Akarasa – Selamat datang kerabat akarasa. Pada judul di atas, bisa jadi sebagian kita masih asing dengan nama tersebut. Maklum saja dia ini bukan orang sini, namun orang Belanda sana. Tokoh yang satu ini terbilang tokoh yang penuh kontroversi, baik semasa masih hidup maupun sesudah mati. Satu sisi ada yang memuja dan sisi lain ada yang melaknatnya.
Nah, yang kedua ini
adalah umat Islam Indonesia ini, khususnya orang Aceh. Betapa tidak, dia ini
dianggap orang yang paling bertanggung jawab dan lantaran telah memberi masukan
pada bos-nya berupa serangkaian kebijakan yang meminggirkan peran politik Islam
di Hindia Timur pada masa itu, yang berdampak pada perkembangan Islam pascakolonial.
Seperti yang sudah saya
narasikan di atas, Snouck Hurgronje memang berperan penting dalam penaklukan
Aceh. Pada zaman kolonial, Aceh membuat Pemerintah Hindia Belanda pusing tujuh
keliling. Kawasan di ujung utara Pulau Sumatera ini terbilang paling mokong (ngeyel) hingga sulit dijinakkan.
Akhirnya, dipanggillah Snouck Hurgronje, untuk meneliti kehidupan
politik-keagamaan dan etnografi Aceh, tahun 1889.
Selama 14 tahun, sejak
kedatangannya sampai 1903, doktor sastra Semit dari Universitas Leiden,
Balanda, itu sering pulang balik Jakarta-Aceh. Misi utamanya: membantu Jenderal
Van Heutsz menaklukkan Aceh. Van Heutsz adalah pejabat tinggi yang menguasai
wilayah Aceh. Untuk memperkuat posisinya di lingkungan pemerintahan, pada 1891
Snouck diangkat menjadi Penasihat Urusan Bahasa-bahasa Timur dan Hukum Islam.
Delapan tahun kemudian naik pangkat menjadi Penasihat Urusan Pribumi dan Arab.
Berdasarkan hasil
penelitiannya yang intensif itu, Snouck akhirnya mendesak pemerintah kolonial
agar serius mengkaji Islam dan memperlakukan pemeluknya dengan bijak. Dia tidak
ingin Belanda dianggap sebagai penjajah bodoh dan menindas hanya karena awam
tentang Islam. Resep yang ditawarkan Snouck itu rupanya manjur. Aceh akhirnya
bisa dikuasai.
Snouck Hurgronje lahir
di Oosterhout, 5 Februari 1857. Dalam usia 18 tahun, ia masuk Universitas
Leiden (1875). Semula di fakultas teologi. Maklum, Snouck berasal dari keluarga
pendeta. Ia putra keempat Pendeta J.J. Snouck Hurgronje. Ibunya, Anna Maria,
putri Pendeta Ds. Christian de Visser. Perkawinan orangtuanya didahului skandal
hubungan gelap, sehingga sang pendeta dipecat dari Gereja Herformd di Tholen.
Dari fakultas teologi,
Snouck pindah ke fakultas sastra jurusan Arab. Setelah meraih gelar doktor
sastra Semit dalam usia 23 tahun, Snouck muda yang dikenal berotak encer itu
mengajar pendidikan khusus pegawai di Indonesia, di Leiden. Empat tahun
kemudian, ia mendalami pengetahuan praktis bahasa Arab di Jeddah dan Mekkah,
Arab Saudi.
Kunjungan ke Arab Saudi
selama setahun, 1984-1985, itu sengaja dilakukan di luar musim haji, agar ia
lebih leluasa membicarakan Islam dengan ulama setempat. Selain mengamati
koleksi kepustakaan Islam, Snouck juga meneliti gerak-gerik penduduk Nusantara
di sana. Ia sampai pada kesimpulan bahwa Mekkah ternyata menjadi jantung yang
memompa roh pergerakan Islam di Hindia Belanda.
Keberhasilan Snouck
masuk Mekkah merupakan prestasi tersendiri di mata rekan-rekannya, karena kota
itu sebenarnya tertutup bagi nonmuslim. Tapi, Snouck punya jurus jitu: mengaku
muslim dan masuk dengan nama Abdul Gaffar. Dengan kiatnya itu, ia berhasil
mengorek aneka data berharga dalam karier intelektualnya. Di kota suci ini, ia
menyaksikan sikap fanatik umat Islam Indonesia, terutama suku Aceh. Mereka
dikenal sangat keras dalam melawan penjajah Belanda. Pemandangan seperti itu
membuat niatnya untuk mengetahui Indonesia makin kuat.
Setelah berpetualang di
tanah Arab, Snouck kembali mengajar di Leiden. Hasrat Snouck meneliti
lembaga-lembaga Islam di Hindia Belanda makin tak terbendung. Akhirnya, pada
1889, niatnya untuk menginjak tanah Batavia terkabul juga. Ia merantau ke sini
atas kehendaknya sendiri.
Dari awal, Snouck
mengincar Aceh sebagai objek penelitiannya. Pemerintah Den Haag dan Batavia
mengizinkannya. Tapi, ketika ia mendarat di Pulau Penang, Gubernur Jenderal
Aceh, Van Tijn, menolaknya. Ia kembali ke Batavia dan mengajukan penelitian
tentang Islam di Jawa dan Madura.
Namun, sebelum
penelitian di Jawa dan Madura dilaksanakan, sikap pemerintah berubah: memandang
Aceh lebih penting. Pemerintah Hindia Belanda lantas meminta Snouck meneliti
Serambi Mekkah itu. Tentu saja ia kegirangan. Tapi, selain meneliti, Snouck
juga punya tugas rahasia: berperan sebagai intelijen. Ia diminta mengamati
dinamika politik keagamaan masyarakat Aceh.
Penelitiannya
berlangsung sejak Juli 1891 sampai Februari 1892. Di Aceh, Snouck banyak
mendapat kepercayaan dari tokoh terkemuka dan ulama. Ia memang dikenal sebagai
tokoh yang gaul, cepat akrab dengan penduduk lokal. Hasil penelitiannya itu
lalu diwujudkan dalam dua buku berjudul The Acehnese dan The Gajo Land. Plus
sejumlah nasihat kepada bosnya untuk menaklukkan Aceh.
Ketika pulang ke
Belanda, 1906, Snouck diangkat menjadi guru besar di Universitas Leiden. Peresmiannya
berlangsung pada 23 Januari 1907. Selain mengajar di kampus, ia juga dipercaya
sebagai penasihat menteri jajahan. Jabatan ini disandangnya sampai ia meninggal
pada 26 Juni 1936.
Kontroversi Snouck
berpangkal dari ketiga identitasnya: sebagai ilmuwan keislaman, penasihat
kolonial, dan sebagai ''muslim''. Kalau para orientalis pra-Snouck sangat
bertumpu pada kajian teks, maka Snouck telah membawa pembaruan dengan memadukan
antara kajian teks dan masyarakat. Ini terlihat dalam karya monumentalnya,
Mekka in the Latter Part of the 19th Century. Jilid I kajian tekstual, jilid II
berupa kajian sosiologis.
Rata-rata ilmuwan
Belanda, termasuk ilmuwan muslim sekaliber Johan Hendrik Meuleman, mengakui
besarnya sumbangan Snouck dalam kajian keislaman. Ia kerap mendapat sanjungan
setinggi langit, setidaknya sampai akhir 1970-an. Kajian kritis yang mendedah
teorinya baru muncul pada awal 1980-an oleh seorang ahli pemikiran Islam
klasik, Prof. P.S. van Koningsveld.
Menurut Koningsveld,
dari sisi etika akademis, Snouck mempunyai cacat karena tidak pernah
menyebutkan informan atau asisten risetnya, Raden Abu Bakar, dalam Mekka jilid
II, dan Haji Hasan Musthafa serta Tengku Nuruddin dalam The Acehnese.
Seakan-akan dia melakukan penelitian lapangan sendirian. ''Padahal, tanpa
bantuan mereka, kedua buku itu tidak akan berwujud,'' katanya.
Pandangan Koningsveld
mendapat reaksi keras dari pendukung Snouck: J.J. Witkam, ahli manuskrip Islam
yang menjadi orang penting di Oosters. Witkam tercatat sebagai pembela gigih
pikiran Snouck. Dia pernah mengorganisasikan pameran dengan judul yang menurut
Koningsveld berbau imperialistik: ''Seratus Tahun Mekkah di Leiden'', pada 21
Februari 1985.
Kendati ada segelintir
ilmuwan yang kritis terhadap pemikiran Snouck, tokoh legendaris ini masih menjadi
figur sentral di Belanda. Dia dipuja bak seorang wali. Dia menjadi mitos model
studi-studi Islam ideal. Karya-karyanya bukan saja dikagumi, malah cenderung
dikeramatkan.
Teori tersebut
sebenarnya menunjukkan kemajuan. Snouck bukan sekadar sarjana yang berangkat
dari tradisi filologi, melainkan juga peneliti lapangan. Ironisnya, para pewaris
teori Snouck umumnya hanya menggeluti satu aspek: kajian teks. Sebagai ilmuwan
besar, gairah keilmuan Snouck memang pada teks. Namun, langkah Snouck dalam
penelitian lapangan lebih merefleksikan dirinya sebagai pejabat kolonial.
Apalagi proyeknya itu didanai pemerintah kolonial saat itu.
Kontroversi lain adalah
ihwal taktik mengubah namanya menjadi Abdul Gaffar. Benarkah dia masuk Islam?
Menurut Koningsveld, keislaman Snouck sekadar taktik agar ia diterima
masyarakat muslim. Tapi, pandangan Koningsveld itu ditentang habis oleh F. Schrider,
yang yakin bahwa Snouck benar-benar masuk Islam.
Ketika menjadi
penasihat kolonial, Snouck hidup di antara dua alam: kalangan pegawai Belanda
dan kaum pribumi yang mayoritas muslim. Di lingkaran juragannya, dia dianggap
lebih banyak membela Islam. Tetapi, dia selalu mengatakan dalam surat-surat
rahasinya bahwa sikap itu diambilnya agar dia tidak kehilangan kepercayaan yang
diberikan sebagian umat Islam kepadanya.
Toh, keluarga Snouck di
sini percaya bahwa ia benar-benar masuk Islam. Snouck memang pernah menikah
dengan gadis Sunda bernama Siti Sadijah putri kiai asal Ciamis, Jawa Barat,
Raden Haji Muhammad Adrai. Beberapa orang dekat Snouck yang mengetahui
perilakunya sehari-harinya, seperti Sayyid Utsman, Abu Bakar, dan Hasan
Musthafa, juga yakin atas keislaman Snouck. Mereka lantas memberi gelar ''alim
allamah'' dan ''mufti Batavia''.
Martin van Bruinessen
melihat keislaman Snouck secara berbeda. Sebagaimana penganut Islam sejak
lahir, menurut dia, keimanan Snouck tidak stabil. Ada masa dia merasa sangat
dekat dengan Islam, terutama ketika berada di Hindia Timur dan menikah dengan
pribumi muslimah. Tetapi kemudian muncul keraguan dan mengambil jarak dengan
Islam, terutama setelah kembali ke Belanda pada 1906 dan mengabdi di
Universitas Leiden.
Agama memang urusan
keyakinan. Cuma Tuhan dan Snouck sendiri yang tahu, apakah ia seorang muslim
beneran atau cuma muslim dalam tanda kutip. Sekian.
Disarikan dari berbagai
sumber
dia tetap dengan agamanya, dan aceh sampai sampai hari ini terpecah belah karena bibit bibit kerusakan darinya. Salam dari yang peduli Aceh
BalasHapusTerimakasih atas kunjungannya dan tambahannya mas, semoga kaca dari snouck menjadi bahan renungan buat kita semua. nuwun..
Hapus