Akarasa – Selamat
datang kerabat akarasa. Membicang tentang kejayaan Majapahit yang pernah
mempersatukan nusantara, tentu tidak bisa lepas dari tokoh sentralnya yakni,
Mahapatih Gajah Mada, dan bahkan kepopulerannya mengalahkan sang raja Majapahit
sendiri, Hayam Wuruk. Umumnya pengetahuan kita hanya sebatas ini.
Keberadaan seorang
tokoh siapapun tentu ada asal-usulnya, tidak lantas ujug-ujung terus ada. Pun,
seorang Gajah Mada yang akan kita bincang pada kesempatan kali ini. Sayangnya,
asal-usul Mahapatih yang terkenal dengan sumpah palapa-nya ini tidak jelas,
sangat misterius. Semisterius kematiannya.
Belum ada satu sumber
pun yang dapat dijadikan rujukan untuk mengetahui asal Gajah Mada dan siapa
orang tuanya secara pasti. Para sejarawan masih bersilang pendapat tentang asal
usulnya. Ada yang menyebut Gajah Mada berasal dari Sumatera, tepatnya dari
Minangkabau dengan asumsi bahwa kata Mada itu di Minangkabau berarti bandel,
sementara di Jawa tidak ada kata Mada dalam kosa kata bahasanya. Selain itu gelar
Gajah juga diambil dari asal nama binatang yang berada di pulau Sumatera ini.
Sebagian lainnya
menyebut Gajah Mada berasal dari Bali. Masyarakat Bali mempercayai cerita turun
temurun yang menyebut bahwa ibu sang patih ini berasal dari Bali. Ada juga yang
memperkirakan Gajah Mada berasal dari suku Dayak Krio di Kalimantan Barat,
merujuk dari kisah nenek moyang suku Krio tentang seorang panglima besar Dayak
bernama Panglima Jaga Mada yang diutus ke Jawa Dwipa untuk menguasai tanah
Jawa.
Kemudian ada juga yang
menyebut bahwa Gajah Mada itu berasal dari Mongol. Diperkirakan dia adalah
salah satu pimpinan pasukan Mongol yang tertinggal. Ketika itu Raden Wijaya
(pendiri Majapahit) mengalahkan pasukannya yang berniat menyerang Raja
Kertanegara karena telah melecehkan Mongol dengan memotong telingan Meng Khi
(utusan Mongol).
Selain beberapa asumsi
di atas, yang tak kalah menariknya adalah klaim masyarakat Modo bahwa Gajah
Mada berasal dari daerahnya. Modo sendiri adalah salah satu nama kecatamatan di
kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Klaim ini tentu bukan tanpa alasan, hal ini
didukung dengan peninggalan sejarah yang diklaim sebagai peninggalan Gajah Mada
dan cerita tutur yang berkembang di masyarakat secara turun temurun. Nah,
penasaran, mari kita menelusurinya?
Untuk mencapai
kecamatan Modo yang sekaligus nama desa ini dari pusat kota Lamongan berjarak
tak kurang dari 30-an kilometer ke arah barat. Sedangkan jika kisanak berada di
Tuban agak lumayan jauh lagi, sekitar 50 kilometer arah selatan. Desa Modo ini
terbilang subur karena berada di jajaran pegunungan Kendeng.
Baik, sebelum kita
membicarakan tentang cerita tutur atau foklor tentang Gajah Mada di desa Modo
ini, saya akan ajak kisanak untuk menengok sejenak peninggalan-peninggalan yang
dicurigai sebagai peninggalan Gajah Mada.
Yang pertama adalah sebuah
makam yang berada di sebuah bukit yang berada di Desa Cancing, Kecamatan
Ngimbang, orang sekitar sering menyebutnya Makam Gunung Ratu. Meski dinamakan
gunung sebenarnya adalah sebuah bukit semata yang menjulang tak lebih dari 100
meter.
Tepat di bukit yang
dihampari pepohonan jati ini, ada satu cungkup makam Dewi Andong Sari yang
diklaim sebagai ibunda dari Gajah Mada. Bangunan ini terbilang cukup terawat
meski jauh dari pemukiman penduduk. Mulai dari sinilah cerita tutur itu bermula.
Di awal berdirinya
Majapahit pada akhir abad 13 Masehi, di Desa Cancing ini konon kedatangan
serombongan prajurit Majapahit yang mengiringkan selir Raden Wijaya yang sedang
hamil, selir tersebut tak lain adalah Dewi Andong Sari yang di makamkan di
gunung putri ini.
Rupa-rupanya,
serombongan prajurit yang mengiring wanita hamil ini mendapat tugas rahasia
untuk menyingkirkan (mungkin membununuh) Dewi Andong Sari atas perintah dari
Dara Petak dan saudaranya yang bernama Dara Jingga, istri Raden Wijata, raja
Majapahit. Alasan utamanya menyingkirkan selir raja pertama Majapahit ini
karena khawatir kalau Dewi Andong Sari melahirkan anak laki-laki. Entah apa
sebabnya, prajurit utusan tersebut tidak melakukan titah dari permaisuri raja
tersebut, tidak tega barangkali untuk mengeksekusi Dewi Andong Sari.
Desa yang sekarang
bernama Cancing ini dahulu dipimpin oleh Ki Gede Sidowayah yang konon adalah
seorang ahli pusaka atau seorang Empu. Ki Sidowayah inilah yang menampung
Andong Sari hingga melahirkan seorang bayi laki-laki. Sayangnya, tak lama
setelah melahirkan Andong Sari meninggal dunia, maka kemudian si bayi mungil
ini di bawah pengasuhan Ki Sidowayah.
Karena Ki Sidowayah ini
adalah seorang wadat (tidak menikah) tentu baginya bukan perkara gampang untuk
merawat bayi tersebut. Baginya lebih mudah membuat pusaka ampuh daripada
mengurusi rewelnya bayi. Karenanya, bayi tersebut diserahkan adik perempuanya
yang menjanda yang bernama Mbok Rondo Wura Wari yang tinggal di Desa Modo.
Berjalannya waktu, bayi
tersebut tumbuh sehat dan kecerdasannya di atas rata-rata dibanding dengan
pemuda di desanya, maka kemudian bayi yang telah beranjak remaja tersebut
sering dipanggil dengan Joko Modo (pemuda Modo). Lazimnya anak kampung, Joko
modo pun ikut membantu bekerja orang tua angkatnya yaitu sebagai penggembala
kebo.
Karena kecakapanya Joko
Modo oleh sesama teman pengembala dianggap sebagai pemimpin. Meskipun hanya
sebagai pemimpin sekelompok anak gembala, ternyata bakat kepemimpinannya mulai
nampak. Untuk memudahkan mengawasi kerbau-kerbau yang sedang digembala
tersebut, Joko Modo dan kawan-kawan gembala lainnya naik diatas bukit kecil
sehingga jarak pandangnya menjadi jauh dan luas. Bukit tersebut oleh masyarakat
sekitar dinamakan Sitinggil atau tanah yang tinggi.
Nah, pada saat Joko
Modo diatas bukit sambil mengawasi kebo-kebonya inilah ia seringkali melihat
iring-iringan prajurit Majapahit menuju Tuban atau sebaliknya. Hal ini logis karena
letak Modo memang berada diantara Majapahit dan Tuban. Dari seringnya melihat
iring-iringan prajurit Majapahit yang gagah-gagah tersebut membuat hati Joko
Modo tertarik, semenjak itu dalam benaknya
tertanam kuat kelak suatu saat ia akan menjadi prajurit Majapahit juga.
Sebagai Empu pusaka
yang linuwih, dan konon pernah berjasa pada kerajaan Majapahit, pada suatu
ketika Ki Gede Sidowayah diberi anugerah tanah perdikan di Songgoriti Malang. Ki
Sidowayah tidak lupa mengajak pula Joko Modo
ke Songgoriti, dengan pertimbangan agar jiwa, sikap, serta cara berpikir Joko
Modo yang cerdas dan cakap bila berkembang
dengan baik.
Singkat cerita, karena
kecapakan dan kepandaiannya tersebut dan didukung oleh pengaruh ayah angkatnya,
Ki Gede Sidowayah maka Joko Modo akhirnya tercapai cita-citanya yaitu menjadi
prajurit Majapahit. dari sini tentu saja kita semua tahu Gajah Mada yang di kemudian
hari kariernya terus menanjak sehingga menjadi Mahapatih Majapahit dan menjadi
orang pertama yang mempersatukan nusantara ini. Demikian cerita rakyat yang
berkembang di daerah Modo ini.
Sebagai pendukung
kebenaran klaim dan cerita tutur tersebut, ada beberapa argumen yang memperkuat
bahwa Gajah Mada terlahir di Modo, Lamongan, Jawa Timur. Seperti apa, monggo
disimak!
Pertama, peristiwa
konspirasi pemufakatan jahat Dara Petak terhadap Andong Sari. Seperti yang
sudah saya narasikan di atas, Dewi Andong Sari adalah selir Raden Wijaya yang
ketika itu dalam keadaan hamil, sangat mungkin penyingkiran ini atas inisiatif
Dara Petak, seorang putri Melayu dari hasil pampasan perang yang di bawa oleh
Kebo Anabrang saat ekspedisi Pamalayu Singosari. Sayangnya saat membawa
kemenangan dari eksepedisi tersebut, Singosari runtuh oleh konpirasi Wijaya dan
prajutit Tar-tar utusan Khubilai Khan dari imperium Mongol.
Wijaya dari Dara Petak
memperoleh anak laki-laki yang diberi nama Kalagemet (Jayanegara) tahun 1294. Tentu
hal ini membuat Dara Petak bungah,
karena anak Wijaya dari istri yang lainya kesemuanya adalah perempuan, yaitu ;
Dyah Tribuwana Tungga Dewi dan Dyah Wiyat Sri Raja Dewi. Artinya satu kaki
sudah menapak tahta Majapahit, tinggal menunggu mangkatnya Wijaya.
Satu-satunya halangan
adalah dari selir Wijaya yang bernama Dewi Andong Sari yang sedang hamil,
kekhawatiran inilah yang melatari konspirasi jahat Dara Petak untuk
menyingkirkannya. Ketakutan Dara Petak ini beralasan, jika Andong Sari
melahirkan anak laki-laki tentu akan mempersulitkannya mengantarkan anaknya
menjadi penerus Wijaya. Maka, tidak ada pilihan lain, Andong Sari harus
dilenyapkan.
Kedua, jika ditinjau
dari segi geografis, posisi Cancing, Ngimbang, ini dengan Trowulan jika misal
kita tarik garis lurus, hanya berjarak tak lebih dari 35 kilometer saja. Suatu jarak
yang logis sebagai jalur pembuangan (karena tidak dibunuh) Andong Sari.
Joko Modo sering
melihat iring-iringan prajurit Majapahit menuju Tuban atau sebaliknya, itu
sangat masuk akal sebab Modo memang terletak diantara jalur Majapahit dengan Tuban.
Ketiga, Pada saat
pemberontakan Ra Kuti (1319) Gajah Mada yang saat itu menjadi kepala pasukan
Bhayangkara menyelamatkan Raja Jayanegara dengan sembunyi di Desa Bedander. Para
sejarawan banyak yang menduga bahwa Bedander yang dimaksud itu adalah Dander di
Bojonegoro, padahal tidak. Sebab ada lagi nama desa yang namanya persis seperti
yang disebut dalam Negarakertagama yaitu Badander (buah dander) yang berada di
kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang.
Jarak antara Desa
Bedander dengan Cancing, Ngimbang hanya
10 kilometer, sedang jarak Badander-Trowulan 25 kilometer, sehingga
sangat mungkin yang dimaksud Desa Bedander tempat persembunyian Jayanegara kerena adanya pemberotakan Ra Kuti
adalah Bedander tersebut (bukan Dander Bojonegoro).
Suatu kebiasaan jaman
dahulu, jika ada ontran-ontran (kerusuhan) di kotapraja (ibukota) maka para
pembesar kerajaan berusaha menyelamatan
diri ke daerah asalnya yaitu daerah dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Dengan
pertimbangan ia tentu mendapat dukungan dan perlindungan dari masyarakat
sekitarnya, disamping juga menguasai medan sehingga banyak membantu untuk
perjuangan berikutnya.
Demikian halnya dengan
Gajah Mada, sangat dimungkinkan ia tidak sengaja sembunyi di Desa Badander
melainkan ke Desa Cancing (Ngimbang) tempat ia berasal. Tapi karena kondisinya
pada saat itu tidak memungkinkan disamping letak Badander dengan Ngimbang
sangat dekat apalagi adanya jaminan perlindungan dari Ki Buyut Badander, maka
dipilihnya Bedander sebagai tempat persembunyian sementara sambil menyusun
siasat untuk merebut kembali tahta kerajaan dari pemberontak Ra Kuti.
Keempat, Ki Gede Sidowayah
mendapat anugerah dari Wijaya yakni tanah perdikan di Songgoriti Malang. Hal ini
jaman dahulu adalah memang hal yang lumrah, sebagai bentuk penghargaan atas
jasa dan dedikasi seseorang yang berjasa pada kerajaan atau kerajaan.
Ada dua kemungkinan Ki
Gede Sidowayah mendapat tanah perdikan di Songgoriti yaitu: Sebagai seorang Empu
mungkin Ki Gede Sidowayah pernah membuat sejenis pusaka yang ampuh untuk Raden
Wijaya. Tapi kemungkinan ini lemah, sebab diantara banyak pusaka peninggalan Majapahit tidak dikenal
buatan Mpu Sidowayah. Disamping itu dalam sejarah belum pernah ada seseorang mendapat hadiah
tanah perdikan hanya karena berjasa membuat pusaka untuk raja.
Asumsi kedua, bisa jadi
karena Ki Gede Sidowayah berjasa besar yaitu menyelamatkan selir Wijaya yang
sedang mengandung hingga melahirkan dengan selamat. Untuk menjaga kerahasiaan
tersebut Ki Gede Sidowayah diberi tanah perdikan yang letaknya sangat jauh dari
Lamongan yaitu di Songgoriti Malang. Sebab jika diketahui bahwa Wijaya punya
anak laki-laki selain Kalagamet, maka bisa timbul masalah besar dalam proses
pergantian raja sepeninggal Wijaya nanti. Sepertinya, asumsi kedua inilah yang
agaknya lebih mendekati kebenaran.
Kelima. Peristiwa Ra
Tanca tahun 1.328 M (bhasmi bhuto nangani ratu = 1250 C). Dalam Pararaton disebutkan "...selama Ra Tanca
menjalankan tugas pengobatan terhadap raja Jayanegara, Gajah Mada mengawasinya,
begitu Tanca membunuh Jayanegara maka
Gajah Mada langsung membunuh Ra Tanca".
Dalam Pararaton tersebut
secara eksplisit mengatakan kalau Jayanegara meninggal karena dibunuh oleh Ra
Tanca, kemudian Ra Tanca langsung dibunuh oleh Gaja Mada tanpa proses
pengadilan. Dalam sejarah terkait ini, banyak sejarawan sepakat alasan Ra Tanca
membunuh Jayanegara karena sakit hati sebab istrinya pernah diselingkuhi oleh
Jayanegara.
Pertanyaannya, mengapa
Ra Tanca langsung dibunuh oleh Gaja Mada
tanpa proses pengadilan? Dan tak ada seorang pun mempermasalahkannya?
Jika kita menilik
cerita tutur masyarakat Ngimbang tentang Joko Modo, sangat mungkin bahwa
peristiwa pembunuhan Jayanegara oleh Ra Tanca adalah hasil skenario Gajah Mada
sendiri. Sebab ibunya Gajah Mada, Dewi Andong Sari dileyapkan dari istana oleh
ibunda Jayanegara yaitu Dara Petak. Peristiwa itu tentu sangat menyakitkan hati
Gajah Mada, sehingga timbullah niat balas dendam yaitu melenyapkan Jayanegara
melalui tangan Ra Tanca, setelah itu Ra Tanca langsung dibunuhnya untuk menutup
rahasia itu selamanya.
Keenam. Peristiwa Bubat
tahun 1357 M (Sanga Turangga Paksa Wani = 1279 C). Untuk menyingkat ruang, selengkapnya
bisa kisanak baca di Perang
Bubat : Romantisme dan Kekuasaan dan Dyah
Pitaloka, Korban Ambisi Gajah Mada.
Peristiwa ini terjadi
di lapangan Bubat karenanya kemudian dinamakan perang Bubat dan terjadi tahun
1256 C /tahun 1357 M (Sanga Turangga
Paksa Wani). Peristiwa Bubat ini jelas kesalahan besar Gajah Mada, akibat
tindakan Gajah Mada tersebut tidak saja berakibat gagalnya pernikahan Hayam
Wuruk tapi juga meninggalnya calon permaisuri Diyah Pitaloka beserta keluarga
pengiringnya.
Karena kesalahan ini
kemudian Gajah Mada diberi sanksi yaitu dibebas tugaskan selama dua tahun
(1357-1359). Pertanyaannya, mengapa kesalahan Gajah Mada yang begitu besar
terhadap raja hanya mendapat hukuman ringan? Mengapa pula Gajah Mada terlibat
begitu dalam urusan pernikahan Hayam Wuruk? Banyak kemungkinan untuk
menjawabnya.
Namun bisa jadi, Hayam
Wuruk merasa segan dengan Gajah Mada sebab mahapatihnya ini adalah pamannya
sendiri. Hal ini terjadi karena Gajah Mada adalah adik ibunda Hayam Wuruk
(Diyah Tribhuwana Tungga Dewi) satu ayah lain ibu. Gajah Mada anak Wijaya dari istri selir Dewi Andong Sari.
Ketujuh. Gajah Mada
tidak mau kudeta terhadap kekuasaan Hayam Wuruk. Pada saat Hayam Wuruk
dinobatkan sebagai Raja, ia baru berusia 17 tahun. Segala urusan pemerintahan
diserahkan sepenuhnya kepada Gajah Mada. Bahkan sejak masa pemerintahan ibunda
Hayam Wuruk yaitu Tribhuwana Tungga Dewi urusan pemerintahan seolah diserahkan
sepenuhnya kepada Gajah Mada.
Keadaan seperti itu
sangat memungkinkan jika Gajah Madam mau kudeta, dalam arti Gajah Mada mau
kudeta maka tidak akan ada hambatan yang berarti. Lalu timbul pertanyaan
mengapa Gajah Mada tidak melakukan kudeta? banyak kemungkinan untuk menjawab,
diantaranya jawaban itu ialah, "karena Hayam Wuruk masih keponakan Gajah
Mada sendiri".
Akhir kata, ini adalah
asumsi dan semua terserah kisanak semua meletaknnya dimana, mempercayainya atau
bahkan mencibirnya. Ini adalah wacana menyigi Gajah Mada dari sudut yang lain
dari sejarah yang pernah tertulis sejauh ini.
Kembali pada narasi
pembuka tulisan yang kisanak baca ini. Akhir hidup Gajah Mada juga tidak
jelas.Gajah Mada tidak diketahui mempunyai istri dan keturunan. Tidak diketahui
juga bagaimana dia mangkat, dimana dikebumikan dan dimana ia menghabiskan sisa
hidupnya setelah tidak menjadi Mahapatih.Tidak ada satu pun candi yang
didirikan untuk mengenang dirinya. Meski banyak prediksi dan perkiraan tentang
makam Gajah Mada, petilasan dan lain sebagainya, tapi ini belum juga bisa
dibuktikan secara ilmiah. Tokoh besar ini menjadi salah satu misteri besar
bangsa ini. Sekian dulu kisanak. Nuwun
Disarikan dari berbagai
situs dan melalui penyelarasan bahasa.
0 on: "Benarkah Gajah Mada Berasal dari Lamongan?"