makassar abad ke 17, 18, ke tambang emas kompeni Belanda di Salido,
Painan, Sumatera Barat. Sumpah setia membela teman sekapal, senasib
sepenanggungan terpatri dalam hati mereka. Tunggal sekapal adalah saudara
terdekat mereka.
Perjalanan menuju Emma
Haven memang meletihkan. Akhirnya sampailah di pelabuhan yang dituju. Udara
cerah. Langit biru. Gunung Padang saksi bisu menyambut kedatangan mereka.
Kicauan burung-burung yang terbang ke sana kemari di puncak Gunung Padang
menambah semaraknya suasana, seolah mengejek kedatangan para perantaian.
Petugas-petugas sibuk. Mereka hilir mudik memberi aba-aba kepada awak kapal
untuk melemparkan sauh. Karena membawa orang perantaian dari pulau Jawa,
pengamanan diperketat. Kapal sudah merapat. Para penumpang biasa turun. Gelak
tawa dan tangis haru keluarga karena rindu, menyambut kedatangan para penumpang
kapal.
Giliran terakhir
diikuti para perantaian. Satu persatu orang-orang perantaian yang lusuh dan
lelah, turun ke darat, untuk sejenak menghirup udara segar di pinggiran kota
Padang. Mereka kemudian dimasukkan ke depot penampungan, dihitung satu persatu,
apakah jumlahnya masih lengkap atau ada yang berkurang. Nama-nama dipanggil.
Andi, Mamat, Usup, Entong, Latif dan masih banyak lagi, kadang-kadang ada pula nama-nama dari daerah Sumbawa dan Timor.
Ada yang menjawab dengan suara keras, tetapi ada pula yang menjawab dengan
suara mengerang kesakitan, akibat badan lemas tak berdaya selama di perjalanan.
Jarang sekali
perantaian menginap di depot penampungan untuk menunggu kereta api yang membawa
mereka ke Sawahlunto. Kalau perantaian ditampung selama satu, dua atau tiga
hari, tentu saja Belanda keberatan, itu perlu memerlukan biaya yang lebih
besar. Karena itu lebih baik diangkut langsung dengan kereta api ke Sawahlunto.
Kemudian dihitung lagi.
Seribu lima ratus orang sekali angkut dari Tanjung Periuk. Ini bukan jumlah
yang kecil. Selain mengangkut batubara, mengangkut orang-orang perantaian
adalah bisnis menguntungkan bagi perusahaan negara Belanda yang mengelola
kereta api. Perusahaan batubara dan perusahaan kereta api, dua perusahaan yang
disatukan pengelolaannya sampai dekade pertama abad ke 20.
Tidak ada ketentuan
pasti berapa kali setahun orang-orang napi ini dibawa ke Sawahlunto.
Pengangkutan mereka tergantung pada permintaan perusahaan Ombilin yang disebut
juga De Ombilin Steenkolenmijnen, istilah Belandanya. Ada yang dibawa sekali 3
bulan, ada pula sekali 4 bulan. Sampai tahun 1920-an, jumlahnya luar biasa
besar. Hampir 75% dari 20.000 tenaga kerja di perusahaan Ombilin berasal dari
orang perantaian.
Bayangkan, kota
Sawahlunto dipadati orang-orang perantaian. Para petinggi Belanda kewalahan
mengawasinya. W.H. Rahder saja yang menjadi kontrolir di Sawahluto mengeluh
terus-menerus ke atasannya di Batavia, Direktur Departemen Dalam Negeri
(Binnenland Bestuur). Gaji kecil, pekerjaan berlipat ganda, mengurus rakyat dan
mengurus orang rantai. ”Ik krijg
hoofdpijn,” (saya pusiiing), kata
Rahder sambil mondar mandir di beranda depan rumah kediamannya. Ik (saya) ditekan sama perusahaan mengurus
kettingganger (orang rantai), ditekan
pula oleh atasan untuk mengurus orang-orang Sawahlunto. Mana yang harus ik
urus?” Sambil memegang cangklongnya, ia terus mengisap cerutu, dan
mengebulkan asapnya sambil melihat ke langit yang ditutupi awan tebal, pertanda
hujan akan turun. ”Sawahlunto sekarang
sudah menjadi koloni kriminal”. Keluhnya.
Tut..tuut..tuuut..
bunyi kereta api, perlahan meninggalkan Emma Haven. Memasuki kota Padang, terus
ke arah Tabing, berhenti mengambil penumpang, lalu melaju ke arah Lubuk Buaya,
terus melewati kota-kota kecil, Padang Panjang, Solok, Silungkang dan akhirnya
memasuki Sawahlunto.
Pemandangan
menakjubkan. Hutan lembah Anai yang hijau, air sungainya yang bersih, dan air
terjunnya, menambah kesejukan mata memandang. Air danau Singkarak yang membiru,
berkilau-kilau diterpa cahaya matahari, padi menguning bak hamparan permadani
menghiasi pemandangan ketika kereta menuju Solok. Detak-detak mesin tenun
terdengar sayup dari rumah-rumah penduduk Silungkang, ikut menambah semaraknya
suasana perjalanan menuju penjara Sawahlunto. Suasana indah itu tentulah milik
penumpang kereta api biasa, bukan milik para napi yang melihat semua itu
melalui pintu-pintu jendela kereta api dengan pandangan kosong.
Aba-aba bahwa kereta
api akan berhenti sudah nampak. Lambaian-lambaian bendera kecil sudah mulai
kelihatan sejak kereta api memasuki stasiun Muara Kalaban, dan sebentar lagi
akan tiba di tempat yang dituju. Hatiku gundah, kata Usup, mau masuk ke lobang
tambang, pasti kita mati, katanya meyakinkan teman-teman yang duduk di
sebelahnya. Raung kereta api yang panjang menandakan perjalanan semakin
mencapai di tempat tujuan, stasiun Sawahlunto, tujuan akhir dan awal dari
penjara baru untuk para napi. Opas - opas tangsi sudah bersiap-siap, opsir polisi
juga tidak ketinggalan. Satu persatu napi turun dari kereta api kemudian ditampung
di berbagai tangsi.
Mula-mula mereka
ditempatkan di sebuah tangsi di Muaro Kalaban, karena harus membuat jalan
kereta api. Para napi selanjutnya ditempatkan di tangsi Rantai, dekat lapangan
bola kaki – lapangan yang dibangun sendiri - lalu di tangsi Durian di daerah
Waringin, seterusnya tangsi di kampung Sungai Durian. Tangsi-tangsi itu mirip
penjara, karena dijaga ketat oleh para opas tangsi yang seram dan berpenampilan
bengis.
Selain opas – opas dari
India Tamil karena semakin bertambahnya orang rantai dari pulau Jawa kemudian
pemerintah kolonial melalui kontrolir merekrut opas tambahan dari gunung Sitoli
dan orang – orang Batak. Belanda melatih mereka, diberi senjata, dan memakai
baju seragam hitam, pakai topi, berjalan tegap, dengan mata terus mencurigai
gerak-gerik napi. Para opas tangsi menjaga dan memata-matai para napi di
tangsi. Bermulalah kehidupan baru di penjara baru Sawahlunto. Berbedakah dengan
kehidupan di penjara Glodok dan Cipinang di Batavia? Ikuti kelanjutan ceritanya….
0 on: "Sejarah Yang Terlupa : Kisah Kelam Orang Rantai di Sawahlunto [1]"