Akarasa – Situs Gunung
Padang saat ini saya yakin sudah familiar di indera pendengaran kita, apalagi
bagi sampeyan yang penghobi plesiran. Diluar kepala wes. Namun demikian, bagi
kerabat akarasa yang belum mengunjungi saya akan gambarkan sekilas tentang
topografi situs yang diyakini lebih tua dari piramida Mesir ini.
Cuaca cerah adalah
keberuntungan tersendri ketika mengunjungi situs purba ini, apalagi di bulan
Januari, yang orang Jawa bilang hujan sehati – hari. Ditemani oleh sepupu istri
saya, tanggal 3 Januari yang lalu kami tiba di situs Megatilitik Gunung Padang,
Desa Karyamukti, Kec. Campaka, Kab. Cianjur sekira pukul 11 pagi menjelang
siang.
Karena masih suasana
liburan semua kendaraan harus diparkir di lapangan tak jauh dari pintu gerbang.
Kata seorang petugas parkir, hal ini juga berlaku saat week end. Tak apa, toh
dari sini kita sudah disuguhi panorama menarik. Dari tempat parkir ini di
ketinggian tak kurang dari lima puluhan meter arah persawahan, beberapa rumah
panggung khas sunda berjajar rapi. Meski di daerah istri saya di Ciamis masih
dapat kami temui, tapi karena di tata sedemian rupa, rumah – rumah tersebut
mempunyai keunikan tersendiri. Dan rupa – rupanya, rumah – rumah tersebut dapat
kita sewa untuk menginap.
Situs Gunung Padang
sendiri berada pada ketinggian 885 mdpl. Kini kami harus menapak lokasi yang
berbukit curam setinggi sekitar seratus meter dengan 500 an anak tangga
membentuk dua jalur, yang pertama tersusun dari batu adesit alami yang
direkonstruksi dan yang sebelah kanan dari bahan semen dan pasir. Kedua jalur
yang sama sulitnya sebetulnya karena derajat kemiringannya hampir 45 derajat.
Hanya saja yang kanan untuk wisatawan ada tempat datar untuk jeda. Kami memilih
jalur pertama ketika mendaki.
Sebelum menaiki anak
tangga menuju situs, tepat di sisi anak tangga pertama, terdapat Sumur
Cikahuripan arah utara. Cikahuripan berarti "air kehidupan". Sumur
Cikahuripan masih terjaga kualitas airnya. Sumur disangga dengan bebatuan
alami. Menurut warga setempat, meski kemarau, air masih jernih dan debitnya
cukup untuk menghidupi warga sekitar.
Dari jumlah anak tangga
sebenarnya mendaki ke lokasi Situs Gunung Padang masih kalah dengan Gunung
Galunggung dengan 600-an anak tangga, tetapi lebih sulit dibanding Kampung
Naga, Tasikmalaya yang mempunyai 360 anak tangga. Butuh waktu lima belas menit
untuk bisa mencapai lokasi. Jika sampai tidak berkeringat itu tandanya sampeyan
tidak sehat, di jamin basah karena keringat pun bercucuran. Dari sini, ketika mengedarkan pandangan di
sebelah kiri cukup bagus bagai permadani hijau terhampar.
Anak tangga asli yang
menghubungkan loket masuk dengan teras pertama berjumlah 378 dengan panjang 185
meter. Kemiringannya mencapai 40-60 derajat. Pada 2004, sebagian bebatuan
tangga ini pernah disusun ulang, hingga menyisakan kurang-lebih 25 meter yang
ke atas yang masih asli.
Subhanalloh... itulah
kata yang pastinya terucap (jika sampeyan muslim) ketika sampai di area situs.
Perasaan kagum dan takjub menyeruak jadi satu ketika pertama kali menginjakan kaki di situs yang
konon lebih tua dibandingkan dengan Piramida di Mesir.
Seluas mata memandang,
tumpukan batu-batu berserakan dimana mana, ada yang beraturan ada yang tidak.
Disambut semilir angin yang sejuk dan meski matahari sedang puncak teriknya
pada tengah hari. Dari kejauhan tampak gunung Gede angkuh berdiri, hamparan bukit
dan pemandangan hijau yang memanjakan mata, dari sini kita seakan menelanjangi
surganya dunia alam ciptaanNya.
Semacam mengunjungi
Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, hanya hamparan batu yang dapat
dilihat. Namun yang membedakannya adalah
di situs Gunung Padang ini batu-batunya sebagian besar berserakan, dan sebagian
membentuk 'sesuatu'. Batu-batu berserakan itu ada yang membentuk semacam
kerangka ruang tanpa pondasi/tiang yang pada masanya semacam ruang untuk
menikmati tarian dan musik.
Ada batu gong (batu
bentuknya bulat pipih besar) dan batu musik (batu bentuknya Balok) jika diketuk
di beberapa bagian akan mengeluarkan bunyi yang berbeda-beda. Berdasarkan
cerita, pada zaman itu unsur musik dan tarian sudah ada.
Alihkan pandangan
semakin ke belakang, tumpukan batu-batu seakan-akan menjadi tembok pemisah
antara undakan. Jadi, batu-batu berserakan yang pertama kali kita liat itu
disebut teras 2. Kita langkahkan kaki menaiki undakan diatasnya dan akan
ditemukan namanya teras 1. Dan diperkirakan ada 5 teras di situs itu namun
belum diadakan penggalian lebih dalam.
Di sini ada informasi
yang menyebutkan, di bawah tanah itu ada semacam ruang bawah tanah (belum
terbukti dengan galian). Di teras tertinggi alias teras 1 ada sekelompok batu
yang tersusun menumpuk disebut menhir. Seingat saya di pelajaran sejarah,
menhir itu digunakan untuk pemujaan. Wajar saja sih pada zaman itu kan masih
menganut kepercayaan yang memuja roh dan benda.
Dari literasi yang saya
himpun, situs Gunung Padang ini didirikan sekitar 500 tahun sebelum masehi.
Usianya 1.000 tahun lebih uzur daripada Candi Borobudur dan 2.000 tahun lebih
renta dibandingkan dengan situs Machu Picchu di Peru. Ini Bangunan tersebut,
situs Gunung Padang.
Untuk pertama kalinya,
bangunan berundak yang terdiri dari susunan potongan batu-batu kolom itu
dilaporkan oleh N.J. Krom pada 1915. Laporannya dimuat di buletin Rapporten van
de Oudheidkundige Dients, yang diterbitkan oleh Dinas Kepurbakalaan Hindia
Belanda. Di era republik, baru pada 1979 --setelah menerima laporan dari
masyarakat-- Balai Arkeologi dan Arkenas mulai mengadakan penelitian.
Penelitian-penelitian
berlanjut sampai pada akhirnya Tim Terpadu Penelitian Mandiri (Mei 2012 - Mei
2013) yang dipimpin oleh arkeolog Ali Akbar dari Universitas Indonesia merilis
temuannya yang mengundang decak kagum banyak pihak, sekaligus mengundang pro
dan kontra.
Situs Gunung Padang adalah
bukit yang terisolasi, di ketinggian 885 mdpl, di tengah-tengah lembah utara
perbukitan Gunung Karuhun dan bentuknya melengkung. Dibatasi oleh Sungai
Cimanggu di selatan kaki bukit yang mengalir ke Sungai Cimandiri yang berada di
sebelah barat. Ada Sungai Cipanggulaan dan Cikuta, yang membatasi lereng barat,
selatan dan timur bukit, dan mengalir ke Sungai Cimanggu.
Jika Situs Gunung
Padang dilihat dari Gunung Batu, tampak depan terlihat berbentuk limas dan ada
mahkota di puncaknya. Adanya hamparan bebatuan itu berjenis sama: columntnar
joint. Bedanya hanya susunan batu yang tak seirama. Ada yang menjulang tak
tertata, tiduran, bahkan terpecah-pecah beberapa bagian.
Batuan itu bukan batu
biasa. Orang menyebutnya batuan purba atau kuno. Batuan tersebut memang hasil
dari alam. Yang berbeda adalah penumpukan batuan itu yang tersusun seperti pola
kreasi manusia. Beberapa tahun belakangan terungkap, ada kerja manusia di
susunan batu yang dianggap biasa itu.
Penemuan kebudayaan
kuno Indonesia itu menyisakan karya misteri kelas tinggi. Situs megalitikum,
yang konon berusia 500 tahun sebelum masehi, tersaji di Bumi Pertiwi. Situs
Gunung Padang adalah peninggalan megalitikum terbesar di Asia Tenggara dengan
luas bangunan purbakalanya sekitar 900 meter persegi dan areal situs mencapai
25 hektare.
Situs ini memiliki
balok-balok yang berbentuk prismatik dengan ukuran beragam. Susunan balok batu
berlapis tanah lempung. Punden berundak situs terdiri dari lima teras yang
dibangun berbeda-beda dengan ruangan tertentu di setiap teras. Setiap teras
juga memiliki makna berbeda. Menghadap ke Gunung Gede, Jawa Barat. Dinamakan
padang, karena memiliki nuansa menerangkan atau sebuah bukit yang bercahaya. Di
bagian timur, pengunjung dapat melihat fenomena sunrise yang indah. Situs juga
dikelilingi beberapa bukit atau gunung, seperti Gunung Pasir Batu, Gunung Pasir
Pogoh, Gunung Kencana, dan Gunung Pangrango.
Memasuki teras pertama,
pengunjung disambut pintu "Pamuka Lawang", yang bermakna pembuka
pintu atau gerbang awal. Gerbang awal ini dahulu ada dua batu, namun roboh,
tersisa satu, karena faktor alam. Untuk masuk ke lokasi lebih dalam, ada dua
jalan, dari kiri dan kanan, yang masing-masing memiliki jarak yang sama, yakni
22 meter.
Ketika masuk lebih
dalam, di teras satu, terdapat sebuah gundukan yang bernama "Bukit
Masigit", yang berarti sebuah langgar atau musala. Ruangan itu
melambangkan unsur peribadatan masyarakat dahulu. Di teras pertama juga
terdapat sebuah pohon cempaka. Pohon ini tanda awal masuk situs. Dalam budaya
Sunda ada istilah 'kuncung putih', yakni pohon cempaka yang wangi.
Masih menelusuri teras
pertama, dalam setiap ruangan, pintu masuk dan keluar berbeda. Ini menandakan
bahwa sudah terbentuk pola pikir maju pada masyarakat dahulu untuk membuat
tanda. Teras pertama jauh lebih rapi. Yang parah teras kelima. Pada teras
pertama, ada lantai yang berbahan susunan batuan alami, terlihat seperti ubin
porselen.
Di teras ini juga
terdapat sebuah meja purba, yang bernama "dolmen". Hanya batu inilah
yang lebar dan warnanya beda. Barangkali hal ini kemudian disebut sebagai batu
meja. Konon Dolmen ini digunakan untuk sebuah kegiatan dan ritual serta
persembahan suatu acara.
Ada tiga ruangan di
teras pertama. Masyarakat Sunda biasa menyebut ruangan itu dengan nama: Rama,
Ratu, dan Resi. Rama, ruang untuk pertunjukan dan biasa ditempati para tokoh.
Ratu untuk ruang pimpinan. Dan Resi untuk masyarakat biasa.
Di dalam ruang
pertunjukan terdapat dua buah batu purba, yang diduga sebagai alat musik
masyarakat di era purba. Ada batu "bonang" dan "kecapi".
Intinya, semua bebatuan situs berbunyi. Namun, yang dikenal memiliki suara
nyaring hanya kedua batu tersebut. Di batu bonang ada relief yang seakan-akan
memiliki jejak jari, juga terdapat ukiran huruf Arab yang berbunyi alif lam lam
ha.
Masuk teras kedua,
terdapat sebuah gerbang atau pintu masuk dengan dua batu berbeda. Jadi, setiap
gerbang memakai batu dengan ciri-ciri yang berbeda. Di teras ini, ada lima
gerbang berbeda. Terasnya juga terbuat dari bebatuan.
Juga ada batu lumbung,
yang diibaratkan sebagai mahkota dunia. "Batunya terbilang besar diantara
yang lain. Dulu katanya ada bangunan bentuk segi empat ukuran 5x5 meter di sini.
Hanya di teras dua, pintu masuknya yang dari selatan. Ini beda karena tidak
sembarangan orang bisa masuk. Hanya orang-orang tertentu yang diperkenan masuk.
Selain batu lumbung, terdapat batu kursi yang dipersepsikan untuk melapor dari
rakyat ke pemimpin.
Dari teras dua ke teras
selanjutnya, dari sini sudah terdapat jalur lurus sampai ke teras lima. Naik
setengah meter menuju teras tiga. Dari teras tiga naik setengah meter lagi,
menuju teras empat. Untuk naik ke teras lima dari teras empat, jaraknya 1,5
meter. Lewat dari teras dua, pintu masuk ke teras selanjutnya sudah tidak
bercabang.
Masuk ke teras tiga,
terdapat ukiran bentuk "kujang" di sebuah batu. Fungsinya sebagai
pembatas akhir teras dua dan awal teras tiga. Di dalam teras tiga, sebelah
timur, terdapat jejak maung, yang berarti jejak jari manusia zaman dahulu.
Pengertian maung ini identik dengan manusia yang baik. Menurut masyarakat
sekitar, batu itu disebut Sang Hyang Tapak. Di teras itu juga terdapat lokasi
pemujaan dan area musyawarah, khusus orang-orang tertentu saja.
Di teras empat,
terdapat batu yang bernama Kanuragan, yang sekarang disimpan petugas karena
banyak disalahgunakan. Batu itu dianggap pemberi rezeki oleh orang-orang dan
kemudian menjadi mistis, juga takhayul yang menjurus kepada syirik. Batu itu
berbentuk segi lima dengan ukuran besar. Memasuki teras kelima, terdapat tempat
singgasana raja. Di sana ada batu yang disebut "pandaringan". Batu
itu fungsinya untuk berhadapan dengan hormat kepada sang raja. Di situlah,
diperkirakan sebagai tempat pemimpinnya atau raja. Sekian.
indahnya peninggalan zaman gunung padang, gk nyangka d indo ad yg seperti itu :)
BalasHapusTerimkasih atas kunjungannya mas. indonesia gemah ripah loh jinawi :)
Hapus