Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Trunojoyo atau kerap ditulis Trunajaya seorang bangsawan
Madura ini adalah sosok yang unik dengan riwayat hidup yang menarik. Sosk satu
ini kerap diidentikkan selaku pemberontak. Sosok perusuh yang meruntuhkan
hegemoni penguasa agung Mataram Sunan Amangkurat. Gebrakan kuat bertenaga para
pendukungnya menyebabkan pemangku tahta Mataram itu terusir dari istananya di
Plered, kemudian wafat dalam perjalanannya menuju Batavia untuk mendapatkan
bantuan kompeni Belanda.
Trunojoyo kerap pula
disebut sebagai pejuang besar. Sosok yang mampu menyatukan segenap kekuatan di
Madura hingga akhirnya mampu membebaskan Madura dari cengkeraman penjajahan
Mataram. Dialah bangsawan Madura yang mampu mengembalikan kehormatan Madura
setelah beberapa dasarwara berada dalam penjajahan Mataram. Sayang, tak lama
rakyat Madura menikmati suasana pada akhirnya, perjuangan Trunojoyo patah dan
ia terkalahkan.
Dua sisi yang sekilas
tampak berseberangan ini sejatinya dapat disatukan sehingga riwayat hidupnya
dapat terbaca utuh. Hal ini pula yang mengegelitik jemari saya untuk menulis
riwayat hidup sang pendobrak dari tanah Madura ini yang menyandarkan sejarahnya
dalam Babad Tanah Jawi dan berbagai sumber rujukan lainnya. Tulisan yang sedang
kisanak baca ini adalah kelanjutan sebelumnya yang terlebih dahulu mencuplik
sekilas tentang sejarah singkat Trunojoyo, agar lebih nyambung saya sarankan
kisanak membaca terlebih dahulu tulisan yang saya tautkan ini, Sejarah
Pemberontakan Trunojoyo.
Trunojoyo adalah
bangsawan Madura yang berani tak mengenal takut. Ayahnya adalah Raden Demang
Melayakusuma. Ayahnya gugur dalam pertempuran di alun-alun Mataram saat melawan
Pangeran Alit yang memberontak. Sedangkan kakeknya adalah Panembahan
Cakraningrat yang juga gugur karena menghalangi Pangeran Alit saat hendak
menerabas balairung menuntut pati kakaknya sendiri, Amangkurat I. Keduanya
terkena hujaman keris Setan Kober dari Pangeran Alit. Selengkapnya tentang
riwayat hidup Amangkurat I ini kisanak dapat mencari tahu di Amangkurat
I : Diktator dari Tanah Jawa.
Di kemudian hari,
bangsawan dari Madura yang ayah dan kakeknya menjadi tumbal intrik kekuasaan
dinasti Mataram inilah yang membuat pemerintahan Amangkurat I dan Amangkurat II
dari Mataram terusir dari istananya di Plered. Pasukannya yang bermarkas di Kediri
pernah berhasil menjarah keraton Mataram tahun 1677, yang mengakibatkan
Amangkurat I melarikan diri dan meninggal dalam pelariannya. Meski kemudian Trunojoyo
akhirnya berhasil dikalahkan Mataram dengan bantuan dari VOC pada penghujung
tahun 1679.
Pada tahun 1624 Sultan
Agung menaklukkan pulau Madura. Raden Prasena, salah seorang bangsawan Madura,
ditawan dan dibawa ke Mataram. Karena ketampanan dan kelakuannya yang baik,
Sultan Agung menyukai Raden Prasena. Ia kemudian diangkat menjadi menantu dan
dijadikan penguasa bawahan Mataram untuk wilayah Madura Barat, dengan gelar
Panembahan Cakraningrat. Cakraningrat lebih banyak berada di Mataram daripada
memerintah di Madura. Anak Cakraningrat dari selir, bernama Raden Demang
Melayakusuma, menjalankan pemerintahan sehari-hari di Madura Barat. Mereka
berdua sekaligus juga menjadi panglima perang bagi Mataram.
Setelah Sultan Agung
mangkat, pemerintahan Mataram dipegang oleh Amangkurat I, yang memerintah
dengan keras dan menjalin persekutuan dengan VOC. Hal ini menimbulkan gelombang
ketidakpuasan pada kerabat istana dan para ulama, yang ditindak dengan tegas
oleh Amangkurat I. Pertentangan yang sedemikian hebat antara Amangkurat I dan
para ulama bahkan akhirnya berujung pada penangkapan, sehingga banyak ulama dan
santri dari wilayah kekuasaan Mataram dihukum mati.
Pangeran Alit, adik
Amangkurat I sendiri pada tahun 1656 melakukan pemberontakan. Cakraningrat dan
Demang Melayakusuma diutus untuk memadamkan pemberontakan berhasil dalam
tugasnya, akan tetapi keduanya tewas dan dimakamkan di pemakaman Mataram di
Imogiri. Penguasaan Madura kemudian dipegang oleh Raden Undagan, adik
Melayakusuma yang kemudian bergelar Panembahan Cakraningrat II. Sebagaimana
ayahnya, Cakraningrat II juga lebih banyak berada di Mataram daripada
memerintah di Madura.
Ketidakpuasan terhadap
Amangkurat I juga dirasakan putra mahkota yang bergelar Pangeran Adipati Anom.
Namun Adipati Anom tidak berani memberontak secara terang-terangan. Diam-diam
ia meminta bantuan Raden Kajoran atau sering disebut juga Panembahan Rama, yang
merupakan ulama dan termasuk kerabat dekat istana Mataram. Raden Kajoran
kemudian memperkenalkan menantunya, yaitu Trunojoyo putra Raden Demang
Melayakusuma sebagai alat pemberontakan Adipati Anom.
Trunojoyo dengan cepat
berhasil membentuk laskar, yang berasal dari rakyat Madura yang tidak menyukai
penjajahan Mataram. Pemberontakan Trunojoyo diawali dengan penculikan
Cakraningrat II, yang kemudian diasingkannya ke Lodaya, Kediri. Tahun 1674
Trunojoyo berhasil merebut kekuasaan di Madura, dia memproklamirkan diri
sebagai raja merdeka di Madura barat, dan merasa dirinya sejajar dengan
penguasa Mataram. Pemberontakan ini diperkirakan mendapat dukungan dari rakyat
Madura, karena Cakraningrat II dianggap telah mengabaikan pemerintahan.
Laskar Madura pimpinan
Trunojoyo, kemudian juga bekerja sama Karaeng Galesong, pemimpin kelompok
pelarian warga Makassar pendukung Sultan Hasanuddin yang telah dikalahkan VOC.
Kelompok tersebut berpusat di Demung, Panarukan. Mereka setuju untuk mendukung
Trunojoyo memerangi Amangkurat I dan Mataram yang bekerja sama dengan VOC.
Trunojoyo bahkan mengawinkan putrinya dengan putra Karaeng Galesong untuk
mempererat hubungan mereka. Selain itu, Trunojoyo juga mendapat dukungan dari
Panembahan Giri dari Surabaya yang juga tidak menyukai Amangkurat I karena
tindakannya terhadap para ulama penentangnya.
Di bawah pimpinan
Trunojoyo, pasukan gabungan orang-orang Madura, Makassar, dan Surabaya berhasil
mendesak pasukan Amangkurat I. Kemenangan demi kemenangan atas pasukan
Amangkurat I menimbulkan perselisihan antara Trunojoyo dan Adipati Anom. Trunojoyo
mangkir dan tidak bersedia menyerahkan kepemimpinannya kepada Adipati Anom.
Pasukan Trunojoyo bahkan berhasil mengalahkan pasukan Mataram di bawah pimpinan
Adipati Anom yang berbalik mendukung ayahnya pada bulan Oktober 1676.
Tanpa diduga, Trunojoyo
berhasil menyerbu ibukota Mataram, Plered. Amangkurat I terpaksa melarikan diri
dari keratonnya dan berusaha menyingkir ke arah barat, akan tetapi kesehatannya
mengalami kemunduran. Setelah terdesak ke Wonoyoso, ia akhirnya meninggal di
Tegal dan dimakamkan di suatu tempat yang bernama Tegal Arum.
Sesudahnya, Susuhunan
Amangkurat I kemudian juga dikenal dengan julukan Sunan Tegal Arum. Adipati
Anom dinobatkan menjadi Amangkurat II, dan Mataram secara resmi menandatangani
persekutuan dengan VOC untuk melawan Trunojoyo. Persekutuan ini dikenal dengan
nama Perjanjian Jepara (September 1677) yang isinya Amangkurat II raja Mataram
harus menyerahkan pesisir Utara Jawa jika VOC membantu memenangkan terhadap
pemberontakan Trunojoyo.
Trunojoyo yang setelah
kemenangannya bergelar Panembahan Maduretno, kemudian mendirikan
pemerintahannya sendiri. Saat itu hampir seluruh wilayah pesisir Jawa sudah
jatuh ke tangan Trunojoyo, meskipun wilayah pedalaman masih banyak yang setia
kepada Mataram. VOC sendiri pernah mencoba menawarkan perdamaian, dan meminta
Trunojoyo agar datang secara pribadi ke benteng VOC di Danareja. Trunojoyo
menolak tawaran tersebut.
Setelah usaha
perdamaian tidak membawa hasil, VOC di bawah pimpinan Gubernur Jendral Cornelis
Speelman akhirnya memusatkan kekuatannnya untuk menaklukkan perlawanan
Trunojoyo. Di laut, VOC mengerahkan pasukan Bugis di bawah pimpinan Aru Palakka
dari Bone untuk mendukung peperangan laut melawan pasukan Karaeng Galesong; dan
mengerahkan pasukan Maluku di bawah pimpinan Kapitan Jonker untuk melakukan
serangan darat besar-besaran bersama pasukan Amangkurat II.
Pada April 1677,
Speelman bersama pasukan VOC berangkat untuk menyerang Surabaya dan berhasil
menguasainya. Speelman yang memimpin pasukan gabungan berkekuatan sekitar 1.500
orang berhasil terus mendesak Trunojoyo. Benteng Trunojoyo sedikit demi sedikit
dapat dikuasai oleh VOC. Akhirnya Trunojoyo dapat dikepung, dan menyerah di
lereng Gunung Kelud pada tanggal 27 Desember 1679 kepada Kapitan Jonker.
Trunojoyo kemudian diserahkan kepada Amangkurat II yang berada di Payak,
Bantul. Pada 2 Januari 1680, Amangkurat II menghukum mati Trunojoyo.
Dengan padamnya
pemberontakan Trunojoyo, Amangkurat II memindah kraton Plered yang sudah ambruk
ke Kartasura. Mataram berhutang biaya peperangan yang sedemikian besarnya
kepada VOC, sehingga akhirnya kota-kota pelabuhan di pesisir utara Jawa
diserahkan sebagai bayarannya kepada VOC. Cakraningrat II juga diangkat kembali
oleh VOC sebagai penguasa di Madura, dan sejak saat itu VOC pun terlibat dalam
penentuan suksesi dan kekuasaan di Madura.
Riwayat hiduptrunojoyo,
sang pendobrak dari bumi Madura ini telah berakhir. Terwas secara mengenaskan
di tangan Amangkurat II. Begitu buruk perlakuan yang diterimanya di akhir
kehidupannya dari mantan adipati anom yang telah bersekutu dengannya secara diam-diam
itu, menunjukkan dendam dan kegeraman Amangkurat II yang bergelar Senapati ing
Alaga ini begitu meninggi melangit kepadanya.
Trunojoyo tentu saja
hanya bisa pasrah pada nasibnya….
Namun, Trunojoyo telah
memberikan pelajaran berharga sebelum kematiannya tiba. Ia telah menegakkan
kehormatan Madura pada tempat seharusnya. Dengan kelihaian siasat dan
keberaniannya, ia telah membebaskan Madura dari cengkeraman penjajahan Mataram.
meski perlawanan hebatnya patah pula pada akhirnya..
Penyerangan Trunojoyo
merupakan satu-satunya penyerangan yang kuat bertenaga ketika Amangkurat I
bertahta hingga menembus Plered dan memaksa penguasa Mataram itu
tunggang-langgang melarikan diri dari istananya. Semenjak Mataram didirikan
Panembahab Senopati, baru Sunan Amangkurat selaku penguasa, yang terusir dari
istana, runtuh tahta kekuasaannya.
Kekuasaab Trunojoyo
memang tak berlangsung lama, tumbang oleh serbuan sekutu lamanya, putra
Amangkurat yang meneruskan tahta ayahnya dengan gelar Sunan Amangkurat Senapati
ing Alaga. Begitu kuatnya pertahanan Trunojoyo, hingga Amangkurat II ini harus
meminta bantuan kumpeni dengan bayaran yang amat merugikan Mataram di kemudian
hari.
Trunojoyo pun menemui
ajalnya di tangan putra Sunan Amangkurat I itu di balairung Payak, Bantul, di
awal tahun 1680. Tewas secara mengenaskan. Ditusuk keris pusaka Kyai Balabar
hingga tembus punggungnya, dicabik-cabik hatinya untuk dimakan mentah-mentah
oleh para petinggi keraton Mataram, dipenggal lehernya, potongan kepalanya
dijadikan keset untuk membersihkan kaki bagi abdi-abdi dalem pelayab wanita keroton,
dan di tumbuk hingga hancur lebur di lumpang batu!
Ya, Perut Trunojoyo dibelah,
hati dan isi perutnya diambil. Hati yang masih segar itu lalu dicincang dan
dilemparkan ke hadapan mereka yang menyaksikan eksekusi tersebut. Konon, hati
yang dicincang tersebut diperintahkan untuk ditelan mentah-mentah. Dan semua
masih belum selesai. Kepala Trunojoyo dipenggal lalu diletakkan di depan bilik
peraduan Sultan. Dan semua yang keluar dan masuk melewati jalan itu diwajibkan
untuk menginjak kepala tersebut. Barulah ketika menjelang fajar, kepala
tersebut dimasukkan ke lesung untuk ditumbuk hingga hancur.
Pernahkah kisanak
membayangkan hukuman mati seperti ini? Perut ditikam, dibelah, lantas diambil
hatinya. Hati yang masih merah segar dan menggelepar-gelepar lalu dicincang,
lalu dibagi-bagi untuk ditelan mentah-mentah. Setelah itu, kepala terhukum
dipenggal, diinjak-injak, sebelum akhirnya ditumbuk sampai halus di lesung.
Ngeri. Barang tentu.
Tapi itulah yang terjadi dengan pahlawan nasional kita, Trunojoyo. Setelah
melalui kisah pemberontakan melawan Belanda yang diramu cerita pengkhianatan
serta intrik-intrik politik yang sadis, nasib membawa Trunojoyo ke depan keris
penguasa Mataram Amangkurat II. Peristiwa ini direkam dengan detail oleh
Raffles dalam buku klasiknya yang kini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, The History of Java.
Serat Sekar Setaman,
buku koleksi Museum Sanapustaka, Keraton Surakarta, melaporkan adanya hukuman
yang paling ditakuti waktu itu, yaitu hukum picis. Hukum ini, berdasar catatan
sejarah, juga sudah ada pada jaman Majapahit. Hukuman yang membuat terhukum mengalami
rasa pedih tak terkira sebelum mati ini akhirnya dihapus pada tahun 1811 pada
periode kekuasaan Paku Buwono IV.
Saat itu, hukuman
kepada para pelaku tindak kriminal dijatuhkan dengan merujuk pada syariat
Islam. Misalnya, ada hukuman potong tangan, potong kaki, potong jari, potong telinga,
hingga hukuman mati. “menu” hukuman mati ada dua: diadu dengan macan (mirip
yang terjadi di Romawi) dan picis. Keduanya sama-sama digelar di alun-alun dan
ditonton rakyat.
Nah, picis inilah yang
paling nggegirisi. Mau tahu caranya? Terhukum diikat di tonggak kayu atau
pohon. Lalu tubuhnya disayat-sayat dengan pisau, dan lukanya diolesi air garam
serta asam. Begitu seterusnya sampai mati. Bayangkan betapa pedihnya. Terhukum
akan berada dalam situasi di mana mati terasa lebih “melegakan” ketimbang
hidup. Akhirnya, atas usul Gubernur Jenderal Raffles (saat Indonesia dijajah
Inggris pada 1811-1816), hukum picis bersama hukuman yang bersifat
potong-memotong tadi dihapus.
Hukum picis ini juga
pernah dikenal di masyarakat pesisir Cirebon. Kompeni bahkan menggunakannya
saat menginterogasi anak buah Jaka Sembung, seorang pangeran Cirebon yang
termasyhur sebagai penentang Belanda.
Hukuman mati yang
menggegerkan terjadi sebelum itu. Karena masalah perempuan calon selir,
Amangkurat I menghukum mati mertuanya sendiri, Pangeran Pekik. Kisahnya berawal
dari Pangeran Adupati Anom (Pangeran Tejaningrat, salah satu putra Amangkurat
I) yang kesengsem pada Rara Hoyi, gadis pingitan dari Surabaya yang dibawa
Adipati Surabaya, Pangeran Pekik (masih paman raja, suami Ratu Mas Wandansari,
adik Sultan Agung). Sambil menunggu dewasa untuik dijadikan selir, Rara Hoyi
dititipkan kepada Tumenggung Wirorejo.
Nah suatu hari.
Pangeran Tejaningrat berkunjung ke rumah Tumenggung Wirorejo, dan melihat Rara
Hoyi. Sang pangeran pun kasamaran. Ini didengar Ratu Wandansari. Atas
persetujuan Pangeran Pekik, Rara Hoyi dibawa masuk ke keraton dan ditempatkan
di Ksatriyan untuk mengobati sakit cinta sang Pangeran. Mereka menduga, sang
ayah akan mengalah kepada anaknya.
Ternyata dugaan itu
meleset. Amangkurat I murka. Kontan, Pangeran Pekik dan Tumenggung Wirorejo
dihukum mati. Sementara Pangeran Tejoningrat (Adipati Anom/Amangkura II) baru
diampuni setelah dipaksa membunuh Rara Hoyi dengan tangannya sendiri.
Sadisnya hukuman mati
pada masa itu juga pernah dicatat Rijcklof Volkertz van Goens, pegawai VOC yang
beberapa kali menjadi delegasi ke kraton Mataram pada periode tahun 1649-1654.
Van Goens menuliskan apa yang disaksikannya ke dalam buku catatan, yang pada
tahun 1995 diterbitkan dengan judul Javaense Reyse: De Bezoeken van een
VOC-Gezant aan het Hof van Mataram 1648-1654.
Selain mencatat
keindahan alam Jawa waktu itu, Van Goens menulis pula tentang kejamnya sanksi
hukum yang diterapkan kerajaan. Van Goens, sebagaimana dikutip dosen Jurusan
Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Sudibyo, dalam
tulisannya, Sang Lain di Mata Ego Eropa: Citra Manusia Terjajah dalam Sastra
Hindia-Belanda, menuliskan bagaimana Amangkurat I membunuh adiknya (Pangeran
Alit) dan memerintahkan membunuh lima sampai enam ribu ulama pendukungnya
karena menggugat keabsahan tahtanya.
Aksi itu dilakukan
berdasarkan tengara dentuman meriam yang ditembakkan dari istana dan hanya
berlangsung dalam waktu 30 menit. Sementara raja saat peristiwa itu terjadi
menyingkir dari istana dikawal orang-orang kepercayaannya. Kemudian, raja
memerintahkan orang-orang kepercayaannya menyeret beberapa ulama yang tidak
turut terbunuh.
Mereka disuruh mengaku
mendalangi aksi tersebut. Karena berada di bawah ancaman, terpaksa mereka
mengakui perbuatan yang tak pernah mereka lakukan. Atas perintah raja, orang-orang
tidak bersalah ini beserta keluarganya dibunuh. Kejadian ini juga dicatat ahli
sejarah Jawa, H.J. De Graaf, dalam bukunya, Disintegrasi Mataram di Bawah
Mangkurat I (1987).
Pada bagian lain, Vam
Goens menulis, tanpa alasan tertentu raja menggunduli kepalanya. Hal ini
diumumkan agar diikuti rakyatnya. Beberapa hari sesudah itu, pengawal
berkeliling. Orang berusia di atas 16 tahun yang tidak menggunduli rambutnya
akan segera diringkus dan dihukum dengan siksaan mengerikan. Pertama, kepalanya
dikuliti dari atas telinga sampai batok kepalanya terlihat. Sebagian ada yang
bertahan hidup, tetapi kebanyakan meninggal.
Siksaan jenis kedua
lebih kejam. Si terhukum diikat kakinya dan digantung dengan posisi kepala di
bawah. Di bawah, sudah menunggu ketel minyak mendidih. Kepala si pesakitan
dicelup ke dalam minyak panas itu sebatas telinga, sampai rambut di kulit
kepala mengelupas. Kebanyakan pesakitan ini meninggal. Jenis siksaan ketiga tak
kalah menakutkannya. Pesakitan dipersilakan memakai topi besi tebal yang panas
membara ke kepala sampai otaknya terbakar.
Betapapun menggiriskan
hati, perlakuan yang diterima jasadnya, namun gebrakan Trunojoyo menjadikan
Mataram tak lagi utuh. Kekauatan terbesar mereka berada di tangan Amangkurat
II, yang kemudian bertahta di Kartasura. Kekuatan Mataram yang lain masih
berada di Plered, berada di bawah kekuasaan Sunan ing Alaga. Kedua kekuasaan
itu bersumber dari satu dan berada dalam kekuasaan kakak dan adik, akhirnya
terlibat perang saudara pada bulan november 1680, sekitar sebulan setelah keraton Kartasura
berdiri.
Meski kalah jumlah,
Sunan ing Alaga terus menggelorakan perlawanan. Hingga akhirnya, kekuatan
mereka terpatahkan, sekitar setahun setelah perang berkobar, dan Sunan ing
Alaga menyatakan takluk pada kekuasaan kakaknya. Sunan ing Alaga pun rela
melepaskan gelar kehormatannya dan kembali menyandang nama Pangeran Adipati
Puger dan mendapatkan anugerah kedudukan tanah seluas empat ribu karya dari
kakaknya. Nah, sementara sampai di sini dulu dan sampai jumpa pada tulisan
selanjutnya. Nuwun. Urd2210
Terimaksih sudah berbagi....smoga tulisan anda berkah dan bermanfaat. AMIIN
BalasHapus