Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Tidak banyak yang tahu, jika di Pamarican, Ciamis ada satu
situs candi yang pernah ditemukan. Candi Ronggeng yang di kalangan arkeolog
dikenal sebagai Candi Pamarican ini terletak di kampung Sukawening, Desa
Sukajaya. Disebut Candi Pamarican karena lokasi candi tersebut terletak di
Kecamatan Pamarican, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Candi Ronggeng dibangun
di dataran subur lembah kali Ciseel, salah satu anak Sungai Citanduy. Situs ini
secara administratif berada di kampung Kedung Bangkong, Dusun Sukamaju, Desa
Sukajaya. Situs berada pada lahan datar yang digunakan sebagai kebun oleh
penduduk. Di sebelah utara situs berjarak sekitar 50 m terdapat aliran Sungai
Ciseel. Di antara situs dengan sungai terdapat tanggul tanah dengan lebar
sekitar 4 meter.
Sekarang pada lahan
situs tidak terdapat adanya tinggalan. Menurut informasi di lahan tersebut pada
kedalaman sekitar 1,5 m terdapat susunan batu-batu candi. Di lokasi ini juga
pernah ditemukan sebuah arca yang sekarang disimpan di Kantor Unit Pelaksana
Teknis Dinas Pendidikan Kecamatan Pamarican.
Sebutan Candi Ronggeng
mempunyai kaitan erat dengan legenda setempat tentang kesenian Ronggeng Gunung
yang merupakan kesenian rakyat daerah selatan Ciamis. Konon Dewi Siti Samboja
yang ingin membalaskan kematian kekasihnya, Raden Angga Larang yang gugur di
medan perang, menyamar menjadi penari ronggeng. Bersama para pengikutnya yang
menyamar menjadi penabuh gamelan sering menggelar pertunjukan Ronggeng Gunung
dalam upaya mencari pembunuh kekasihnya.
Reruntuhan candi
pertama kali ditemukan pada tahun 1977 melalui kajian yang dilaksanakan oleh
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas). Reruntuhan yang ditemukan
berupa Arca Nandi dan batu berbentuk kenong (gong kecil, instrumen musik
tradisional Sunda). Salah satu keunikan Candi Ronggeng adalah bahwa Nandi,
kendaraan Syiwa, bukan digambarkan dalam bentuk arca sapi jantan melainkan arca
sapi betina.
Adanya Arca Nandi ini
menunjukkan bahwa Candi Ronggeng berlatar belakang agama Hindu, sehingga
diperkirakan mempunyai kaitan dengan Kerajaan Galuh (abad ke 7 sampai abad ke 16
M). Pusat Kerajaan Galuh diyakini terletak di Kawali, kota kecamatan yang
letaknya sekitar 10 km arah utara kota Ciamis.
Versi pertama
mengatakan bahwa Ronggeng Gunung diciptakan oleh Raden Sawunggaling. Konon,
ketika kerajaan Galuh dalam keadaan kacau-balau karena serangan musuh, sang raja
terpaksa mengungsi ke tempat yang aman dari kejaran musuh. Dalam situasi yang
demikian, datanglah seorang penyelamat yang bernama Raden Sawunggaling.
Sebagai ungkapan terima
kasih atas jasanya yang demikian besar itu, sang raja menikahkan sang penyelamat
itu dengan putrinya (Putri Galuh). Kemudian, ketika Raden Sawunggaling memegang
tampuk pemerintahan, ia menciptakan tarian yang bernama Ronggeng Gunung sebagai
sarana hiburan resmi di istana. Penarinya diseleksi ketat oleh raja dan harus
betul-betul mempunyai kemampuan menari, menyanyi, dan berparas cantik, sehingga
ketika itu penari ronggeng mempunyai status terpandang di lingkungan
masyarakat.
Versi kedua berkisah
tentang seorang puteri yang ditinggal mati oleh kekasihnya. Siang dan malam
sang puteri meratapi terus kematian orang yang dicintainya. Selagi sang puteri
menangisi jenasah kekasihnya yang sudah mulai membusuk, datanglah beberapa
pemuda menghampirinya dengan maksud untuk menghiburnya.
Para pemuda tersebut
menari mengelilingi sang puteri sambil menutup hidung karena bau busuk mayat.
Lama-kelamaan, sang puteri pun akhirnya ikut menari dan menyanyi dengan nada
melankolis. Adegan-adegan tersebut banyak yang menjadi dasar dalam gerakan-gerakan
pada pementasan Ronggeng Gunung saat ini.
Versi ketiga yang
ditulis oleh Yanti Heriyawati dalam tesisnya yang berjudul “Doger dan Ronggeng,
Dua Wajah Tari Perempuan di Jawa Barat”. Versi ini menyatakan bahwa kesenian
Ronggeng Gunung berkait erat dengan kisah Dewi Samboja. Dewi Samboja adalah
puteri ke 38 dari Prabu Siliwangi yang bersuamikan Angkalarang. Konon, suatu
saat suami sang Dewi yaitu Angkalarang mati terbunuh oleh Kalasamudra (pemimpin
bajak laut dari seberang lautan).
Dewi Samboja sangat
bersedih hatinya karena suami yang dicintainya telah meninggal dunia dan ia
sangat marah kepada Kalasamudra yang telah membunuh suaminya. Untuk
menghilangkan kesedihan dan sekaligus kemarahan puterinya atas kematian
Angkalarang, maka ayahandanya, yaitu Prabu Siliwangi memberikan wangsit kepada
Dewi Samboja.
Isi wangsit tersebut
adalah bahwa untuk dapat membalas kematian Angkalarang dan membunuh
Kalasamudra, Dewi Samboja harus menyamar sebagai Nini Bogem, yaitu sebagai
seorang penari ronggeng kembang. Dan, berdasar wangsit itulah, Dewi Samboja
mulai belajar menari ronggeng dan seni bela diri.
Singkat cerita,
pergelaran ronggeng di tempat Kalasamudra pun terjadi. Dan, ini berarti
kesempatan bagi Dewi Samboja untuk membalas kematian suaminya. Konon, ketika
sempat menari bersamanya, Dewi Samboja mewujudkan niatnya, sehingga perkelahian
pun tidak dapat dihindari. Perkelahian itu baru berakhir ketika Dewi Samboja
dapat membunuhnya.
Versi keempat mirip
dengan versi ketiga, hanya jalan ceritanya yang berbeda. Dalam versi ini
perkawinan antara Dewi Siti Samboja dan Raden Anggalarang, putra Prabu Haur Kuning
dari Kerajaan Galuh, tidak direstui oleh ayahnya. Untuk itu, pasangan
suami-isteri tersebut mendirikan kerajaan di Pananjung, yaitu daerah yang kini
merupakan Cagar Alam Pananjung di obyek wisata Pangandaran. Suatu saat kerajaan
tersebut diserang oleh para perompak yang dipimpin oleh Kalasamudra, sehingga
terjadi pertempuran.
Namun, karena
pertempuran tidak seimbang, akhirnya Raden Anggalarang gugur. Akan tetapi,
istrinya, Dewi Siti Samboja, berhasil menyelamatkan diri dan mengembara. Dalam
pengembaraannya yang penuh dengan penderitaan, sang Dewi akhirnya menerima
wangsit agar namanya diganti menjadi Dewi Rengganis dan menyamar sebagai
ronggeng. Di tengah kepedihan hatinya yang tidak terperikan karena ditinggal
suaminya, Dewi Rengganis berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya.
Tanpa terasa,
gunung-gunung telah didaki dan lembah-lembah dituruni. Namun, di matanya masih
terbayang bagaimana orang yang dijadikan tumpuan hidupnya telah dibunuh para
perompak dan kemudian mayatnya diarak lalu dibuang ke Samudera Hindia.
Kepedihan itu diungkapkan dalam lagu yang berjudul “Manangis”.
Singkat cerita,
pergelaran ronggeng akhirnya sampai di tempat Kalasamudra dan Dewi Samboja
dapat membalas kematian suaminya dengan membunuh Kalasamudra ketika sedang
menari bersama.
Cerita mengenai asal usul tari yang digunakan untuk “balas dendam” ini membuat Ronggeng Gunung seakan berbau maut. Konon, dahulu orang-orang Galuh yang ikut menari menutup wajahnya dengan kain sarung sambil memancing musuhnya untuk ikut hanyut dalam tarian. Oleh karena wajah mereka tertutup sarung, maka ketika musuh mereka terpancing dan ikut ke tengah lingkaran, sebilah pisau mengintip menunggu saat yang tepat untuk ditikamkan.
Siasat itu, konon
diilhami dendam Dewi Rengganis. Pasalnya suami tercinta, Raden Anggalarang
tewas dibunuh kaum perompak (bajo) di tengah perjalanan menuju Pananjung,
Pangandaran. Beruntung Dewi Rengganis selamat, dan bersembunyi di kaki gunung.
Selain itu, dahulu
kesenian Ronggeng Gunung bagi masyarakat Ciamis selatan, bukan hanya merupakan
sarana hiburan semata, tetapi juga digunakan sebagai pengantar upacara adat
seperti: panen raya, perkawinan, khitanan, dan penerimaan tamu. Mengingat
fungsinya yang demikian, maka sebelum pertunjukan dimulai, diadakan sesajen
untuk persembahan kepada para leluhur dan roh-roh yang ada di sekitar tempat
digelarnya tarian, agar pertunjukan berjalan dengan lancar.
Sebagai tambahan, dalam
mitologi orang Sunda, Dewi Samboja atau Dewi Rengganis hampir mirip dengan Dewi
Sri Pohaci yang selalu dikaitkan dengan kegiatan bertani. Oleh karena itu,
tarian Ronggeng Gunung juga melambangkan kegiatan Sang Dewi dalam bercocok
tanam, mulai dari turun ke sawah, menanam padi, memanen, sampai akhirnya
syukuran setelah panen.
Ronggeng Gunung,
sebenarnya masih dalam koridor terminologi ronggeng secara umum, yakni sebuah
bentuk kesenian tradisional dengan tampilan seorang atau lebih penari.
Biasanya, dilengkapi dengan gamelan dan nyanyian atau kawih pengiring. Penari
utama, seorang perempuan, dilengkapi sebuah selendang. Fungsi selendang, kadang
untuk kelengkapan dalam menari. Tapi juga bisa untuk "menggaet"
lawan, dalam hal ini biasanya laki-laki untuk menari bersama dengan cara
mengalungkan ke leher sang lawan. Nuhun. Urd2210
0 on: "Candi Pamarican : Antara Ronggeng Gunung dan Legenda Kesumat Dewi Samboja"