Akarasa – Mbabar wayang
lagi kisanak. Namun kali ini bukan seperti yang sudah-sudah. Ini cerita asli
yang ada di Mahabharata, kalau sebelumnya kan dari cerita carangan (sempalan). Meskipun
bukan cerita mainstream, tapi apik kok ceritanya.
Tapi sik, sebentar. Panganan
opo kui mainstream? Gampange istilah ini adalah hal paling umum yang berlaku. Angel
njelaske, contohnya gini lho, misal kalau dalam aktivitas keseharian umum kita
seperti ; bangun pagi, pergi ke kantor/sekolah, makan siang, pulang sore. Lha ini
namanya mainstream. Ndalang pun kan harus sedikit gaul toh.
Retno Sawitri, sang
juwita, kembang kerajaan Mandaraka sudah mateng secara fisik dan mental untuk
memasuki dunia perkawinan. Kecantikannya sempurna, tubuhnya, alamaaaak semerbak
mewangi. Bukannya tidak ada raja atau putra raja yang datang melamar, tapi dia
keukeuh, ogah kawin kalau laki-laki itu bukan pilihannya sendiri. Biasa toh,
kalau wanita cantik selalu punya veto semacam ini. Lumrah saja.
Ayahnya, Prabu
Aswapati, raja Mandaraka. Prabu Aswapati ini leluhurnya Salya. Tahu kan Prabu
Salya? Iya bener, seorang key person di cerita Bharata Yudha yang kesantiannya
nggegirisi, sundul plafon. Nah, Salya ini punya adik, satu-satunya adiknya,
namanya dewi Madrim, yang kemudian nikah sama Pandu dan berputra Nakula dan
Sadewa, si kembar Pandawa itu.
Tekan endi iki mau?
Prabu Aswapati yang
sudah mpet pada kelakuan anaknya ini sering bertanya kepada anaknya (kira-kira begini
omongnya, tapi ora pakem lho ya), "Ndhuk,
putri pun Romo kang dhenok dhebleng, kalaupun Romo sudah oke kalau kamu mau
pilih suamimu sendiri. Terus kapan kamu mau mutusin pilihanmu itu?"
Dan anaknya pun menjawab,
kira-kira juga begini: "Pap! (dari kata Papa, panggilan kepada ayah) nantilah,
waktunya belum datang!"
"Teruuuuus, kapan
itu?" kejar papanya.
"Nantilah, Sawitri
tahu kok kalau waktunya tiba, Papi kalau ndak ngerti gosah ikut ribut
dah!".
Ditengah Ayahnya yang
pusing itu, tiba-tiba saja Sawitri bilang kalau dia sudah menemukan laki-laki
pilihannya. Seluruh istana gempar dengan pilihan itu, meskipun tak ada cacat
yang terlihat pada diri Bambang Setiawan sang terpilih ini. Setiawan secara
fisik sempurna, cuakep kaya sampeyan, putra brahmana Resi Jumatsena dari
Argakenanga.
Jadi, jika ditinjau
secara bibit, bebet dan bobot tidak ada alasan
bagi Prabu Aswapati untuk menolak calon menantunya ini. Tapi ada masalah besar yang akan menyertai
perkawinan Setiawan-Sawitri ini. Dari semadinya, Prabu Aswapati segera tahu
kalau umur Bambang Setiawan hanya tinggal setahun lagi. Ketika dikonfirmasi
kepada putrinya, ternyata Sawitri pun juga tahu, tapi tetap tidak merubah
keputusannya.
Baginya (Sawitri)
: "Hidup setahun bersama orang yang
saya cintai, lebih berharga dari hidup wajar selama seratus tahun"
(hayaaah, klepek-klepek wes sing moco!). Karena merasa tidak mampu menentang
kemauan putrinya yang koppeh (koppig, Bahasa Holanda untuk kepala batu) ini, akhirnya pernikahan
Satiawan-Sawitri berlangsung juga.
Masa perkawinan yang
hampir dipastikan hanya berjalan setahun ini, dijalani Sawitri-Setiawan dalam
manisnya madu kehidupan. Tapi Sawitri tidak pernah lupa bahwa umur suaminya
tiap hari makin berkurang juga. Diputuskanlah bahwa dia akan berusaha melawan
takdir itu sekuat dia bisa. Bermacam cara dilakukan dalam laku keprihatinan dan
doa, agar nyawa suaminya tidak jadi diambil. Tapi takdir memang kejam. Dan hari
akhir buat Setiawan itupun datanglah.
Berbeda dengan
kebanyakan orang, Sawitri mampu melihat kedatangan Batara Yamadipati, Sang Dewa
Pencabut Nyawa yang mendatangi suaminya. Yamadipati yang dilukiskan berwajah
raksasa, kepalanya nongol begitu saja dari badan zonder leher, mulutnya selalu
terbuka seperti tertawa (meskipun gak ada manusia yang berani mengatakan bahwa
dia sedang tertawa).
Blas, gak ada
lucu-lucunya. Penampilan Yamadipati selalu serius, tidak cengengesan seperti
Narada. (Kalau Narada yang Sekjen Kahyangan itu kan sering membanyol.
Omongannya yang selalu dibuka dengan kata-kata ngawur: "Blegenjong,
blegenjong". Kepalanya yang selalu mendongak ke atas, kecuali kalau nemu
duit seratus ribuan di tanah).
Sawitri yang sudah
terkenal karena kelakuannya yang kepala batu ini segera menerapkan ajian
"diving"nya (Seperti Puyol yang mengaduh-aduh ketika dijawil Ronaldo)
tidak menerapkan ajian apa-apa (takut pada fans Barca yang demo). Cuma ilmu
ngeyel nya yang abis-abisan diterapkannya. Tujuannya cuma satu, membatalkan
atau paling tidak menunda kematian suaminya.
Akhirnya, Yamadipati
bersedia menunda kematian Setiawan sejam saja. Hanya menunda! (Waktu sejam itu
mestinya digunakan mereka buat ehm, ehm kan? Gak usah saya ceritakan ah!
Parno!). Akhirnya waktu sejam itu juga habis dan dengan kepala dipangkuan
isterinya, nyawa Setiawan dicabut Yamadipati meninggalkan raganya.
Tapi berbeda dengan
perempuan lain yang hanya mampu menangisi kematian suaminya, Sawitri segera
bangkit dan mengikuti kepergian Yamadipati. Heran dengan kelakuan Sawitri yang
di luar kebiasaan ini, Yamadipati segera bertanya "Apa maumu,
Sawitri?".
"Hamba akan ikut
kemanapun nyawa suami hamba akan dibawa" jawab Sawitri.
"Itu gak mungkin,
Ndhuk! Suamimu sekarang sudah berbeda alam denganmu!"
"Ambil saja nyawa
hamba sekalian kalau begitu, pukulun! Biar hamba bisa bersatu dengan suami
hamba!" kata Sawitri nangis ala artis India.
"Itu juga gak
mungkin. Belum saatnya kamu mati sekarang" Yamadipati mulai jengkel. Baru
kali ini ada manusia yang ngeyel seperti ini.
"Kalau gitu, hamba akan ikut kemana nyawa suami hamba
dibawa pergi. Titik!" Sawitri
ngotot.
Yamadipati yang jengkel
bukan main, segera pergi dan berniat menghilang dari hadapan pengganggunya ini.
Tapi ajaibnya, di depan Sawitri, semua kesaktian dan kemampuan kadewatan yang
biasa dimiliki Yamadipati menguap begitu saja.
Dia tidak mampu melepaskan diri dari Sawitri!
Et dah! Ayolah, pikir
Yamadipati, kalau aku gak mampu
meninggalkan perempuan ini, masa sih dia
tahan berjalan jauh? Jadilah Yamadipati sengaja berjalan muter-muter
kemana-mana diikuti Sawitri, berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Tapi ternyata Yamadipati juga salah memperkirakan kemampuan fisik Sawitri
yang dikiranya lemah. (Jelas, dalam hal ini Yamadipati ini salah prediksi.
Dia mungkin belum pernah tahu kalau dari tangan perempuan yang katanya lemah
ini bisa meluncur "UFO" atau gilingan cabe, yang bisa membuat pria seperkasa Ade Rai pun
tumbang). Sawitri gak ada capeknya!
"Sudahlah Sawitri,
pulanglah, kau sudah berjalan terlalu jauh. Lihatlah badanmu sekarang yang tak
terurus. Kain dan pinjungmu sudah belel,
sobek di sana sini tercabik onak dan duri. Kulitmu menghitam dan pecah-pecah
terpanggang matahari. Rambutmu yang awut-awutan gak pernah keramas. Gak
sayangkah kamu akan kecantikanmu sendiri, ndhuk?"
Yamadipati menyerang, haluuuus, tapi langsung. Kick and Rush!
"Ya
sayanglah, pukuluuun. Perempuan mana sih
yang gak peduli penampilannya?"
Sawitri mewek-mewek.
"Kalau begitu
pulanglah. Rawatlah dirimu. Keramasilah rambutmu, mumpung ada promosi
shampo. Kalau kecantikanmu pulih
kembali, masih banyak lelaki lain yang bisa kau ajak hidup bersama" Yamadipati seneng betul, rayuannya manjur.
"Lelaki lain itu
untuk perempuan lain, pukulun. Lelaki hamba ya hanya itu. Lagian sekarang iklan shamponya udah gak ada
kan? Hamba gak punya pilihan lain. Jadi
bolehkah nyawa suami hamba, hamba ajak pulang sekalian?" Ngeyelnya Sawitri kumat lagi.
Yamadipati cep klakep.
Gondok betul dia! Perjalananpun dilanjutkan dalam diam. Kemudian terlintas ide
baru dari sang Yamadipati. Kini dia memilih memakai pola serangan yang tidak
langsung. Gaya tiki-takanya si Pep.
"Pulanglah
Sawitri, kau kan tahu si Jumatsena mertuamu itu yang tadinya raja? Yang karena
kesehatannya terganggu jadi kekuasaannya di kudeta orang? Sekarang kesehatannya
dan kekuasaannya kukembalikan. Pulanglah. Bantulah mertuamu itu!" Yamadipati
membujuk dengan bonus.
"Hamba masih tetap
ingin bersama suami hamba!" Sawitri bergeming, biarpun ada bonus.
"Sudahlah,
sekarang kuberi kalian 100 orang putra-putri dan hidup di suatu kerajaan yang
panjang punjung, pasir wukir, loh jinawi, gemah ripah tata tentram karta
raharja. Dan sekarang kembalilah, pulanglah!." Yamadipati membujuk lagi
dengan menambah bonusnya.
"Gak mau pukulun,
2 orang anak saja cukup, sesuai KB, lagian siapa yang ngempanin anak segitu
banyak? Bapaknya kan gak ada?"
Sawitri nyamber, ngeyel.
"Hlo, hlo, menurut
pakem pewayangan, anak kalian ada 100 orang! Jangan merubah pakem ah, tar
diomelin orang banyak!" kata
Yamadipati bersungut-sungut.
"Biarin, 2 anak
saja cukup dan hamba gak mau pulang kalau tidak bersama suami hamba!"
Sawitri keukeuh saja.
Merasa rugi karena
sudah memberi bonus tanpa hasil, sambil marah-marah Yamadipati meneruskan
langkahnya dan Sawitri tetap menginthili di belakangnya. Sekarang gangguan itu
bertambah karena sambil jalan, Sawitri ndremimil (ngomel-ngomel sendiri gak ada
putusnya).
"Hamba ini kagum
hlo sama om Yamadipati ini, ditinggal pergi sama isterinya masih mampu hidup
seolah tanpa ada masalah" terdengar Sawitri berkata. Loh, panggilan "pukulun" kok
berubah jadi "om"?
"Apa maksudmu,
Sawitri?" seperti disengat lebah
Yamadipati berbalik.
"Iya, hamba ini
sangat kagum sama om Yamadipati ini. Kesaktiannya mampu membuat semua orang
takut, tapi ketika isteri om Yamadipati, Dewi Mumpuni selingkuh dengan Bambang
Nagatatmala putra Sanghyang Antaboga, eeeh si om gak marah, malah menyerahkan isteri
om kepada laki-laki itu". Gubraaaaakk!
Dari marah luar biasa
karena rahasianya yang paling dalam sudah dibongkar Sawitri, pelan-pelan perasaan
Yamadipati menjadi semeleh dan trenyuh (Ihlas dan terharu gitu loh!).
"Sudahlah,
sudahlah, Sawitri! Aku kagum akan kesetiaanmu terhadap suamimu. Tidak seperti
mantan isteriku yang tipis budinya itu. Terimalah, kukembalikan nyawa Setiawan
kepadamu. Jagalah dia baik-baik jangan sampai dia nanti lupa kejadian ini,
terus poligami yaa?" (jelas, hal yang menyangkut poligami ini cuma hasil
iseng yang nulis aja. Gak ada di pakem! Biar lebih dramatis gitu). Bisa dibayangkan betapa gembiranya
Sawitri menerima suaminya kembali? Gak usah ditambah-tambah lagi dengan kalimat
lain kan?
Pesan cerita. Dewi
Sawitri memang menjadi teladan bagi seorang isteri yang setia. Karena kesetiaan
dan cintanya, dia bahkan mampu membalikkan takdir dan mengembalikan nyawa
suaminya. Pesan ini tersurat amat kuat di ceritanya kan? Tapi kalau boleh, yang
nulis ingin menambah dengan pendapat yang amat subyektif. Biarpun kita semua percaya takdir, tapi
takdir buruk itu bisa dirubah dengan niat, kemauan keras dan usaha yang
sungguh-sungguh. Takdir hanyalah hasil akhir, sebelum itu adalah
"kerja" keras yang ngeyel dan tanpa henti.
Catatan : Maaf, kalau
merusak pakem. Di cerita aslinya Dewi Sawitri dilukiskan sebagai putri yang
halus dalam perangai dan lemah lembut bertutur kata, sesuai personifikasi dan
prototipe perempuan ideal dalam cerita wayang.
Saya ‘sengaja’
meng-intrepretasi-kannya secara khusus. Gak biasanya seorang ayah menyerahkan
pilihan jodoh (ketika itu) itu kepada putrinya begitu saja, kalau gak ada
sebabnya. Gak mungkin juga seorang Yamadipati, sang Dewa Pencabut Nyawa bisa
ampun-ampunan seperti itu, kalau gak bertemu dengan mahluk yang benar-benar
istimewa.
Jadi, tokoh Sawitri di
sini, sejak awal dituliskan memang sudah punya ilmu ngeyel yang tinggi. Cerita
ini aslinya adalah sebuah melodrama yang menguras emosi, yang penuh relung
untuk berkontemplasi. Tapi karena yang nulis pra gableg merangkai kata, jadinya
ya humor yang ancur-ancuran seperti ini. Tabiiiik!
Referensi tulisan [klik]
Menarik minat dan menambah wawasan postingan @akarasa
BalasHapus