Akarasa – Selamat datang kerabat akarasa. Kita semua tahu
bahwa negeri ini adalah negeri gemar ripah loh jinawi, namun disisi lain kita
juga tidak menafikan jika negeri yang besar ini adalah negeri seribu bencana.
Terlampau banyak peristiwa bencana jika saya sebutkan disini. Sebut saja yang
paling terkini yang terbilang paling besar menelan korban jiwa, yakni gempa dan
tsunami aceh. Tercacat tidak kurang dari 200 ribu korban jiwa, belum terhitung
korban kehilangan tempat tinggal dan harta benda.
Jika kita mau sejenak
menggali sejarah bencana di negeri ini di masa lampau, sejatinya peristiwa masa
lalu dalam sejarah selalu berkolerasi dengan masa sekarang. Namun yang berbeda
adalah goresan dan cuplikan waktu, ruang dan tempat. Demikian pula dengan
musibah demi musibah dan bencana alam demi bencana alam seolah saling berlomba
dengan waktu yang tersisa dan silih berganti dalam lingkup, bentuk, jenis atau
wajah yang beragam. Peristiwa yang hampir serupa pernah terjadi di penghujung abad ke 19
melanda negeri cincin apai ini, yakni meletusnya Gunung Krakatau.
Selama tiga hari
berturut-turut pada pekan terakhir Agustus 1883, Gunung Krakatau memuntahkan
lahar, bebatuan, debu, dan asap yang membubung hingga 70 kilometer. Dentuman
pada puncak ledakan terdengar hingga radius ribuan kilometer. Letusannya,
konon, melahirkan gelombang tsunami setinggi 40 meter. Awan debunya menyelimuti
bumi selama hampir setahun. Sekitar 36.000 orang meregang nyawa, entah berapa
pula yang kehilangan rumah dan harta benda.
Nah, di antara sekian
banyak laporan tentang "kiamat kecil" itu, terdapat satu-satunya
catatan yang dibuat oleh pribumi selang tiga bulan setelah peristiwa itu.
Berbeda pula dari laporan analisis yang dibuat orang Barat, catatan Muhammad
Saleh itu berisi semacam laporan jurnalistik yang mengungkap aspek kemanusiaan
atas peristiwa memilukan tersebut. Tersurat semacam laporan pandangan mata
tentang akibat bencana alam itu di berbagai tempat.
Dokumen pribumi tentang
dahsyatnya letusan Krakatau itu terbit dalam empat edisi, dengan empat variasi
judul. Pertama kali terbit pada November-Desember 1883 --sekitar tiga bulan
kemudian. Edisi terakhir terbit pada 10 Syafar 1306 Hijriah atau bertepatan
dengan 16 Oktober 1888. Kajian mendalam dan transliterasi dokumen yang terkenal
dengan judul Syair Lampung Karam itu dilakukan Suryadi, pakar filologi yang
mengajar di Universitas Leiden, Belanda. Berikut nukilan buku hasil kajiannya
yang diterbitkan Komunitas Penggiat Sastra Padang.
Salah satu bencana alam
paling dahsyat di dunia yang tercatat dalam sejarah adalah letusan Gunung
Krakatau pada 1883. Kedahsyatan letusan itu diakui banyak peneliti dunia.
Sampai-sampai, E. Behrendt dalam Nature Magazine tahun 1946 menyebutnya sebagai
[the] earth's most awful blast.
Sekarang, pada bekas
letusan tahun 1883 itu, sejak 1928 muncul gunung api baru yang terkenal dengan
nama Gunung Anak Krakatau. Sebagaimana induknya dulu, Anak Krakatau adalah
gunung berapi aktif yang kapan saja siap meletus, yang akan menimbulkan bencana
alam dan kemanusiaan yang tidak kalah mengerikannya dibandingkan dengan letusan
induknya dulu.
Pulau vulkanis Krakatau
telah lama dicatat dalam sejarah sebagai pulau yang memiliki struktur geologis
yang kompleks. Catatan-catatan sejarah menunjukkan bahwa Krakatau telah
beberapa kali meletus sejak 1680. Pulau Rakata --begitu ia sering disebut--
berasal dari gunung berbatu andesit yang sangat tua setinggi 200 meter, yang
hancur oleh sebuah letusan hebat pada masa yang lebih lampau, yang kemudian
menyisakan tiga pulau: Pulau Sertung, Pulau Rakata Kecil, dan Pulau Rakata.
Yang disebut terakhir
(Pulau Rakata) kemudian tumbuh menjadi gunung berapi setinggi 800 meter yang
diliputi lava basal. Lalu di dekatnya muncul dua gunung lain dari dasar laut,
Danan dan Perbuatan, yang kemudian bersatu dengan Rakata. Itulah yang membentuk
Pulau Rakata sebelum letusan tahun 1883.
Aktivitas terakhir yang
terjadi di pusat vulkanis Pulau Rakata dicatat pada 1680-1681. Tetapi
peningkatan temperatur yang sangat tinggi di gunung ini dilaporkan terjadi pada
1839. Pada 1883, terlihat peningkatan aktivitas gempa di sekitar perairan Selat
Sunda. Pada 20 Mei, letusan vulkanik mulai terjadi dari kerucut di puncak
Gunung Perbuatan. Letusan-letusan kecil itu berulang kali terjadi sehingga
terbentuk kawah di puncaknya.
Letusan Hebat Melahirkan Tsunami
Pada bulan Juli, masih
tahun 1883, kekuatan letusan makin meningkat, dan pada pertengahan Agustus
terbentuk tiga kawah utama serta sejumlah kawah kecil lainnya yang
terus-menerus menyemburkan banyak abu dan uap panas. Tiga hari terakhir pada
bulan itu, 26, 27, dan 28 Agustus, dilalui dengan letusan besar yang tak
henti-hentinya sejak siang dan sore hari pada Ahad 26 Agustus. Mulanya dalam
interval 10 menit, tapi kemudian berkepanjangan.
Pada 27 Agustus 1883,
pukul 05.30, 06.44, 08.20, dan 10.02, lebih dari tiga bulan setelah aktivitas
gempa pertama di Pulau Rakata, terjadilah letusan yang teramat dahsyat yang
meluluhlantakkan Danan, Perbuatan, dan bagian barat laut Rakata. Gumpalan abu
menyembur ke udara setinggi 70 kilometer, yang kemudian dibarengi gelombang
tsunami.
Disebutkan bahwa ombak
setinggi 40 meter menyapu habis kawasan pantai Sumatera (Lampung) dan Jawa
(Banten dan sekitarnya) di kawasan Selat Sunda, mengakibatkan tewasnya 37 orang
Eropa dan lebih dari 36.000 penduduk pribumi. Ombak menggunung yang dikirim
dari perairan Selat Sunda mencapai pantai Australia selang lima jam kemudian,
Sri Lanka selang enam jam kemudian, Calcutta sembilan jam, Aden di dekat Laut
Merah 12 jam, Cape Town 13 jam, bahkan kekuatannya mencapai Cape Horn selang 17
jam kemudian.
Akibat letusan itu,
terbentuk kaldera berdiameter 5-7 kilometer dengan kedalaman 279 meter di bawah
permukaan laut. Itulah yang kemudian berkembang menjadi apa yang kita kenal
sekarang sebagai Gunung Anak Krakatau, yang awalnya terbentuk di sisi timur
laut pulau utama bekas induknya.
Letusan besar Krakatau
yang berlangsung empat kali berturut-turut terdengar sampai 3.000 mil.
Letusan-letusan itu terdengar sampai ke Ceylon (Sri Lanka) dan Mauritius di
barat, Manila dan Papua Nugini di timur, serta Perth (Australia) di selatan.
Tetap Menjadi Objek Penelitian Menarik
Letusan Krakatau yang
amat dahsyat itu tidak saja dirasakan akibatnya oleh penduduk dan lingkungan di
daerah-daerah yang berdekatan dengannya, melainkan juga mempengaruhi cuaca
dunia selama beberapa bulan. Hal ini dilaporkan begitu lengkap dalam sebuah
laporan oleh Krakatoa Committee (Komite Krakatau) dari British Royal Society
--komunitas ilmuwan Inggris-- di London.
Sejak itu, muncul
banyak publikasi ilmiah dan teks literer mengenai Gunung Krakatau dan
letusannya pada 1883. Sebuah bibliografi mencatat tidak kurang dari 1.083
karangan yang dibuat berkaitan dengan letusan Krakatau, mencakup berbagai
bidang ilmu: zoologi, geologi, vulkanologi, botani, meteorologi, oseanografi,
dan sebagainya. Bahkan, sejak 1990-an, masih ada lagi sejumlah publikasi
mengenai Krakatau, antara lain ada yang berasal dari tahun 2000-an.
Di samping hasil-hasil
kajian ilmiah, letusan Krakatau juga telah menjadi sumber inspirasi lusinan
karya sastra yang ditulis orang Eropa. Untuk menyebut beberapa tokohnya, antara
lain, R.M. Ballantine dalam Blown to bitor the lonely man of Rakata: a tale of
the Malay Archipelago (1889), H.E. Rabee lewat Krakatoa: hand of the Gods
(1930), Alistair Stuart MacLean dalam Ontsnapt langs Krakatau (1958), dan
Michael Avalone dalam Krakatoa, East of Java (1969).
Sejumlah film, baik
komersial maupun dokumenter, tentang letusan Krakatau juga pernah diproduksi.
Pendek kata, kenangan manusia terhadap letusan Krakatau diabadikan orang dalam
berbagai macam bentuk karya ilmiah, sastra, dan seni, melebihi kenangan
terhadap banyak bencana alam lainnya yang pernah terjadi sepanjang sejarah.
Bagaimanapun, adalah
sebuah kejutan bahwa ditemukan satu-satunya laporan pandangan mata tentang
letusan Krakatau tahun 1883 itu yang ditulis penduduk pribumi. Laporan itu
ditulis dalam genre syair Melayu, berbeda dari ratusan laporan lainnya dari
orang asing yang ditulis dalam bentuk prosa. Itulah yang kemudian terkenal
sebagai Syair Lampung Karam (SLK). Maka, tidak berlebihan jika dikatakan, SLK
adalah dokumen historis langka, yang di dalamnya tergambar persepsi orang
pribumi mengenai letusan Gunung Krakatau tahun 1883.
Empat Versi Syair Lampung Karam
Berdasarkan penelusuran
kepustakaan yang dilakukan Suryadi, SLK pernah empat kali diterbitkan dalam
bentuk litografi pada akhir abad ke-19. Empat edisi itu ditulis dalam aksara
Arab-Melayu. Karena itu, bisa dipahami mengapa dalam banyak kajian sejarah,
teks ini luput dari perhatian para peneliti yang cenderung merujuk pada
sumber-sumber Eropa.
Edisi pertama berjudul
Syair Negeri Lampung yang Dinaiki oleh Air dan Hujan Abu. Tebalnya 42 halaman,
diterbitkan di Singapura pada 1883/1884. Kolofon edisi ini mencatat bahwa teks
itu diterbitkan tahun 1301 Hijriah, tanpa menyebutkan tanggal dan bulannya.
Jika dikonversi ke tahun Masehi, waktunya menunjukkan antara November 1883 dan
Oktober 1884. Tidak disebutkan pula nama penerbit dan pencetaknya. Sejauh yang
diketahui, eksemplar edisi ini sekarang masih tersimpan di Perpustakaan
Nasional Indonesia di Jakarta dan Perpustakaan Lenin di Moskow, Rusia.
Edisi kedua berjudul
Inilah Syair Lampung Dinaiki Air Laut. Tebalnya 42 halaman, terbit di Singapura
pada 2 Syafar 1302 H (12 November 1884). Sementara itu, edisi ketiga terbit
dengan judul Syair Lampung dan Anyer dan Tanjung Karang Naik Air Laut. Edisi
ini tebalnya 49 halaman. Pada kolofonnya tercatat nama penerbit, yaitu Haji
Sahid di Singapura. Tanggal terbitnya, 27 Rabiulawal 1303 H (3 Januari 1886).
Dalam beberapa iklan tentang edisi ketiga ini disebutkan judul yang agak
berbeda, yaitu Syair Negeri Anyer Tenggelam.
Edisi keempat, edisi
terakhir sejauh yang diketahui, terbit dengan judul Inilah Syair Lampung Karam
Adanya. Edisi ini tebalnya 36 halaman, diterbitkan pada 10 Syafar 1306 H (16
Oktober 1888). Di sini disebutkan penyalinnya adalah Encik Ibrahim, sedangkan
penerbitnya bernama "Cap al-Hajj Muhammad Tayib" di Singapura. Teks
edisi keempat ini sekarang masih tersimpan di beberapa perpustakaan, termasuk Perpustakaan
Nasional Indonesia dan Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Dalam kolofon keempat
edisi SLK disebutkan bahwa syair ini ditulis seorang bernama Muhammad Saleh. Ia
mengaku menulis syair ini di Kampung Bengkulu atau Bangkahulu di Singapura,
yang kemudian terkenal sebagai Bencoolen Street. Dalam bait lainnya, Muhammad
Saleh menyatakan bahwa ia datang dari Tanjung Karang, Lampung, dan mengaku
menyaksikan langsung malapetaka akibat letusan Gunung Krakatau itu.
Sudut Pandang Seorang Pengungsi
Sangat boleh jadi,
Muhammad Saleh adalah salah satu korban bencana yang mengungsi ke Singapura,
dengan membawa kenangan sedih dan menakutkan tentang letusan Krakatau yang
telah menenggelamkan Lampung dan sekitarnya. Ia mengaku bahwa dirinya berada di
Lampung ketika bencana hebat itu terjadi. Hal ini terungkap dari syair berikut.
"Inggris saudagar [menolong] sekalian/ Beribu2 khabarnya, Tuan/ Hamba di
sana lebih sebulan/ Belum berapa yang kelihatan."
Dalam dua bait terakhir
SLK, sang pengarang mengaku sakit, sedih, dan sengsara karena bencana itu.
Malah ia merasa sekarat dan hampir saja mati. Menggambarkan pikiran dan
perasaannya yang sangat tersiksa, Muhammad Saleh menyatakan dalam syairnya,
"Hati di dalam sangat siksanya/ Terlalu banyak pikir kiranya/ Terkena
demam hampir matinya."
Memang harus diakui,
tidak ada jaminan bahwa apa yang dinyatakan si penulis itu sepenuhnya benar.
Sebab dalam teks sastra selalu terbuka ruang untuk si pengarang berimajinasi.
Namun ada kesan kuat bahwa SLK ditulis dari sudut pandang seorang pengungsi
akibat letusan Krakatau. Muhammad Saleh melihat efek letusan itu dari mata
batin dan pikirannya sendiri. Ini tampak pada empat bait syairnya berikut ini.
Demikian, Tuan,
khabarnya orang, Hamba memandang nyatalah terang, Nenek[nya] sendiri yang
membilang, Bukannya hamba mengarang-ngarang. Bermacam riwayat hamba sebutkan,
Bertemu mayat di tepi lautan, Tiadalah sah tampak kelihatan, Hamba memandang
bagaikan pingsan. Rupanya mayat tidak dikatakan, Hamba melihat rasanya pingsan,
Apalah lagi yang punya badan, Harapkan rahmat Allah balaskan. Inggris saudagar
[menolong] sekalian Beribu2 khabarnya, Tuan, Hamba di sana lebih sebulan, Belum
berapa yang kelihatan.
Sebentuk Syair Kewartawanan
Dalam teks itu,
Muhammad Saleh menyatakan bahwa ia selesai menulis SLK pada hari Senin, 14
Zulhijah 1300 H, bertepatan dengan 15 Oktober 1883. Artinya, ia selesai menulis
SLK hanya kurang lebih tiga bulan setelah bencana letusan besar Krakatau
terjadi. Pada akhir tahun itu juga, menurut catatan, edisi pertama litografinya
diterbitkan di Singapura.
Fakta itu menimbulkan
kesan bahwa karya Muhammad Saleh ini langsung diminati dan dicetak penerbit
pribumi di Singapura. Boleh jadi, si pengarang punya pikiran "menjual
berita" tentang letusan dahsyat Krakatau itu. Berita seperti itu tentu
menjadi topik hangat dan sangat potensial mendatangkan uang. Itu sebabnya,
penerbit pribumi yang tangkas melihat peluang langsung menerbitkannya. Apalagi,
pada waktu itu penerbit-penerbit pribumi dan peranakan (India, Arab, dan Cina)
terlibat kompetisi ketat dalam mencari naskah bermutu untuk diterbitkan.
Menurut Suryadi, SLK
dapat dikelompokkan ke dalam apa yang disebut sejumlah peneliti sebagai
"syair kewartawanan". Dengan demikian, Suryadi berpendapat bahwa
Muhammad Saleh tampaknya tidak bermaksud mengeksploitasi bencana letusan
Krakatau sebagai bahan berita yang mendatangkan uang. Keuntungan uang tidak
selalu menjadi motivasi utama seorang pengarang sastra Melayu klasik.
Ada kesan kuat bahwa ia
bermaksud berbagi cerita tentang bencana alam yang dialaminya sendiri itu. Ia,
misalnya, mengajak pembacanya tetap bertakwa kepada Tuhan. SLK agak berbeda
dari beberapa karya sastra Melayu klasik lainnya. Karya ini betul-betul
mengangkat peristiwa-peristiwa faktual yang di dalamnya unsur jurnalisme tampil
lebih eksplisit.
Di situ, misalnya,
tersurat bahwa laporan berbentuk syair ini bermula dari Tanjung Karang,
Lampung. Lalu, pada bait-bait berikutnya, ia menyebutkan bahwa Krakatau mulai
meletus pada hari Minggu, 22 Syawal 1300 H (26 Agustus 1883), pukul 16.00.
Tengok syair berikut ini:
Tahun 1300 pada Nabi
Kita, Kekasih Allah, Tuhan semata, Pada bulan Syawal pula dikata, Hari 22
sudahlah nyata. Hari Ahad nyatalah tentu, Pukul empat jam di situ, Berbunyi
guruh menderu-deru, Dikatakan kapal apinya itu.
Lalu ia mengungkapkan
pula kronologi peristiwa itu jam demi jam. Tergambar di situ betapa kepanikan
mulai menyelimuti warga.
Pukul lima nyatalah
hari, Gaduhlah orang di dalam kali, Perahu berlaga sama sendiri, Airnya datang
tidak terperi. Riuh bunyi di dalam perahunya, Bersahutan sama sendirinya,
Seperti kiamat rupa bunyinya, Ramailah orang datang melihatnya. Mangkin malam
bertambah keras, Airnya datang terlalu deras, Mana yang kuat tahan berempas,
Mana yang buruk hilanglah lalas. Pukul enam kiranya itu, Sebesarnya jagung
hujan batu, Gemparlah orang di negeri itu, Orang berjalan seru-menyeru.
Laporan dari Berbagai
Lokasi
Dalam SLK yang
panjangnya 375 bait pada edisi terbitan 1888, Muhammad Saleh secara dramatis
banyak menggambarkan letusan Krakatau berikut bencana kemanusiaan yang muncul
menyusul ledakan itu. Ia menuturkan kehancuran banyak desa dan kematian ribuan
manusia, dengan kerugian harta benda yang besar sekali. Banyak lokasi secara
eksplisit menjadi objek laporannya.
Ia tidak hanya
menyajikan laporan pandangan mata tentang apa yang terjadi di Tanjung Karang,
melainkan juga di kawasan Ketimbang yang di dalam SLK tertulis Kitambang.
Begitu pula tragedi yang menimpa kawasan Bumi, Talang, Gunung Basa, Kuala,
Rajabasa, Merak, serta banyak kampung lainnya di pesisir Lampung dan Banten.
Ia menggambarkan betapa
dalam bencana seperti itu, ternyata masih ada orang yang mengambil keuntungan
di atas kemalangan orang lain. Mereka tega-teganya mencuri barang milik orang
lain korban bencana. Di lain pihak, ia mengungkapkan bahwa solidaritas dan rasa
kebersamaan juga menguat dalam keadaan seperti itu.
Di sini, Muhammad Saleh
berusaha melukiskan sifat baik dan jahat manusia yang justru muncul kasatmata
ketika dilanda bencana. Tengoklah ketika ia menuturkan secara tersurat sifat
baik dan jahat itu dalam syair yang melukiskan kondisi di Tanjung Karang sehari
setelah bencana.
Di Tanjung Karang
pertama hari, Dapatkan ransum setengah kati, Beras ketan dicampuri, Supaya
perut boleh terisi. Orangnya banyak tiada berbilang, Duduk berkumpul silang
menyilang, Bugis, Jawa, Cina, Palembang, Seperti rupa tewas berperang. Banyak
itu bukan patutan, Berkumpul2 berkabar-2an Siang-malam ini demikian Hati di
dalam tiada ketahuan. Dapat beras lalulah pulang, Meminjam periuk lalu
dijerang, Nasiku masak mukanya terang, Piring tempurung diberinya gerang.
Mana
yang ada belas kasihan, Diberi pinjam piringnya gerang[an], Piringnya retak
tampak kelihatan, Dituangkan kuah terus ke papan. Sehari dua dapat dipinjam,
Lebih dari itu mukanya masam, Perkataan manis hatinya geram, Hamba menumpang
lalulah diam Kerana kita lagi menumpang, Diterima juga perkataan orang, Baik
dan jahat taruh belakang, Menerima kasih juga dibilang. Kita menumpangnyatalah
tentu, Segala perkataan ada di situ, Bermacam rupa fiil dan laku, Baik dan
jahat adalah tentu.
Sebagian syairnya juga
menceritakan tentang kondisi para korban yang tewas akibat tsunami yang datang
menyusul ledakan Krakatau.
Tersebut kisah Tanah
Jawa, Orangnya ramai hanyut semua, Umat yang mati bilangan nyawa. Khabarnya ada
sepuluh ribu jiwa. [Se]telah itu sudah dikumpul, Lain yang hilang di balik
tunggul, Apa lagi yang baru disusul, Belumlah masuk ke dalam rul. Di Pulau
Merak khabarnya orang, Rumahnya habis nyatalah terang, Orang yang mati tiada
terbilang, Hanyalah yang tinggal empat puluh orang. Mana orang yang membawa
uang, Dikejar ia bukan kepalang, Berlari ia tunggang-langgang, Terjatuh di air
nyawanya hilang. Banyaklah orang di situ binasa, Mati dan hidup dengan azabnya,
Dibawa air mereka semuanya, Setengah lari di kelapa tempatnya.
Dekat dengan Laporan Kapten Kapal
Syair kewartawanan
Muhammad Saleh itu patut mendapat acungan jempol. Detail-detail laporannya
banyak yang berdekatan dengan kajian para ilmuwan dan pakar asing dari Barat.
Penggambarannya dari segi waktu, mulai saat Krakatau "batuk" pada Mei
1883 hingga saat ledakan tiga hari berturut-turut amat dekat dengan laporan
yang dibuat banyak kapten kapal yang kebetulan tengah melintas di perairan
dekat Selat Sunda.
Seorang di antaranya
adalah W.J. Watson, kapten kapal barang berjuluk Charles Bal. Dalam wawancara
yang dimuat majalah Atlantic Monthly terbitan 1884, ia menuturkan detail waktu
dan kejadian yang tak jauh berbeda dari cerita Muhammad Saleh. Letusan mulai
terdengar pada Ahad sore sekitar pukul 13.30. Lalu Watson menyatakan, ia
bersama para anak buah kapal terus mendengar suara aneh mirip tembakan artileri
berat dengan interval waktu tertentu.
Pada pukul lima, masih
menurut Watson, ledakan-ledakan menggelegar masih terus terjadi dan justru
semakin meningkat. Mulailah kegelapan menyebar ke segala penjuru langit.
"Dan hujan batu apung menghajar kami, yang banyak potongannya memiliki
ukuran cukup besar dan terasa panas," katanya ketika itu. Ia terus
menuturkan ledakan yang hampir tidak putus-putusnya sepanjang malam 26 Agustus
hingga dini hari dan pagi tanggal 27.
"Pada pukul 10.15
(tanggal 27), kami melewati Button Island (di Samudra Hindia), setengah sampai
tiga perempat mil jauhnya. Laut di sekitarnya mirip kaca dan cuaca tampak jauh
lebih baik, tanpa hujan abu atau bara api angin lemah, dari arah
tenggara."
Selanjutnya Watson
membeberkan, pukul 11.15 terjadi ledakan mengerikan dari arah Krakatau.
"Kami melihat sebuah gelombang dahsyat menghantam Button Island yang baru
saja kami tinggalkan. Gelombang itu menghantam Button Island dan menyapu bersih
bagian selatannya."
Ada yang mencatat bahwa
hitungan waktu Watson dengan yang normal terpaut hampir 70 menit. Itu sebabnya,
dalam wawancara itu, ia menyebutkan bahwa ledakan paling dahsyat berlangsung
pukul 11.15 tadi. Dan hanya selang seperempat jam kemudian, bumi diselimuti
debu gunung dan hujan batu apung. Setelah itu, seperti diketahui, ledakan
berangsur-angsur berhenti.
Bukan hanya karena
faktor catatan waktu di jam tangan Watson, karya Muhammad Saleh ini memberi
alternatif lain sebagai rujukan tentang bencana Krakatau. Apalagi, upaya
Suryadi menulis seluk-beluk Krakatau ini membawa angin baru bagi penelitian
lanjut terhadap aktivitas Anak Gunung Krakatau. Jangan sampai kita tidak
berbuat apa-apa dan baru ribut setelah aktivitas gunung itu mengarah pada
letusan besar lagi. Siapa tahu?
Bumi Para Nata,
06/01/2016 11:29 Menjelang bedug Jum’at
0 on: "Telaah Simulasi Kiamat dari Bencana Krakatau 1883"