Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Membincang tentang sejarah memang tidak ada titiknya. Seperti yang
akan kita bincang lagi ini, Majapahit. Tulisan yang kisanak baca ini adalah
sambungan dari tulisan sebelumnya yang saya beri tajuk Susur
Galur Imperium Majapahit.
Pada tulisan sebelumnya
secara umum saya hanya mencuplik garis waktu pemerintahan raja-raja yang pernah
memerintah Majapahit dan masa kejayaannya. Nah, tulisan ini adalah
pelengkapnya. Sebelumnya harap dimaklumi karena tulisan ini agak panjang jadi
saya posting menjadi dua bagian yang saya rangkai dalam bentuk cerita.
Baik, beberapa sumber tulisan
ini saya kutip bulek kita yang baik hati, siapa lagi kalau bukan bulek wiki(pedia) dan tentu saja
atas restu mbah google yang mengarahkan ke beberapa situs sejarah lainnya. Demikian
saja intronya dan langsung kita mengupasnya, namun tipis-tipis saja karena kalau
tebal bisa capek saya menulisnya, pun kisanak membacanya.
Dari bulek wiki(pedia),
Majapahit adalah Kerajaan yang terakhir dan sekaligus yang terbesar di antara
kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara. Didahului oleh kerajaan Sriwijaya, yang
beribukota di Palembang di pulau Sumatra. Kerajaan ini dirintis oleh Raden
Wijaya yang merupakan keturunan keempat dari Ken Arok dan Ken Dedes. Sebelum
kerajaan Majapahit lahir, telah berdiri terlebih dahulu pada tahun 1222 Masehi
kerajaan Singosari yang pendirinya adalah Ken Arok yang berpusat di Malang
(Tumapel).
Penelusuran terhadap
lahirnya kerajaan Majapahit tidak terlepas dari keberadaan kerajaan Singosari
Tumapel. Begitupun kalau kita menelusuri awal bersatunya nusantara, tidak bisa
terlepas dari keberadaan Majapahit. Artinya keberadaan Singosari, Majapahit,
dan Nusantara adalah sesuatu yang bersifat integral dan tidak terpisahkan satu
sama lain.
Pada masa Singosari,
yaitu masa Pra Majapahit yang mempunyai kesinambungan dinasti dengan masa Majapahit,
Perluasan wilayah dilanjutkan dengan mencakup daerah-daerah yang lebih luas.
Pada masa Singosari negara-negara yang disatukan di bawah koordinasi kewenangan
Singhasari adalah: Madhura, Lamajang, Kadiri, Wurawan, Morono, Hring, dan Lwa,
semua mengacu pada daerah-daerah di pulau Jawa (timur) dan Madura.
Untuk merunutkan sejarah
Majapahit saya akan ajak kisanak terlebih dahulu untuk menelisik sejarah berdirinya
kerajaan Singosari yang kita tahu merupakan merupakan cikal bakal berdirinya
Kerajaan Majapahit.
Sejarah berdirinya
Majapahit dimulai dari penunjukkan raja Singosari yaitu Kertanagara yang
memerintahkan Raden Wijaya untuk menghalau serangan pasukan Kadiri di desa
Memeling. Penunjukan Raden Wijaya tidak sia-sia, prajurit Singosari di bawah
Wijaya membawa kemenangan atas Kadiri di Mameling.
Sayangnya gempita
kemenangan pasukan Wijaya yang berhasil menghalau prajurit Kadiri di Mameling
hanya semua belaka. Justru pada saat yang sama pasukan Kadiri berhasil merusak
keraton Singosari. Ternyata Kadiri mengecoh di Mamenang untuk memecah pasukan
Singosari, karena pada saat yang sama justru pasukan utamanya menggempur pusat
kota Singosari. Dan mereka berhasil.
Raja Sri Kertanegara
gugur dalam pralaya tersebut, secara otomatis kerajaan Singosari berada di
bawah kekuasaan raja Jayakatwang dari Kadiri. Mendapati hal demikian, dengan
pasukan sisa dari Mamenang, Raden Wijaya berusaha menyerbu istana yang sudah
dikuasai oleh pasukan Kadiri tersebut. Sayangnya, karena kekuatan tidak
sebanding, usaha tersebut tidak menuai hasil. Justru Wijaya dan pasukannya
terkepung oleh pasukan Kebo Mundarang, meski kemudian berhasil meloloskan diri
dari situasi tidak menguntungkan tersebut.
Tidak ingin buruannya
lepas begitu saja, Mundarang dan pasukannya terus mengejar Wijaya dan
pengikutnya yakni; Lembu Sora, Gajah Pagon, Medang Dangli, Malusa Wagal, Nambi,
Banyak Kapuk, Kebo Kepetengan, Wirota Wiragati dan Pamandana. Usaha ini hampir
saja menuia hasil ketika Wijaya terjebak dipersawahan yang baru saja di bajak. Wijaya
hampir tertawan oleh Mundarang. Namun nasib baik masih menyungkupi Wijaya,
dengan memancal tanah gembur karena bajakan tersebut hingga mengenai dahi
Mundarang. Kesempatan yang baik dan tidak disia-siakan Wijaya untuk meloloskan
diri.
Dengan pasukan sisa
yang tidak sebanding dengan kekuatan pasukan Kadiri yang menguasai keraton,
maka tidak ada jalan lain bagi Wijaya selain harus menyamar. Penyamaran disini
adalah dengan mengenakan pakaian sama persis seperti prajurit Kadiri. Setelah persiapannya
cukup, maka Wijaya dan pengikutnya kembali memasuki keraton Singosari yang pada
saat yang sama prajurit Kadiri merayakan pesta kemenangan.
Ternyata dalam keraton
tersebut Wijaya tidak mendapati Gayatri putri bungsu Kertanegara. Gayatri
ditawan oleh musuh dan dibawa ke Kadiri sedangkan putri yang sulung yaitu
Tribuanareswari berhasil diselamatkan oleh Raden Wijaya. Atas saran Lembu Sora,
Raden Wijaya bersama Tribuaneswari dan para pengikutnya kemudian mundur ke luar
kota menuju arah utara, percuma melanjutkan perang yang pasti akan membawa
kekalahan karena jumlah tentara Kediri jauh lebih besar.
Sisa pasukan Singosari
yang hanya tingga kira-kira 600 prajurit dan sudah menunggu di utara seperti
sudah ciut nyalinya. Mereka putus asa dan meninggalkan Wijaya dan hanya
meninggalkan sedikit diantaranya saja. Dengan sisa pengikutnya Wijaya
meneruskan perjalanan menuju Terung dan berharap Akuwu Terung, Wuku Agraja bisa
membantunya. Harapan Wijaya dari akuwu yang diangkat oleh mendiang Kertanegara
ini ia memperoleh bantuan untuk mengumpulkan orang untuk menyusun kekuatan
kembali.
Usaha menggalang kekuatan
ini berhasil, maka persiapan pun kemudian dilakukan untuk melakukan perlawanan.
Justru dari sinilah petaka itu dimulai, ketika mereka berangkat kembali ke
pusat kota Singosari melalui Kulawan, dari sinilah Wijaya dan pasukannya di
hajar habis-habisan oleh prajurit Kadiri yang menjadikannya Kulawan sebagai
benteng pertahanan.
Kekuatan yang lagi-lagi
tak seimbang dan prajurit yang belum terlatih denga dengan baik, Wijaya dan
pasukannya kocar-kacir dan melarikan diri ke utara menuju Kembangsari
(Bangsri). Keputusan yang salah, lari dari kejaran harimau justru menuju mulut
buaya. Di Kembangsari sisa pasukan yang meloloskan diri ini dihadang oleh
prajurit Kadiri hingga Wijaya dan sisa pasukannya menceburkan diri ke Bengawan.
Sasaran yang empuk dari penombak musuh. Banyak pengikut Wijaya yang tewas di
sini.
Tenyata yang berhasil
sampai diseberang hanya dua belas orang, termasuk Wijaya dan Tribuanareswari. Rombongan
kecil prajurit yang tak lagi punya induk ini berjalan menjauh dari kejaran
pasukan pemburu Kadiri, hingga kemudian di tolong oleh rakyat Kudadu. Selain dilindungi,
di Kudadu ini Wijaya dan rombongan kecilnya dimuliakan oleh tetua kampung yang
bernama Macan Kuping. Sementara Gajah Pangon yang menderita cukup parah di
pahanya ditinggal di dusun Pandak, disembunyikan disebuah ladang oleh seorang
warga setempat.
Setelah jenak di Kudadu
ini, kemudian Wijaya dan rombongannya melanjutkan perjalanan ke Madura yang
diantar langsung oleh Macan Kuping hingga sampai daerah Rembang. Dalam Pararaton
dusun Pandak tidak disebut secara lugas, justru yang disebut adalah Datar. Lempengan
tembaga yang diketemukan di gunung Butak di daerah Mojokerto yang diyakini
dikeluarkan Wijaya setelah menjadi raja Majapahit terkenal dengan Piagam
Kudadu. Piagam Kudadu ini serupa ungkapan terimakasih Wijaya kepada Macan
Kuping, tetua kampung Kudadu yang pernah menjamunya sebelum melanjutkan
perjalanan ke Madura.
Atas pertolongan tetua
dusun Kudadu yang mempersiapkan segala sesuatunya, rombongan Wijaya dapat
menyeberangi laut menuju Madura untuk meminta perlindungan dari Arya Wiraraja. Seorang
Bupati Singosari yang ditempatkan di daerah yang sekarang kita kenal sebagai
pulau garam ini.
Untunglah, sikap Arya
Wiraraja sebagai Bupati Singosari tidak berubah meskipun ia tahu kerajaan Singosari
telah runtuh. Sambutan yang demikian hangat membuat Wijaya terharu sehingga ia
berjanji apabila berhasil mengembalikan kekuasaan yang telah direbut Jayakatwang
maka wilayah kerajaan setengahnya akan diberikan kepada Arya Wiraraja. Arya
Wiraraja sangat tersanjung mendengar janji Raden Wijaya dan akan berupaya
mengerahkan segala kekuatan yang dimilikinya untuk mewujudkan cita-cita Wijaya
tersebut.
Wiraraja juga memberi
nasehat agar Wijaya menyerah dan mengabdi kepada Jayakatwang di Kadiri. Tentu saja
sambil mengamati peta kekuatan Kadiri dalam pengabdiannya tersebut. Setelah itu
Wijaya diminta mengajukan permohonan kepada Jayakatwang untuk membuka hutan daerah
Tarik yang kemudian Wiraraja akan mengirimkan orang-orang Madura untuk
membantunya. Begitulan rencananya dalam pertemuan tersebut.
Wiraraja kemudian
mengirimkan utusan ke Kadiri untuk menyampaikan bahwa Wijaya menyatakan takluk dan bermaksud untuk mengabdi kepada
Jayakatwang. Permohonan tersebut disetujui oleh Jayakatwang. Raden Wijaya
kemudian berangkat ke Kadiri dengan diantar oleh Wiraraja sendiri, sesampainya di
daerah Terung, Wijaya kemudian dijemput oleh patih Kadiri yaitu Sagara Winotan
dan Yangkung Angilo di daerah Jung Biru.
Adapun Tribhuwaneswari
yang turut serta dalam perjalanan Raden Wijaya ke Madura tetap tinggal dan dititipkan
ke pada Arya Wiraraja. Kedatangan Wijaya dan para pengikutnya di Kadiri
bertepatan dengan perayaan hari raya Galungan. Setelah cukup lama mengabdi di
Kadiri, Wijaya kemudian mengusulkan untuk membuka daerah Tarik, seperti saran
Wiraraja yang telah jauh hari direncanakan menjadi hutan perburuan bagi Jayakatwang
yang suka berburu. Ternyata usul tersebut disetujui tanpa curiga.
Daerah Tarik terletak
di tepi sungai Brantas dekat pelabuhan Canggu yang sekarang terletak di sebelah
Timur Mojokerto. Wijaya segera mengirim Wirondaya ke Sumenep, Madura untuk
melaporkan persetujuan Jayakatwang tersebut Wiraraja. Arya Wiraraja kemudian
mengerahkan orang-orang Madura untuk membantu membuka hutan Tarik yang kemudian
menetap di daerah tersebut.
Daerah yang baru dibuka
ini kemudian dinamakan Majapahit atau Wilwatikta. Konon pada saat itu, seorang
pengikut Wijaya yang haus mencoba memakan buah Maja yang banyak terdapat pada
tempat itu dan mendapati bahwa ternyata rasanya pahit sehingga daerah itu
dinamai demikian. Wilwa artinya buah Maja, Tikta artinya pahit. Setelah hutan
Tarik berhasil dibuka, Wijaya kemudian minta ijin kepada Jayakatwang untuk
memastikan kesiapan daerah tersebut sebagai daerah buruan.
Jayakatwang yang tidak
ada kecurigaan sedikitpun menijinkannya dengan catatan Wijaya tidak lama tinggal
didaerah tersebut. Demikianlah akhirnya Wijaya berangkat bersama pengikut
setianya pada hari mertamasa. Pada hari
ke tujuh Wijaya akhirnya sampai di daerah Tarik dan tinggal di Pesanggrahan
yang terbuat dari bambu yang dikelilingi kolam.
Panji Wijayakrama
memberikan uraian yang sangat jelas tentang keberadaan daerah Majapahit sebagai
berikut :
Kota yang dibangun
menghadap ke sungai yang besar yaitu sungai brantas yang mengalir dari Kadiri
sampai ke laut.
Sungai kecil yang
mengalir dari selatan yaitu Kalimas yang pada jaman tersebut disebut kali
Kancana.
Perahu dagang hilir
mudik silih berganti dikemudikan oleh orang Madura.
Orang Madura mengalir
tak putus putusnya ke Majapahit, mereka menetap di Majapahit bagian utara yang
dinamakan Wirasabha.
Disebelah tenggara kota
adalah jembatan.
Daerah yang dibuka
sebagian besar berupa sawah dan perkebunan yang ditanami bunga, pucang, pinang,
kelapa, dan pisang.
Telah tersedia tahta
dari batu putih tempat duduk Raden Wijaya yang dinakaman Wijil Pindo yang
artinya pintu kedua.
Wijaya ini ternyata pandai
mengambil hati rakyat yang baru saja menetap di daerah Tarik yang sudah menjadi
nama Majapahir ini. Bahkan orang-orang dari Daha dan Tumapel kemudian banyak
yang menetap di daerah Majapahit ini. Di desa ini Wijaya kemudian memimpin dan
menghimpun kekuatan, khususnya rakyat yang loyal terhadap mendiang Kertanegara
yang berasal dari daerah Daha dan Tumapel.
Sementara Wiraraja di
Sumenep menyiapkan pasukannya untuk membantu Raden Wijaya bila saatnya
diperlukan. Setali tiga uang, rupanya Wiraraja pun kurang menyukai Jayakatwang. Sementara Banyak Kapuk dan Mahisa
Pawagal yang diutus oleh Raden Wijaya ke Sumenep untuk mengabarkan kesiapan
Majapahit melakukan kudeta telah sampai. Semua pesan Wijaya telah disampaikan
kepada Wiraraja.
Ketika mereka hendak kembali ke Majapahit, Wiraraja menyertakan
putranya yang bertempat di dusun Tanjung ke Majapahit untuk membawa pesannya. Bahwa
dia (Arya Wiraraja) belum bisa datang ke Majapahit dan berjanji akan secepatnya
mengirim utusan ke Tiongkok untuk minta bantuan tentara Tartar.
Banyak Kapuk dan Mahisa
Pawagal akhirnya pulang ke Majapahit membawa serta Tribhuwaneswari dan putra Wiraraja
yaitu Ranggalawe. Nama Ranggalawe adalah pemberian Raden Wijaya kepada putra
Arya Wiraraja tersebut karena ketegasan tindak tanduknya pada saat pertama kali
bertemu Raden Wijaya. Lawe artinya benang / wenang karena dia diberikan
wewenang untuk memerintah seluruh rakyat Madura dan diberi pangkat Rangga.
Selengkapnya tentang
Ronggolawe ini bisa kisanak baca lebih jauh di Ranggalawe
dalam Kilas Pandang
Keesokan harinya Wijaya
bersama Ranggalawe, Ken Sora dan para Wreddha Menteri lainnya menyusun siasat
untuk menyerang kerajaan Kadiri. Namun sebelum penyerangan dilaksanakan
Ranggalawe minta ijin pulang ke Madura untuk mengambil kuda ayahnya yang berasal
dari daerah Bima dan kuda-kuda lainnya untuk tunggangan para senopati lainnya.
Usul tersebut disetujui, akhirnya Ranggalawe pulang ke Madura.
Raden Wijaya telah lama
meninggalkan Kadiri, akhirnya pada bulan Waisaka datang utusan dari Jayakatwang
yang bernama Sagara Winotan yang meminta kepada Raden Wijaya untuk balik ke
Kediri karena Jayakatwang akan melaksanakan perburuan di daerah baru tersebut.
Pada saat Sagara Winotan ada di Majapahit datanglah Ranggalawe dengan kuda-kuda
perangnya dari Madura. Kuda kuda tersebut kemudian diturunkan dari atas jung
(kapal).
Segara Wionotan
terheran-heran melihat kuda-kuda besar tersebut. Untuk menghindari kecurigaan
dari utusan Kadiri tersebut, Raden Wijaya kemudian menjelaskan bahwa kuda-kuda
tersebut akan dipergunakan untuk persiapan berburu Jayakatwang. Segara Winotan
percaya akan maksud baik Wijaya dan ingin segera melihat sepak terjang orang
orang Madura dalam melaksanakan perburuan.
Namun perkataan Segara
Winotan tanpa disadari telah menyinggung hati Ranggalawe sehingga menyahut “apa
bedanya tindak tanduk petani Madura dengan orang Daha, segera engkau akan
mengetahui kemampuan orang Madura“. Raden Wijaya terkejut mendengar teriakan
lantang Ranggalawe. Kalau hal tersebut dibiarkan maka akan terjadi perselisihan
diantara kedua orang tersebut dan apa yang telah dirahasiakan selama ini akan
terbongkar.
Untuk menenangkan
suasana, Ken Sora yang juga paman dari Ranggalawe kemudian mengajaknya untuk
mengawasi penurunan kuda-kuda dari jung. Segara Winotan yang terkejut dengan
teriakan Ranggalawe segera menanyakan siapakah gerangan orang lantang tersebut.
Raden Wijaya menjelaskan bahwa orang tersebut adalah kemenakan Ken Sora dari
Tanjung sebelah barat Madura. Ucapannya kasar karena dia adalah petani bentil,
karena itu janganlah terlalu diambil hati. Segera Winotan kemudian kembali ke
Daha.
Kuda yang dibawa oleh
Ranggalawe dari Madura berjumah 27 ekor kemudian dibagikan kepada para
senopati-senopati yang akan memimpin pasukan. Segara Winotan telah kembali ke kerajaan
Kadiri kemudian melaporkan ke hadapan Jayakatwang tentang kesiapan berburu yang
telah dipersiapkan dengan matang oleh Raden Wijaya. Tentu saja tanpa mengetahui
keadaan yang sebenarnya. Maklumlah selama di daerah Tarik Segara Winotan hanya
diterima di daerah Wirasaba dan tidak diberi kesempatan untuk melihat keadaan
kota.
Raden Wijaya memang
sangat pintar dalam menerima tamunya hingga sedemikian rupa sehingga Segara
Winotan tidak mengetahui persiapan perang yang sedang direncanakan oleh Wijaya.
Sementara Arya Wiraraja telah bersiap siap untuk berangkat ke Majapahit
diiringi bala tentaranya dari Madura. Kedatangannya dengan puluhan jung sampai
di Canggu disambut oleh Wijaya dan ditempatkan di Pesanggarahan yang telah
dipersiapkan sebelumnya.
Arya Wiraraja minta
maaf kepada Wijaya karena telah mengambil keputusan tanpa persetujuan dari Wijaya yang menjanjikan 2 orang putri dari Tumapel
akan diserahkan kepada kaisar Tartar bila mampu menundukkan Jayakatwang dari
Kadiri. Kaisar Tartar berjanji bahwa pasukan Tartar akan datang pada bulan
Waisaka. Dalam menyusun siasat untuk menyerang kerajaan Kadiri, Ranggalawe
mengusulkan agar pasukan Majapahit dipecah menjadi 2 yaitu;
Arya Wiraraja memimpin
pasukan yang bergerak melalui jalan raja, lewat Linggasana.
Raden Wijaya memimpin
pasukan yang melalui Singhasari. Ranggalawe akan ikut dalam pasukan Raden
Wijaya, kedua pasukan akan bertemu di daerah Barebeg.
Dalam Kidung Harsa
Wijaya Pupuh IV diuraikan tentang peperangan Majapahit dengan kerajaan Kadiri.
Ranggalawe berpendapat tidaklah mungkin terjadinya perang tanpa ada
penyebabnya, karena hal tersebut akan menimbulkan tuduhan bahwa Raden Wijaya
tidak tahu berterima kasih akan kebaikan Prabu Jayakatwang yang telah menerima
Raden Wijaya dan pengikutnya dengan baik selama mengabdi di kerajaan Kadiri.
Oleh karena itu
Ranggalawe mengusulkan agar Raden Wijaya mengirimkan utusan ke Jayakatwang
untuk meminta putri Puspawati dan Gayatri, putri Kertanagara yang ditawan oleh
kerajaan Kadiri. Jika permintaan tersebut tidak dikabulkan maka alasan
tersebutlah yang akan dipakai dasar untuk menyerang kerajaan Kadiri. Ken Sora,
Gajah Pagon dan Lembu Peteng lebih cenderung untuk memberontak begitu saja,
karena bukan tidak mungkin Jayakatwang akan meluluskan permintaan Raden Wijaya
tersebut.
Nambi mengusulkan agar
prajurit Majapahit berusaha memikat pembesar-pembesar kerajaan Daha sehingga
ikut membantu pemberontakan terhadap pemerintahan Jayakatwang. Usul tersebut
ditolak oleh Podang yang mendapat dukungan dari Panji Amarajaya, Jaran Waha,
Kebo Bungalan dan Ranggalawe. Karena pendapat yang berbeda-beda tersebut
akhirnya mereka semua minta pendapat dari Arya Wiraraja, karena telah terbukti
Arya Wiraraja pandai memberi nasehat kepada Raden Wijaya. Atas saran Arya
Wiraraja kemudian diputuskan penyerangan ditunda dan menunggu pasukan Tartar
yang diperkirakan kedatangannya masih sebulan lagi.
Akhirnya pada tanggal 1
Maret 1293, 20.000 pasukan Mongol mendarat di Jawa. disebelah barat Canggu yakni
daerah Tuban dan langsung membuat benteng pertahanan di lembah Janggala.
Disebutkan bahwa utusan yang dikirim ke Jawa terdiri dari tiga orang pejabat
tinggi kerajaan, yaitu Shih Pi, Ike Mese, dan Kau Hsing. Hanya Kau Hsing yang
berdarah Cina, sedangkan dua lainnya adalah orang Mongol. Mereka diberangkatkan
dari Fukien membawa 20.000 pasukan dan sekitar seribu kapal.
Kublai Khan membekali
pasukan ini untuk pelayaran selama satu tahun serta biaya sebesar 40.000
batangan perak. Shih Pi dan Ike Mese mengumpulkan pasukan dari tiga provinsi:
Fukien, Kiangsi, dan Hukuang. Sedangkan Kau Hsing bertanggung jawab untuk
menyiapkan perbekalan dan kapal. Pasukan besar ini berangkat dari pelabuhan
Chuan-chou dan tiba di Pulau Belitung sekitar bulan Januari tahun 1293.
Bersambung….
0 on: "Kronik Sejarah Majapahit : Warisan Konspirasi yang Terwariskan Hingga Kini [1]"