Akarasa – Selamat
datang kerabat akarasa. Lagi-lagi untuk kesekian kalinya saya ajak sampeyan
untuk membincang seorang tokoh wanita. Semoga saja sampeyan tidak bosen. Ya,
jika mau jujur wanita adalah khasanah klasik bagi para lelaki. Ia layaknya
tumpukan kitab usang yang teramat sulit untuk dibaca, pun diterjemah. Bahkan,
manakala kita mencoba menguaikan makna, justru akan menciptakan misteri baru.
Ya, teka-teki yang tak
mudah dijawab karena melahirkan teka-teki baru. Suka tidak suka, pada akhirnya
menjadikan kita (lelaki) lunglai, memandang tanpa tenaga dalam kekosongan hati.
Ya, demikianlah wanita. Lantas siapakah wanita yang akan kita bincang kali ini?
Kesempatan kali ini
saya akan ajak kisanak untuk menerabas lorong waktu kembali ke masa lampau,
menilik sejarah awal berdirinya Majapahit. Wanita adalah tiang negara, demikian
sebuah ungkapan bijak dan tidak berlebihan jika tiang Majapahit ini disematkan
pada sosok wanita yang bernama Gayatri Sri Rajapadni ini.
Gayatri Sri Rajapatni,
istri Raden Wijaya, pendiri Majapahit dan ibu Ratu Tribhuwana. Bahkan bukan
sekadar tiang, tapi juga sumber spirit kejayaan Majapahit. Wanita cantik,
cerdas dan penuh kasih ini adalah seorang mentor Mahapatih Gajah Mada.
Lantas apa kedudukan
Gayatri dalam kerajaan Majapahit? Dyah Prajnaparamita atau Gayatri Sri
Rajapatni adalah istri keempat Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa
Jayawardhana, Raja Majapahit pertama. Gayatri atau Rajapatni, adalah yang
termuda dan tercantik diantara mereka, laksana mutiara cemerlang yang menarik
cinta dan simpati semua orang.
Hubungannya dengan sang
raja laksana Uma dan dewa Shiwa. Ia melahirkan dua puteri, yang tak lain adalah
muara kebahagiaan. Gayatri juga merupakan ibu dari Ratu Majapahit ketiga, Sri
Gitarja (Tribhuwanatunggadewi), sekaligus nenek Hayam Wuruk (Rejasanegara),
raja yang membawa kerajaan Majapahit meraih masa gemilang. Gayatri melahirkan
generasi raja-raja dan ratu ternama di Tanah Jawa.
Padni atau Padmi adalah
istilah dalam bahasa Sansekerta yang berarti permaisuri. Istri dari seorang
raja Jawa yang seringkali menjadi sandaran dalam pembuatan keputusan seorang
raja, selain peran Mahapatih maupun para wiku. Sandaran (penasehat) dalam
pengambilan keputusan ini biasanya terjadi dalam hubungan pribadi, ketika raja
tidak sebagai raja dan permaisuri tidak sebagai permaisuri melainkan sebagai
lelaki dan perempuan (ibu).
Raja-raja di tanah
Jawa, kita mendapati mereka sebagai golongan berkuasa yang memiliki banyak
perempuan. Namun, permaisuri tetap hanya satu, ia juga hadir sebagai seorang
ibu dari semua rakyat di sebuah negeri. Keberadaan yang berperan sebagai Ibu
untuk “ngemong” rakyat, pemerintahan, dan di dalamnya termasuk raja itu
sendiri.
Bagaimana tidak
mengagumkan peran dari seorang wanita seperti ini, yang mungkin saja dia
(wanita) adalah raja yang sebenarnya, seperti dalang yang memainkan lakon.
Penguasa tunggal yang tidak disebut ini telah membuat gerakan para kesatria dan
dewa berada di dalam genggamannya (maksudnya, seperti peran dalang dalam
pewayangan).
Kita pasti pernah
mendengar, bahwa raja-raja di tanah Jawa selain beristrikan wanita dari
golongan manusia, juga beristrikan golongan mahkluk ghaib (saya tidak bisa
menentukan apakah setan, jin, atau iblis). Hadirnya istri ghaib, semisal
Kanjeng Ratu Kidul sebagai salah satu permaisuri dapat dipandang dari berbagai
macam sisi.
Ratu Kidul (Nyai Roro
Kidul) seringkali dipandang sebagai sosok mistis yang luhur dalam kehidupan
masyarakat Jawa. Akan tetapi, saya secara pribadi sebagai orang Jawa, lebih
senang menyebut Nyai Roro Kidul sebagai sosok simbolis dalam pengertian sempit
dan luas.
Makna simbol yang hadir
bersamaan dengan mitos Nyai Roro Kidul memberikan pengertian yang kompleks
mengenai posisi wanita dalam kebudayaan Jawa. Apa benar, pendapat orang-orang
di luar Jawa (pribadi masing lelaki) yang menganggap bahwa peran seorang wanita
berada dalam politik yang telah dikultuskan para lelaki (penguasa) untuk
menempati posisi dapur-sumur-kasur?
Bagi saya, Tidak!
Pengertian sempit dalam perjalanan simbol ini dapat dipandang sebagai jati diri
wanita itu sendiri, yaitu menyangkut sifat-sifat dan keberadaannya. Wanta
dinisbatkan (dan diumpamakan) dengan lautan. Lelaki sebagai manusia yang
berdiri di pantai maknawi dalam rangka menyaksikan keindahan yang menggelora,
sehingga dia terkagum-kagum dan jatuh cinta.
Pantai yang indah,
bergelombang yang kalau manusia (lelaki) tidak berhati-hati, maka akan
tergulung dan mati. Dari pantai dan menjorok ke dalam, kita akan mendapati
kedalaman yang menyimpan lebih banyak misteri. Di kedalaman itu juga melahirkan
kebahagiaan dari hasil laut dan juga murka (amarah) dari badai yang terkandung.
Raja menempati posisi ini, lelaki yang menghadapi pantai maknawi dan harus
senantiasa berhati-hati dalam tiap langkah, sebab wanita ikut menentukan laju
pemerintahan kerajaan (negara).
Gayatri Sri Rajapatni
adalah anak Kertanegara raja terakhir Singasari. Putri berdarah biru kelahiran
Tumapel ini berparas cantik, berpikiran cerdas dan memiliki watak penuh kasih. Dia
digambarkan mewarisi kecantikan Ken Dedes, nenek buyutnya yang memiliki kodrat
rareswari, atau wanita maha cantik yang dapat menurunkan raja-raja.
Seperti sang nenek yang
menjadi sumber inspirasi Singasari, Gayatri Sri Rajapatni juga menjadi sumber
semangat Majapahit. Perempuan yang berada di balik kejayaan Majapahit. Gayatri
menjadi sosok sentral yang membawa Majapahit menjadi imperium terbesar di
Nusantara.
Gayatri Sri Rajapatni,
perempuan ningrat yang bersahaja dan rendah hati yang lebih banyak berada di
belakang layar. Namanya tak banyak diangkat sehingga kurang bahkan tak dikenal
dalam catatan perjalanan sejarah bangsa ini. Dialah pemberi inspirasi,
penasehat dan guru spiritual bagi para pemimpin Majapahit. Dan dari
tangannyalah lahir para pemimpin Majapahit yang tangguh.
Gayatri memegang teguh
dalam mewujudkan cita-cita luhur sang ayah. Usahanya untuk bertahan hidup di
saat Singhasari dikalahkan Kediri dan belajar dari ilmu yang diwariskan sang
ayah, tampaknya mampu meluluhkan pangeran Wijaya, kakak iparnya.
Raden Wijaya berjanji
akan menikahinya ketika kelak ia menjadi raja. Setelah pangeran tampan ini
berhasil menumpas kerajaan Kediri dan memukul balik pasukan Mongol yang
menyerang Jawa saat itu, lalu mendirikan kerajaan di Tarik, kawasan hutan yang
banyak terdapat buah maja yang pahit.
Jadilan Raden Wijaya
raja pertama kerajaan Majapahit. Gayatri yang ketika itu masih berusia 19 tahun
lalu disunting. Cita-cita luhur Kertanegara dia utarakan pada sang suami, dan
mereka berdua berhasil membangun Majapahit dengan pesat. Kebahagiaan mereka tak
berlangsung lama, karena Raden Wijaya wafat di usia 46 tahun.
Lalu, rampungkah
pengaruh Gayatri pada Majapahit? belum. Setelah Raden Wijaya mangkat lalu
digantikan Jayanegara, anak dari Dara Petak atau Putri Campa alias Putri
Jeumpa, istri kelima Raden Wijaya dari tanah Melayu.
Jayanegara yang masih
muda, berusia 16 tahun dengan watak yang keras memerintah tanpa memperhatikan
aspirasi rakyatnya. Jayanegara memerintah Majapahit dengan tangan besi. Selama
pemerintahan Jayanagara terjadi banyak pemberontakan, namun berhasil
ditumpasnya dengan tangan besi dan terjun langsung ke medan perang.
Pada masa
pemerintahannya Jayanagara membentuk pengawal elit istana dimana salah seorang
perwira seniornya berasal dari rakyat biasa. Karena jasanya dalam menumpas
pemberontakan di kalangan istana, Gadjah Mada sang perwira senior ini mendapat
kepercayaan raja dan karirnya pun menanjak tajam. Meski Gajah Mada mampu
meredam, namun kemudian justru semakin meluas.
Gayatri adalah wanita
yang pandai membaca karakter, mamahami bahwa kapasitas intelektual seseorang
lebih penting untuk dinilai daripada asal-usul kelas sosialnya. Di mata
Gayatri, Gajah Mada yang cerdas dan menaruh minat pada seni pemerintahan;
membuatnya terkesan. Tanpa sepengetahuan raja, diam-diam Gayatri mendekati
Gajah Mada, membuatnya merasa nyaman untuk menjalin komunikasi dengannya dan
kedua putrinya.
Gayatri terpanggil
untuk menempa dan membimbing Gajah Mada yang dikuasai jiwa muda yang
menggebu-gebu. Perlahan Gayatri mulai mengendalikan dan menyusupkan doktrin
ideologi serta kebijakannya ke dalam diri perwira muda yang gagah berani dengan
pendekatan kekeluargaan tanpa disadari oleh Gajah Mada.
Hubungan yang tidak
harmonis antara Gayatri dan Jayanagara kian meruncing saat Jayanagara memaksa
ingin menikahi dua adik tirinya, putri Gayatri dan Wijaya. Gayatri menggunakan
pengaruhnya dan bersekongkol dengan Gajah Mada untuk menyingkirkan Jayanagara. Dengan
memanfaatkan konflik dan selisih paham yang terjadi diantara penghuni istana,
Gajah Mada mengatur siasat untuk menghilangkan raja tanpa menggunakan
tangannya.
Sebuah kebijakan yang
sebenarnya memberatkan hati Gayatri yang sempat dibayangi rasa bersalah, namun
harus dilakukan. Lewat sebuah operasi tumor yang gagal, Jayanagara dihabisi
oleh sahabatnya sendiri, Ra Tanca ahli bedah yang tersulut emosinya karena
berita perselingkuhan raja dengan istrinya yang disampaikan oleh Gajah Mada.
Sudah menjadi kehendak
Rajapatni yang agung bahwa mereka harus menjadi pemimpin besar dunia, yang
tiada tandingan. Puteri, menantu dan cucunya menjadi raja dan ratu. Dialah yang
menjadikan mereka penguasa dan mengawasi semua tindak-tanduk mereka.
Sepeninggal Jayanagara,
Gayatri mengangkat putrinya Tribhuwana menjadi penguasa Majapahit. Darinya
lahir putera mahkota Hayam Wuruk, lelaki pertama penguasa Singasari dan
Majapahit setelah kakeknya Kertanagara. Gayatri berpesan agar kelak Hayam Wuruk
menjadi raja dan mewarisi sifat kakeknya, yakni Raden Wijaya. Sementara gajah
Mada yang bersifat keras dibimbing Gayatri dengan penuh kesabaran. Alhasil,
Gajah Mada mampu menjadi Mahapatih yang dipercaya dan bahu membahu dengan Ratu
Tribhuwana serta Gayatri demi membangun Majapahit.
Berkat kepiawaian Gajah
Mada yang menjadi utusan Majapahit dalam bernegosiasi, Bali pun berhasil
melebur ke dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Sebelum tutup usia, Gayatri telah
memikirkan langkah-langkah apa yang perlu dipersiapkan demi kelanjutan
pemerintahan di Majapahit. Kepada putrinya Tribhuwana dan Gadjah Mada dia
menyarankan untuk membentuk dewan penasihat baru bagi putera mahkota, pemimpin
masa depan.
Gayatri mengusulkan
kepada kedua putri dan menantunya untuk membentuk dewan keluarga yang akan
membimbing dan membantu Hayam Wuruk memahami seluk beluk kehormatan dinasti.
Menyarankan Gajah Mada untuk pensiun sebagai Mahapati saat Hayam Wuruk berusia
21 tahun dan memintanya membantu mencari dan membina calon penerus yang cakap
dalam periode lima tahun mendatang.
Hayam Wuruk mampu
mengembangkan Majapahit menjadi imperium makmur dan maju di bidang kesenian dan
kebudayaan. Gayatri Sri Rajapatni mangkat dalam usia sangat sepuh (76) sebagai
bikhuni atau rahib agama Buddha. Wanita anggun dan penuh kasih di zamanya dan
tidak mengejar gelar maupun penghargaan. Kejayaan Majapahit berakhir pada 1389
seiring perebutan kekuasaan pasca kematian Hayam Wuruk karena ketiadaan penerus
tahta yang jelas.
Akhirnya kita sampai
pada penghujung tulisan ini, namun sebelumnya saya akan memberikan catatan kaki
pada narasi panjang yang telah sampeyan baca ini. Kekuasaan tidak hanya masalah pangkat seorang
raja, akan tetapi juga menyangkut hal-hal yang dikecapi hawa nafsu, yaitu
segala macam kenikmatan. Jika kita menempatkannya dalam khasanah seorang raja,
kekuasaan (nafsu tersebut) dapat diartikan sebagai perwakilan dari rakyat yang
dengan menguasainya dapat mendatangkan kenikmatan. Baik rakyat, kekuasaan,
maupun kesenangan (dan kenikmatan) lain diwujudkan dalam bentuk seorang wanita yang
dijadikan istri (padmi) dengan maksud menjaga diri dari murka wanita demi
menuju pada keselamatan.
Perwujudan simbolisasi
ini dapat membantu kita dalam memberikan sedikit penggambaran mengenai peran
Padmi (permaisuri) di dalam kehidupan. Sekuat apa pun kita (manusia) hanya
mampu menggendalikan hal-hal yang sifatnya badaniah namun teramat sulit
merengkuh ruh. Bagaimana pun juga, wanita telah dijadikan sebagai ruh di dalam
dunia kehidupan. Tentang bagaimana sang Adam dijebloskan ke dunia, atau tentang
bagaimana Ki Ageng Mangir ditaklukkan Pembayun (Mataram) atau tentang bagaimana
peran perempuan menaklukkan Sunan Giri sehingga tunduk pada Mataram.
Wanita, bisa saja
menjadi awal, pun bisa menjadi akhir. Toh, Kanjeng Nabi pun pernah berpesan
kalau seindah-indahnya perhiasan dunia adalah istri (wanita) yang sholehah.
Saya kira, sholeh di sini melingkupi seluruh keberadaannya dengan keluhuran,
entah itu batin (di dalamnya pikiran/ akal) atau lahir yang akhirnya terwujud
dalam laku. Kita sebenarnya telah menyadari, hal yang diluar batin adalah hal yang sementara dan akan segera
menjadi fana. Sekian dulu kisanak, sampai jumpa pada tulisan selanjutnya. Nuwun.
Masing2 peristiwa dikasi tahunnya om, bicara sejarah jangan kayak dongeng gini.
BalasHapus